Rabu, 18 Januari 2012

Revolusi Abbasiyah


Revolusi Abbasiyah adalah pergolakan politik-militer besar pertama di dunia Muslim, yang mengakibatkan kehancuran satu dinasti dan menggantinya dengan yang lain. Pelajaran dari revolusi itu masih bisa diambil saat ini walaupun peristiwa tersebut terjadi di tahun 750.

Peradaban mengalami pembusukan dari dalam. Faktor eksternal merupakan kesempatan belaka yang memberikan coup de grace (tindakan yang mengakhiri penderitaan - pen) untuk sebuah peradaban. Sejarah Islam tidak terkecuali. Penyebab utama atas marjinalisasi umat Islam dalam sejarah dunia adalah internal. Jika seseorang masih hidup pada tahun 740, ia akan melihat sebuah kesultanan Islam membentang dari Paris ke Lahore. Namun, di dalam bangunan yang sangat besar ini, kekuatan raksasa mendapatkan momentum yang akan mengguncang kekaisaran sampai ke dasarnya. Pertanyaan seorang mahasiswa sejarah adalah: apakah yang menghancurkan kekompakan internal umat Islam?

Dalam konteks sejarah, iman mencakup semua aktivitas manusia, termasuk keyakinan agama, ekonomi, sosiologi, politik, tata negara, administrasi, ilmu pengetahuan, seni dan budaya. Ini semua adalah aspek yang mencakup iman Islam yang disebut Tauhid dan peradaban yang didasarkan atasnya adalah peradaban Tauhid. Sebagian besar Muslim saat ini telah mengurangi Tauhid sebagai sebuah dimensi tunggal - yaitu, keyakinan kepada Allah - dan mengabaikan sebagian besar dimensi yang mencakupinya.

Para penguasa Umayyah telah jatuh dari karunia karena mereka telah meninggalkan peradaban Tauhid seperti yang ditegakkan oleh Nabi dan dipraktekkan oleh empat khalifah pertama. Para penguasa Umayyah adalah tentara yang cakap, sebagian adalah politisi yang sempurna (Muawiya, Walid I), seorang yang saleh dan mulia (Umar bin Abdul Aziz) tetapi sebagian besar adalah keji, fasik dan kejam. Kami akan mengkategorikan kekurangan yang paling jelas dalam pemerintahan mereka.

1. Para penguasa Umayyah tidak berhasil dalam membangun legitimasi kekuasaan mereka. Isu suksesi dan legitimasi pemerintahan muncul segera setelah wafatnya Nabi. Di sisi lain dalam urutan ini, kami telah menunjukkan bagaimana Abu Bakar RA terpilih sebagai khalifah setelah Nabi, dan juga keadaan bergolak seputar pemilihan Abu Ali bin Thalib RA untuk kekhalifahan setelah pembunuhan Utsman RA. Pada tahun 740, ada muncul beberapa posisi pada isu suksesi setelah Nabi. Hal ini diperlukan untuk memahami yang lebih penting dari ini karena pemahaman tersebut telah menyebabkan munculnya Abbasiyah dalam perspektif. Lebih penting lagi, hal ini membantu kita memahami konteks historis atas beberapa perpecahan yang telah mengguncang dunia Islam selama berabad-abad dan terus berguncang sampai saat ini. Isu-isunya kompleks dan apa yang kami hadirkan ini adalah sebuah ringkasan singkat.

2. Pemilihan Abu Bakar RA untuk kekhalifahan adalah tidak bulat. Ibnu Khaldun mencatat percakapan antara Ibnu Abbas dan Abu Bakar RA, yang dengan jelas menunjukkan bahwa mantan kalifah percaya bahwa Ali bin Abu Thalib RA adalah pewaris sah dari Nabi. Perbedaan muncul dalam kejelasan yang lebih nyata setelah pembunuhan Umar bin Al Khattab RA dan pada pertemuan komite Syura yang dibentuk oleh Umar RA untuk memilih penggantinya. Pendapat mayoritas menerima tidak hanya Al-Qur'an dan Sunnah, tetapi juga ijma (konsensus) para sahabat. Ini adalah pendapat yang diambil oleh para pendukung Utsman RA. Para pendukung Ali Kwh berpendapat bahwa rantai otoritas mengalir dari Al Qur'an, Sunnah Nabi dan melalui delegasi dari Nabi kepada Ali bin Abu Thalib Kwh. Mereka yang menerima posisi yang terakhir disebut sebagai Syi'i-at-Ali atau Shi 'Aan e Ali (pendukung atau partai Ali Kwh).

Dari sudut pandang internal Arab, perbedaan muncul dari klaim yang bertentangan antara Bani Hasyim dan Bani Umayyah atas kepemimpinan masyarakat. Ali Kwh, sepupu Nabi, adalah milik Bani Hasyim. Muawiyah serta keturunannya adalah milik Bani Umayyah. Setelah Pertempuran Siffin dan tragedi Karbala, tidak ada cinta yang hilang di antara kedua suku. Bani Umayyah terus mencermati kepemimpinan Bani Hasyim dan berkali-kali memperlakukan mereka dengan kekerasan, bahkan sungguh kejam.

Pendapat mayoritas yang menerima rantai otoritas politik dari Al-Qur'an, Sunnah Nabi dan ijma (konsensus) para sahabat, kemudian mengkristal ke dalam posisi Sunni ortodoks. Secara politis, ini berarti penerimaan atas kekhalifahan Abu Bakar RA, Umar RA, Utsman RA dan Ali Kwh sebagai ekspresi yang sah dari kehendak kolektif para sahabat. Pandangan ini diperjuangkan selama berabad-abad oleh Turki, Moghul  dan oleh dinasti penerus mereka di Utara, Spanyol, Malaysia dan Indonesia. Posisi ini diterima saat ini oleh sekitar sembilan puluh persen Muslim di dunia. Pendapat minoritas, yang menerima rantai otoritas dari Al-Qur'an, Sunnah Nabi dan oleh delegasi dari Nabi kepada Ali bin Abu Thalib Kwh dan para imam-imam penggantinya diperjuangkan oleh Dinasti Safawi di Persia (1500-1720 ) dan merupakan posisi Syiah. Sekitar sepuluh persen dari umat Islam saat ini memegang posisi ini.

Pada tahun 750, posisi Syiah telah mengalami perpecahan lebih lanjut. Setelah kemartiran Hussain di Karbala, jubah kepemimpinan jatuh ke anaknya Zainul Abidin, juga dikenal sebagai Ali bin Husain. Tekanan dari  Umayyah sangat berat. Oleh karena itu, Zainul Abidin mengalihkan perhatiannya kepada hal-hal spiritual dan untuk membangun masyarakat dari dalam. Tidak adanya aktivisme politik ini tidak dapat diterima oleh beberapa pengikutnya yang mencari seorang pemimpin yang lebih aktif. Putra Zainul Abidin, Zaid, mengambil tantangan ini. Didorong oleh sebuah janji bantuan dari orang-orang Kufah, ia menghadapi Umayyah dalam pertempuran. Seperti dengan pengkhianatan sejarah mereka sebelumnya, orang-orah Kufah meninggalkan Zaid dan ia kalah dalam pertempuran. Kemartirannya memunculkan cabang Zaidiyah di kalangan Muslim Syiah. Zaidiyah percaya dengan kekhalifahan Abu Bakar RA, Umar RA dan Ali Kwh dan dengan Imamah Hassan, Hussain, Zainul Abidin dan Zaid. Mereka menolak kekhalifahan Utsman RA. Dalam sejarah, kontribusi utama mereka adalah penyebaran Islam dari Oman ke Afrika Timur dan perlawanan mereka terhadap serangan Portugis pada abad ke-16.

Sebuah perselisihan kedua terjadi di antara Shi 'Aan e Ali setelah Imam kelima, Ja'afar as Saadiq. Ismail putra sulungnya wafat mendahuluinya. Oleh karena itu, Imam Ja'afar menunjuk putra keduanya Musa Kazhim sebagai Imam. Tetapi sebagian diantara Syiah menolak untuk menerima Imamah Musa Kazhim dan bersikeras pada Imamah Ismail. Kelompok ini disebut Ismailiyah. Mereka juga disebut sebagai Fatimiyah karena garis keturunan mereka dari Fatimah RA, putri tercinta Nabi. Fatimiyah memainkan bagian penting dalam sejarah Islam pada abad ke-9 dan ke-10 ketika mereka menduduki Mesir, Afrika Utara, Hijaz dan Palestina. Adalah Fatimiyah yang melakukan upaya serius untuk menaklukkan Italia di abad ke-10 dan merekalah yang menghadapi serangan Tentara Salib pertama di Yerusalem pada abad ke-11. Adalah ekspansi militer mereka yang memperkuat pemerintahan Umayyah di Spanyol pada abad ke-10 dan membawa Turki Seljuk untuk mempertahankan kekhalifahan ortodoks di Baghdad (abad ke-10, 11 dan 12). Mereka akhirnya digantikan oleh Salahuddin Ayyubi menjelang akhir abad ke 12.

Untuk jelasnya, kami meringkas di sini spektrum kepercayaan-kepercayaan di kalangan umat Islam. Kaum Sunni percaya kepada Al Qur'an, Sunnah Nabi dan menerima ijma para sahabat. Ini berarti penerimaan atas empat khalifah pertama yaitu Abu Bakar RA, Umar RA, Usman RA dan Ali Kwh sebagai khalifah yang mendapat petunjuk (Khulafa-ur-Rashidun). Itsna-Asyariyah percaya kepada Al Qur'an, Sunnah Nabi dan menerima imamah dua belas imam, yakni, Ali Kwh, Hassan, Hussain, Zainul Abidin, Muhammad Baqir, Ja'afar as Sadiq, Musa Kazhim, Ali Rada, Jawwad Razi, Ali Naqi Hadi, Hasan Askari dan Muhammad Mahdi. Para Sabayis (orang-orang tujuh) percaya kepada tujuh Imam yang disebutkan pertama. Fatimiyah percaya kepada Imamah dari enam Imam yang pertama dan Ismail. Itsna-Asyariyah, Fatimiyah dan Sabayis bersama-sama disebut sebagai Syiah. Beberapa sejarawan juga merujuk kepada mereka sebagai Alawiyah. Zaidiyah adalah pertengahan dalam keyakinan mereka antara Sunni dan Syiah. Mereka percaya kepada Imamah dari empat Imam pertama dan Zaid bin Ali dan juga dengan kekhalifahan Abu Bakar RA dan Umar RA tetapi tidak untuk Utsman RA. Kami harus menekankan bahwa semua Muslim percaya kepada Al-Qur'an dan Sunnah Nabi, tetapi tidak sepakat hanya dalam proses perkembangan sejarah Islam dalam matriks urusan manusia. Seperti cabang-cabang pohon besar, berbagai mazhab  Fiqh menaungi umat Islam dan sejarah Islam tidak akan sama  tanpa mereka.

Pada masa Imam Ja'afar, perpecahan lain terjadi, yang memiliki dampak yang mendalam dan abadi pada sejarah Islam. Tidak puas dengan sikap kediaman politik dari Imam Ja'afar, beberapa pendukung Bani Hasyim mencari ke tempat lain untuk kepemimpinan. Mereka menemukan seorang pemimpin pada Muhammad bin  Hanafia , putra Ali bin Abu Thalib Kwh dari salah satu pernikahan setelah kematian Fatimah RA. Ini adalah awal dari cabang non-Fatimiyah dari Alawiyah. Setelah Muhammad bin Hanafia, putranya Abu Sulaiman Abdullah menjadi Imam tetapi ia diracuni oleh Khalifah Umayyah Sulaiman. Saat ia terbaring sekarat, Abdullah melihat sekeliling untuk mendapatkan seseorang dari keluarganya untuk menerima Imamah. Karena tidak ada satu pun dari keluarga dekat yang tersedia, ia menemukan seorang Bani Hasyim, Muhammad bin Ali Abbas, di sebuah kota terdekat. Muhammad bin Ali Abbas adalah cucu dari Abbas, paman Nabi. Dengan demikian, melalui pemelintiran dari keadaan sejarah, salah satu cabang dari Imamah diteruskan dari anak-anak Ali bin Abu Thalib Kwh kepada anak-anak Abbas. Cabang ini disebut sebagai Abbasiyah. Adalah Abbasiyah yang mendirikan kekhalifahan mereka pada tahun 750 dan memerintah dari Baghdad Kekaisaran Islam yang luas selama lebih dari lima ratus tahun sampai akhirnya Mongol menghancurkan  Baghdad pada tahun 1258.

Muhammad bin Ali Abbas adalah seorang pekerja yang tak kenal lelah untuk kepentingan Abbasiyah dan mendirikan jaringan pendukung di seluruh Irak, Persia, Khurasan dan di daerah yang saat ini terletak di republik-republik Asia Tengah seperti Turkmenistan, Kyrgyzstan, Tadzig dan Uzbekistan. Setelah Muhammad, anaknya, Ibrahim menjadi Imam. Pada masa gerakan Abbasiyah, berpusat pada klaim bahwa kekhalifahan adalah milik Bani Hasyim di mana Abbasiyah adalah salah satu cabang, memperoleh momentum, begitu juga tekanan dari Bani Umayah. Khalifah Umayyah Marwan menangkap Ibrahim, memasukkannya ke dalam penjara dan akhirnya dibunuh dengan memasukkan kepalanya ke dalam karung kapur yang mendidih. Sebelum kematiannya, Ibrahim berhasil berkomunikasi dengan saudaranya Abul Abbas Abdullah dan mengangkatnya sebagai Imam. Abul Abbas bersumpah untuk membalas dendam kepada Umayyah atas kematian saudaranya yang kejam dan seperti akan kita lihat nanti, ia mencapai ini dengan sepenuh hati.

Dasar ideologis bagi pemerintahan Abbasiyah tidak tersedia sampai satu generasi setelah mereka memperoleh kekuasaan. Adalah Khalifah Mansur, yang memberikan dasar ideologis ini pada tahun 770 dalam menanggapi sebuah pertanyaan dari seorang Khawarij. Menurut posisi ini, karena Nabi tidak meninggalkan anak laki-laki dan bahwa garis keturunan diteruskan dari ayah ke anak laki-laki, maka anak-anak dari Fatimah RA tidak dapat mengklaim suksesi. Dengan demikian, suksesi harus melalui keturunan laki-laki dari paman Nabi, Abbas.

Ada lagi posisi pada kekhalifahan yang secara politik penting pada masa revolusi Abbasiyah tetapi kehilangan kekuatannya di abad kemudian. Yaitu adalah posisi yang dibawa oleh kaum Khawarij yang mengatakan bahwa Khilafah harus terbuka untuk semua Muslim, apakah Arab atau non-Arab dan tidak boleh hanya menjadi hak istimewa Bani Umayyah atau Bani Hasyim. Posisi yang tampaknya demokratis ini selalu tetap berada di pinggiran dari tubuh politik Islam karena cara-cara kekerasan dan kejam dari Khawarij dan tuntutan-tuntutan ekstremis mereka.

Oleh karena itu bahwa pada tahun 740, ketika badai berkumpul di cakrawala untuk sebuah revolusi, tubuh politik umat Islam terpecah-belah oleh klaim yang saling bertentangan terhadap kekhalifahan dan imamah. Bani Umayyah sedang berkuasa tetapi kekuasaan itu semakin ditantang oleh Bani Hasyim melalui Abbasiyah. Abbasiyah mewarisi legitimasi mereka dari Alawiyah (atau Shi 'Aan e Ali) melalui sebuah kecelakaan sejarah. Tetapi Alawiyah sendiri terbagi-bagi antara Zaidiyah, Fatimiyah (orang-orang enam), Sabayiah (orang-orang tujuh) dan Itsna-Asyariah (orang-orang dua belas).

Umayyah telah mendorong diri mereka ke dalam proses politik selama kekhalifahan Ali bin Abu Thalib Kwh dan telah mengkonsolidasikan pemerintahan mereka setelah pembunuhannya. Meskipun mereka secara radikal mengubah kekhalifahan dari konsensus pemilihan kepada pemerintahan dinasti, Umayah memperjuangkan posisi Sunni ortodox karena kebutuhan politik. Tetapi mereka tidak bisa menekan klaim dari Bani Hasyim atau Shi' Aan e Ali. Kecuali Umar bin Abdul Aziz, tidak ada dari Umayyah yang melakukan upaya serius untuk mendamaikan perbedaan di antara umat Islam. Konfrontasi berlanjut, mengarah kepada perang yang berkelanjutan melawan Khawarij dan bentrokan sporadis tetapi keras dengan Shi 'Aan e Ali seperti dimanifestasikan di dalam tragedi besar Karbala. Umayyah selalu rentan terhadap tuduhan bahwa mereka telah merebut kekuasaan dari rumah Nabi. Ini adalah sisi lemah politik mereka dan ini justru menjadi arah ideologis dari mana gerakan Abbasiyah menyerang mereka.

3. Selama 92 tahun pemerintahan Umayyah, ada pergeseran paradigma dari Tauhid ke dinar. Para penguasa lupa bahwa aturan Islam adalah kepercayaan ilahi dan fungsi utamanya adalah untuk mengirimkan pesan tauhid. Transendensi inilah yang telah membawa mujahid (dari akar kata j-h-d, berjuang) dari Hijaz ke pinggiran Paris dan tepian Sungai Indus. Transendensi ini hilang selama periode Umayyah. Umayyah telah menjadi sebuah dinasti seperti dinasti lainnya di Asia atau Eropa dengan fokus mereka pada kekayaan dan kekuasaan. Para penguasa menjadi pemungut pajak sehingga mereka bisa mempertahankan istana-istana mereka di Damaskus. Mereka kehilangan klaim rohani mereka atas kepemimpinan. Dimana iman lemah, sebuah peradaban mengalami penurunan. Ketika spiritualitas hilang, kekuasaan politik mesti dipertahankan dengan ujung pedang. Ini adalah apa yang terjadi dengan Umayyah. Kekuasaan mereka menjadi semakin represif dan harus ditopang dengan kebrutalan yang semakin meningkat. Menjadi tidak adil untuk melimpahkan kesalahan tunggal kepada Umayyah atas perilaku ini. Tubuh politik Islam telah kehilangan landasan setelah empat khalifah pertama yang saleh dan hanya pada beberapa kesempatan melaksanakan tugas amanah Ilahi. Sebagai ilustrasi, sebagian besar penguasa Muslim di anak benua India selama abad ke-13 sampai ke-17 tidak mendorong kepindahan ke agama Islam untuk memastikan bahwa pendapatan pajak mereka tidak akan menurun. Akibatnya, setelah lima abad kekuasaan Islam, hanya seperempat dari penduduk Hindustan yang telah memeluk Islam.

4. Umayyah telah melupakan pesan persaudaraan Islam dan memperlakukan para muallaf secara menjijikkan. Seringkali, para muallaf dipaksa untuk membayar Jizyah bahkan setelah mereka menerima Islam. Ini adalah diskriminasi yang ditentang oleh Imam Abu Hanifah (yang hidup melewati revolusi Abbasiyah). Dalam salah satu fatwanya, Abu Hanifah berkata: "Iman dari seorang Turki yang baru saja bertobat adalah sama dengan iman seorang Arab dari Hijaz". Tetapi Umayyah memusuhi reformasi tersebut dan Imam Abu Hanifah dipenjara karena aktivismenya. Di Khorasan dan Persia, orang-orang Arab menguasai sebagian besar jabatan tinggi dalam angkatan bersenjata dan di eselon atas pemerintah. Hasilnya adalah perpecahan rasial dan fragmentasi sosial. Ketika perpindahan agama meningkat, pusat gravitasi bergeser kepada orang-orang Persia dan Turki yang baru pindah agama, yang dijauhkan dari hak istimewa kekuasaan. Struktur sosial semakin tampak seperti piramida terbalik dengan minoritas Arab di puncak kekuasaan. Bahan untuk revolusi sosial telah mengambil akar dan hanyalah masalah waktu sebelum piramida itu dibalikkan.

5. Korupsi yang dimulai dari atas mengalir ke bawah kepada gubernur-gubernur provinsi dan pejabat-pejabat kecil. Kekejaman dan kebrutalan Hajjaj bin Yusuf menjadi pepatah. Alih-alih mempromosikan pejabat atas dasar kemampuan dan integritas, seperti yang terjadi selama kekhalifahan Umar bin Khattab RA, atau atas dasar pengujian dan jasa seperti yang terjadi pada dinasti Tang Cina kontemporer, Umayyah memilih gubernur dan pejabat atas dasar loyalitas kepada para penguasa. Kebrutalan gubernur dipandang sebagai aset dalam menjaga wilayah yang ditaklukkan berada di bawah kontrol. Damaskus, pada dasarnya, kehilangan kontak dengan provinsi-provinsi yang terletak sangat jauh, sebuah fakta yang diperburuk dengan komunikasi-komunikasi yang tidak sempurna pada saat itu. Jadi, ketika sebuah tantangan serius terhadap pemerintahan Umayyah muncul di Khurasan yang jauh, respon dari istana Damaskus lambat, lemah dan terputus-putus.

6. Umayyah kehilangan kemampuan untuk mendorong kekompakan di dalam masyarakat. Sebaliknya, mereka menjadi partisan dalam percekcokan kesukuan sesama Arab. Pada masa Arab pra-Islam, orang-orang Arab tak berdaya dibagi-dibagi berdasarkan garis suku dan sering terlibat dalam pertempuran melawan suku-suku lainnya. Salah satu pembagian suku utama adalah antara Muzruis (orang-orang Arab utara) dan Yaman (Arab selatan). Nabi sudah menyembuhkan keretakan ini dan menyatukan suku-suku ke dalam sebuah persaudaraan umum. Tetapi selama periode Umayyah, perselisihan ini muncul kembali dengan intensitas baru. Umayyah didukung oleh Muzruis. Berkat blunder Umayyah, orang-orang Yaman menjadi musuh mereka. Para arsitek revolusi Abbasiyah mengeksploitasi kelompok ini.

7. Terakhir, adalah pandangan Ibn Khaldun bahwa Umayyah telah menjadi penduduk kota dan telah kehilangan daya tahan sebagai orang-orang Arab gurun. Korupsi dari kehidupan kota telah menghancurkan asabiyah (ikatan berdasarkan kesetiaan suku), yang menurut Ibnu Khaldun dibutuhkan sebagai bahan bangunan peradaban. Dikelilingi oleh kemewahan Damaskus, para penguasa Umayyah terakhir hampir tidak bisa memahami kendali, energi, antusiasme, dan iman murni dari nenek moyang gurun mereka. Dengan kata lain, sudah saatnya bagi Umayyah untuk meninggalkan panggung sejarah.

Abbasiyah berhasil di setiap wilayah di mana Umayah gagal. Mereka dipimpin oleh seorang pemimpin yang luar biasa, yang memenangkan popularitas, jenderal lapangan yang brilian dan menunjukkan sebuah insting Machiavellian untuk mengeksploitasi kelemahan lawan mereka.

Tokoh kunci dalam revolusi ini adalah Abu Muslim Khorasani. Abu Muslim adalah seorang lelaki yang  diciptakan pada masanya. Dia adalah seorang Persia, lahir di Isfahan dan karenanya mempunyai mandat sempurna atas dasar kelahiran dengan mayoritas orang Persia yang dieksploitasi. Dia dibesarkan di Kufah dan di awal kehidupannya memiliki ketidaksukaan akan kesombongan Arab dan superioritas kompleks mereka. Propaganda Abbasiyah aktif dalam sel-sel kecil di Irak dan Abu Muslim menerima indoktrinasi awalnya dari Da'i (seseorang yang mengajak orang-orang terhadap sebuah doktrin) Abbasiyah, Isa bin Musa Siraj. Kecerdasan dan kemampuannya menarik perhatian Isa dan ia diperkenalkan kepada Imam Muhammad bin Ali. Imam melihat potensi di dalam diri orang muda ini dan pada waktunya, mengangkatnya sebagai Da'i Kepala untuk provinsi Khorasan. Ini adalah tahun 744.

Khorasan bergolak dengan ketidakpuasan. Warisan dari ekses Umayyah telah menciptakan kepahitan yang ekstrim di kalangan penduduk setempat. Perpajakan yang tidak adil telah memupuk ketidaksukaan terhadap orang-orang Arab di antara orang-orang Persia. Orang-orang Arab terbagi-bagi di antara mereka sendiri berdasarkan garis kesukuan. Orang-orang dan ulama-ulama yang cakap dibungkam oleh Umayyah atau mereka menarik diri dari kehidupan publik. Dalam suasana ini, propaganda Abbasiyah akan hak-hak Bani Hasyim dan Ahlul-Bait mendapatkan penerimaan yang sangat positif. Para Alawiyah mendukung Abbasiyah sebagai kesempatan terbaik untuk menggulingkan Umayyah yang dibenci dan mungkin mendirikan pemerintahan dari rumah Ali Kwh dan Fatimah RA. Masyarakat umum sudah berpayah-payah terlalu lama di bawah penganiayaan dan penindasan dari para pejabat Umayyah dan berdoa untuk adanya pembebasan.

Khorasan diperintah pada saat itu oleh Nasr bin Sayyar, seorang Arab Mazrui (utara) dan seorang pendukung Umayyah yang cakap dan setia, tetapi adalah seorang tua berusia delapan puluhan yang memiliki  pendekatan picik yang sama terhadap politik seperti sponsornya di Damaskus. Dia mengambil sisi dalam pertengkaran lokal antara orang-orang Arab Yaman dan Mazrui dan membunuh kepala suku dari salah satu suku, Ali Kirman. Hal ini mengasingkan para pengikut Kirmani dan mereka menjadi musuh bebuyutan dari Umayyah. Upaya-upaya telah dilakukan untuk menambal perbedaan-perbedaan antar-Arab ini, tetapi Abu Muslim berhasil dalam mencegah sebuah rujuk antara dua suku Arab melalui manuver politik yang cerdas.

Dengan orang-orang Arab berselisih satu sama lain, Abu Muslim melakukan gerakannya. Kata-kata disampaikan melalui sel-sel bawah tanah yang sangat efektif bahwa tanggal 25 Ramadan menjadi hari berkabung untuk menghormati para imam yang telah dibunuh oleh Umayyah. Pada hari yang telah ditentukan, orang-orang Khorasan mengangkat bendera-bendera hitam dan pemberontakan dimulai. Warna hitam kemudian menjadi warna lambang Abbasiyah. Kota Merv segera diserbu. Nasr meminta bantuan Marwan. Tetapi, seperti yang terjadi pada saat-saat menentukan dalam sejarah, beberapa peristiwa penting terjadi bersamaan dan Umayyah terjebak. Ada pemberontakan serius kaum Khawarij di Mekkah dan Madinah. Karena ia sedang sibuk menekan pemberontakan ini, Marwan memerintahkan gubernur Irak untuk memberikan bantuan kepada Nasr. Pada saat orang-orang Irak tiba di perbatasan Khorasan, sudah terlalu terlambat. Abu Muslim telah menyerbu seluruh propinsi Khorasan dan sumber daya manusia dan materialnya meningkat tajam. Orang-orang Irak tidak memiliki peluang. Mereka dikalahkan.

Ini adalah saat ketika Imam Ibrahim dibunuh secara kejam oleh Marwan, dengan memasukkan kepalanya ke dalam kantong kulit yang diisi dengan kapur mendidih. Pembunuhan serta kekejaman ini menambahkan bahan bakar ke dalam api. Abul Abbas Abdallah menjadi Imam baru dan bersumpah untuk membalas dendam atas pembunuhan saudaranya Ibrahim. Kejadian demi kejadian bergerak dengan cepat. Abu Muslim telah dibantu oleh beberapa jenderal yang paling cakap dari era ini, di antaranya Kahtaba bin Shabib, seorang Arab dari Madinah dan Khalid bin Barmek, seorang Persia. Kahtaba memburu Nasr ke selatan menuju Isfahan. Nashr meninggal saat melarikan diri. Hassan, seorang putra Kahtaba, melakukan pengepungan terhadap Nahawand, sementara Kahtaba sendiri mengalahkan pasukan penyelamat yang dipimpin oleh putra Marwan, Abdullah di dataran Karbala (749). Kufah, ibukota Irak, jatuh tanpa perlawanan lebih lanjut.

Orang-orang Kufah dipanggil ke Mesjid Jamia Kufah. Abu Muslim, yang telah menempa kesatuan dengan cekatan di antara orang-orang Persia yang tidak puas, orang-orang Arab Yaman, Abbasiyah dan Alawiyah dan secara hati-hati berdiri di tepi untuk klaim persaingan atas Imamah dan Khilafah, memberikan pidato berapi-api di mana dia menyatakan bahwa Umayyah si perampas telah digulingkan oleh kekuatan rakyat. Apapun klaim yang Umayyah miliki atas kepemimpinan masyarakat telah ditinggalkan akibat ketiadaan rasa hormat dan penindasan mereka. Sekarang saatnya untuk memilih seorang Imam dan Khalifah yang baru dan tidak ada yang lebih baik daripada Abul Abbas Abdullah yang memenuhi semua kriteria Imamah dan Khilafah. Abu Muslim maka menominasikan Abul Abbas sebagai khalifah Abbasiyah pertama di Kufah pada tanggal 13 Rajab, 132 AH atau tanggal 25 November, 749 dan era Abbasiyah dimulai.

Marwan akhirnya khawatir akan perkembangan ini dan maju menuju Irak dengan kekuatan 120.000 tentara. Marwan adalah seorang prajurit yang cakap, tetapi ia juga impulsif dan keras kepala. Lawannya adalah tentara Abbasiyah sebanyak 100.000 orang  dipimpin oleh Abdullah bin Ali dan Jenderal yang cakap Abu  Ayun. Kedua tentara bertemu di tepi Sungai Zab di Irak dekat desa Kushaf pada tanggal 25 Januari 750. Marwan yang impulsif membangun sebuah jembatan menyeberangi sungai dan maju untuk bertemu dengan musuh, kesalahan taktis yang menyebabkan dia tidak ada kesempatan untuk mundur. Abbasiyah, terdorong oleh rasa kesedihan dan balas dendam, menyerang. Takdir menentukan. Ketika Marwan turun, kudanya lari tanpa dirinya. Ketika mereka melihat kuda tanpa penunggangnya, pasukan Marwan mengasumsikan bahwa ia telah terbunuh. Ini adalah kemenangan yang lengkap. Marwan lari ke Mosul tetapi kota itu tidak akan membukakan pintunya untuknya. Dia melanjutkan pelarian ke arah barat ke arah Damaskus, mencoba untuk mendapatkan tentara lain. Tetapi Abbasiyah sedang dalam perburuan yang panas. Abdullah bin Ali mengikutinya dari kota ke kota. Damaskus diserbu dan direbut pada bulan April 750. Marwan menyeberang ke Mesir dan mencapai Fustat (Kairo modern). Abdullah bin Ali mengutus saudaranya Saleh dan Jenderal Abu Ayun untuknya. Marwan berpikir untuk memohon bantuan Bizantium Kristen tetapi dicegah dari upaya ini oleh letnan-letnannya yang tidak akan menerima campur tangan eksternal dalam perang sipil ini. Akhirnya ia terpojok di sebuah biara yang ditinggalkan di tepi barat Sungai Nil. Tanpa gentar, ia melawan, pedang di tangan, siap untuk memberikan perlawanan dan terbunuh oleh sebuah tombak yang dilemparkan oleh seorang tentara Abbasiyah. Maka tewaslah keturunan terakhir dari Umayyah yang perkasa. Marwan adalah seorang prajurit yang cakap. Bila takdir lebih ramah kepadanya, ia mungkin akan unggul sebagai penguasa. Tetapi ia datang di atas panggung sejarah pada saat ia memiliki kesempatan nol untuk menunjukkan kemampuannya.

Abbasiyah menghidupkan sumpah mereka untuk membalas dendam pada Umayyah. Sebuah regim teror telah hilang. Para pria Umayyah diburu seperti kelinci dan dibantai. Hanya laki-laki tua, wanita dan anak-anak yang terhindar. Tulang-tulang para penguasa Umayyah (kecuali Umar bin Abdul Aziz) digali dan dibakar. Di Damaskus, Abdullah bin Ali, membujuk delapan puluh pangeran Umayyah untuk makan malam dengan dalih amnesti. Ketika para pangeran duduk, mereka diikat dengan tali, dibungkus di dalam karpet dan dipukuli sampai mati.

Tetapi seperti pohon-pohon tua yang mati dan dalam kebangkitan mereka pohon-pohon baru tumbuh dari benih-benih mereka, dinasti lama mati dan di tempat mereka dinasti baru muncul. Ketika para pangeran Umayyah diburu dari tempat ke tempat, tiga dari mereka mencapai sungai Efrat. Setelah mendengar berita tentang amnesti, dua dari mereka berbalik kembali dan ditangkap dan dibunuh. Tetapi satu pangeran gagah berani, Abdur Rahman I, menceburkan dirinya ke sungai. Tak gentar oleh arus deras, ia berenang menyeberang dan setelah bertahun-tahun berjalan dalam penyamaran, ia tiba di Spanyol. Di sana, ia diterima dengan senang hati oleh sisa-sisa dari Umayyah dan mendirikan dinasti Umayyah di Andalusia. Inilah dinasti yang tumbuh pada abad kemudian menjadi mercusuar dari budaya dan ilmu di Eropa. Di bawah garis keturunan Abdur Rahman, Andalus menjadi sebuah mahkota perhiasan dari peradaban Islam.




Sumbangan dari Prof. Dr. Nazeer Ahmed, Phd.

Temukan artikel lainnya di http://www.lintas-islam.blogspot.com

Untuk bergabung dengan group Lintas Islam, click http://groups.yahoo.com/group/lintas-islam/join; atau kirim email kosong ke alamat: lintas-islam-subscribe@yahoogroups.com

0 komentar: