Minggu, 26 Februari 2012

Menuai Pahala Tak Terbatas dengan Sabar

Kadang terdengar keluhan dari para suami tentang istri-istri mereka terutama yang mempunyai anak yang masih kecil, tatkala mereka sedang mengalami sebuah ujian dari Alloh Ta’ala yang ditimpakan kepada anaknya, seperti ketika anaknya bandel, sedang sakitdan semisalnya, maka terdengarlah ucapan-ucapan yang apabila direnungkan, siapa saja yang mengatakannya akan menyesal, seperti ucapan ”Aku menyesal punya anak!” atau ”Kalau repot begini lebih baik tidak punya anak!” atau ”Kalau repot begini satu anak saja cukup!” dan ungkapan-ungkapan semisal.
Ungkapan-ungkapan di atas sebenarnya menyelisihi ajaran Agama Islam, sebab utamanya lantaran kurangnya kesabaran seorang ibu terhadap segala yang menimpa pada diri dan anaknya, padahal sabar adalah satu sifat yang terpuji dalam Islam dan suatu perangai selalu dianjurkan bagi setiap muslim, baik sabar dalam menjalankan ketaatan, sabar menahan diri dari kemaksiatan dan sabar menerima cobaan.
Allah Ta’ala berfirman :
Dan bersabarlah dirimu bersama orang-orang yang menyeru kepada tuhannya di pagi dan senja hari hanya mengharap wajah-Nya. (al-Kahfi [18] : 28).
Sebagai kaum wanita membantah dengan berkata ”Sabar ada batasnya, sebagai manusia, wajar suatu saat terucap kata-kata seperti itu.” Maka kita katakan bahwa sabar tidak lain hanya berkisar pada masalah menahan diri, yaitu dari hati yang sedang murka[1], dari lisan yang berkata kotor[2], dan dari anggota badan (seperti tangan) dari berbuat aniaya[3] (baik terhadap diri sendiri atau orang lain)[4].
Dari definisi sabar di atas, memang kadang terasa berat dilakukan tetapi semuanya menjadi ringan kalau dikembalikan kepada buah yang timbul dari kesabaran, sebagaimana pepatah mengatakan[5] :
Dan sabar itu sama seperti namanya yang pahit dirasa
Akan tetapi akibatnya lebih manis daripada madu
SABAR BERISTIQOMAH DALAM MENDIDIK ANAK
Hakikat sabar adalah kemampuan menahan diri untuk terus-menerus melaksanakan perbuatan yang dianjurkan dan menahan diri dari suatu yang tidak layak dilakukan, sehingga segala urusan menjadi baik[6].
Dan perintahkan keluargamu untuk melaksanakan sholat dan bersabarlah atasnya! (QS. Thoha [20] : 132)
Seyogyanya kita mengikuti jejak para Nabi ‘alaihis salam dan orang-orang sholih terdahulu dalam kesabaran anak-anaknya.
Dengarlah Luqman al-Hakim yang selalu menasehati anaknya supaya menjaga kesempurnaan tauhid, menjauhi segala bentuk kesyirikan, mengajari berbakti kepada orang tua, menanamkan keyakinan bahwa Allah selalu  mengawasi hamba-Nya (muroqqobah), memerintahkan sholat dan amar makruf nahi mungkar, sabar terhadap segala musibah, menghilangkan sifat sombong, dan selalu sederhana dalam menjalani kehidupan (lihat QS. Luqman [20] : 12-18).
SABAR KETIKA ANAK SEDANG SAKIT
Allah Ta’ala selalu menguji seorang hamba dengan ujian yang beragam sesuai dengan hikmah-Nya baik berupa sesuatu yang disenangi atau dibenci[7]. Sudah menjadi sunnatulloh, bahwa suatu ketika seorang anak akan mengalami sakit, semua cobaan bukanlah sia-sia, karena disinilah ladang pahala bagi orang tua yang bersabar merawatnya dan berharap pahala dari Allah berupa pahala yang berlipat ganda, bahkan ujian tersebut sebagai penghapus dosa, sebagaimana dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
Senantiasa orang mu’min laki-laki dan perempuan ditimpa ujian baik pada diri-diri mereka, anak-anaknya atau pada hartanya, sehingga berjumpa Alloh dalam keadaan bersih dari dosa. (Dishohihkan oleh al-Albanirahimahullah dalam Shohih al-Jami’ no. 5815).
Wahai para orang tua, ketahuilah bahwa semua cobaan datangnya dari Alloh, janganlah putus asa menghadapi cobaan, betapa banyak mereka yang sakitnya lebih parah, tetapi mereka masih diberi umur yang panjang, sebaliknya, betapa banyak anak yang sehat, tetapi tanpa diketahui sebab yang jelas, tiba-tiba Alloh mengambil mereka dari orang tuanya, ini menunjukkan bahwa ajal sudah ditentukan oleh Yang Maha Kuasa.
Utusan Allah Ta’ala Nabi Ayyub ‘alaihis salam ketika ditimpa musibah berupa penyakit yang sangat parah, beliau selalu berdoa kepada Allah yang Maha Pengasih dan yang menyembuhkan segala penyakit.
Demikian juga Nabi kita Shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu berwasiat kepada siapa saja yang ditimpa musibah supaya bersabar dan berharap pahala dari Allah, sebagaimana sabdanya terhadap seorang wanita yang sedang ditimpa musibah berupa kematian :
Hendaknya dia bersabar (atas musibah) dan berharap pahala (dari Allah)”[8]
SABAR KETIKA ANAKNYA MENINGGAL DUNIA
Termasuk salah satu tanda-tanda orang yang mendapatkan taufiq dan kemenangan di sisi Alloh adalah seorang yang sabar terhadap sesuatu yang menyakitinya, dan selalu lembut dalam menghadapi segala persoalan, AllahTa’ala berfirman :
Wahai orang-orang yang beriman bersabarlah dan kuatkanlah kesabaranmu, dan tetaplah bersiap siaga, dan bertakwalah kepada Alloh supaya kamu menang/beruntung. (QS. Ali Imron 200)[9]
Ibnu Katsir rahimahullah berkata : ”Barangsiapa yang ditimpa musibah, kemudian dia yakin itu semua adalah keputusan dan takdir Allah, lalu bersabar dan menerimanya dengan lapang dada, maka pasti Allah mengganti apa yang tidak didapati di dunia dengan petunjuk dalam hatinya yang lebih baik berupa keyakinan dan sifat jujur, atau (kalau tidak demikian), maka pasti Allah Ta’ala akan menukar yang tidak didapatinya dengan suatu ganti yang lebih baik lagi”[10].
Oleh karenanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajari kita cara mendapatkan salah satu ganti yang lebih baik tersebut dengan mengucapkan do’a setelah tertimpa musibah sebagai berikut :
”Sesungguhnya kami milik Allah, dan sesungguhnya kami kembali kepada Allah, Ya Allah berilah aku pahala atas musibah ini, dan gantilah untukku dengan (ganti) yang lebih baik darinya”.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan keutamaan do’a ini dengn sabdanya : ”Seorang muslim apabila tertimpa musibah, lalu mengucapkan do’a tersebut, pasti akan diganti oleh Allah Ta’ala dengan ganti yang lebih baik lagi” (HR. Muslim dengan Syarah Imam Nawawi 3/475).
Do’a ini telah dibuktikan oleh salah seorang sahabat wanita yang bernama Ummu Salamah radhiyallahu ‘anhayang tertimpa musibah, tatkala Abu Salamah (suaminya) meninggal, beliau teringat do’a tersebut, lalu diucapkanlah do’a ini walaupun hatinya mengatakan bahwa tiada lagi yang lebih baik dari Abu Salamah lantaran dia seorang sahabat ternama dan orang yang pertama kali hijrah ke Madinah membawa keluarganya. Akan tetapi setelah Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha mengucapkan do’a tersebut, tak lama kemudian datanglah utusan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepadanya melamar dirinya buat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan akhirnya menjadilah Ummu Salamah sebagai istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ummul mu’minin, dan Allah Ta’ala mengganti kematian suaminya dengan kehadiran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lebih baik dari Abu Salamah (HR. Muslim dengan Syarah Imam Nawawi 3/475).
KEMATIAN ANAK MENGANTARKAN ORANG TUANYA KE SURGA
Sesungguhnya anak adalah sebuah musibah bagi orang tuanya, akan tetapi bagi yang bersabar dan mengharap pahala dari Allah Ta’ala, niscaya dia mendapatkan pahala, bahkan anak yang gugur dari perut ibunya menjadi pahala yang besar bagi orang tuanya yang sabar atas musibah ini, sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
Demi Dzat yang diriku berada ditangan-Nya, sungguh anak yang gugur dari perut ibunya akan menarik ibunya ke dalam surga dengan tali pusarnya apabila (ibunya) mengharap pahala dari Alloh. (HR. Ibnu Majah no. 1609, dan dishohihkan oleh al-Albani rahimahullah dalam Shohih at-Targhib wa at-Tarhib no. 2008).
Dalam sabda Roasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
Anak-anak kalian (yang meninggal) adalah para pelayan di surga, yang berjumpa dengan ayahnya lalu menarik kainnya dan tidak henti-hentinya sampai Allah memasukkannya bersama ayahnya ke surga” (HR. Muslim 8/41, Ahmad 2/488, dan lihat Silsilah Shohihah no. 431).
Dalam hadits yang lain disebutkan (yang artinya) : dari Qurroh al-Muzani, bahwasanya seorang laki-laki datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama anaknya, lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya, ”Apakah engkau mencintai dia (anakmu) ?” Dia menjawab, ”Wahai Rasulullah, Alloh mencintaimu, sebagaimana aku mencintai dia (anakku)” Kemudian (tidak lama lagi) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menjumpai anak tersebut, lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya (kepada para sahabat) : ”Ada apa dengan anak fulan ?” Mereka menjawab, ”Telah meninggal wahai Rasulullah.” Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (kepada laki-laki itu) : ”Apakah engkau tidak mau, tatkala engkau mendatangi salah satu pintu surga, engkau menjumpai anakmu telah menunggumu di pintu surga itu ?” Lalu ada orang lain berkata,”Wahai Rasulullah apakah ini khusus (buat si fulan) atau buat kita semua ?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ”Bahkan buat kalian semua.”[11]
Apabila anak yang meninggal lebih dari satu, maka anak-anak tersebut menjadi penghalang orang tuanya dari api neraka, sebagaimana sabdanya :
”Tidaklah ada diantara kalian wahai wanita yang meninggal dunia tiga orang anaknya, kecuali (anak-anak tersebut) menjadi penghalangnya dari api neraka.” Lalu seorang wanita berkata, ”Bagaimana kalau dua anak (yang meninggal) ?” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ”Demikian juga dua.”[12]
Demikianlah kondisi seorang muslim harus senantiasa sabar menghadapi segala cobaan dan musibah baik berupa harta, jiwa dan raga, karena semuanya hanya milik Alloh, kembali kepada-Nya, dan dengan takdir dan ketentuan-Nya.
Ustadz Abu Ibrohim Muhammad Ali
Sumber: Majalah AL FURQON edisi 10 thn 6 Jumadil Ula 1428H

Artikel: www.ibnuabbaskendari.wordpress.com

[1]   Seperti murka dan marah terhadap Sang Pencipta yang memberinya ujian.
[2]   Seperti yang dilakukan oleh orang-orang jahiliyyah ketika meratapi musibahnya dengan berteriak histeris, menangis berlebihan dan semisalnya, dan memanggil-manggil mayat yang telah meninggal.
[3]   Seperti menampar pipi, merobek pakaian, merusak benda-benda yang dimilikinya dan semisalnya.
[4]   Huquq al-Abna’ alal ‘Aba’ hal. 397.
[5]   Al-Qoulul Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid hal. 215.
[6]   Huquq al-Abna’ ‘alal’ ‘aba’ hal. 397.
[7]   Seperti dalam QS. al-Baqoroh [2] : 155.
[8]   HR. Bukhari no. 1284, dan Muslim no. 923.
[9]   Adabud Dunya wad-Din oleh Imam Mawardi hal. 276 (dinukil dari Huquq al-Abna’ alal’ Aba’ hal. 402.
[10]  Tafsir al-Qur’an al-‘Adhim oleh Ibnu Katsir Juz 4 hal. 366.
[11]  HR. Ahmad dan Nasa’i, dishohihkan oleh al-Albani rahimahullah (lihat Misykat al-Mashobih no. 1756.
[12]  Hadits ini dishohihkan oleh al-Albani rahimahullah dalam Shohih wa Dho’if al-Jami’ no. 5805, Misykat al-Mashobih no. 1753, dan Silsilah Shohihah no. 3441.

0 komentar: