Selasa, 07 Februari 2012

Manfaat Menuntut Ilmu

Manfaat Menuntut Ilmu

Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan kejadian-kejadian yang akan menimpa umatnya di akhir zaman, dan tentunya beliau pun telah memberikan bimbingan untuk umatnya dalam menghadapi fitnah dan kerusakan-kerusakan yang terjadi di zaman itu, karena beliau adalah seorang Nabi yang sangat sayang kepada umatnya, Allah Ta’alaberfirman,

لَقَدْ جَآءَكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَاعَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ
Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berta terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (hidayah) bagimu, amat belas kasih lagi penyayang kepada orang-orang mu’min.” (QS. At Taubah : 128)
Di antara bimbingan yang telah Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam berikan kepada umatnya yang akan hidup di akhir zaman adalah:

Menuntut Ilmu Allah

Telah kita sebutkan pada tulisan sebelumnya tentang datangnya zaman yang penceramahnya banyak dan ulamanya sedikit dimana menuntut ilmu di zaman tersebut lebih baik dari beramal. Dan telah datang zamannya sebagaimana yang dikabarkan oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, kita lihat para penceramah sangat banyak bahkan diadakan kursus-kursus untuk menjadi khathib Jumat dalam waktu yang singkat dan menjadi sebab banyaknya penceramah, sementara ulamanya sangat sedikit.
Maka di zaman ini menuntut ilmu lebih baik dari beramal, namun bukan maksudnya ilmu tersebut tidak diamalkan karena ini akan menjadi bumerang untuk pemiliknya pada hari kiamat. Dengan ilmu kita dapat mengetahui suatu fitnah yang datang, kemudian mengambil sikap yang benar sesuai dengan tuntunan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga kita pun selamat dan tidak menjadi penyebab semakin tersulutnya api fitnah.
Kita yang hidup di zaman ini seringkali mendapatkan peristiwa-peristiwa memilukan yang menimpa umat Islam yang membuat hati kita panas bercampur geram. Keadaan ini merupakan cobaan untuk para penuntut ilmu untuk segera menilai dengan keilmuan yang dalam bukan sebatas semangat yang membabi buta, agar tidak menimbulkan madharat yang lebih besar untuk Islam dan kaum muslimin.
Seorang penuntut ilmu tidak mudah tertipu dengan berita dan kabar yang disiarkan dalam sebuah media, lebih-lebih media-media di zaman ini telah dikuasai kaum kuffar terutama Yahudi -semoga Allah menghancurkan mereka-.
Orang yang membaca kisah terbunuhnya Utsman bin Affan akan mengambil pelajaran berharga darinya, bagaimana sang Yahudi yang bernama Abdullah bin Saba pura-pura masuk Islam dan melakukan konspirasi besar untuk menghancurkan khilafah Utsman dengan memprovokasi masa dan membakar perasaan mereka melalui kabar-kabar yang dipalsukan. Ini menjadikan kita lebih berhati-hati dan tidak gegabah dalam menerima berita dari media.

Manfaat Menuntut Ilmu
Dengan menuntut ilmu, seorang hamba memperhatikan berbagai macam sisi kemashlahatan dan kemadharatan yang akan timbul dan membaca situasi dan kondisi kaum muslimin di zaman ini sebelum mengambil sikap, cobalah renungkan apa yang dikatakan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah ketika beliau membahas tentang hikmah adanya ayat makkiyah dan madaniyah:
“Ayat-ayat makkiyah itu berlaku untuk setiap mukmin yang lemah untuk menolong Allah dan Rasul-Nya sesuai dengan kemampuan yang ada yaitu hati dan yang semisalnya dan ayat-ayat yang menyuruh meremehkan kaum mu’ahadin (orang-orang kafir) berlaku pada setiap mukmin yang kuat dan mempunyai kemampuan untuk membela Allah dan Rasul-Nya dengan tangan dan lisannya. Dengan ayat-ayat seperti ini kaum muslimin mempraktikannya di akhir usia Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dan di zaman khulafa rasyidin.
Barang siapa yang berada di suatu negeri atau waktu ia menjadi lemah, hendaklah ia mempraktikan ayat-ayat sabar dan memaafkan orang yang mengganggu Allah dan Rasul-Nya dari kalangan ahli kitab dan kaum musyrikin. Adapun kaum muslimin yang mempunyai kekuatan, hendaknya mereka mempraktikan ayat-ayat yang memerintahkan untuk memerangi para imam kekafiran yang ingin merusak agama, dan memerangi ahli kitab sampai mereka memberikan jizyah dalam keadaan mereka terhina.”(Ash Shorimul Maslu,lHal. 221).[1]
Syaikh Muhamad bin Jamil Zainu hafizhahullah berkata, “Yang menguatkan pendapat Syaikhul Islam adalah firman Allah Ta’ala,
قُل لِّلَّذِينَ ءَامَنُوا يَغْفِرُوا لِلَّذِينَ لاَيَرْجُونَ أّيَّامَ اللهِ لِيَجْزِيَ قَوْمًا بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
Katakanlah kepada orang-orang yang beriman hendaklah mereka memaafkan orang-orang yang tidak takut akan hari-hari Allah, karena Dia akan membalas suatu kaum terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al Jatsiyah: 14).
Allah menyuruh kaum muslimin yang lemah itu agar memaafkan orang-orang kafir yang menyakiti mereka dan jangan membalasnya dengan perbuatan yang semisal dan ini menunjukkan bahwa memberi maaf dalam keadaan kaum muslimin lemah adalah disyariatkan.
Andaikan jamaah-jamaah Islam di zaman ini mempraktikan apa yang ada di dalam Alquran yang menyeru kepada sikap sabar dan memaafkan sampai Allah mendatangkan pertolongannya.”[2]
Dengan menuntut ilmu seorang hamba berusaha memahami hakikat sesuatu sebelum memberikan vonis kepadanya atau kepada jamaah tertentu, mengamalkan sebuah kaidah : “Al Hukmu ‘ala syain far’un ‘an tashowwurihi“. Artinya menghukumi sesuatu itu mengikuti pemahaman tentang hakikat sesuatu tersebut.
Contohnya apabila kita ingin menghukumi suatu jamaah, apakah ia sesat atau tidak, maka kita wajib mengetahui hakikat jamaah tersebut; bagaimana aqidah dan manhajnya? bagaimana pokok-pokok pemikirannya? Agar kita tidak menuduh suatu kaum dengan kebodohan yang akibatnya akan menimbulkan penyesalan.
Demikian pula apabila kita ingin mengetahui hukum jual beli murabahah misalnya, maka kewajiban kita adalah memahami dahulu hakikat murabahah secara jelas bagaimana tata caranya, kemudian melihat dalil-dalil syariat dan fatawa para ulama, sehingga kita tidak salah dalam memvonis sesuatu.
Dengan menuntut ilmu, seorang hamba dapat mengetahui kapan dan kepada siapa ia berbicara, karena tidak semua ilmu yang kita ketahui dapat kita sampaikan kepada setiap orang, Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata, “Tidaklah engkau mengajak bicara suatu kaum dengan sesuatu yang tidak dipahami oleh akal mereka kecuali akan menjadi fitnah untuk sebagian mereka.”[3]
Abu Hurairah berkata, “Aku hafal dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dua bejana, yang satu bejana aku sampaikan dan yang satu lagi apabila aku sampaikan maka tenggorokanku akan diputus.”[4]
Yang disembunyikan oleh Abu Hurairah adalah hadis-hadis mengenai fitnah dan hadis-hadis tentang Bani Umayah, sengaja Abu Hurairah tidak sampaikan agar tidak menimbulkan fitnah dan perpecahan karena orang-orang pada waktu itu kembali bersatu di bawah kepemimpinan Mu’awiyah bin Abu Sufyan.
Menyembunyikan ilmu bila dikhawatirkan timbulnya madharat yang lebih besar adalah perkara yang diidzinkan oleh syariat. Sebagaimana di sebutkan dalam hadis Mu’adz bin Jabal bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya,
يَا مُعَاذُ تَدْرِي مَا حَقُّ اللَّهِ عَلَى الْعِبَادِ وَمَا حَقُّ الْعِبَادِ عَلَى اللَّهِ قَالَ قُلْتُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ فَإِنَّ حَقَّ اللَّهِ عَلَى الْعِبَادِ أَنْ يَعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا يُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَحَقُّ الْعِبَادِ عَلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ أَنْ لَا يُعَذِّبَ مَنْ لَا يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلَا أُبَشِّرُ النَّاسَ قَالَ لَا تُبَشِّرْهُمْ فَيَتَّكِلُوا
“Wahai Mu’adz, tahukah engkau apa hak Allah atas hamba-Nya dan apa hak hamba atas Allah? Aku berkata, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Beliau bersabda, “Hak Allah atas hamba adalah hendaklah mereka menyembah Allah saja dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan hak hamba atas Allah adalah bahwa Allah tidak akan mengadzab orang yang tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun.”
Aku berkata, “Wahai Rasulullah, bolehkah aku memberi kabar gembira (dengan hadis ini)?” Beliau bersabda, “Jangan, karena khawatir mereka hanya bersandar dengan ini saja (tidak mau beramal).” (HR Bukhari dan Muslim)[5]
Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengidzinkan Mu’adz untuk mengabarkannya kepada orang lain karena khawatir akan menimbulkan madharat yang lebih besar yaitu akan dipahami oleh orang-orang yang bodoh dengan pemahaman yang salah yaitu cukup bagi seseorang tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatu pun dan meninggalkan beramal shalih karena sebatas mengandalkan hadis ini saja. Berbeda jika madharat yang timbul adalah cercaan dan makian manusia akibat kita menyampaikan kebenaran, maka kita tetap diperintahkan menyampaikannya dan tidak perlu takut dengan cercaan orang yang mencerca.
Penulis Ustadz Abu Yahya Badrusalam
Artikel www.cintasunnah.com

[1] Kaifa Nafhamul Qur’an, Hal 32.
[2] Idem.
[3] HR. Muslim dalam muqadimah shahihnya.
[4] HR Bukhari no.120.
[5] Bukhari no.2856 dan Muslim 1:55 no. 30.

0 komentar: