Selasa, 03 Januari 2012

Nasehat Bagi Penuntut Ilmu (bag. 07)


Masjid Kab Poso
Segala puji hanya bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabat dan seluruh kaum muslimin yang senantiasa berpegang teguh pada sunnah Beliau sampai hari Kiamat.
Ketujuh : Diam Ketika Pelajaran Disampaikan
Ketika belajar dan mengkaji ilmu syar’i kita tidak boleh berbicara yang tidak bermanfaat, tanpa ada keperluan, dan tidak ada hubungannya dengan ilmu syar’i yang disampaikan, tidak boleh ngobrol. Haruslah dibedakan antara majelis ilmu dan majelis yang lainnya; antara tempat kita menuntut ilmu syar’i dangan tempat yang lain, apalagi yang disampaikan adalah ayat-ayat Allah dan hadits-hadits Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Secara umum Allah menyebutkan tentang hal ini dalam firman-Nya,

وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآَنُ فَاسْتَمِعُوْا لَهُ وَأَنْصِتُوْا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ (204)

“Dan apabila dibacakan Al-Qur-an, maka dengarkanlah dan diamlah agar kamu mendapat rahmat.” (QS. Al-A’raaf: 204)
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْلِيَصْمُتْ

“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” [1]
Beliau Shallallahu alaihi wa sallam juga bersabda,

مَنْ صَمَتَ نَجَا

“Barangsiapa yang diam, maka ia akan maka akan selamat.
Adh-Dhahhak bin Muzahim rahimahullaah (wafat th. 102 H) mengatakan, “Pintu pertama dari ilmu adalah diam; keduanya adalah mendengarkannya; ketiganya adalah mengamalkannya; dan keempatnya adalah menyebarkannya dan mengajarkannya.” [3]
Muhammad bin ‘Abdul Wahhab al-Kuffi (wafat th. 212 H) rahimahullaah mengatakan, “Diam itu mengumpulkan dua perkara bagi seseorang: selamat dalam agama dan pemahaman (yang benar) bagi pelakunya.” [4]
Imam an-Nawawi rahimahullaah menjelaskan tentang adab penuntut ilmu syar’i ketika menghadiri majelis ilmu, “(Seorang murid) tidak boleh mengangkat suara tanpa keperluan, tidak boleh tertawa, tidak boleh banyak bicara tanpa kebutuhan, tanpa adanya keperluan yang sangat, bahkan ia harus menghadapkan wajahnya ke arah gurunya…” [5]

*****
Referensi
  1. Hadits shahih. Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 6018, 6138; Muslim, no. 47; dan at-Tirmidzi, no. 2500, dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu.
  2. Diriwayatkan oleh Ahmad, II/159, 177; at-Tirmidzi, no. 2501 dan ad-Darimi, II/299, dari ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallaahu ‘anhuma. Hadits ini dishahihkan oleh al-Albani dalam Silsilah ash-Shahiihah, no. 536 dan Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir, no. 6367.
  3. Aadaab Thaalibil Hadiits minal Jaami’lil Khatib, karya Syaikh Bakr Abu Zaid hafizhahullaah, hal. 16.Lihat juga al-Jaami’ li Akhlaaqir Raawi wa Adaabis Sami’, I/194.
  4. Kitaabush Shamt wa Aadaabul Lisaan, karya Ibnu Abid Dunya rahimahullaah, hal. 69, no. 55.
  5. Syarah Muqaddimah al-Majmuu’, karya Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullaah,hal. 143.

Sumber : Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga, karya Yazid bin Abdul Qadir Jawaz, hal. 82 – 83, penerbit Pustaka At-Taqwa.

0 komentar: