Selasa, 17 Januari 2012

Anasyid dan Sama

Oleh Prof Dr Nasaruddin Umar

Dalam dunia tasawuf, lagu-lagu pujian (anasyid) dan tarian sakral (sama') adalah biasa. Seni di dalam kehidupan sufi seolah merupakan bagian yang tak terpisahkan. Hampir semua sufi mencintai, bahkan menjadi praktisi seni. Sebutlah nama Jalaluddin Rumi, seorang sufi yang seniman atau seniman yang sufi. Ia bukan hanya mencintai seni, melainkan juga menjadi praktisi seni. Ia menguasai berbagai jenis alat musik, mulai dari alat tiup seperti seruling sampai berbagai jenis gendang.

Bagi para pengikut tarekat 'Maulawiyah, tarekat yang menyandarkan diri pada ajaran Jalaluddin Rumi, sangat akrab dengan anasyid dan sama' (shema'). Shema ialah zikir yang diiringi alunan musik dan tari memutar yang biasa juga dikenal dengan tari sufi (whirling darwishes). Shema sudah lama menjadi ciri khas Kota Konya, kota di mana Maulana Jalaluddin Rumi (1207-1273) dimakamkan dan di atas makamnya tertulis: al-Imam al-Auliya' (imam para wali). Shema bukan sekadar musik dan tari, bukan pula sekadar hiburan dan tontonan, melainkan lebih merupakan upacara ritual.
Shema' merupakan ungkapan rasa cinta yang amat mendalam di dalam hati kepada Sang Kekasih sehingga sang pencinta dan Yang Dicintai seolah-olah menyatu, larut, dan hanyut seiring dengan alunan musik yang diiringi tarian. Alat-alat musik yang dominan adalah seruling bambu. Sebuah seruling baru dapat menghasilkan bunyi yang merdu jika di dalamnya terbebas dari sumbatan. Sama dengan kalbu, tidak akan melahirkan kesucian jika di dalamnya terdapat kotoran dan hanya dengan kalbu yang bening yang dapat berjumpa (liqa') dengan Tuhan. Bunyi gendang atau tambur diilustrasikan sebagai perintah suci (divine order). "Kun=jadilah", maka ciptaan suci menyerupai sang Mahasuci terjadi. Syair-syair dalam lagu diawali dengan pujian terhadap Rasulullah (Nat-i Serif) sebagai lambang cinta sejati, sebagaimana pula nabi-nabi sebelumnya. Memuji mereka berarti memuji Tuhan yang menciptakan mereka. Keseluruhan paduan indah irama musik, lagu, dan gerakan lembut yang berputar merupakan persembahan suci (ta'dhim) yang kemudian menghasilkan napas suci (The Divine Breath) dalam kehidupan ini.

Kombinasi pakaian yang terbentuk dari bahan putih kemilau semula dibungkus dengan bahan berwarna hitam-gelap. Setelah satu per satu melakukan sungkeman (tawajjuh) kepada seorang syekh yang didampingi seorang mursyid, para penari yang umumnya berjumlah 25 orang duduk membanjar di sebelah kiri syekh. Sambil musik mengalun, perlahan-lahan mereka melepaskan jubah hitam, sebagai simbol pelepasan segala dosa dan maksiat dan yang tertinggal adalah warna putih.

Setelah itu, satu per satu berdiri berbaris lembut menghampiri syekh. Selepas melakukan penghormatan kedua kali terhadap syekh, satu per satu mereka mulai berputar seperti gasing. Tangan kanan lurus ke samping dengan telapak tangan menengadah ke atas sebagai simbol hamba ('abid) yang memohon kedekatan diri kepada Sang Khalik, sementara tangan kiri lurus ke samping menengadah ke bawah sebagai simbol khalifah, yang menyalurkan kasih kepada para makhluk lainnya. Kaki kiri seolah menancap (istiqamah) sambil berputar di tempat dan kaki kanan yang sering terangkat sambil berputar. Pakaian yang mirip rok panjang melebar bagai kipas yang terhampar. Semuanya ini memiliki makna yang akan diuraikan dalam artikel mendatang.

Pembacaan wirid, mudzakarah, pembacaan rawi Maulid Nabi (amdah, maulidat), dan beberapa syair yang diambil dari quatrain sufi penyair Arab dan Persia, biasanya dilantunkan dengan lagu-lagu yang dinyanyikan berjamaah. Di Indonesia, pembacaan berbagai macam selawat Nabi, seperti selawat Badar, dilantunkan bagaikan himne yang diperuntukkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW. Tidak jarang para jamaah meneteskan air mata ketika melantunkan selawat Nabi tersebut.

Tarekat Syaziliyah yang berkembang di Maroko sampai Irak sangat kental dengan nyanyian/nasyid yang diambil dari Burdah (mantel)¸ karya penyair sufi Mesir, al-Bushiri (wafat 694H/1296M). Konon syair ini diilhami oleh mimpi. Sedangkan, tarekat Syaziliyah yang berkembang di Syiria menyenandungkan himne-himne yang diambil dari kumpulan syair (diwan) karya penyair sufistik, Abdul Gani al-Nabulusi dari Naplus, Palestina, yang hidup sekitar 1641-1731 M. Pembacaan kidung spiritual biasanya dilakukan di dalam sebuah tempat khusus yang disebut dengan Zawiyah.

Bait-bait yang dilantunkan oleh para penyair sufi memiliki makna eksoterik dan esoterik. Contoh kidung-kidung tersebut, antara lain, sebagai berikut:

Wahai engkau yang tampil saat bangkitnya lingkaran Yang Tak Terlihat Wahai engkau yang berhenti di tenda orang-orang yang dekat di hati Jangan salahkan aku, wahai pemeriksa, karena mencintai si cantik dengan tubuh mulus Karena aku tidak punya keterkaitan lain kecuali dengan Dia yang hadir di balik tirai Harumnya rahasia tercium di taman pertemuan Dan aromanya membuat kami mabuk kepayang.

Makna esoterik dari "Dia yang berhenti di tenda orang-orang yang dekat di hati" adalah akal (akal pertama/al-'aql al-awwal), yang oleh para sufi sebagaimana pernah dibahas dalam artikel terdahulu disebut makhluk pertama. Karena itu, ia merupakan pancaran cahaya yang menyatukan semua dunia. "Si cantik dengan tubuh mulus" adalah berbagai keindahan di dunia yang subtil, yakni bidadari yang cahayanya bersumber dari Zat Yang Mahamutlak. "Harumnya rahasia-rahasia" adalah manifestasi kasat mata dari kehadiran Ilahi yang bisa memabukkan karena dikaitkan dengan anggur atau Laila, sang kekasih.

Tarekat Qadiriyah-Naqsyabandi, sebagaimana yang berkembang di Tanah Air, juga sangat akrab dengan sejumlah zikir dan syair berbahasa Arab, yang mengandung nilai sastra tinggi, seperti syair-syair Barzanji, juga dapat dilantunkan dengan ritme tertentu yang bisa "memabukkan" jamaah jika dilantunkan oleh pelantun spesialis. Tidak sedikit orang menjadi pingsan karena terharu dengan lantunan lagu yang memicu kerinduan terhadap Nabi Muhammad SAW.

Anasyid dan Sama' sebagai sebuah zikir yang dilakukan dengan nyanyian, gerak, dan tari, biasanya diiringi oleh alat-alat dan ensembel musik yang lengkap. Musik itu sendiri bagi tarekat Maulawiyah dianggap zikir karena instrumen dan ritmenya bisa menggetarkan batin, menambah rasa cinta teramat mendalam kepada Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW.

Tarekat Qadiriyah dan tarekat Syaziliyah lebih sering berbicara tentang hadhrah al-dzikr, yang secara harfiah berarti "kehadiran pengingatan". Nama-nama indah Allah (al-Asma' al-Husna') sering kali menjadi dasar ritme hadhrah, bagaikan ucapan "sakramen" yang bisa menjadi sarana manusia meninggalkan watak kasarnya menuju ke personalitas yang suci dan agung. Di Maroko yang terkenal sebagai kota tarekat Syaziliyyah dengan cabang-cabangnya, seperti Isawiyyah, Zarruqiyyah, Nashiriyyah, dan Darqawiyyah, memiliki bentuk tarian sufi khusus yang biasa disebut dengan umarah (kelimpahan). Ini sebagai manifestasi esensi Allah yang biasa disebutkan kata gantinya, Huwa (Dia). Jika masuk merasuk ke dalam diri manusia, Ia akan memenuhinya hingga melimpah.

Republika (-)

0 komentar: