Senin, 16 Januari 2012

Umar bin Abdul Azis


Islam, berarti menyerah kepada kehendak Tuhan, adalah ide yang kekal. Muslim menyatakan bahwa itu adalah iman murni manusia, dianut oleh manusia yang pertama diciptakan, Adam dan Hawa dan dikonfirmasi oleh Rasul Allah, termasuk di antaranya, Nuh, Ibrahim, Musa, Yesus dan Muhammad. Islam memberikan tantangan bagi komunitas orang beriman untuk menciptakan masyarakat yang "memerintahkan apa yang benar, melarang apa yang salah dan beriman kepada Tuhan". Sejarah Islam adalah perjuangan abadi untuk memenuhi tantangan ini dalam matriks urusan manusia. Perjuangan ini terus menerus dan tanpa henti. Muslim selama berabad-abad telah berjuang untuk menemukan kembali sumber air dari mana Nabi minum. Korupsi yang muncul ke permukaan sejalan dengan waktu ditantang lagi dan lagi dan usaha badaniah telah dilakukan dalam memperbaharui iman. Oleh karena itu, gerakan pembaharuan dalam Islam menyediakan tolok ukur dari mana peristiwa sejarah berikutnya dapat diukur dan dipahami.

Umar bin Abdul Aziz, juga dikenal dalam sejarah sebagai Umar II, adalah Emir pembaharu pertama dalam sejarah Islam. Setelah Muawiyah, karakter Khilafah berubah dan pemerintahan dinasti didirikan. Korupsi dari Bani Umayyah mencapai puncaknya pada peristiwa Karbala. Para Bani Umayyah membangun istana yang mewah, mengelilingi diri mereka dengan pelayan dan pembantu, mengakumulasi perkebunan besar, memperlakukan perbendaharaan publik sebagai gudang harta rahasia mereka dan hidup bagai pangeran dan raja. Tidak ada akuntabilitas atas kekayaan mereka atau atas tindakan-tindakan mereka. Rakyat tidak diperbolehkan mengatakan sesuatu dalam urusan negara. Khalifah tidak dicalonkan tidak juga bisa dipertanyakan. Orang-orang ada di sana hanya untuk mematuhi orang kuat, membayar pajak dan mengabdi dalam angkatan bersenjata.

Umar bin Abdul Aziz menjadi Emir oleh suatu kebetulan dalam sejarah. Ketika Emir Umayyah Sulaiman (714-717) terbaring di ranjang kematiannya, ia disarankan bahwa ia bisa mencari keridhaan Allah dengan mengikuti contoh dari khalifah-kalifah awal dan mencalonkan seseorang selain dari salah satu anaknya sendiri sebagai Emir berikutnya. Karena itu ia mendiktekan dalam surat wasiatnya bahwa Umar bin Abdul Aziz, seorang sepupu jauh, untuk menggantikannya dan Umar bin Abdul Aziz akan diikuti oleh Yazid bin Abdul Malik. Umar bin Abdul Aziz adalah seorang lelaki yang telah terpoles dan berpengalaman, setelah menjabat sebagai gubernur Mesir dan Madinah selama lebih dari dua puluh dua tahun. Dia telah dididik dan dilatih oleh seorang ulama terkenal pada masanya, Saleh bin Kaisan. Sebelum keterikatannya kepada kekhalifahan, Umar bin Abdul Aziz adalah seorang pemuda yang gagah, menyukai fashion dan wewangian. Tetapi ketika ia menerima tanggung jawab kekhalifahan, beliau terbukti menjadi khalifah yang paling saleh, paling mampu, berpandangan jauh dan paling bertanggung jawab dari semua Emir Umayyah.

Memang, Umar bin Abdul Aziz bekerja untuk mereformasi bangunan politik, keseluruhan sosial dan budaya masyarakat dan untuk membawa kembali nilai-nilai transendental yang telah memerintah negara Islam pada masa awal pertumbuhannya. Beliau memulai dengan menetapkan contoh yang baik pada dirinya sendiri. Ketika berita sampai kepadanya mengenai nominasi untuk kekhalifahan, beliau berbicara kepada orang-orang, "Wahai manusia! Tanggung jawab kekhalifahan telah dipercayakan kepadaku tanpa kehendakku atau persetujuan kalian. Jika kalian memilih untuk memilih orang lain sebagai khalifah, aku akan segera menyingkir dan akan mendukung keputusan kalian". Perkataan seperti itu memberikan nafas yang segar kepada publik. Mereka dengan suara bulat memilihnya.

Umar bin Abdul Aziz meninggalkan gaya hidup mewahnya dan mengambil kehidupan yang sangat asketis mengikuti contoh dari Abu Dzar Al Ghifari, seorang sahabat Nabi yang terkenal. Abu Dzar dikenal dalam sejarah sebagai salah satu dari para mistikus awal dan para Sufi dalam Islam yang pensiun dari kehidupan publik di Madinah selama periode Utsman RA dan tinggal di sebuah pertapaan agak jauh dari ibukota. Umar bin Abdul Aziz membuang semua perlengkapan kesombongan dari kehidupan seorang pangeran - pembantu-pembantu, budak-budak, pelayan-pelayan, kuda-kuda, istana-istana, jubah emas dan tanah-tanah perkebunan - dan mengembalikannya ke perbendaharaan negara. Keluarga dan kerabat diberikan perintah yang sama. Kebun Fidak merupakan contoh yang baik. Ini adalah rumpun pohon palem yang dimiliki oleh Nabi. Putri Nabi Fatimah telah meminta kebun ini sebagai pusakanya, tetapi Nabi menolak dan mengatakan bahwa apa yang dimiliki oleh Nabi adalah milik seluruh masyarakat. Fatimah telah mengajukan klaimya sebelumnya kepada Abu Bakar RA, tetapi Abu Bakar RA telah menolak permintaannya dan mengatakan bahwa ia tidak dapat menyetujui sesuatu yang Nabi tidak menyetujuinya. Setelah kekhalifahan Ali RA, Fidak telah dijadikan sebagai perkebunan pribadi Bani Umayyah. Umar mengembalikan Fidak ke perbendaharaan umum, sebagai kepercayaan bagi seluruh masyarakat.

Para Bani Umayyah tidak memiliki akuntabilitas ke perbendaharaan negara. Untuk mendukung gaya hidup mewah mereka, mereka menarik pajak yang besar dari Persia dan Mesir. Mereka memaksa para pedagang untuk menjual barang dagangan mereka pada harga diskon. Emir yang ditunjuk menerima hadiah emas dan perak sebagai imbalan atas bantuannya. Umar membalikkan proses itu. Umar menghapuskan praktek-praktek seperti itu, menghukum pejabat-pejabat yang korup dan menegakkan akuntabilitas yang ketat.

Beberapa pejabat Umayyah, yang mabuk dengan kekuasaan, menganiaya masyarakat yang ditaklukkan. Seringkali, harta mereka disita tanpa proses hukum. Bertentangan dengan perintah-perintah syariah, meskipun orang-orang di wilayah-wilayah baru telah memeluk agama Islam, mereka diharuskan untuk terus membayar Jizyah. Mereka yang menolak untuk membayar pajak dikenakan hukuman berat. Umar menghapuskan praktek-praktek tersebut dan menegakkan keadilan dalam pengumpulan pajak. Hilang sudah penindasan Hajjaj di Irak dan Qurrah bin Syarik di Mesir. Rakyat tanggap dengan dukungan antusias dari Khalifah baru. Produksi meningkat. Ibn Katsir mencatat bahwa berkat reformasi yang dilakukan oleh Umar, pendapatan tahunan dari Persia saja meningkat dari 28 juta dirham menjadi 124 juta dirham.

Mengikuti contoh Nabi, Umar bin Abdul Aziz mengirim utusan ke Cina dan Tibet, mengajak para penguasa mereka untuk memeluk Islam. Adalah selama masa Umar bin Abdul Aziz bahwa Islam mengakar dan diterima oleh segmen besar dari penduduk Persia dan Mesir. Ketika para pejabat mengeluhkan bahwa karena kepindahan ke agama Islam, pendapatan negara dari jizyah mengalami penurunan tajam, Umar mengirim surat jawaban mengatakan bahwa ia telah menerima kekhalifahan untuk mengajak orang ke dalam Islam dan bukan untuk menjadi seorang pemungut pajak. Masuknya orang-orang non-Arab dalam jumlah besar ke dalam agama Islam telah menggeser pusat gravitasi kerajaan dari Madinah dan Damaskus ke Persia dan Mesir. Seperti yang akan kita bahas di bab berikutnya, perkembangan ini memiliki konsekuensi jauh kemudian pada saat revolusi Abbasiyah (750) dan evolusi dari mazhab Fiqh (760-860).

Umar bin Abdul Aziz adalah seorang ulama kelas tinggi dan mengelilingi dirinya dengan ulama besar seperti Muhammad bin Ka'b dan Maimun bin Mehran. Dia memberikan tunjangan untuk guru dan mendorong pendidikan. Melalui contoh dirinya sendiri, ia menanamkan kesalehan, ketabahan, etika bisnis dan kejujuran moral pada masyarakat umum. Reformasinya termasuk penghapusan secara ketat minuman keras, melarang ketelanjangan di depan publik, penghapusan kamar mandi campur untuk pria dan wanita dan dispensasi yang adil atas Zakat. Beliau melakukan pekerjaan umum yang luas di Persia, Khurasan dan Afrika Utara, termasuk pembangunan kanal, jalan, rumah-rumah istirahat bagi wisatawan dan apotik medis.

Umar bin Abdul Aziz adalah khalifah pertama yang membentuk komisi penerjemahan Al Quran dari bahasa Arab ke bahasa lain. Atas permintaan Raja Sindh (Pakistan modern), Umar bin Abdul Aziz menerjemahkan Al-Qur'an ke dalam bahasa Sindhi kuno dan telah dikirimkan ke Raja (718 CE). Untuk menempatkan peristiwa ini dalam konteks sejarah, hal ini terjadi selama waktu sepuluh tahun penaklukan Sindh dan Multan oleh Muhammad bin Qasim dan penaklukan Spanyol oleh Tariq dan Musa.

Umar bin Abdul Aziz juga merupakan Emir pertama yang mencoba untuk melakukan rujuk atas perbedaan antara politik dan agama di kalangan umat Islam. Sejak saat Muawiyah, sudah menjadi adat bagi para khatib untuk menghina nama Abu Ali bin Thalib Kwh di dalam khotbah-khotbah Jumat. Umar bin Abdul Aziz menghapuskan praktek menjengkelkan ini dan menggantikannya dengan ayat berikut dari Qur'an yang harus dibaca sebagai gantinya: "Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran." (Al Qur'an, 16:90). Bagian ini masih dibacakan dalam khotbah Jumat di seluruh dunia. Beliau memperlakukan Bani Hasyim dan Syiah dengan keadilan dan martabat. Beliau bahkan mengulurkan tangan untuk kaum Khawarij. Menurut Ibnu Katsir, beliau menulis kepada pemimpin Khawarij Bostam, mengajaknya untuk berdiskusi terbuka tentang kekhalifahan Utsman RA dan Ali RA. Dia bertindak lebih jauh dengan menetapkan bahwa bila Bostam dapat meyakinkannya, Umar bersedia untuk bertobat dan mengubah cara hidupnya. Bostam mengirim dua utusan nya ke khalifah. Selama diskusi, salah satu utusan menerima bahwa Umar benar dan meninggalkan ekstremisme Khawarij. Yang lainnya tidak dapat diyakinkan. Meskipun demikian, Khalifah tidak menganiaya orang itu.

Umar bin Abdul Aziz adalah penguasa Muslim pertama yang mengganti wacananya dari penaklukan eksternal kepada kebangkitan internal. Dia memanggil pasukannya dari perbatasan-perbatasan Perancis, India dan pinggiran Konstantinopel. Ada sedikit pemberontakan internal dan gangguan selama kekhalifahannya. Islam sejenak memiliki cakrawala berpaling kepada jiwa sendiri, untuk merenungkan kondisi historisnya dan mengisi kekosongan moralnya. Iman berkembang, seperti pada periode Umar ibn al Khattab RA. Berdasarkan alasan-alasan ini, sejarawan merujuk Umar bin Abdul Aziz sebagai Umar II dan mengklasifikasikan beliau sebagai khalifah kelima yang mendapat petunjuk (Khulafa ur Rashidin - pen), setelah Abu Bakar RA, Umar RA, Utsman RA dan Ali RA.

Tetapi keserakahan tidak menyerah kepada iman tanpa pertempuran. Reformasi Umar II sudah terlalu banyak bagi para Bani Umayah yang tidak puas dan para pedagang kaya. Umar II diracuni dan ia meninggal pada tahun 719, setelah pemerintahan yang berlangsung hanya dua setengah tahun. Ia berusia tiga puluh sembilan tahun pada saat kematiannya. Dan bersamanya matilah kesempatan terakhir bagi kekuasaan Umayyah.





Disumbangkan oleh Prof. Dr. Nazeer Ahmed, PhD

Temukan artikel lainnya di http://www.lintas-islam.blogspot.com 

Untuk bergabung dengan group Lintas Islam, click http://groups.yahoo.com/group/lintas-islam/join; atau kirim email kosong ke alamat: lintas-islam-subscribe@yahoogroups.com

0 komentar: