Kamis, 22 Maret 2012

Istiqomah Lebih Mulia dari Seribu Karomah

Oleh: Ali Akbar bin Agil
 Orang yang istiqamah selalu menjadikan ilmu sebagai makanan hati dan ruh

Allah Subhanahu wa Ta`ala berfirman:

إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُون

“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: “Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih, dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu.” (QS. Fusshilat: 30)

Al Wahidi dalam Asbaab Nuzuul Al-Qur`an menulis, Atha` menerima riwayat dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu `anhuma yang mengatakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Sayidina Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu `anhu yang memberikan bantahan atas ucapan Kaum Musyrik dan Yahudi.

Kaum Musyrik berkata, “Allah adalah Tuhan kami, sementara para malaikat adalah anak-anak-Nya.” Kemudian orang-orang Yahudi berkata, “Allah adalah Tuhan kami dan Uzair adalah anak-Nya, sementara Muhammad bukanlah seorang Nabi.” Baik ucapan kaum musyrik maupun yahudi menunjukkan kebodohan dan tidak istiqamah.

Mendengar ucapan dari dua golongan tersebut, Abu Bakar mengatakan dengan tegas, “Allah adalah Tuhan Kami Yang Mahaesa tiada sekutu bagi-Nya dan Muhammad Shallahu ‘alaihi Wassalam adalah hamba sekaligus utusan-Nya.” Selanjutnya turun ayat, “Inna al-ladziina qaaluu rabbunal-Lah.”

Konteks Istiqamah

Kata istiqamah bisa dimaknai dalam berbagai situasi dan kondisi. Istiqamah dalam konteks akidah, amal, keikhlasan, ketakwaan, persaksian, dan ilmu. Konteks istiqamah telah banyak dijabarkan oleh sahabat-sahabat nabi yang menunjukkan kedalaman mereka dalam memandang jauh makna istiqamah.

Sayidina Abu Bakar radhiyallahu `anhu, contohnya, memberikan pengertian istiqamah sebagai teguh dalam beriman, memurnikan sesembahan, dan menjauhi kesyirikan. Imam Thabari meriwayatkan, Abu Bakar pernah ditanya tentang istiqamah yang terkandungan dalam bunyi ayat innalladziina Qaalu Rabbuna Allah Tsummas Taqaamuu,” kata beliau, “(Istiqamah adalah) kamu tidak menyekutukan Allah dengan suatu apapun.”

Di sisi lain, Sahabat Umar bin Khathtab radhiyallahu `anhu menegaskan makna istiqamah sebagai sebuah sikap teguh dalam, “melaksanakan perintah dan menjauhi larangan, serta tidak berpaling seperti berpalingnya musang.”

Sementara, Sayidina Utsman bin Affan radhiyallahu `anhu memaknai istiqamah sebuah suatu sikap untuk memurnikan segala tindak-tanduk kita yang berkaitan dengan ibadah hanya untuk Allah, bukan selain-Nya. Beliau berkata tentang istiqamah, “Ikhlaskan (bersihkan) amal karena Allah semata.”

Adapun, Imam Ali bin Abi Thalib radhiyallahu `anhu memahami istiqamah sebagai bentuk ketegasan sikap dalam menjalankan kewajiban. Beliau mengatakan, “Kerjakanlah kewajiban-kewajiban.”

Dalam konteks yang berbeda, Al-Hasan menuturkan, “Mereka meneguhkan pendirian (istiqamah) di atas jalan perintah Allah Subhanahu Wata’ala, sehingga mereka melakukan perbuatan untuk taat kepada-Nya dan menjauhi kemaksiatan di jalan-Nya.”

Mujahid dan Ikrimah berujar, “Mereka meneguhkan pendirian dalam bersaksi bahwa tiada Tuhan kecuali Allah sampai mereka bertemu dengan Allah.” Muqatil berkata, “Mereka meneguhkan pendirian dalam ilmu dan tidak keluar dari Islam.”

Imam Nawawi dalam salah satu karya populernya, Syarh Matn Al-Arba`in Al-Nawawiyyah, mengetengahkan sebuah hadits dengan judul Al-Istiqamah. Hadits ini jatuh pada urutan kedua puluh satu. Bunyinya, “Dari Abu ‘Amrah Sufyan bin ‘Abdullah Al-Tsaqafiy radhiyallahu anhu, ia berkata : “Aku telah berkata : ‘Wahai Rasulullah, katakanlah kepadaku tentang Islam, suatu perkataan yang aku tak akan dapat menanyakannya kepada seorang pun kecuali kepadamu.’ Bersabdalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam : ‘Katakanlah : Aku telah beriman kepada Allah, kemudian beristiqamalah kamu." (HR. Muslim).

Imam Nawawi mengatakan yang dimaksud ungkapan Nabi, Qul Aamantu Bil-Laah Tsummas-Taqim,” (Katakanlah, ‘Aku telah beriman kepada Allah, kemudian beristiqamalah kamu’) adalah, “Beristiqamahlah sebagaimana kamu telah diperintahkan dan dilarang mengerjakan suatu perbuatan.” Menurut Imam Nawawi, Istiqamah adalah, “Menetapi sebuah jalan dengan mengerjakan kewajiban-kewajiban dan meninggalkan larangan-larangan.”

Makna istiqamah yang dibawakan oleh Imam Nawawi itu selaras dengan firman Allah Subhanahu wa Ta`ala, “Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat besertamu.” (QS. Huud: 112). Ayat inilah yang membuat uban tumbuh lebih cepat di kepala Rasulullah. karena begitu beratnya perintah yang terkandung di dalamnya, yaitu istiqamah. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam besabda: “Aku menjadi beruban karena turunnya Surat Hud dan sejenisnya.”

Sikap Muslim dalam Istiqamah

Lewat pengetahuan pemaparan makna istiqamah dalam berbagai konteksnya seperti diungkap oleh para sahabat dan ulama, kita dapat mengetahui bahwa istiqamah adalah suatu sikap konsisten, ajeg, dalam berbagai aspek kehidupan.
Seorang muslim, kapanpun dan di manapun, ia dituntut untuk bersikap teguh, tidak maju mundur, tetap berpendirian teguh dalam memurnikan iman dan akidah dari segala bentuk kesyirikan dan kekufuran.

Teguh dalam iman berarti memegang erat-erat dalam hati bahwa tiada tuhan yang layak disembah selain Allah Subhanahu wa Ta`ala. Segala bentuk penyembahan kepada selain Allah Subhanahu wa Ta`ala merupakan sikap tidak istiqamah.

Seorang Muslim, tentunya juga bersikap teguh berdiri dalam ketakwaan, melaksakan perintah Allah Subhanahu wa Ta`ala dan menjauhi larangannya. Bertakwa tidak hanya saat berada di bulan Ramadhan saja, atau pada momen-momen tertentu, namun harus dilaksanakan dalam segala kondisi. Tujuannya, membangun jiwa dan pribadi yang muttaqin yang bercirikhaskan : beriman kepada yang ghaib, mendirikan shalat, menafkahkan sebagian harta, beriman kepada Al Qur`an dan kitab-kitab yang telah diturunkan sebelumnya, dan yakin akan adanya kehidupan akhirat. (Qs. Al-Baqarah : 3-4).

Selain itu, ciri lain ketakwaan yang Allah Subhanahu wa Ta`ala paparkan adalah, mereka istiqamah dalam menafkahkan harta baik di waktu lapang maupun sempit, cerdas dalam meluapkan emosi, mudah memaafkan, dan bergegas memohon ampunan kepada Allah di tiap perbuatan dosa yang dilakukan. (QS. Ali Imran : 134-135).

Seorang Muslim, kapanpun dan di manapun, dituntut untuk beristiqamah dalam mencari ilmu sebagai landasan perkataan dan perbuatan kita. Artinya, orang yang istiqamah tidak akan melakukan dan melepas suatu ucapan seleum diketahui sumber ilmu guna menegaskan kebenaran dari perbuatan dan ucapannya.

Orang yang istiqamah selalu menjadikan ilmu sebagai makanan hati dan ruh. Jika tubuh menjadi lunglai dan lemas akibat tidak mengonsumsi makanan dan minuman, maka hati kita akan mati, sunyi, berselimut kegelapan, ketika ia kosong dari asupan ilmu yang bermanfaat.

Karenanya, ilmu mestilah diprioritaskan sebelum berbuat dan berkata. Istiqamah berarti berpendirian teguh, konsisten dalam belajar, mencari ilmu, menghadiri kajian ilmu, majlis-majlis ta`lim, demi terwujudnya istiqamah yang sebaik-baiknya.

Penulis adalah pengasuh Majlis Ta`lim dan Ratib Al-Haddad di Plaosan, Malang, Jawa Timur
SUMBER : http://hidayatullah.com/read/21826/22/03/2012/istiqomah-lebih-mulia-dari-seribu-karomah.html

0 komentar: