Selasa, 10 Januari 2012

Karbala


Karbala adalah nafas terakhir dari era keimanan. Sangat sedikit peristiwa sejarah telah membentuk bahasa, budaya, musik, politik dan sosiologi masyarakat Muslim, seperti Karbala. Bahasa seperti bahasa Swahili dan Urdu yang lahir seribu tahun setelah peristiwa itu menghubungkannya seolah-olah ia baru terjadi kemarin. Seorang pekerja di Kuala Lumpur bereaksi atasnya dengan kedekatan yang sama dengan orang awam di Lahore atau profesor di Chicago. Karbala adalah kata benda, kata sifat dan kata kerja sekaligus. Memang, Karbala menandai patokan dalam sejarah Islam dan pusat perputaran di sekitar mana dialektika internal di antara umat Islam berputar.

Sampai pembunuhan Ali bin Abu Thalib Kwh, isu suksesi Nabi telah diputuskan melalui musyawarah. Abu Bakar RA, Umar RA, Utsman RA dan Ali Kwh (Muslim merujuk mereka sebagai Khulafa ur Rashidun) mendapatkan legitimasi mereka dari persetujuan rakyat. Proses ini pada dasarnya demokratik. Abu Bakar as Siddiq RA secara khusus melarang pencalonan anaknya sendiri sebagai Khalifah setelahnya, sehingga menghindari pemerintahan dinasti. Umar bin Khattab RA, dalam keinginan terakhirnya, menominasikan suatu dewan enam sahabat yang paling dihormati untuk memilih penggantinya. Para sahabat menyadari perangkap suksesi dinasti dan keunggulan pemerintahan berdasarkan konsultasi dan persetujuan. Merekalah era keimanan. Misi dari empat khalifah pertama adalah terciptanya masyarakat yang adil, memerintahkan apa yang mulia, melarang apa yang jahat dan beriman kepada Tuhan. Dalam perjuangan ini, mereka menerima penderitaan yang luar biasa untuk memastikan bahwa keluarga mereka tidak mendapat keuntungan dari posisi istimewa mereka.

Muawiyah bin Abu Sufyan mengubah proses ini. Mengikuti saran dari Mughira bin Syoba, ia menominasikan putra tertuanya Yazid sebagai penggantinya. Ini merupakan tolok ukur sejarah. Pemerintahan dengan persetujuan membutuhkan akuntabilitas. Pemerintahan oleh orang kuat membutuhkan kekuasaan tanpa akuntabilitas. Pencalonan Yazid menghancurkan persyaratan untuk akuntabilitas. Setelah Muawiyah, sejarah Islam menghasilkan sultan dan kaisar, beberapa dari mereka murah hati, sebagian yang lain lalim. Beberapa orang menyatakan diri khalifah, yang lain akan minum bersama-sama dengan khalifah, menikahi putri mereka dan menawarkan mereka harta selangit sebagai hadiah, tetapi aturan mereka selalu aturan tentara. Transendensi aturan Tauhid dan akuntabilitas yang mengiringinya telah berakhir dengan pembunuhan Ali Kwh.

Muawiyah telah menyia-nyiakan waktu dalam memperluas cengkeramannya pada wilayah-wilayah yang sebelumnya dipegang oleh Ali bin Abu Thalib Kwh dan Hassan bin Ali. Irak dalam kekuasaan kepolisian Muawiyah, sehingga rakyat Irak tidak punya pilihan selain menerima penunjukan Yazid. Provinsi Hijaz (yang merupakan bagian dari Arab Saudi saat ini dan termasuk kota-kota Mekah dan Madinah) adalah masalah lain. Tokoh terhormat seperti Hussain bin Ali, Abdullah bin Zubair, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas dan Abdur Rahman bin Abu Bakar menentang ide dinasti sebagai bertentangan dengan Sunnah Nabi dan tradisi khalifah pertama. Untuk meyakinkan mereka, Muawiyah sendiri melakukan perjalanan ke Madinah. Pertemuan itu diadakan tetapi tidak ada pertemuan pemikiran. Tidak tergoyahkan oleh penolakan penentangnya ini, Muawiyah keluar dari pertemuan dan menyatakan bahwa lima orang tersebut telah setuju untuk mengambil sumpah kesetiaan (bai'at) kepada Yazid. Menurut Tabari dan Ibnu Asir, Muawiyah secara terbuka mengancam akan menggunakan kekuatan jika proposisi itu tidak disepakati. Para ammah (populasi umum) menyerah. Hanya kemudian ditemukan bahwa rumor bai'at dari "lima orang saleh" itu adalah sebuah tipuan.

Muawiyah meninggal segera sesudahnya (692) pada usia tujuh puluh delapan tahun dan Yazid mewarisi takhta Umayyah. Salah satu tindakan pertamanya adalah memerintahkan gubernur Madinah, Walid bin Uthba, untuk memaksa sumpah setia dari Abdullah bin Zubair dan Hussain bin Ali. Merasakan bahaya yang mengancam hidupnya, Abdullah bin Zubair meninggalkan Madinah ke Mekah dalam kegelapan malam dan berlindung di Ka'bah, di mana ia mungkin akan aman dari pasukan Yazid. Husain bin Ali berkonsultasi dengan saudaranya, Muhammad bin Hanafia dan berpindah pula ke Mekah.

Mereka para sahabat Nabi dan kaum muslimin lainnya, yang percaya bahwa Ali Kwh adalah khalifah yang sah setelah Nabi disebut Shi 'Aan e Ali (partai Ali Kwh, yang merupakan asal-usul dari Syiah. Istilah Sunni memiliki asal sejarah di kemudian hari). Seperti dicatat oleh Ibn Katsir dan Ibnu Khaldun, sahabat-sahabat ini tidak sepenuhnya puas ketika Abu Bakr RA terpilih sebagai khalifah. Namun, untuk mempertahankan kesatuan komunitas mereka mendukung dan melayani Abu Bakar RA, Umar RA dan Utsman RA. Ketika Hassan turun tahta mendukung Muawiyah, banyak di antara Shi 'Aan e Ali mundur dari politik. Sementara mempertahankan untuk tidak ada permusuhan melawan struktur kekuasaan - yang hampir selalu bermusuhan dengan mereka - mereka menerima kepemimpinan spiritual dari garis keturunan (zuriyah) Ali Kwh.

Kufah telah menjadi ibukota selama kekhalifahan Ali bin Abu Thalib Kwh dan anggota Shi 'Aan e Ali banyak di Irak. Husain bin Ali menerima surat terus-menerus dari tokoh Kufah yang mengundangnya ke Irak dan menerima kesetiaan (bai'at) mereka kepadanya sebagai khalifah. Sebagai langkah pertama, Hussain mengirim sepupunya Muslim bin Aqil  pada suatu misi pencarian fakta. Muslim bin Aqil tiba di Kufah dan tinggal di rumah seorang simpatisan, Hani. Para pendukung Hussain memadati tempat tinggal ini, sehingga Muslim mengirimkan surat ke Hussain mendorongnya untuk bermigrasi ke Kufah.

Sementara itu, Yazid mengirim Ubaidillah bin Ziyad, lebih dikenal sebagai Ibnu Ziyad, tukang jagal Karbala, untuk menangkap Muslim bin Aqil dan menghentikan pemberontakan yang baru muncul. Ibnu Ziyad tiba di Irak dan segera menyatakan bahwa mereka yang mendukung Yazid akan diberi hadiah dan mereka yang menentangnya akan mendapatkan kepala mereka dipotong. Keserakahan dan ketakutan akan pembalasan melakukan tipuan mereka. Orang-orang Kufah berbalik dan meninggalkan Muslim. Dia diserang dan dieksekusi oleh pasukan Ibnu Ziyad. Sebelum kematiannya, Muslim mengirim kabar kepada Hussain bahwa situasi di Kufah telah berubah dan bahwa ia harus meninggalkan ide bermigrasi ke sana. Pada saat itu, pasukan Ibnu Ziyad telah memotong komunikasi pendukung Husain, sehingga pesan kedua dari Muslim tidak pernah mencapai Hussain.

Tidak menyadari situasi lapangan di Kufah, Hussain mulai pindah dari Mekah ke Kufah pada tahun 680 dengan pendukungnya dan simpatisannya. Dalam perjalanan, berita tiba bahwa Muslim telah terbunuh. Menurut Ibnu Katsir, Hussain ingin kembali tetapi permintaan untuk qisas dari saudara-saudara Muslim mencegahnya. Dia menginformasikan perkembangan kepada rombongannya dan mendorong mereka yang ingin kembali untuk melakukannya. Semua kecuali yang sangat setia - sebagian besar adalah anggota keluarga Nabi - meninggalkannya.

Tanpa gentar, Hussain bin Ali bergerak maju dan dihentikan oleh sebuah resimen pasukan di bawah Amr bin Sa'ad di Karbala di tepi Sungai Efrat. Sebuah kebuntuan terjadi, negosiasi berlangsung dan Amr bin Sa'ad mengkomunikasikan ini ke Ibnu Ziyad di Kufah. Namun, Ibn Ziyad tidak akan memberikan penyerahan apa pun dan meminta bai'at (sumpah setia) secara eksplisit oleh Hussain kepada Yazid. Merasa bahwa Amr bin Sa'ad enggan untuk memulai permusuhan terhadap keluarga Nabi, Ibnu Ziyad memanggilnya dan menggantinya dengan Shimr Zil Jowhan. Shimr, seorang pria tanpa penyesalan moral, mengepung perkemahan Hussain dan memotong suplai air. Konfrontasi terakhir terjadi pada tanggal 10 Muharram. (Muharram adalah bulan pertama dalam kalender Islam dan tanggal disebutkan di sini karena tanggal 10 Muharram telah menempati tempat khusus dalam sejarah Islam). Hussain, tentara Allah, yang telah minum dari bibir Nabi dan yang tidak tunduk kepada tirani Yazid, mengatur tujuh puluh dua orang dalam formasi perang, maju dan bertempur dengan pasukan kegelapan. Setiap pria ditebas dan pada akhirnya, cucu Nabi itu juga jatuh. Kepalanya dipenggal dan dikirim ke Kufah di mana Ibnu Ziyad memperlakukannya dengan cara yang paling keji dan mengaraknya melalui jalan-jalan. Para wanita dan anak-anak yang bertahan hidup dalam rombongan Husain diantar dengan selamat kembali ke Madinah oleh beberapa simpatisan mereka. Ini adalah tahun 680.

Air mata Muslim lebih banyak ditumpahkan bagi darah Husain bin Ali daripada martir lainnya dalam sejarah Islam. Kesyahidan Husain menyediakan Islam dengan suatu paradigma akan perjuangan dan pengorbanan tanpa pamrih. Selama ratusan tahun, generasi-generasi akan membangkitkan, menyerukan nama Husain bin Ali, untuk menegakkan keadilan dan melawan tirani. Bagi beberapa Muslim, ini adalah saat yang menentukan dalam sejarah Islam.

Husain berdiri di atas iman dan prinsip dalam menghadapi tirani dan penindasan. Dalam diri Hussain, iman dijunjung tinggi melawan ketajaman pedang sang tiran. Hussain adalah perwujudan dari ajaran Alquran bahwa manusia dilahirkan dalam kebebasan dan tunduk hanya kepada keagungan Ilahi. Kebebasan adalah kepercayaan yang diberikan kepada semua pria dan wanita oleh Sang Pencipta; ia tidak akan diserahkan kepada penindasan manusia semata.

Karbala memberikan arti baru terhadap istilah perjuangan. Manusia harus berusaha dengan kesabaran dan keteguhan dalam menghadapi kesulitan ekstrim. Kenyamanan dan keselamatan tidak menjadi halangan dalam perjuangan yang lebih tinggi untuk mendapatkan balasan akhirat. Hussain tidak menyerah dalam perjuangan meskipun ia ditinggalkan oleh banyak orang yang telah menawarkannya dukungan. Dia tidak menyerah saat menghadapi rintangan yang tidak dapat diatasi.

Sejarah adalah seorang pencemburu dan menuntut pengikut. Lagi dan lagi, ia menuntut pengorbanan terakhir dari orang yang beriman, sehingga iman dapat memperbaharui dirinya. Karbala adalah pembaharuan atas iman. Islam mendapatkan dorongan abadi dari pengorbanan Husain bin Ali. Iman telah menang bahkan pada saat ditaklukkan oleh pedang.

Sebelum Karbala, Shi 'Aan e Ali adalah suatu gerakan keagamaan. Setelah Karbala, ia telah menjadi gerakan keagamaan maupun politik. Sebagaimana akan kita lihat di bab berikutnya, gema Karbala terdengar lagi dan lagi sepanjang sejarah Islam dan menanamkannya suatu momentum arah yang tetap ada bahkan dalam urusan kontemporer.

Begitu besar kejutan dari kemartiran Husain, bahwa Yazid bahkan berusaha untuk menjauhkan diri dari tragedi tersebut. Ibnu Katsir melaporkan bahwa ketika ia mendengar tentang peristiwa Karbala, Yazid menangis dengan sedihnya dan mengutuk tindakan Ibnu Ziyad. Tetapi ketika kita melihat jumlah total dari tindakan-tindakan Yazid dan karakter pribadinya, itu tidak lain adalah air mata buaya dari seorang tiran.





Disumbangkan oleh Prof. Dr. Nazeer Ahmed, PhD

Temukan artikel lainnya di http://www.lintas-islam.blogspot.com

Untuk bergabung dengan group Lintas Islam, click http://groups.yahoo.com/group/lintas-islam/join; atau kirim email kosong ke alamat: lintas-islam-subscribe@yahoogroups.com

0 komentar: