Minggu, 04 Maret 2012

Bergabung dengan Parlemen, Bolehkah?

hukum bergabung di parlemen

Pertanyaan:

Syaikh Muhammad Nashirudin Al-Albani ditanya:
Apakah hukum bergabung dalam parlemen atau majelis permusyaratan yang diadakan oleh negeri-negeri Islam yang tidak menerapkan hukum Islam?

Jawaban:
Saya meyakini tidak bolehnya bergabung dalam parlemen atau majelis permusyawaratan yang diadakan oleh negara yang tidak berhukum dengan hukum Allah secara jelas dan juga tidak mengamalkan hukum-hukum Allah tersebut. Oleh karena itu, saya berpendapat bahwa tidak ada manfaatnya bagi kaum muslimin untuk ikut serta dalam hukum yang tidak diturunkan oleh Allah, terutama untuk masa depan mereka yang masih panjang. Karena dampak keikutsertaan ini tidak memberikan manfaat secara nyata. Biasanya keinginan kelompok kecil untuk menegakkan syariat Allah selalu dikalahkan oleh kelompok-kelompok yang lebih besar dan tidak setuju penegakan syariat.Pada akhirnya mereka tidak memperoleh apa-apa kecuali fitnah yang membahayakan diri mereka sendiri.
Mereka sering mengatakan bahwa tidak mengapa melanggar syariat untuk mencapai maslahat yang besar. Tidak mengapa menempuh mafsadat yang ringan jika untuk mendapatkan maslahat yang besar, namun kenyataannya tidak ada sedikit pun maslahat yang mereka peroleh; tidak besar dan tidak pula kecil.
Praktik ini telah dilakukan oleh sebagian jamaah-jamaah Islam di Suriah. Mereka ikut serta dalam parlemen Suriah, padahal yang berlaku di parlemen itu adalah undang-undang negara (tidak berdasarkan Islam). Akhirnya kaum muslimin tidak mendapatkan manfaat apapun dari keikutsertaan ini kecuali hanya mencari-cari pembenaran terhadap perbuatan yang mereka lakukan dan penyelewengan-penyelewengan yang mereka kerjakan dengan dalih bahwa ke-maslahatan umatlah yang menuntut hal itu, serta dengan anggapan bahwa penegakan hukum-hukum syariat terlalu dini untuk dilaksanakan. Padahal menurut syariat, tidak boleh memberikan loyalitas kepada orang yang tidak berhukum dengan hukum yang diturunkan Allah. Dengan keikutsertaan ini, akhirnya mereka mendapat kerugian yang nyata dan tak mendapatkan keuntungan sedikit pun.
Jika kita menginginkan tegaknya hukum Islam dan berdirinya daulah (negara) Islam, maka wajib bagi kita membentuk masyarakat Islam. Dari masayarakat Islam inilah akan tegak hukum Islam. Dan tegaknya hukum Islam menurut logika pasti berawal dari masayarakat Islam.
Saya sangat yakin bahwa perjuangan keras yang dilakukan selama setengah abad lebih oleh jamaah-jamaah Islam tidak mungkin akan berakhir dengan sia-sia. Tapi kenyataannya perjuangan mereka yang sangat panjang berakhir dengan kegagalan yang tak berbekas seperti debu yang berterbangan. Kenapa ini terjadi? Karena mereka berjuang menegakkan daulah Islam tapi dengan cara yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kalian mengetahui berapa lama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tinggal di Mekah, berdakwah, menanamkan benih-benih tauhid dalam hati mereka yang sekian lama berkubang dalam kesyirikan dan kekafiran kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kemudian tatkala Allah mengizinkan beliau untuk hijrah ke Madinah, di sana mulailah beliau menancapkan tonggak-tonggak untuk berdirinya daulah Islam.
Menjadi tugas kita hari ini untuk merealisasikan dua hal yang saya namai dengantashfiyyah (pemurnian) dan tarbiyah (pembinaan). Kami mengajak para da’i Islam untuk mengatasi perselisihan yang terjadi antara mereka di dalam manhaj (cara beragama) dan praktiknya berlandaskan dua hal tersebut.
Maksud dari tashfiyyah adalah: Kita murnikan Islam dari segala sesuatu yang masuk dan merusak Islam yang jumlahnya terlalu banyak untuk disebut. Dan ini membutuhkan kerja keras dari para ahli ilmu (untuk memurnikannya kembali). Kita bersihkan Islam ini dari akidah-akidah yang bertentangan dengan Islam. Kita bersihkan kitab-kitab sunah dari hadis-hadis yang dhaif dan palsu. Kita bersihkan kitab-kitab tafsir dari kisah-kisah israiliyat yang merusak. Kita bersihkan fikih dari hukum-hukum (yang keliru) yang senantiasa masih diikuti oleh banyak ulama. Kita bersihkan kitab-kitab akhlak, perilaku menyimpang dan seterusnya.
Termasuk hal yang memprihatinkan adalah banyak orang yang lupa atau mungkin berpura-pura lupa bahwa keadaan Islam hari ini sangat jauh berbeda dengan keadaan Islam di masa awal (zaman sahabat). Mereka menduga bahwa kita tinggal berusaha menegakkan hukum Islam, adapun undang-undang dan peraturannya telah tersedia dan tinggal diambil dari kitab-kitab yang kita miliki. Padahal sering kami sebutkan bahwa masih banyak kesalahan-kesalahan dan penyimpangan yang terdapat dalam kitab-kitab yang ada pada kita (dan ini memerlukan penelitian lebih dalam lagi.)
Sebagai contoh, saya sebutkan bahwa seorang da’i yang sekarang telah meninggal dunia, pernah menulis sebuah buku yang berisi undang-undang Islam. Dalam buku itu, beliau kebanyakan mengambil hukum dari Madzhab Hanafi. Padahal beliau sendiri belum mempelajari fikih menurut sunah yang shahih (berdasarkan dalil yang shahih dan tanpa memandang perbedaan madzhab), atau sekurang-kurangnya beliau belum membandingkan apa yang beliau pelajari dari fikih Hanafi dengan fikih menurut sunah yang shahih.
Dalam bukunya tersebut, beliau menyebutkan satu hukum yang bertentangan dengan hadis shahih, yaitu bolehnya menghukum mati seorang muslim yang telah membunuh orang kafir. Padahal dengan jelas disebutkan dalam kitab Shahih Al-Bukhari:
“Tidaklah seorang muslim dibunuh, karena (telah membunuh) seorang kafir.”
Ini adalah sebuah contoh singkat yang menerangkan kepada kita bahwa seandainya kita telah menerapkan dan menegakkan hukum Islam, maka kita tetap tidak akan sanggup menerapkan hukum secara utuh dan benar. Kenapa? Karena kebelumsanggupan sumber daya manusianya. Masih sangat banyak dari kita yang belum mengetahui bagaimana hukum Islam yang benar yang sesuai dengan Kitabullah dan sunah yang shahih. Ibarat pepatah “Orang yang tidak punya apa-apa, tidak akan bisa memberi.”
Yang lebih memprihatinkan adalah bahwa mereka bukan hanya mengambil sumber dari empat madzhab dengan alasan persatuan saja tapi mereka juga mengambil sumber dari Madzhab Syi’ah. Semoga kalian belum lupa apa yang pernah terjadi di Mesir beberapa waktu yang lampau, adanya upaya pendekatan antar mazhab. Dengan kalimat “pendekatan” ini sebenarnya mereka menginginkan adanya pendekatan antara Madzhab Ahlus sunah dan Mazhab Syi’ah. Akibatnya sebagian dari Ahlus sunah terpengaruh dengan pemikiran-pemikiran Syi’ah yang banyak mengambil pendapat dari Mazhab Zaidiyyah, dan juga mengambil kitab-kitab mereka sebagai referensi dalam bertindak. Sebagian ulama di Universitas Damaskus dalam pengajarannya tidak terlepas dari kitab Musnad Zaid. Padahal Musnad Zaid menurut ulama Ahlus sunah diriwayatkan oleh seorang pendusta dan pemalsu (hadis). Semua ini terjadi karena tidak adanya pelaksanaan pokok pertama, yaitu tashfiyyah (pemurnian), yang selanjutnya diteruskan dengan pokok kedua yaitu tarbiyah.
Sekarang ini saya melihat sebuah masalah besar yang sedang melanda sebagian Salafiyyun yang telah Allah berikan nikmat berupa petunjuk ke jalan-Nya yang lurus, yaitu mengikuti Al Kitab dan sunah, mereka (di berbagai negeri Islam) kebanyakan lebih mementingkan masalah tashfiyyah (pemumian) daripada tarbiyah(pembinaan). Dan ini berakibat pada penyimpangan-penyimpangan akhlak dalam bermuamalah. Ini berarti pembinaan yang kita terima tak ubahnya dengan pembinaan yang pernah diterima oleh orang-orang tua kita dahulu. Dan harus diakui bahwa ini adalah satu kekurangan (yang harus diperbaiki).
Pada prinsipnya setelah kita menasihati penguasa dengan cara yang tepat, kita kemudian membina diri dan anak-anak kita, yang merupakan benih-benih yang akan tumbuh menjadi cikal bakal tegaknya hukum Islam dan beridirnya Daulah Islamiyah di masa datang.
Adapun bagi mereka yang masuk ke dalam parlemen atau lembaga permusyawaratan rakyat yang tidak berlandaskan kepada hukum Allah dengan tujuan mencegah atau mengurangi kejelekan, maka orang-orang seperti ini tidak boleh langsung dikafirkan bahkan boleh jadi mereka mendapat pahala. Yang harus dilakukan adalah, kita katakan kepada mereka bahwa masuknya mereka ke dalam parlemen tersebut tidak akan meluruskan penyimpangan-penyimpangan yang telah ada.
Dan kebanyakan orang-orang Islam sendiri atau bahkan penguasa atau pemerintah yang muslim tidak memahami satu permasalahan yang sangat penting yaitu makna laa ilaaha illallah. Sayang sekali apabila masalah yang sangat besar ini kita abaikan, sementara kita sibuk membenarkan/meluruskan masalah-masalah hukum saja dan membiarkan kaum muslimin berada dalam kesesatan yang nyata. Karena itu kita harus mengajak kaum muslimin agar mereka memahami Islam dan azasnya yaitu tauhid.
Sumber: Fatwa-Fatwa Syaikh Nashiruddin Al-Albani, Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Media Hidayah, 1425 H – 2004 M
Materi terkait:

0 komentar: