Jumat, 27 April 2012

Al-Qur’an dan Orientalisme

Pendahuluan

Gerakan pengkajian ketimuran (oriental studies) diberi nama orientalisme baru abad ke 18, meskipun aktivitas kajian bahasa dan sastra ketimuran (khususnya Islam) telah terjadi jauh sebelumnya.[1] Namun istilah orientalis muncul lebih dulu daripada istilah orientalisme. A.J. Arberry (1905-1969) dalam kajiannya menyebutkan istilah orientalis muncul tahun 1638, yang digunakan oleh seorang anggota gereja Timur (Yunani). Menurutnya orientalis adalah “orang yang mendalami berbagai bahasa dan sastra dunia timur.” Pada tahun 1691, istilah orientalis digunakan oleh Anthony Wood untuk menyebut Samuel Clarke sebagai “orientalis yang cerdas”, karena mengetahui beberapa bahasa Timur. Edward Sa`id mendifinisikan orientalisme menyatakan,”Orientalisme adalah bidang pengetahuan atau ilmu yang mengantarkan pada [pemahaman] dunia timur secara sistematis sebagai suatu objek yang dapat dipelajari, diungkap, dan diaplikasikan.[2] Dalam konteks Islam dunia Timur yang menjadi obyek kajian orientalis yang terpenting adalah Islam. Maka dari itu mengkaji orientalisme dan al-Qur’an mengharuskan pemaparan tentang motif kajian, fase perkembangan dan obyektifitas kajian orientalisme. Sesudah masalah-masalah tersebut jelas maka kajian tentang orientalisme dan al-Qur’an difokuskan pada pendekatan orientalis terhadap al-Qur’an seperti tentang sejarah teks, perbedaan rasm dan riwayah, tentang isi kandungannya dan metodologinya.

Motif Kajian Orientalis
Mengapa Barat tertarik mengkaji Timur dan Islam, mempunyai latar belakang sejarah panjang yang kompleks. Pertama adalah motif keagamaan. Barat yang disatu sisi mewakili Kristen memandang Islam sebagai agama yang sejak awal menentang doktrin-doktrinnya. Islam yang misinya menyempurnakan millah sebelumnya tentu banyak melontarkan koreksi terhadap agama itu. Itulah Islam dianggap “menabur angin” dan lalu menuai badai perseteruan dengan Kristen. Bahkan lebih ekstrim lagi, perseteruan itu ada sejak sebelum Islam datang. Thomas Right, penulis buku Early Christianity in Arabia, mensinyalir perseteruan antara Islam dan Kristen terjadi sejak bala tentara Kristen pimpinan Abrahah menyerang Ka’bah dua bulan sebelum Nabi lahir. Disitu tentara Abrahah kalah telak dan bahkan tewas. Kalau saja tentara itu tidak kalah mungkin seluruh jazirah itu berada ditangan Kristen, dan tanda salib sudah terpampang di Ka’bah. Muhammd pun mungkin mati sebagai pendeta. Jika Right benar berarti orang Kristen sendiri telah lama menentang millah Nabi Ibrahim, sebab mereka bukan menyerang Islam yang dibawa Nabi, tapi Ka’bah yang merupakan khazanah millah Ibrahim itu. Jadi motif orientalisme adalah keagamaan dan berkaitan dengan Kristen dan missionarisme.

Kedua adalah motif politik. Islam bagi Barat adalah peradaban yang dimasa lalu telah tersebar dan menguasai peradaban dunia dengan begitu cepat. Barat sebagai peradaban yang baru bangkit dari kegelapan melihat Islam sebagai ancaman besar dan langsung bagi kekuasaan politik dan agama mereka. Barat sadar benar bahwa Islam bukan hanya sekedar istana-istana megah, bala tentara yang gagah berani atau bangunan-bangunan monumental, tapi peradaban yang memiki khazanah dan tradisi ilmu pengetahuan yang tinggi.  Oleh sebab itu mereka perlu merebut khazanah ini untuk kemajuan mereka dan sekaligus untuk menaklukkan Islam.  Sudah tentu itu semua dilakukan dengan cara-cara yang tidak fair. Motif politik ini kemudian berkembang menjadi motif bisnis atau perdagangan yang kemudian menjadi kolonialisme.

Ketiga adalah motif keilmuan: Karena Islam adalah bangsa dan peradaban yang memiliki prestasi yang sangat tinggi dibidang teologi, sains, seni, kebudayaan dan lain sebagainya maka bangsa Eropah tertarik dan memerlukan kajian tentang Islam. Sebelum kebangkitan Eropah abad ke 16 Barat mengkaji berbagai tentang umat Islam, khususnya temuan ilmiahnya. Sebelum Abad Pertengahan (abad ke-5 hingga ke-15 M) misalnya cara berpikir yang dominan di Barat adalah deduktif, namun setelah mengkaji pemikiran Muslim mereka merubahnya menjadi induktif. Tidak heran jika Francis Bacon yang menulis Novum Organum (Alat Berpikir Baru) di abad ke-16, mendapatkan inspirasi cara berpikir yang empiris (induktif) dari karya-karya kaum muslimin dari masa Khilafah Abbasiyah. Dari motif-motif,  khususnya keilmuan diatas maka orientalisme digunakan untuk tujuan dan motif lain, seperti ekonomi, budaya, pemikiran dan lain sebagainya.

Fase Perkembangan Orientalisme
Kajian orientalis merupakan hasil dari pengalaman panjang manusia Barat dalam menghadapi Timur, khususnya Islam. Oleh sebab itu ada baiknya kita telusuri secara singkat fase-fase perkembangan orientalisme untuk mengetahui bagaimana dengan motif dan framework yang sama mereka menggunakan tehnik dan metode yang berbeda-beda.

Kalau diteliti secara serius orientalisme bisa dibagi empat fase penting:
Fase pertama dimulai pada abad ke enambelas (abad 16). Pada fase ini orientalisme dapat dikatakan sebagai simbol gerakan anti-Islam yang dimotori oleh Yahudi dan Kristen. Seperti disebutkan diatas, akar gerakan ini dapat diterlusuri substansi ajaran Islam itu sendiri yang menentang Kristen dan Yahudi. al-Qur’an jelas sekali membeberkan kerancuan kedua agama itu. Selain itu kekalahan bangsa Eropah Kristen dalam perang salib juga memicu semangat anti-Islam ini.

Islam itu, bagi Kristen, merupakan simbol teror, perusak  dan barbarian. Bagi orang Eropah Islam adalah trauma yang tak pernah berakhir. Southern dalam bukunya Western Views of Islam in the Middle Ages, menulis bahwa “orang Kristen ingin agar Timur dan Barat Eropah bersepakat bahwa Islam itu adalah Kristen yang sesat (misguided version of Christianity)” (hal. 91-92, 108-109). Bahkan tidak sedikit  yang menulis bahwa Muhammad adalah penyebar wahyu palsu, tokoh penipu, tidak jujur, pelaku sodomi, dsb yang kesemuanya itu diambil dari doktrin kagamaan yang dibawanya. . (Norman Daniel, Islam and the West, (hal.246-296).

Fase kedua orientalisme terjadi pada abad ke 17 dan 18 M.  Fase kedua ini adalah fase penting orientalisme, sebab ia merupakan gerakan yang bersamaan dengan modernisasi Barat. Barat berkepentingan menimba ilmu bagaimana Islam bisa menjadi peradaban yang handal selama 7 abad. Pada periode inilah raja-raja dan ratu-ratu di Eropah sepakat untuk mendukung pengumpulan segala macam informasi tentang ketimuran. Untuk menyebut beberapa, Erpernius (1584-1624), menerbitkan pertama kali tatabahasa Arab, dan diikuti muridnya Jacob Goluis (1596-1667), dan oleh Lorriunuer Franz Meurnski dari Austria tahun 1680. Selain itu Bedwell W (1561-1632) mengedit tujuh jilid buku Kamus Bahasa Arab dan menulis tentang sejarah hidup Nabi Muhammad.

Meskipun Barat memerlukan Islam, tapi api perseteruan masih tetap membara. Maka dari itu selain mengumpulkan informasi tentang Timur mereka juga menyebarkan informasi negatif tentang Timur kepada masyarakat Barat. Pada periode ini (tahun 1653), Alexander Ross, misalnya, menerbitkan buku-buku yang banyak menghujat Islam daripada memaparkan apa adanya. Ia misalnya menulis buku berjudul The Prophet of Turk and Author of the al-Coran. Dalam buku-bukunya itu ia seringkali menggunakan kata-kata kasar seperti The Great Arabian Imposter, The Little Horn in Danial, Arabian Swine, Goliath, Grand Hypocrite, Great Thief. Terhadap al-Qur’an ia juga bersikap sama, ia menyebutnya Corrupted puddle of Mahomet’s invention, Mis-shapen issue of Mahomet’s brain, atau a gallimaufry of error dsb. Pada tahun 1679 Humphrey Preideaux menulis Sejarah Hidup Nabi Muhammad, tapi buku itu berusaha membuktikan asumsinya bahwa Nabi Muhammad itu pandai berpura-pura, pandai mengelabui orang, penipu dan cerdik. Buku seperti ini dijadikan referensi standar para orientalis selama seabad lebih. Singkat kata, jika pada fase pertama diwarnai oleh semangat anti-Islam, maka periode ini adalah periode caci-maki orientalis terhadap Islam dalam bentuk tulisan.

Fase ketiga orientalisme adalah abad ke 19 dan seperempat pertama abad ke 20. Fase ini adalah fase orientalisme terpenting baik bagi Muslim maupun bagi orientalis sendiri. Sebab pada fase ini Barat telah benar-benar menguasai negara-negara Islam secara politik, militer, kultural dan ekonomi. Pada fase ini banyak orientalis yang menyumbangkan karya dalam bidang studi Islam. Tidak sedikit  pula dari karya-karya berbahasa Arab dan Persia diedit dan diterjemahkan lalu diterbitkan. Mungkin karena orang Barat telah masuk dan menguasai negeri-negeri Islam, mereka mudah mendapatkan bahan-bahan tentang Islam.
Oleh sebab itu pada waktu yang hampir bersamaan lembaga-lembaga studi keislaman dan ketimuran didirikan dimana-mana. Tahun 1822 di Paris didirikan Society Asiatic of Paris, Royal Asiatic Society of Great Bretain and Ireland didirikan tahun 1823 di Inggeris; tahun 1842 di Amerika juga didirikan American Oriental Society; tahun 1916 di University of London, didirikan School of Oriental Studies sekarang menjadi SOAS (School of Oriental and African Studies).  Diantara tokoh orientalis yang terkenal pada periode adalah Goldziher (1850-1908).

Dengan berdirinya pusat-pusat studi keislaman maka framework kajian orientalis mengalami pergeseran yang signifikan, dari fase caci maki menjadi serangan sistimatis dan ilmiyah. Tapi sistimatis dan ilmiyah tidak berarti tanpa kesalahan dan bias. Para orientalis di Abad Pertengahan memang memiliki informasi yang kurang tentang Nabi Muhammad, sehingga tulisan mereka bernada negatif. Namun para orientalis di zaman modern yang dianggap telah memiliki pengetahuan Islam yang relatif  lebih banyak, masih saja bersikap negatif dengan cara yang lebih akademis. Yang jelas, mereka tidak akan mengekspose missi yang dibawa Nabi, dan menjelaskan nilai-nilai universal Islam yang disumbangkan kepada dunia.

Fase keempat orientalisme di tandai dengan adanya Perang Dunia ke II. Khusus  di Amerika Islam dan ummat Islam menjadi obyek kajian yang populer. Kajian itu bukan saja dilakukan untuk kepentingan akademis, tapi juga untuk kepentingan perancang kebijakan politik dan juga bisnis. Sekali lagi pada fase ini kajian orientalisme berubah lagi, dari sentimen keagamaan yang vulgar menjadi lebih lembut. Cantwell Smith terang-terangan mengatakan “Pencarian ilmu selalu siap merubah hypotesanya. Faktanya memang orang-orang Barat non-Muslim baru saja mulai memperlembut (sikapnya terhadap Islam) dan bahkan menarik kata ‘tidak’nya”. (lihat On Understanding Islam-Selected Studies, the Hague, 1981, 296). Sir Hamilton Gibb secara diplomatis mengatakan bahwa ia menerima pendapat bahwa wahyu adalah gambaran pengalaman pribadi Nabi Muhammad, tapi Islam perlu menafsirkan ulang konsep yang tidak bisa dipertahankan lagi itu.[3] Perubahan sikapnya begitu kentara,  berubah dari menuduh Nabi sebagai penipu, mereka kemudian mempersoalkan konsep wahyunya, dan kini mereka mulai mempersoalkan interpretasinya.

Obyektifitas Orientalis

Oleh karena perubahan sikap mereka, maka pada periode ini kajian orientalis lebih nampak seakan-akan obyektif dan masuk akal. Disini banyak cendekiawan Muslim yang tertarik dan menjadi amat apresiatif terhadap kajian Islam para orientalis, bahkan mengadopsinya untuk kajian Islam. Malah akhir-akhir ini kritik-kritik para orientalis itu disuguhkan kepada ummat Islam, dengan maksud agar ummat Islam berfikiran kritis. Tapi yang terasa musykil justru para cendekiawan itu menghadirkan kritik orientalis dan tanpa repons yang berarti. Bahkan tidak sedikit yang meng’amini’ kritikan orientalis dan berbalik mengkritik Islam dalam bahasa orientalis. Padahal sikap ilmiyah orientalis yang konon obyektif itu menyisakan banyak pertanyaan dan menyuguhkan pendekatan yang bias. Kajian Edward Said yang tidak kalah ilmiyahnya melahirkan kesimpulan bahwa apa saja yang dikatakan oleh orang Eropah tentang Timur tetap saja rasial, imperialis dan etnocentris. (Edward Said, Orientalisme, 204). Sebab, tulisnya, Barat memandang Timur dengan rasa superioritas yang tinggi.
 
Bias itu digambarkan dengan sangat jelas sekali oleh Anwar al-Jundi dalam bukunya al-Fikr al-‘Arabi al-Mu‘ÉÎir fÊ Ma’rakat al-TarghrÊb.[4] Katanya para orientalis itu pertama-tama menentukan tujuan. Kemudian untuk membuktikan proposisi mereka, mereka mengumpulkan berbagai macam data, seperti teks-teks keagamaan, cerita-cerita fiksi, syair-syair, kisah-kisah, dan lain-lain yang otentik ataupun yang tidak dan kemudian menafsirkan sesuai dengan tujuan mereka itu. Proposisi ini digunakan untuk membuat teori-teori “baru”,  tanpa memperdulikan apakah teori-teori mereka itu sejalan dengan fondasi ajaran slam atau tidak.

Framework yang demikian itu hanyalah salah satu dari sekian framework kajian orientalis. Berbeda bidang kajian berbeda pula frameworknya, dan berbeda periode berbeda pula tehnik dan metode kajiannya. Mulanya mereka hanyalah suatu circle yang memiliki semangat anti-Islam, dalam perkembangannya nuansa anti-Islamnya lalu dikurangi dan diganti dengan pendekatan yang menggunakan logika, pengetahuan dan argumentasi. Meskipun demikian tujuan orientalisme adalah tetap sama. Jurnal The Muslim World yang diterbitkan oleh Michael Zwemmer tahun 1920, misalnya pada mulanya terang-terangan untuk media informasi bagi para missionaris tentang Islam dan dunia Islam. Tapi kemudian jurnal itu menjadi jurnal kajian Islam yang serius dan ilmiyah, meskipun tetap menggunakan framework yang sama.

Montgomery Watt yang dianggap orientalis moderat dan obyektif misalnya, ketika menulis al-Qur’an dan Sunnah ternyata meragukan otentisitas ajaran Islam. Ia mencoba membuktikan bahwa beberapa bagian al-Qur’an dan Hadtih itu dibuat-buat dan tidak konsisten, dan karena itu tidak bisa dijadikan sumber pandangan hidup Islam. Ia bahkan mencurigai adanya “ayat-ayat setan” dalam al-Qur’an.[5]

Memang, orientalisme dikenal sebagai suatu tradisi kajian ilmiyah tentang Islam yang menggunakan jubah intelektualisme dan dedikasi akademik.[6] Namun sejatinya kajian itu berdasarkan pada ‘kaca mata’ dan pengalaman manusia Barat yang dipicu oleh motif dan semangat missionaris. Tidak heran jika orientalis kemudian dianggap memiliki disiplin dan sikap ilmiyah yang ‘khas’, bahkan menjadi sebuah framework pengkajian. Meski memiliki sifat ilmiyah framework kajian orientalis tidak lepas dari warna dan latar belakang agama, politik, worldview dan nilai-nilai peradaban Barat. Jadi, kajian orientalis yang dianggap obyektif dan ilmiyah itu sangat mungkin untuk terjerumus dalam kesalahan. Cara pandang mereka terhadap Nabi, al-Qur’an dan Islam sebagai agama masih tidak bisa lepas bebas dari pengaruh pendahulunya. Dan orientalis terdahulu itu diwarnai oleh pengalaman manusia Barat. Inilah bukti bahwa ilmu memang tidak bebas nilai.

A.L. Tibawi penulis buku English Speaking Orientalists, menyimpulkan bahwa ketika para orientalis ahli polemik periode awal terlibat dalam penghinaan dan penafsiran yang salah tentang Islam, tujuan mereka hanyalah destruktif. Tapi setelah adanya motif missionaris mereka mulai menggunakan pendekatan obyektif. Metodenya merupakan campuran antara penghinaan dan pengungkapan hal-hal negatif tentang Islam, namun dengan menggunakan fakta-fakta yang solid, tapi tetap dipahami dalam perspektif Kristen. Metode yang pertama telah ditinggalkan sedangkan metode yang kedua menjadi lemah atau diberi baju baru. Tapi yang aneh adalah ketika para orientalis itu gencar menyarankan, mendorong dan bahkan kasarnya memprovokasi agar Islam itu direformasi.[7]

Kajian orientalis tentang Islam dan sejarahnya nampak sangat canggih (baca: soophisticated) dan subtil sehingga pembaca awam, alias bukan pakar tidak mudah mengetahui implikasi-implikasi negatifnya. Pernyataan mereka itu umumnya berdasarkan spekulasi, penentuan sumber data yang selektif demi tujuan dan kepentingan tertentu. Edward Said baik dalam Orientalism (1978) maupun dalam The World, The Text and the Critic (1983) yakin bahwa Orientalis dan Barat adalah diskrimatif.  Batas rasial, kultural dan bahkan saintifik sangat kental.  Antara “kami” dan “mereka”, minna dan minhum merasuk kedalam kajian sejarah, linguistic, teori ras, filsafat, antropologi dan bahkan biologi hingga abad ke 19. Edmund Leach setuju, sekali stigma “other” itu melekat maka selain bangsa Eropah tetap asing dan bahkan inferior. Ringkasnya, katanya, kajian Timur yang berasaskan ilmu Barat telah di frame oleh pengalaman imperialisme dan persengketaan kultural ( cultural hostility).  Zaynab al-Ghazzali malah lebih keras dari itu, katanya memisahkan agama dari politik atau Islam dari hukum syariah adalah tindak kriminal.

Selain dari itu, pandangan dan kritik orientalis berdasarkan kajian mereka yang sangat spesifik. Artinya jika mereka mengkaji suatu bidang tertentu, mereka melewatkan bidang kajian yang lain. Orientalis ahli Fiqih melontarkan kritik-kritik yang tidak dikaitkan dengan Kalam misalnya, kritik dalm bidang filsafat tidak dikaitkan dengan aqidah, kritik dan kajian al-Qur’an tanpa disertai ilmu tafsir, bahkan tidak aneh jika para orientalis mengkaji al-Qur’an dengan metodologi Bibel, mengkaji politik Islam dalam perspektif politik Barat sekuler dst. Dan yang pasti disiplin ilmu pengetahuan dalam Islam itu tidak dikaji dengan framework pandangan hidup Islam, tapi Barat.

Orientalis dan al-Qur’an 

Diantara obyek kajian yang dilakukan orientalis secara serius adalah studi al-Qur’an. Motif kajiannya tetap sama dengan apa yang telah dibahas diatas. Sisi-sisi al-Qur’an itu dikaji dengan cermat dan dipersoalkan dengan tujuan yang implisit untuk membuktikan ketidak aslian al-Qur’an. Tokoh-tokoh mereka diantaranya adalah Bergtrasser, A. Jeffery, Mingana, Pretzl, Tisdal, Wamsbrough, Puindan banyak lagi lainnya. Namun yang paling banyak menguras tenaga dalam masalah ini adalah Arthur Jeffery. Mereka itu telah mencurahkan seluruh kehidupan mereka guna menyingkap perubahan teks Al-Qur’an. Di antara karya-karya sebagaimana sejarah telah mencatat: 1) A. Mingana and A. Smith (ed.), Leaves from Three Ancient Qurans, Possibly Pre-’Othmanic with a List oftheir Variants, Cambridge, 1914; 2) G. Bergtrasser, “Plan eines Apparatus Criticus zum Koran”, Sitrungsberichte Bayer. Akad., Munchen, 1930, Heft 7; 3) O. Pretzl, “Die Fortfuhrung des Apparatus (‘riticus zum Koran”, Sitzungsberichte Bayer. Akad., Miinchen, 1934, Heft 5; dan 4) A. Jeffery, The Qur’an as Scripture, R.F. Moore Company, Inc., New York, 1952.

Karena terpengaruh oleh worldview dan nilai-nilai Barat, maka dalam mengkaji al-Qur’an para orientalis terpengaruh oleh pendekatan dan metode penelitian ilmu-ilmu sosial. Sebagai konsekuensi dari pendekatan tersebut maka masalah-masalah yang mereka jadikan topik bahasan disesuaikan dengan metode tersebut. Berikut ini dipaparkan beberapa model kajian orientalis yang berdasarkan framework mereka sendiri:

1. Mengaitkan dengan Teks terdahulu
Dengan pendekatan kesejarahan studi al-Qur’an di Barat dikaitkan dengan kitab suci tradisi Yahudi dan Kristen. J. Wansbrough menganggap al-Qur’an berasal dari Tradisi Yahudi dan Perjanjian Lama. Menurutnya ajaran tentang kemukjizatan Al-Qur’an adalah imitasi dari tradisi Yahudi tentang Taurat Musa, itulah sebabnya mengapa Muslim menganggap “kumpulan ucapan” dalam al-Qur’an sebagaiu kitab suci yang mutlak kebenaranya. Sedangkan Richard Bell menganggap al-Qur’an berasal dari tradisi dan kitab suci Kristen. Richard Bell mengatakan, pengaruh Kristen belum terjadi pada masa akhir Makkah dan awal Madinah. Indikasinya, surah al-Ikhlas bukan polemik antara Muhammad dan orang Kristen, tetapi dengan orang musyrik yang percaya bahwa Allah mempunyai tiga anak perempuan. Kemudian ketika surah al-Alaq ayat 1 sampai 5 turun pengaruh Kristen juga belum nampak, karena disitu dinyatakan bahwa manusia diciptakan dari segumpal darah. Sementara dalam konsep Bibel manusia itu diciptakan dari tanah. Baru kemudian pada surah al-Mu’min 67 dinyatakan bahwa :”Dialah yang menciptakan kamu dari tanah, kemudian dari setetes air mani, sesudah itu segumpal darah, kemudian kamu dilahirkan sebagai seorang anak..”. Di dalam surah ini pengaruh Kristen baru terbaca.

Selain itu, menurut Bell, pengaruh Bibel terhadap al-Qur’an dapat dilihat dari konsep penolakan penyaliban Yesus. Konsep ini, menurutnya diambil dari satu sekte Kristen di Syiria. Selain itu Bell juga berpendapat bahwa wahyu yang dialami Muhammad merupakan peristiwa natural, bukan peristiwa supranatural. Hal ini merujuk kepada pengalaman orang-orang Kristen bahwa pengetahuan tentang agama Kristen diaktualkan sebagi wahyu melalui trance-medium (keadaan tak sadar) dalam suasana mistik seperti kehidupan para dukun. Bell mengartikan wahyu dengan sugesti yang muncul sebagai kilasan Inspirasi, dan sugesti itu terjadi secara alami. Sudah tentu masalah-masalah tersebut muncul karena dalam pandangan mereka hal-hal yang bersifat supranatural tidak dapat dikaji secara saintifik.

Upaya mengkaitkan al-Qur’an dengan tradisi agama mereka diakui sendiri oleh Karl-Heinz Ohlig. Ia menyatakan, bercermin dari sejarah Kristen, dimana ajaran dan riwayat hidup Yesus dibentuk secara kerygmatis dan dibangun melalui tradisi yang berkembang dalam komunitas para pengikutnya selama 40 tahun, akhirnya muncul Injil Markus, sehingga Yesus historis (historical Jesus) yang sesungguhnya nyaris mustahil untuk diketahui, maka bercermin dari kasus ini boleh jadi tradisi [riwayat-riwayat] mengenai Nabi Muhammad SAW [yakni Al-Qur'an dan hadist] melalui proses serupa.

Abraham Geiger (1810-874), seorang intelektual dan pendiri gerakan Yahudi Liberal di Jerman, mengajukan teori mengenai pengaruh Yahudi terhadap al-Qur’an. Pada tahun 1833, dalam esainya yang berjudul “Apa Yang Telah Muhammad Pinjam Dari Yahudi ?”, memaparkan sejumlah indikasi bahwa al-Qur’an merupakan imitasi dari Taurat dan Injil antara lain dari segi kosa kata yang berasal dari bahasa Ibrani yaitu. Taabuut, Tauraat, Jahannam, Taaghuut, dan sebagainya. Selain itu, Geiger juga berkeyakinan bahwa muatan al-Qur’an sangat terpengaruh oleh agama Yahudi seperti penjelasan al-Qur’an mengenai: (a) hal-hal yang menyangkut keimanan dan doktrin, (b) peraturan-peratuan hukum dan moral dan (c) pandangan tentang kehidupan.

Mengenai ayat-ayat di dalam al-Quran yang mengecam Yahudi, Geiger berpendapat bahwa kecaman itu disebabkan Muhammad telah menyimpang dan salah mengerti tentang doktrin-doktrin agama Yahudi. Selain itu Theodor Noldeke, seorang pendeta Kristen yang berasal dari Jerman juga menyoroti beberapa hal yang disebutnya sebagai ketidakakuratan Al-Qur’an. Orientalis yang satu ini mengukur kebenaran al-Qur’an dari Bibel. Maka, apa pun yang terkandung di dalam al-Qur’an yang bertentangan dengan Bibel akan dianggap salah. Seperti penolakan al-Qur’an terhadap penyaliban Nabi Isa. Pendapat Thedodor Noldeke ini, diamini oleh Ricordo dengan tambahan bahwa Muhammad telah salah paham terhadap konsepsi-konsepsi dogmatik dalam Kristen, seperti masalah trinitas, penyaliban Isa, dan lainya.

Arthur Jeffery, orientalis yang pernah mencoba membuat al-Qur’an edisi kritis, berpendapat bahwa kosa kata asing di dalam al-Qur’an mesti diteliti dan dirujuk hingga ke sumber asalnya. Dengan cara demikian, ia berharap bisa memahami sumber-sumber yang mempengaruhi Muhammad saw. dalam mengajarkan risalahnya. Karena menurutnya Muhammad termasuk orang yang haus darah, sehingga kebanyakan hukum yang terkandung dalam al-Qur’an bersifat tidak humanis. Pola pikir ini bermula dari sebuah konsep yang subjektif, yaitu bahwa Muhammad saw. adalah penulis al-Qur’an yang sebenarnya. Dimana ayat-ayat al-Qur’an banyak dihasilkan dari pada apa yang dilihat oleh Muhammad disekitarnya, seperti menyebarkan Islam dengan pedang, hukum rajam, qhisas dan lain-lain.
Antonius Waleus, pendiri dan rektor Semanirium Indicum, (1622-1632), dalam karyanya yang berjudul Opera Omnia, mengatakan bahwa al-Qur’an merupakan kitab suci yang disimpangkan dan penuh dengan pemikiran yang saling bertentangan. Seperti beberapa penggalan ayat yang menerangkan tentang Tuhan, yang digambarkan dengan wujud fisik yang sedang duduk atau berada di atas Kursi. Tidak hanya itu, beberapa kandungan hukum al-Qur’an, banyak bertentangan dengan hukum moral dan hukum ketuhanan. Legitimasi seorang untuk dapat kawin lebih dari satu, menurut mereka bertentangan dengan moral dan merupakan pelecehan seksual terhadap kaum perempuan. Demikian pula hukum pidana dalam al-Qur’an banyak bersifat lokal dan tidak humanis, seperti hukum rajam, qishas dan lain-lain. Ini semua menurut Kenneth Cragg merupakan hasil adopsi dari budaya yang berlaku ketika itu. Lebih pedas lagi ketika dia mengatakan bahwa sebenarnya Muhammad termasuk orang paling kejam dan paling berbahaya yang harus di hancurkan baik orangnya maupun Aqidahnya. Sebab, alasannya, dia yang menyebabkan pertarungan antara saudara dan permusuhan antara sukunya sendiri, seperti pertarungan antara orang Qurais sendiri dan suku-suku lainya. Ajaran agama baru yang dibawanya membiaskan permusuhan antara mereka sendiri.

2.  Mengutamakan Rasm dari Riwayah
Salah satu ciri dari pendekatan saintifik di Barat itu adalah penekanan pada fakta-fakta empiris yang berlebihan sehingga bukti-bukti lain selain yang memiliki fakta fisik (habeas corpus) tidak dapat diterima. Hal ini terbukti dari besarnya perhatian orientalis yang berlebihan dalam mengkaji sejarah kompilasi teks al-Qur’an atau sejarah teks al-Qur’an.[8] Ini nampaknya berdasarkan pengalaman mereka dalam melacak sejarah Bible yang hanya mengandalkan pada tulisan manuscript dalam bentuk papyrus, scroll dan sebagainya.  Manuscript itulah yang berperan dan berfungsi sebagai acuan dan landasan bagi penulisan Gospel.

Dengan pendekatan tekstual itu maka orang-orang seperti Jeffery, Wansbrough dan Puin, misalnya, mengkaji al-Qur’an dengan berdasarkan sebuah asumsi bahwa Al-Qur’an adalah `dokumen tertulis’ atau teks, bukan sebagai `hafalan yang dibaca’ atau recitatio. Dengan asumsi keliru ini (taking the Qur’an as text) mereka lantas mau menerapkan metode-meode filologis yang lazim digunakan dalam penelitian Bible, seperti historical criticism, source criticism, form criticism, dan textual criticism. Logika tekstual itulah yang mengkibatkan anggapan bahwa al-Qur’an sebagai hasil interaksi orang Arab abad ke-7 dan 8M dengan masyarakat sekeliling mereka. Selain itu mereka juga beranggapan bahwa mushaf yang ada sekarang tidak lengkap dan berbeda dengan aslinya (tanpa mengetahui bagaimana teks aslinya itu) dan karena itu mereka lantas membuat edisi kritis, merestorasi teksnya, maupun membuat naskah baru berdasarkan manuskrip-manuskrip yang ada.

Sebenarnya, dalam Islam Al-Qur’an bukanlah `tulisan’ (rasm, text atau writing) tetapi merupakan `bacaan (qira’ah atau recitation) dalam arti ucapan dan sebutan. Baik proses turun (pewahyuan)-nya maupun penyampaian, pengajaran dan periwayatan (transmisi)-nya dilakukan melalui lisan dan hafalan. Dari dahulu, yang dimaksud dengan `membaca’ al-Qur’an adalah `membaca dari ingatan’ (qara’a `an zhahri qalbin). Tulisan berfungsi sebagai alat penyimpan dan dokumentasi yang dapat berbentuk tulisan diatas tulang, kayu, kertas, daun dan lain sebagainya. Namun semua itu berdasarkan hafalan, bersandarkan apa yang sebelumnya telah tertera dalam ingatan sang qaari/muqri. Maka dari itu prinsip yang terkenal dikalangan para ulama adalah “al-rasm tabi li al-riwayah” (tulisan itu mengikuti riwayat). Bagaimana hafalan itu dapat terjaga dari lupa, para sahabat dan para ulama menggunakan metode isnad yang mutawaatir dari generasi ke generasi. Hafalan seorang alim di cross check dengan ulama yang lain. Dari sini maka keutuhan dan keaslian Al-Qur’an terjaga sebagaimana diwahyukan oleh Malaikat Jibril a.s kepada Nabi SAW dan diteruskan kepada para Sahabat dan ulama hingga hari ini.
 
 3. Menyoal Pembentukan Mushaf
Para orientalis pada umumnya tidak percaya pada fakta tentang keberadaan al-Qur’an dalam bentuk lisan dari tradisi hapalan dikalangan orang-orang Arab pada waktu itu. Dengan memberi penekanan pada substansi al-Qur’an sebagai sebuah teks, kalangan orientalis berusaha menepis sejarah penulisan dan kompilasinya di masa Muhammad dan di masa khalifah Abu Bakr, namun menerima upaya kompilasi yang dilakukan oleh ‘Uthman. Hanya saja mereka kemudian menduga adanya kemungkinan terjadinya kesalahan dalam teks Al-Qur’an di masa itu. Sebab antara wafatnya Rasulullah dengan distribusi naskah Al-Qur’an ke pelbagai wilayah Dunia Islam selisih lima belas tahun. Mereka menganggap dalam rentang waktu ter­sebut telah terjadi distorsi dan pemalsuan teks aslinya. Padahal, ilmuwan Kitab Injil tidak mempermasalahkan sejarah Bibel, meskipun beberapa Kitab Perjanjian Lama ditulis berdasarkan transformasi lisan setelah berselang delapan abad lamanya. Sebaliknya naskah bahasa Yahudi, yang mengalami transmisi saat kembalinya orang Yahudi itu dari Babilonia ke bumi Palestina sejak masa penawanan, sama sekali tanpa bukti ilmiah dan hal demikian berlaku selama dua ribu tahun hingga terjadinya kontak dengan orang-orang Arab Muslim yang memacu mereka dalam hal tersebut. Meskipun anggapan bahwa selisih waktu lima puluh tahun sebagai sarana pembuktian kepalsuan naskah al-Qur’an dan kemungkinan adanya keragu-raguan, sangat tidak masuk akal.

Kajian-kajian orientalis seakan mempertanyakan mengapa, jika Al-Qur’an sudah ditulis sejak zaman Nabi Muhammad, dan disimpan baik dalam pengawasan beliau maupun para Sahabat, mengapa pula `Umar takut kehilangan Al-Qur’ an karena syahidnya para huffaz? `Umar merasa khawatir dengan kematian para huffaz pada peperangan Yamamah dan kemudian memberi tahu Abu Bakr akan kemungkinan lenyapnya Kitab Suci ini lantaran kematian mereka? Lebih jauh lagi, mengapa bahan-­bahan yang telah ditulis tidak disimpan di bawah pemeliharaan Nabi Muhammad sendiri? Jika demikian, mengapa pula Zaid bin Thabit tidak dapat memanfaatkan dalam menyiapkan Suhuf itu? Meskipun berita itu diriwayatkan oleh al-Bukhari dan dianggap sah oleh semua kaum Muslimin, penjelasan itu tetap dianggap oleh kalangan Orientalis bahwa apa yang didiktekan sejak awal dan penulisannya adalah palsu. Selain itu mereka juga mempertanyakan jika terdapat satu naskah al-Qur’an milik Nabi Muhammad mengapa beliau lalai menyerahkannya pada para Sahabat untuk disimak dan dimanfaatkan? Jika naskah itu terdapat, mengapa Zaid bin Thabit tidak memakainya sebagai narasumber di zaman pemerintahan Abu Bakr? Jadi, karena Nabi tidak pernah menyerahkan bahan-bahan tertulis kepada para sahabat, maka tidak ada unsur kesaksian yang terjadi pada naskah kertas kulit yang dapat digunakan sebagai sumber utama untuk tujuan perbandingan, baik oleh Zaid maupun orang lain.

Pertanyaan-pertanyaan tersebut boleh saja dilontarkan, manun fakta-fakta bahwa para huffaz yang jumlahnya ribuan memperoleh ilmu pengetahuan Al-Qur’an melalui satu-satunya otoritas yang saling beruntun di muka bumi ini yang, akhirnya, sampai pada Nabi Muhammad. Hingga wafatnya Rasulullah SAW hampir seluruh catatan-catatan awal para sahabat nabi yang merupakan koleksi pribadi dengan perbedaan kualitas dan kuantitasnya telah wujud. Karena untuk keperluan masing-masing, banyak yang menuliskan catatan tambahan sebagai keterangan atau komentar (tafsir) dipinggir ataupun disela-sela ayat yang mereka tulis. Namun, sekali lagi rekaman catatan para sahabat itu tidak lebih utama dari hapalan mereka. Itulah sebabnya mengapa setelah susutnya jumlah penghafal Al-Qur’an karena gugur di medan perang, Khalifah Abu Bakr as-Siddiq r.a berusaha mengkodifikasikan (jam’) dengan membentuk sebuah tim pengumpul hingga Al-Qur’an terkumpul dalam satu mushaf, berdasarkan periwayatan langsung (first-hand) dan mutawaatir dari Nabi SAW. Setelah wafatnya Abu Bakr r.a (13H/634M), mushaf tersebut disimpan oleh Khalifah Umar r.a sampai beliau wafat (23H/644M), lalu disimpan oleh Hafsah, sebelum kemudian diserahkan kepada Khalifah Utsman r.a. Pada masa inilah, atas desakan permintaan sejumlah sahabat, sebuah tim ahli sekali lagi dibentuk dan diminta mendata kembali semua qira’at yang ada, serta meneliti dan menentukan nilai keshahihan periwayatannya untuk kemudian melakukan standarisasi demi mencegah kekeliruan dan perselisihan. Untuk membuat kompilasi Suhuf, Abu Bakr bertahan pada pendiriannya bahwa setiap orang tidak hanya mesti membawa ayat, melainkan juga dua orang saksi guna membuktikan bahwa penyampaian bacaan itu datang langsung dari Nabi Muhammmad. Hukum kesaksian ini juga dihidupkan kembali di zaman pemerintahan `Uthman. Jadi otoritas saksi merupakan poin paling penting dalam menentukan keutuhan nilai sebuah dokumen.  Ayat-ayat yang telah ditulis tetap terpelihara di suatu tempat tertentu. Hasilnya dibukukan dalam beberapa mushaf standard yang masing-masing mengandung qira’at mutawaatirah yang disepakati keshahihan periwayatannya dari Nabi SAW. Jadi sangat jelaslah fakta sejarah dan proses kodifikasinya.

4. Mempersoalkan kandungan al-Qur’an
Dari menekankan pada substansi al-Qur’an sebagai teks orientalis kemudian beralih mempersoalkan kandungan teks al-Qur’an. Dengan menggunakan pendekatan historis dan fenomenologis, W. Montgomery Watt misalnya beranggapan bahwa sumber wahyu al-Qur’an itu ada dua yaitu Tuhan dan nabi Muhammad. Dari anggapan ini ia kemudian menafsirkan bahwa wahyu al-Qur’an itu bersumber dari Allah tetapi diproduksi oleh Muhammad dengan bahasanya sendiri dalam konteks lingkungan dan sosio-religius (Yahudi dan Kristen). Watt di satu sisi tidak menolak Islam yang fundamental, tetapi disisi lain dia menerapkan pendekatan Historisme yang bertentangan dengan keyakinan Islam. Watt menolak malaikat Jibril sebagai pembawa wahyu. Baginya wahyu turun dari Tuhan hanya dalam bentuk makna, bukan dalam bentuk lafal. Karena ada peranan Nabi Muhammad dalam subtansi wahyu, maka dari sini menurutnya dimungkinkan terjadinya kekeliruan dalam al-Qur’an. Contoh kekeliruan yang ia tunjukkan adalah penolakan terhadap penyaliban Yesus dalam al-Qur’an (QS 4:157). Ajaran seperti ini menurut Watt diambil Muhammad dari sekte Kristen Syiria yang keliru. Watt berkesimpulan bahwa dengan keterlibatan Nabi Muhammad dalam subtansi wahyu, maka bisa terjadi kekeliruan dalam Al-Qur’an bila kekeliruan seperti penolakan Yesus dihilangkan, maka Islam dan Kristen bisa bersatu.

Kajian terhadap kandungan al-Qur’an dengan menggunakan framework Barat dilakukan oleh Joseph Schacht dalam karyanya Introduction to Islamic Law. Schacht membagi hukum dalam Islam kepada judul judul berikut: orang (persons), harta (property), kewajiban umum (obligations in general), kewajiban dan kontrak khusus (obligations and contracts in particular), dan lain-lain.[9] Susunan seperti ini berdasarkan tata hokum Romawi dan bukan tata hukum Islamdan tidak ada kaitannya sama sekali dengan topik bahasan serta pembagi­annya yang digunakan dalam sistem perundang-undangan Islam. Wansbrough melakukan hal yang sama terhadap Al-Qur’an dengan membagi Quranic Studies menurut empat prinsip-prinsip penafsiran (Principles of Exegesis) yaitu: (1) Tafsiran Masoreti (Masoretic exegesis); (2) Penafsiran Hagadi (Haggadic exegesis); (3) Deutungsbedurftigkeit; (4) Penafsiran Halaki (Halakhic exegesis); dan (5) Retorika dan simbol perumpamaan (Rhetoric and allegory). Tafsir-tafsir seperti ini tidak dipahami oleh para ilmuwan Muslim baik yang berlatar belakang pendidikan Timur mau pun Barat. Barangkali hanya pendeta Yahudi yang dapat menjelaskan peristilahan Perjanjian Lama yang mengerti jenis tafsir itu. Mengapa mereka melakukan itu semua, tidak lain adalah untuk membuktikan bahwa isi kandungan al-Qur’an itu bersumber dari Yahudi dan Kristen.[10] Ini dapat diperkuat oleh pandangan Wansbrough, yang menyatakan bahwa “Doktrin ajaran Islam secara umum, hahkan ketokohan Muhammad, dihangun di atas prototype kependetaan agama Yahudi.”[11]
 
Kajian tentang kandungan al-Qur’an selain Joseph Schacht dan Wansbrough dilakukan oleh Noldeke. Ia mengkritik isi sejarah yang tertuang dalam al-Qur’an. Dalam satu artikel Encyclopedia Britannica (1891) Noldeke, menyebutkan banyak kekeliruan di dalam al-Qur’an karena “kejahilan Muhammad” tentang sejarah awal agama Yahudi. Menurutnya terdapat kecerobohan dalam menyebut nama-nama yang dicuri dari sumber-sumber Yahudi.[12] Dengan membuat daftar kesalahan la menyebut:

[Bahkan] orang Yahudi yang paling tolol sekalipun tidak akan pernah salah menyebut Haman (menteri Ahasuerus) untuk menteri Fir’aun, ataupun menyebut Miriam saudara perempuan Musa dengan Maryam (Miriam) ibunya al-Masih…. [Dan] dalam kebodohannya tentang sesuatu di luar tanah Arab, ia menyebutkan suburnya negeri Mesir-di mana hujan hampir-hampir tidak pernah kelihatan dan tidak pernah hilang-karena hujan, dan bukan karena kebanjiran yang disebabkan oleh sungai Nil (QS XII: 49).[13]

Menurut Azami pandangan Noldeke ini sebenarnya juga merupakan kecerobohan. Sebab  menyimpulkan bahwa Fir’aun tidak memiliki seorang menteri yang bernama Haman, hanya karena tidak disebut dalam Kitab Suci yang terdahulu, adalah naïf. Demikian ketika menyalahkan al-Qur’an dalam soal hubungan kekerabatan Maryam (Ibu Isa al-­Masih) sebagai “saudara perempuan Harun” bukan Musa.[14] Noldeke salah sebab Maryam atau Elizabeth sebagai “saudara-saudara perempuan Harun” atau “anak-anak perempuan `Imran” (ayah Harun).[15]

Kritikan orientalis mengenai kandungan al-Qur’am telah dibahas dengan baik oleh Muhmammad Khalifa, dalam The Sublime Qur’an and Orientalism. Dalam buku ini Khalifa adalah Konsep  Tuhan dalam al-Qur’an, pengertian Islam, kepercayaan dalam Islam, ritual-ritual dalam Islam, sikap al-Qur’an terhadap agama lain, Konsep moralitas dalam al-Qur’an, masalah Qada-Qadar dan masalah-masalah metafisis seperti ruh, jiwa, kematian, neraka, surga, hari akhir, pembalasan dan lain sebagainya.[16]

5. Menggunakan Metodologi Bibel
Karakteristik orientalis yang lain adalah penerapan metodologi kajian Bibel kedalam kajian al-Qur’an. Metodologi tersebut adalah kritis historis. Tokohnya adalah pendeta Edward Sell (m. 1932), salah seorang misionaris terkemuka di Madras, India. Ia mendesak agar kajian kritis-historis al-Qur’an dilakukan dengan menggunakan kritik Bibel (biblical criticism). Ia sendiri merealisasikan gagasannya dengan menulis Historical Development of the Qur’an, yang diterbitkan pada tahun 1909 di Madras, India.[17] Ia juga menjadikan karya Theodore Nöldeke, Geschichte des Qorans, sebagai model untuk kajian kritis al-Qur’an.[18] Jejak Sell kemudian diikuti oleh Pendeta Alphonse Mingana (m. 1937) yang menyatakan:

Sudah tiba masanya untuk melakukan kritik teks terhadap al-Qur’an sebagaimana telah kita lakukan terhadap Bibel Yahudi yang berbahasa Ibrani-Aramaik dan kitab suci Kristen yang berbahasa Yunani.[19]

Selain itu Arthur Jeffery (m. 1959), seorang orientalis dari Australia melihat konsep kesucian al-Qur’an sebagaimana konsep kesucian Bibel. Kesucian Bibel bukan karena dirinya sendiri, akan tetapi oleh karena tindakan komunitas masing-masing agama. Jeffery mengatakan:

Komunitaslah yang menentukan masalah suci dan tidaknya [kitab suci]. Komunitaslah yang memilih dan mengumpulkan bersama tulisan-tulisan tersebut untuk kegunaannya sendiri, yang mana komunitas merasa bahwa ia mendengar suara otoritas keagamaan yang otentik yang sah untuk pengalaman keagamaan yang khusus.”[20]

Jeffery mencoba menyamakan apa yang terjadi di dalam komunitas lintas agama. Komunitas Kristen (Christian community) misalnya, memilih 4 dari sekian banyak Gospel, menghimpun sebuah korpus yang terdiri dari 21 Surat (Epistles), Perbuatan-Perbuatan (Acts) dan Apocalypse yang kesemua itu membentuk Perjanjian Baru (New Testament). Ini sama dengan komunitas Muslim, dimana penduduk Kufah, misalnya, menganggap Mushaf ‘Abdullah ibn Mas‘ud sebagai al-Qur’an edisi mereka. Penduduk Basra menganggap Mushaf Abu Musa sebagai milik mereka, sedangkan penduduk Damaskus dengan Mushfaf Miqdad ibn al-Aswad, dan penduduk Syiria dengan Mushaf Ubay.[21] Jeffery menyatakan sikap awal kaum Muslimin tersebut paralel sekali dengan sikap masing-masing pusat-pusat utama gereja terdahulu yang menetapkan sendiri ragam variasi teks untuk Perjanjian Baru. Teks Perjanjian Baru memiliki berbagai versi seperti teks Alexandria (Alexandrian text),[22] teks Netral (Neutral text),[23] teks Barat (Western text),[24] dan teks Kaisarea (Caesarean text).[25] Masing-masing teks tersebut memiliki varian bacaan tersendiri.

Bukan hanya itu, Jeffery juga menghimbau para cendekiawan Muslim untuk melakukan kritik teks kepada al-Qur’an, sebagaimana yang telah dilakukan kepada Bibel. Hal ini tampak menurut Jeffery, karena belum ada satupun dari para mufasir Muslim yang menafsirkan al-Qur’an secara kritis. Ia mengharapkan agar tafsir kritis terhadap teks al-Qur’an bisa diwujudkan. Caranya dengan mengaplikasikan metode kritis ilmiah (biblical criticism). Jeffery meyatakan:

Apa yang kita butuhkan, bagaimanapun, adalah tafsir kritis yang mencontohi karya yang telah dilakukan oleh orientalis modern sekaligus menggunakan metode-metode penelitian kritis modern untuk tafsir al-Qur’an.”[26]

Dari mencontoh kritik terhadap Bibel (biblical criticism), Jeffery merancang proyek ambisius yaitu mengedit al-Qur’an secara kritis (a critical editon of the Qur’an). Sekalipun proyek Jeffery gagal disebabkan kematian kolega-koleganya dan perang dunia ke-2 yang menghancurkan 40.000 naskah lebih yang telah dihimpun di Munich, usaha untuk mengadopsi metodologi Bibel kepada al-Qur’an, masih terus berlanjut. Pada pertengahan abad ke 20, John Wansbrough (m. 2002) dalam karyanya Quranic Studies yang terbit pada tahun 1977, menggunakan kritik sumber (source criticism) ke dalam studi al-Qur’an. Ia menyatakan: “As a document susceptible of analysis by the instruments and techniques of Biblical criticism it is virtually unknown.[27]

Berlanjut sehingga kini, orientalis terus-menerus mengaplikasikan metodologi Bibel dalam studi al-Qur’an. Baru-baru ini ketika mereview Die syro-aramäische Lesart des Koran. Ein Beitrag zur Entsclüsselung der Koransprache (Cara membaca al-Qur’an dengan bahasa Syria-Aramaik. Sebuah sumbangsih upaya pemecahan kesulitan memahami bahasa al-Qur’an), karya Christoph Luxernberg (nama samaran), Robert R. Phenix Jr. and Cornelia B. Horn menyatakan: “Tidak di dalam sejarah tafsir al-Qur’an karya seperti ini pernah dihasilkan. Karya-karya yang sama hanya dapat ditemukan di dalam bentuk kesarjanaan kritis teks Bibel.” (Not in the history of commentary on the Qur’an has a work like this been produced. Similar works can only be found in the body of text-critical scholarship on the Bible.)[28]

Akibat penerapan biblical criticism dalam studi al-Qur’an, para orientalis  melontarkan berbagai pendapat yang kontroversial mengenai al-Qur’an seperti:  al-Qur’an telah mengalami berbagai penyimpangan; standartisasi al-Qur’an disebabkan rekayasa politik dan manipulasi kekuasaan; Utsman ibn Affan salah karena telah mengkodifikasi al-Qur’an; perlunya mewujudkan al-Qur’an edisi kritis; al-Qur’an ditulis bukan dengan bahasa Arab tetapi bahasa Aramaik; al-Qur’an adalah karangan Muhammad; terdapat sejumlah kesalahan dalam penulisan al-Qur’an; tidak ada di dalam al-Qur’an yang orisinal dan berasal dari langit karena wujudnya pengaruh Yahudi-Kristen yang sangat dominant dalam al-Qur’an, menyamaratakan qira’ah mutawatirah dengan qira’ah shadhdhah, merubah kata dan kalimat dalam al-Qur’an dan lain sebagainya.

Kesimpulan
Dari uraian diatas jelaslah bahwa pemahaman orientalis terhadap Islam didorong oleh motif-motif tertentu yang penuh dengan kepentingan Barat. Demikian pula kajian mereka terhadap sejarah al-Qur’an, proses kompilasinya, status ontologisnya, kandungannya dan metodologinya dipengaruhi oleh pendekatan ilmu pengetahuan Barat sekuler dan diwarnai oleh kepercayaan dan tradisi agama Kristen dan Yahudi. Karena pendekatan ini berbeda dengan apa yang terdapat dalam tradisi intelektual Islam maka hasilnya pun akan berbeda. Ketika mereka menerapkan metodologi Bibel, teks al-Qur’an dianggap sama dengan teks Bibel, padahal keduanya berbeda secara histories maupun secara tekstualnya. Kajian terhadap al-Qur’an mensyaratkan adanya unsur keimanan, sedangkan para orientalis itu mengkaji al-Qur’an tanpa keimanan, sehingga hal-hal yang bersifat doktriner ditinggalkan. Al-Tabari, misalnya, menegaskan bahwa syarat utama seorang penafsir adalah akidah yang benar dan komitmen mengikut sunnah Nabi. Orang yang akidahnya cacat tidak bisa dipercayai untuk mengemban amanah yang berkaitan dengan urusan keduniawian apalagi urusan keagamaan! (min shartihi sihhat al-i‘tiqad, wa luzum sunnat al-din, fainna man kana magmusan ‘alayhi fi dinihi, la yu’tamana ‘ala al-dunya, fa kaifa ‘ala al-din!).[29]

Kajian yang hanya mengandalkan akal hanya akan menimbulkan keraguan ketika menemui masalah-masalah yang tidak bisa dijangkau oleh akal. Oleh sebab itu, jika kaum Muslimin membaca karya orientalis mengenai al-Qur’an, mereka perlu bersikap hati-hati dan kritis. Abu Hurayrah, Ibn Abbas, Zayd ibn Aslam, Ibn Sirin, al-Hasan al-Basri, al-Dahhak, Ibrahim al-Nakhai menyatakan: “Sesungguhnya ilmu ini adalah din (agama). Oleh sebab itu, perhatikanlah dari siapa kamu mengambil agamamu.” (inna hadza al-ilm din fanzuru ‘amman ta´khuzuna dinakum).[30] Jadi, keimanan dan keyakinan akan kebenaran al-Qur’an sangat penting bagi seorang yang mengkaji al-Qur’an. Ini disebabkan status al-Qur’an yang berbeda dengan teks-teks yang lain.

Satu hal yang perlu diakui secara jujur adalah bahwa setiap teks memiliki latar belakang sejarahnya sendiri sendiri. Oleh sebab itu, menerapkan metodologi suatu teks kedalam kajian teks yang lain, khususnya al-Qur’an tidaklah tepat. Metodologi yang tidak sesuai untuk mengkaji al-Qur’an akan menggiring kesimpulan yang justru bertentangan dengan esensi al-Qur’an sendiri. Alasan lainnya al-Qur’an telah memiliki metodologi tersendiri. Metodologi kajian al-Qur’an yang diwarisi dari para ulama itu adalah ‘ulum al-Qur’an. Meskipun ada beberapa persamaan antara ‘ulum al-Qur’an dan biblical criticism, namun terdapat sejumlah perbedaan yang mendasar terutamanya status teks itu sendiri. Jika metodologi Bibel ditrapkan dalam kajian al-Qur’an sudah tentu metode tafsir al-Qur’an juga dapat ditrapkan dalam kajian Bibel. Jika kajian al-Qur’an ditrapkan kedalam kajian teks Bible, tentu Bibel menjadi tidak berarti apa-apa. Jadi Biblical criticism hanya tepat diterapkan untuk Bibel dan bukan untuk kajian al-Qur’an.  Sebab Bibel itu adalah hasil karangan beberapa orang penulis yang hidup dalam zaman yang berlain-lainan. Latar belakang penulis yang beragam mewarnai isi Bibel. Oleh sebab itu, textus receptus dan teks standar Bibel memang harus ditolak karena justru menghilangkan keaneka-ragaman yang memang sejak awal sudah terjadi.

Jika teks Bibel bisa disamakan dengan teks-teks lain yang dikarang oleh manusia, maka al-Qur’an tidak demikian, karena ia adalah tanzil yang tidak bisa disamakan dengan teks karangan manusia. Bahkan anggapan sementara orang bahwa al-Qur’an telah tercampur oleh perkataan Nabi Muhammad telah terbantah oleh firman Allah SWT yang artinya: “Seandainya dia (Muhammad) mengadakan sebagian perkataan atas (nama) Kami, niscaya Kami pegang dia pada tangan kanannya, kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya”.[31] Allah juga berfirman yang artinya: “Dan tiadalah yang diucapkannya itu (al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”.[32]

Oleh: Hamid Fahmy Zarkasyi


[1] The Oxford English Dictionary, Oxford, 1933, vol. VII, hal.200
[2] Edward Said, Orientalism Vintage Books, New York, 1979), hal. 92
[3] Sir Hamilton Gibb, Pre-Islamic Monotheism in Arabia, Harvard Theological Review, 55, 1962, 269.
[4] al-RisÉlah, Cairo, tt. Hal. 133-137
[5] M.Watt, Muhammad at Mecca, Edinburgh University Press, 1960, hal. 103
[6] Lihat Dr. Afaf, al-MushtashrikËn wa Mushkilat al-×aÌÉrah, Dar al-NahÌah al-‘Arabiyyah, Cairo, 1980, hal. 33-34
[7] A.L. Tibawi, “A Critique of Their Approach to Islam and Arab Nationalism”, dalam The Islamic Quarterly, London 1964, vol. VIII, no. 1-2, hal. 41).
[8] Menurut Jeffery, “Para ilmuwan Barat tidak sependapat bahwa susunan teks Al-Qur’an yang ada di tangan kita sekarang, sama dengan apa yang terdapat pada zaman Nabi Muhammad “, maksudnya dalam hal susunan surah dan ayat­ayatnya.

[9] J. Schacht, An Introduction to Islamic Law, Oxford Univ. Press, 1964, lihat kandungan isi.
[10] M.M al A’zami, The History of The Qur’anic Text – From Revelation to Compilation, terjemahan Bahasa Indonesia, Sejarah Teks Al-Quran – Dari Wahyu Sampai Kompilasinya, Gema Insani Press dan Universitas Islam Internasional Malaysia, Jakarta, 2005, hal. 337-343; lihat juga  J. Wansbrough, Quranic Studies, lihat Isi Kandungan.
[11] Lihat R.S. Humpreys, Islamic History: A Framework for Inquiry Revised edition, Princeton Univ. Press, 1991, hlm. 84.
[12] Lihat “The Koran”, Encyclopedia Britannica, ed. ke 9, 1891, jld. 16, hlm. 597ff. Dicetak kembali dalam Ibn Warraq (ed.), The Origins of the Koran: Classic Essays on Islam’s Holy Book, Prometheus Books, Amherst, NY, 1998, hlm. 36-63.
[13] T. Noldeke, “The Koran”, dalam Ibn Warraq (ed.), The Origins of the Koran, hlm. 43.
[14] Qur’an 19: 28
[15] Lihat komentar Yusuf Ali dalam The Holy Qur’an, mengenai ayat 3: 35 dan 19: 28.
[16] Khalifa, Mohammad, The Sublime Qur’an and Orientalism, Longman London and New York, 1983, lihat Kandungan isi.
[17] Lihat Canon Sell, Studies in Islam (Delhi: B. R. Publishing Corporation, 1985; pertama kali terbit tahun 1928) 253-56.
[18] Arthur Jeffery, “The Quest of the Historical Mohammed,” The Moslem World 16 (1926) 330.
[19] Mingana menyatakan: “The time has surely come to subject the text of the Kur’Én to the same criticism as that to which we subject the Hebrew and Aramaic of the Jewish Bible, and the Greek of the Christian Scriptures.” Lihat Alphonse Mingana, “Syiriac Influence on the Style of the Kur’Én,” Bulletin of the John Rylands Library 11: 1927.
[20] Arthur Jeffery menyatakan: “It was the community which decided this matter of what was and what was not Scripture. It was the community which selected and gathered together for its own use those writings in which it felt that it heard the authentic voice of religious authority valid for its peculiar religious experience.” Lihat Arthur Jeffery, “The Qur’Én as Scripture,” The Moslem World 40 (1950), 43.
[21] Arthur Jeffery, The Qur’Én as Scripture (New York: Russell F. Moore Company, 1952), 94-95.
[22] Menurut Westcott dan Hort, teks Alexandria dalam tahap tertentu terjaga di dalam kodeks Ephraemi (C), kodeks Regius (L), kodeks 33, dan versi-versi Koprik (Khususnya Bohairik), sebagaimana juga kutipan-kutipan dari Gerejawan Alexandria, Klement, Origen, Dionysius, Didymus dan Cyril. Dikutip dari Bruce M. Metzger, The Text of the New Testament, 133.
[23] Dalam pandangan Westcott dan Hort, teks Netral adalah teks yang paling bebas dari kerusakan dan percampuran dan yang paling dekat dengan teks otograf. Kodeks Vaticanus (B) dan kodeks Sinaiticus (א) yang paling mewakili teks Netral. Lihat lebih lanjut Bruce M. Metzger, The Text of the New Testament, 133.
[24] Teks Barat terjaga di dalam manuskrip-manuskrip inci tertentu yang dalam dua bahasa (certain bilingual uncial manuscripts), utamanya kodeks Bezae tentang Bibel dan Perbuatan-Perbuatan (D) dan kodeks Claromontanus tentang Surat-Surat (Dp) dalam versi Latin Kuno (s) dan dalam manuskrip-manuskrip Kuretonia (Curetonian) yang berbahasa Syiriak Kuno. Lihat penjelasan lebih lanjut di Bruce M. Metzger, The Text of the New Testament, 132; 213-14.
[25] Mungkin teks Kaesarea berasal dari Mesir dan dibawa oleh Origen ke Kaesarea, dan dari situ dibawa ke Israil. Karakteristik khusus dari teks Kaesarea adalah percampuran antara bacaan Barat (Western readings) dan Alexandria (Alexandria readings). Lihat Bruce M. Metzger, The Text of the New Testament, 214-15.
[26] Arthur Jeffery menulis: “What we needed, however, was a critical commentary which should embody the work done by modern Orientalists as well as apply the methods of modern critical research to the elucidation of the Koran. Lihat Arthur Jeffery, Progress in the Study of the Qur’Én Text, The Moslem World 25 (1935), 4.
[27] John Wansbrough, Quranic Studies; Sources and Methods of Scriptural Interpretation (Oxford: Oxford University Press, 1970), ix
[28] Robert R. Phenix Jr. and Cornelia B. Horn, Christoph Luxenberg (ps.) “Die syro-aramaeische Lesart des Koran; Ein Beitrag zur Entschüsselung der Qur’ansprache.” Hugoye: Journal of Syiriac Studies, 1. Dikutip dari http://syrcom.cua.edu/Hugoye/Vol6NO1/HV6N1PRPhenixhorn.html
[29] Dikutip dari JalÉl al-DÊn al-SuyËÏÊ, al-ItqÉn fÊ ÑulËm al-Qur’an (Beirut: DÉr al-KitÉb al-‘ArabÊy, 2003), 854.
[30] ImÉm AbÉ HÉtim MuÍammad ibn ×ibbÉn, Kitab al-MajruhÊn min al-MuhaddithÊn wa al-ÖuÑafÉ’ wa al-MatrËkÊn, editor MaÍmËd IbrÉhÊm ZÉyid (×alb/Aleppo: DÉr al-WaÑy, 1396 H), 1: 21-23.
[31] Surah al-Haqqah (69: 44-46).
[32] Surah al-Najm (53: 3-4).

0 komentar: