Jumat, 06 April 2012

BAB 1 SUBSTANSI USHUL FIQIH

           
1. Definisi Ushul Fiqih
Istilah ushul fiqih dibentuk dari dua lafadz: Ushûl dan al-Fiqh, yang disusun berdasarkan konstruksi genetif (tarkîb idhâfî), yaitu mudhâf (yang disandarkan), Ushûl dan mudhâf ilayh (yang menjadi sandaran), al-Fiqh. Secara etimologis, masing-masing berarti, dasar dan faham.[1] Dalam konteks inilah, al-Qur'an menggunakan lafadz Fiqh dengan konotasi pemahaman:

]قَالُوا يَاشُعَيْبُ مَا نَفْقَهُ كَثِيرًا مِمَّا تَقُولُ[
Mereka berkata: "Hai Syu`aib, kami tidak banyak mengerti tentang apa yang kamu katakan itu. (QS. Hûd [11]: 91).

Lafadz ini kemudian digunakan oleh para ulama' salaf dan fuqahâ' ummat ini sejak abad pertama untuk menyebut pengetahuan mengenai hukum syara' tentang perbuatan, yang digali (al-mustanbathah) atau diperoleh (al-muktasabah) dari dalil-dalil tafshîli (kasus per kasus)-nya.[2]

         Sahabat agung, Alî bin Abî Thâlib, mengunakan lafadz Fiqh untuk menyatakan hukum halal-haram:

Fiqh (memahami halal-haram) sebelum berdagang, sebab siapa saja yang berdagang, sebelum memahami halal-haram, niscaya akan terperosok dalam Riba, kemudian terperosok lagi.[3]   

Seorang tabiin agung, Sa'îd bin Jubayr, ketika ditanya mengenai fiqih, beliau menjawab:

Ilmu mengenai perintah dan larangan Allah, serta apa saja yang diperintahkan, yaitu ilmu mengenai sunnah Nabi saw. dan memelihara apa yang Anda lakukan. Itulah fiqih dalam urusan agama ini.[4]   

Namun, ilmu mengenai satu atau dua hukum tadi tidak bisa disebut fiqih. Fiqih adalah istilah yang digunakan dengan konotasi kumpulan hukum perbuatan cabang (al-ahkâm al-'amaliyyah al-far'iyyah) yang digali dari dalil-dalil kasus per kasus (al-adillah at-tafshîliyyah). Maka, ketika dikatakan Kitâb al-Fiqh, konotasinya adalah kitab yang mengandung sejumlah hukum perbuatan cabang. Begitu juga ketika dikatakan Ilm al-Fiqh berarti konotasinya adalah kumpulan hukum-hukum perbuatan cabang. Hanya saja, ini secara spesifik untuk hukum perbuatan cabang. 

Dengan demikian, Ushûl al-Fiqh bisa dimaknai dengan kaidah yang mendasari diraihnya kebisaan (kemampuan) menguasai hukum-hukum perbuatan (al-ahkâm al-'amaliyyah) dari dalil-dalil kasus per kasus (al-adillah at-tafshîliyah). Karena itu, ushul fiqih juga bisa didefinisikan dengan pengetahuan mengenai kaidah yang bisa digunakan untuk menggali hukum-hukum syara' cabang dari dalil-dalil tafshîli.[5] Juga bisa dikatakan sebagai dalil-dalil fiqih, aspek penunjukannya terhadap hukum syara' (jihat dalâlatiha 'alâ al-ahkâm as-syar'iyyah), serta tata cara pemakai dalil menarik kesimpulan dari dalil (kayfiyyah hâl al-mustadill).

Untuk memperjelas definisi di atas, beberapa batasan yang dikemukakan di atas perlu diperjelas:
1.      Kaidah adalah hukum global (al-hukm al-kulli) yang layak diaplikasikan pada bagian-bagiannya yang banyak, baik kaidah syara' maupun kaidah bahasa, seperti: [6]

« إعْمَالُ الدَّلِيْلَيْنِ أوْلَى مِنْ إِهْمَالِ أَحَدِهِمَا »
Mengaplikasikan dua dalil lebih baik daripada mengabaikan salah satu darinya.

« لاَ يُصْرَفُ اللَّفْظُ مِنَ الْحَقِيْقَةِ إِلَى المْجَازِ إِلاَّ بِقَرِيْنَةٍ »  
Lafadz tidak boleh dipalingkan dari makna hakiki menjadi makna kiasan kecuali dengan adanya indikator tertentu.

2.      Dalîl fiqih adalah argumentasi (hujjah) yang bisa digunakan untuk membuktikan, bahwa yang dibuktikan adalah hukum syara'.[7] Ini juga bisa disebut dalil global (kulli) atau ijmâli, yaitu al-Qur'an dan as-Sunnah, serta apa yang ditunjukkan oleh keduanya, yakni Ijma' Sahabat dan Qiyas. 

3.      Hukum perbuatan cabang adalah apa saja yang berkaitan dengan perbuatan fisik, dan bukan merupakan hukum asal atau fundamental (al-ashliyyah), yaitu hukum-hukum keimanan, seperti wajibnya iman dan haramnya kekufuran. At-Taftazâni berkata:

Ketahuilah, bahwa hukum-hukum syariat ada yang berkaitan dengan tatacara melakukan perbuatan. Ia disebut (hukum-hukum) Far'iyyah (cabang) dan 'Amaliyyah (praktis), dan ada yang berkaitan dengan keyakinan. Ia disebut (hukum-hukum) Ashliyyah (ushul) dan I'tiqadiyyah (keyakinan).[8]

4.      Dalîl tafshîli adalah argumentasi syar'i yang menunjukkan hukum masalah tertentu, atau kasus per kasus, semisal:

} وَأَقِيمُوا الصَّلاَةَ {
Dan tunaikan shalat (QS. al-Baqarah [2]: 43).

} وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ {
Makan dan minumlah hingga nampak bagi kamu (perbedaan) antara benang merah dan benang putih, yaitu fajar (QS. al-Baqarah [2]: 187).

Surat al-Baqarah: 43 menjelaskan tentang kefarduan shalat, sedangkan surat al-Baqarah: 187 menjelaskan tentang hukum sabab puasa, yaitu terbitnya fajar. 


 1.1. Perbedaan Ushul Fiqih dengan Fiqih

Perbedaan mendasar antara fiqih dan ushul fiqih bisa dideskripsikan sebagai berikut:

  1. Ushul fiqih, sebagaimana yang telah diuraikan di atas, adalah kaidah yang diikuti oleh mujtahid dalam menggali hukum syara' yang menyangkut perbuatan dari dalil-dalil kasus per kasusnya, seperti kaidah: I'mâl ad-dalîlayni awlâ min ihmâl ahadihimâ (Mengaplikasikan dua dalil lebih baik daripada mengabaikan salah satu darinya), sementara fiqih adalah pengetahuan mengenai hukum syara' yang dihasilkan dari dalil-dalil kasus per kasusnya, seperti khamer haram, jihad wajib, bersuci syarat sahnya shalat. Sementara haid (menstruasi) menjadi penghalang (mâni') dilakukannya shalat. 
  2.  Ushul fiqih meliputi pembahasan mengenai bahasa dan kaidahnya, sebab kaidah-kaidah tersebut mutlak diperlukan oleh mujtahid, seperti pembahasan mengenai makna hakiki dan majaz, makna huruf jarr, syarath, lafadz umum dan sebagainya. Sementara fiqih hanya menjelaskan hukum syara' yang mengikat orang mukallaf, seperti wajibnya shalat, haramnya riba dan sebagainya.
  3. Ushul fiqih membahas dalil syara' secara global, seperti al-Qur'an, as-Sunnah, Ijma' Sahabat dan Qiyas, dari aspek bahwa semuanya tadi bersumber dari wahyu Allah, serta kaidah dan bentuk (shîghat) yang terdapat di dalamnya, seperti umum, khusus, mutlak, muqayyad (terikat), mujmal dan mubayyan, dan lain-lain. Sementara fiqih membahas dalil parsial atau kasus per kasus yang menjelaskan hukum tertentu, baik menyangkut perbuatan maupun benda tertentu, agar seorang mukallaf bisa mengikatkan perbuatan dan benda dengan hukum tersebut.
  4. Tujuan ushul fiqih adalah mengaplikasikan kaidah terhadap dalil kasus per kasus supaya bisa menghasilkan tata cara mengambil hukum syara' yang berkaitan dengan perbuatan. Sementara fiqih merupakan penjelasan dan aplikasi hukum syara' terhadap perbuatan dan pernyataan manusia, serta mengajarkan kepada orang mukallaf mengenai perintah dan larangan Allah agar seluruh perbuatan dan pernyataan mereka terikat dengannya.  

1.2. Perbedaan Ushul Fiqih dengan Kaidah Fiqih
Mengenai perbedaan ushul fiqih dengan kaidah fiqih bisa dideskripsikan sebagai berikut:
  1. Ushul fiqih adalah metodologi yang menjadi pedoman mujtahid dalam rangka menggali hukum syara', dan agar dalam proses penggalian tersebut tidak terjebak dalam kesalahan. Maka, kaidahnya akan menentukan sumber dalil syara', apakah dari Allah atau tidak, serta bagaimana dalil tersebut digunakan untuk menghasilkan kesimpulan terhadap hukum. Sementara kaidah fiqih adalah kaidah umum bagi hukum-hukum parsial (al-ahkâm al-juz'iyyah) yang mempunyai kesamaan sifat tertentu, sehingga kaidah tersebut merupakan bagian dari fiqih, bukan ushul fiqih.
  2. Kaidah dalam ushul fiqih itu bersifat general, dan bisa diaplikasikan pada beragam dalil dan hukum, apakah dalil tersebut al-Qur'an, as-Sunnah, Ijma' Sahabat atau Qiyas, juga apakah hukum tersebut merupakan hukum ibadah, mu'amalah, 'uqûbât atau yang lain. Misalnya, kaidah ushul:

« ماَ لاَ يَتِمُّ الوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ »
Kewajiban tidak akan sempurna, kecuali jika dengan sesuatu, maka sesuatu (yang menyempurnakan kewajiban) tersebut hukumnya wajib.

bisa diaplikasikan pada dalil al-Qur'an:

} ثُـمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللًّيْلِ {
Dan sempurnakanlah puasamu hingga malam (QS. al-Baqarah [2]: 187).
untuk menunjukkan, bahwa agar puasa tersebut sah hukumnya wajib puasa tersebut memasuki bagian dari malam. Sebab, tidak mungkin kita bisa memastikan siang hari itu telah berakhir, kecuali dengan masuknya hari tersebut pada sebagian malam, sehingga berpuasa pada sebagian malam tersebut hukumnya menjadi wajib. Kaidah yang sama juga bisa diaplikasikan pada hukum pemerintahan, bahwa melaksanakan hudûd, seperti potong tangan, merajam pezina muhshan dan lain-lain adalah wajib bagi kaum Muslim, sementara untuk itu tidak mungkin kecuali dengan adanya institusi politik yang menegakkannya, maka mendirikan institusi politik, Khilafah Islam, dalam rangka menegakkannya adalah wajib berdasarkan kaidah di atas. Sementara kaidah fiqih hanya meliputi satu macam hukum yang berdekatan, seperti kaidah:

« أَمْرُ الإِمَامِ يَرْفَعُ الْخِلاَفَ »
Perintah seorang imam bisa menghilangkan perselisihan.

« أَمْرُ الإِمَامِ نَافِذٌ ظَاهِرًا وَبَاطِنًا »
Perintah seorang imam wajib dilaksanakan secara lahir dan batin.

Kaidah ini hanya berlaku untuk hukum yang diadopsi oleh seorang kepala negara (khalifah), sehingga apa yang diadopsinya mengikat seluruh kaum Muslim untuk diikuti dan dipatuhi. Kaidah ini tidak bisa digunakan dalam konteks hukum yang diadopsi oleh hakim atau wali.

2. Obyek Pembahasan Ushul Fiqih
Berdasarkan definisi di atas, obyek pembahasan ushul fiqih bisa dirumuskan sebagai berikut:
  1. Dalil-dalil global (al-adillah al-ijmâliyyah), seperti al-Qur'an, as-Sunnah, dan apa yang ditunjukkan oleh kedua dalil tersebut, seperti Ijma' Sahabat dan Qiyas. Juga apa yang dianggap sebagai dalil, seperti al-Istihsân, al-Mashâlih al-Mursalah, al-Istishhâb, Mazhab Sahabat, Konvensi (al-'urf), Syariat Nabi sebelum kita (Syar'[u] man qablanâ). Pembahasan ini meliputi aspek pembuktian kehujahannya sebagai dalil, serta kedudukannya dalam mengambil kesimpulan (istidlâl).
  2. Hukum syara', dan apa saja yang mempunyai keterkaitan dengannya. Ini meliputi: (1) makna hukum, (2) pembagian hukum, (3) rukun hukum, seperti pembuat hukum (al-hâkim), hukum (al-hukm), sasaran hukum (al-mahkûm 'alayh) dan obyek yang dihukumi (al-mahkûm bihi).
  3. Penunjukan lafadz al-Qur'an dan as-Sunnah, dari aspek: (1) kejelasan dan kekaburannya (wudhûh wa khafâ'), (2) penunjukannya terhadap makna, seperti dalâlah 'ibârah, isyârah dan mafhûm mukhâlafah, (3) kemenyeluruhannya, seperti umum dan khusus (al-'âmm wa al-khâsh), mutlak dan terikat (al-muthlaq wa al-muqayyad), (4) bentuk (shîghat) yang menunjukkan taklîf tertentu, seperti bentuk perintah dan larangan, serta apa saja yang ditunjukkannya.
  4. Ijtihad dan taklid, yang meliputi makna, syarat, klasifikasi dan hukumnya, serta Ta'âdul wa tarâjîh, yang meliputi makna, cara memanfaatkan keduanya dalam menyelesaikan nash-nash syara'.[9]

3.  Tujuan Pembahasan Ushul Fiqih
Tujuan utama pembahasan ushul fiqih, menurut al-Amidi, adalah menghasilkan pengetahuan mengenai hukum syara'.[10] Hanya saja, karena hukum tersebut diperoleh dari dalil syara', sementara untuk itu perlu dilakukan pembuktian terhadap dalil, apakah dalil tersebut benar-benar syar'i atau tidak, dalam artian bersumber dari wahyu atau tidak, serta kaidah untuk menghasilkannya, maka secara lebih deskriptif tujuan pembahasan ushul fiqih bisa dirumuskan sebagai berikut:

  1. Pembuktian terhadap dalil-dalil global. Pembuktian ini dilakukan untuk memastikan, bahwa dalil yang digunakan untuk menghasilkan hukum syara' adalah syar'i, dalam artian bersumber dari wahyu. Sebab, dasar yang menjadi fondasi itu harus pasti, bahwa ia bersumber dari wahyu. Karena jika tidak pasti, tentu akan memungkinkan terjadinya perbedaan, apakah dari Allah atau tidak? Agar sumber itu disebut hujah, ia harus dibangun berdasarkan dalîl qath'î bahwa ia hujah, sehingga seorang Muslim menjadi yakin bahwa apa yang dilakukannya memang sesuai dengan perintah dan larangan Allah SWT. Allah SWT. berfirman:

} وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ {
Janganlah kamu mengambil sikap terhadap apa kamu tidak mempunyai keyakinan terhadapnya (QS. al-Isrâ' [17]: 36).

  1. Pengaplikasian kaidah ushul fiqih terhadap dalil-dalil kasus per kasus. Pengaplikasian tersebut bertujuan untuk menghasilkan hukum syara' dari dalil-dalil kasus per kasus. Misalnya, firman Allah SWT.:

} وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا {
Orang-orang yang meninggal di antara kalian, sementara mereka meninggalkan isteri-isteri, maka hendaknya mereka menunggu (masa penantian) untuk diri mereka selama empat bulan sepuluh hari. (QS. al-Baqarah [2]: 234).
} وَأُولاَتُ الأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ {
Dan para wanita yang hamil, masa (penantian) mereka adalah hingga mereka melahirkan kandungannya. (QS. at-Thalâq [65]: 4).

Nash pertama menyatakan, bahwa masa iddah bagi wanita yang ditinggal mati suaminya adalah 4 bulan 10 hari, sementara nash kedua menyatakan sampai kandungannya lahir. Kedua ayat ini kontradiksi (ta'ârudh) satu sama lain. Maka, berdasarkan kaidah-kaidah tertentu, istinbât untuk menggali hukum terhadap kedua ayat tersebut bisa dilakukan. Misalnya:

(1)    Kaidah bahasa (al-qâ'idah al-lughawiyyah) yang menyatakan, bahwa lafadz yang berbentuk umum (shiyagh al-'umûm) itu, antara lain, berupa isim al-mawshûl,[11] seperti: Walladzîna yatawaffawna minkum (Dan orang-orang yang meninggal dunia di antara kamu). Atau, berbentuk jamak dan mudhâf, seperti: Awlât al-Ahmâl (wanita-wanita hamil). Maka, bisa disimpulkan, bahwa konteks surat al-Baqarah: 234 di atas, bisa berlaku untuk umum, baik bagi wanita yang hamil maupun tidak, yang ditinggal mati suaminya. Demikian juga surat at-Thalâq: 4, juga berlaku umum, baik bagi wanita hamil yang ditinggal mati suaminya (mutawaffâ 'anhâ), atau dicerai (muthallaqah). Di sini jelas terjadi ta'ârudh antara masa iddah orang hamil yang dinyatakan dalam surat al-Baqarah sebanyak 4 bulan 10 hari, dengan orang hamil yang dinyatakan dalam surat at-Thalâq sampai kandungannya lahir. Konsekuensinya, bisa lebih lama dan lebih singkat. Jika berpatokan pada lahirnya kandungan, bisa jadi lebih lama dari 4 bulan 10 hari, misalnya, karena isteri yang ditinggal atau dicerai tersebut, usia kandungannya baru sebulan. Atau sebaliknya. 

(2)    Kaidah syara' (al-qâ'idah as-syar'iyyah) yang menyatakan, bahwa menggunakan dua dalil lebih baik daripada meninggalkan salah satunya (I'mâl ad-dalîlayn awlâ min ihmâl ahadihimâ). Maka, menggunakan kedua dalil di atas lebih baik daripada meninggalkan salah satunya. Dengan kaidah ini, kedua ayat di atas bisa dikompromikan. Caranya, wanita hamil yang ditinggal mati suaminya, hendaknya menunggu iddah-nya berdasarkan pertimbangan dua waktu yang paling lama; jika kandungannya lahir sebelum 4 bulan 10 hari dari hari kematian suaminya, maka dia harus menunggu hingga genap 4 bulan 10 hari, dan jika masa iddah 4 bulan 10 hari tersebut telah lewat, sementara kandungannya belum lahir, maka hendaknya dia menunggu hingga lahir. Ini sebagaimana yang menjadi pandangan 'Alî dan Ibn 'Abbâs.[12]

4. Sejarah Ushul Fiqih
As-Syâfi'i (w. 204 H) bisa dianggap sebagai orang yang menggariskan dasar-dasar istinbât dan mensistematikakannya dengan kaidah-kaidah umum secara menyeluruh (qâ'idah 'âmmah kulliyyah). Dengan begitu, beliau merupakan peletak dasar ilmu Ushûl al-Fiqh. Sekalipun orang yang hadir setelahnya, lebih banyak mengetahui ushul fiqih dan derivatnya. Para fukaha' sebelum as-Syâfi'i telah berijtihad tanpa ada panduan istinbât secara deskriptif di hadapan mereka, sebaliknya mereka hanya mengandalkan pemahaman mereka terhadap makna syariah, jangkauan hukum dan tujuannya, serta apa yang diisyaratkan oleh nash-nash dan tujuan-tujuan (maqâshid)-nya. Sebab, kebiasaan mereka mempelajari syariah serta skill mereka yang tinggi di bidang bahasa Arab menyebabkan mereka mengenal dengan mudah makna-maknanya, serta memahami tujuan dan maqâshid-nya. Dalam menggali hukum, mereka biasanya mengkompromikan berbagai nash, pemahaman dan maqâshid-nya, tanpa adanya panduan deskriptif yang dibukukan di hadapan mereka. 

Memang, para fukaha' sebelum as-Syâfi'i, seperti para sahabat, tabiin, dan orang-orang sepeninggal mereka telah membicarakan beberapa kasus ushul fiqih; mereka juga telah melakukan istidlâl, sebagaimana telah diriwayatkan bahwa 'Alî bin Abî Thâlib telah membahas mutlak, muqayyad, khusus, umum, nâsikh dan mansûkh. Hanya saja, itu belum dilakukan dalam bentuk panduan deskriptif. Para fukaha' yang telah membicarakan sebagian kasus ushul fiqih tersebut belum mempunyai kaidah umum yang menyeluruh, yang bisa dirujuk untuk mengetahui kharakter syariah mengenai bagaimana tata cara menyanggah dan menguatkannya, hingga as-Syâfi'i hadir menggali ilmu ushul fiqih, dan menyusun aturan global yang bisa dirujuk untuk mengetahui sistematika dalil syara' untuk khalayak. As-Syâfi'i juga telah populer di kalangan umum telah menyusun ilmu ushul fiqih dalam bukunya yang diberi nama ar-Risâlah. Dan buku tersebut sangat populer. Namun, pada dasarnya ar-Risâlah tersebut hanya mengandung sebagian ilmu ushul yang disusun oleh as-Syâfi'i. Maka, siapapun yang menelaah kitab-kitab as-Syâfi'i akan menemukan, bahwa ar-Risâlah sebenarnya mengandung beberapa pembahasan ilmu ushul fiqih, namun tidak meliputi seluruh pembahasan as-Syâfi'i di bidang ushul fiqih. Sebab, as-Syâfi'i juga mempunyai kitab lain, yang berisi beberapa pembahasan, seperti kitab Ibthâl al-Istihsân dan Jammâ' al-Ilm, bahkan di dalam kitab al-Umm sendiri berisi beberapa pembahasan tentang ilmu ushul. Di dalamnya, dikemukakan beberapa kaidah kulliyyah ketika membahas beberapa hukum cabang.

Yang membantu as-Syâfi'i menyusun ushul fiqih adalah, bahwa beliau lahir ketika fiqih Islam mengalami perkembangan yang pesat. Di negeri Islam juga telah mulai terbentuk kumpulan fiqih para mujtahid, dan juga mazhab. Perdebatan antar mujtahid dan para pengikut mazhab telah mengambil beragam bentuk fiqih dan dalil, sehingga siapa saja yang menceburkan diri ke dalamnya pasti tenggelam dalam gemuruh perdebatan. Diskusi-diskusi inilah yang mengilhami pemikiran mengenai kaidah umum yang menyeluruh, standar penentu yang kemudian menjadi dasar pembahasan dan istinbât. Kumpulan kaidah ini telah dikumpulkan dalam satu kumpulan ilmu, yaitu ilmu ushul fiqih. Sesuatu yang luar biasa dalam ushul fiqih as-Syâfi'i adalah, bahwa beliau telah menempuh pembahasan ushul secara juristik (tasyrî'i), bukan silogistik (manthiqî). Sebab, hal yang paling membahayakan pembahasan tersebut, dan bahkan terhadap kebangkitan ummat adalah cara silogistik, terutama dalam bidang fiqih dan ushul. As-Syâfi'i benar-benar telah menjauhkan sejauh-jauhnya dari cara silogistik, dan terikat sepenuhnya dengan cara juristik. Beliau tidak mengembangkan fantasi dan hipotesis teoritis, namun hanya menetapkan hal-hal yang realistik dan eksis. Artinya, beliau mengambil nash-nash syara' dan membuat kesimpulan sesuai dengan ketentuan nash dan fakta yang ditunjukkan oleh dan disaksikan oleh manusia. Dalam konteks an-nâsikh dan al-mansûkh beliau menetapkan kaidah penghapusan (an-nashkh) sebagai kasus yang --menurutnya-- nashkh tersebut terbukti ada di dalamnya berdasarkan penunjukan nashkh yang dikemukakan di dalam ayat atau hadits itu sendiri, atau hadits-hadits yang dikemukakan dari Rasul yang menjelaskan tentang nashkh, atau informasi dan keputusan yang diriwayatkan dari sahabat Rasulullah saw. Tidak seperti yang dilakukan oleh kebanyakan orang yang datang pasca beliau, dimana ketika mereka melihat adanya kontradiksi antara dua ayat atau hadits, mereka langsung berkesimpulan bahwa salah satunya menghapus yang lain, sehingga dari tindakan tersebut mereka telah terperosok dalam kesalahan yang sangat fatal. Ketika beliau mengemukakan kaidah, beliau tidak mengemukakannya berdasarkan premis-premis silogistik, namun beliau mengemukakan sumber-sumber pengambilannya; kadang kala berdasarkan ditrasmisikan dari Nabi saw. atau fatwa sahabat. Dalam menggali kaidah-kaidah standar, beliau berorientasi pada orientasi praktis, yang berpijak kepada realitas, dalil serta kesesuaiannya dengan realitas yang terindera. 

Hal menonjol yang menjadi ciri khas ushul fiqih as-Syâfi'i adalah, bahwa ushul fiqih tersebut merupakan kaidah istinbât secara mutlak. Terlepas dari metodologi tertentu, yang menjadi metodologinya. Sebaliknya, ia cocok untuk seluruh metodologi, meski berbeda sekalipun. Ia merupakan paradigma untuk mengetahui pandangan yang sahih dan tidak, juga merupakan aturan yang menyeluruh yang harus diperhatikan ketika menggali hukum-hukum baru, sekalipun orang tersebut telah menyusun metodologinya sendiri untuk menimbang pandangan dan telah terikat dengan aturan global ketika melakukan istinbât. Ushul fiqih as-Syâfi'i memang bukan hanya ushul bagi mazhabnya, sekalipun harus terikat dengannya, dan juga tidak menggariskan pembelaan terhadap mazhabnya serta penjelasan terhadap pandangannya. Namun, ia merupakan kaidah istinbât umum dan menyeluruh. Hal yang menjadi pendorongnya juga bukan tendensi sektarian (kemazhaban), melainkan keinginan untuk menggariskan teknik berijtihad, serta menyusun ketentuan dan deskripsi untuk para mujtahid. Lurusnya maksud dan kesahihan pemahaman beliau dalam menyusun ilmu ushul fiqih tersebut telah mempengaruhi para mujtahid dan ulama' yang lahir pasca as-Syâfi'i, baik yang menentang maupun yang mendukung pandangan-pandangannya, tanpa terkecuali. Sampai mereka semuanya --dengan beragam tendensi mereka-- memandang perlu untuk menempuh jalan yang telah dilalui oleh as-Syâfi'i, baik dalam menyusun kaidah global (al-qawâ'id al-kulliyyah) maupun langkah di bidang fiqih dan istinbât dalam kerangka disipliner berdasarkan kaidah kulliyah dan 'âmmah. Maka, fiqih pasca beliau telah dibangun berdasarkan kerangka ushul yang tetap, bukan sebagai kelompok fatwa dan keputusan, sebagaimana kondisi sebelumnya. 

Hanya saja, sekalipun semua ulama' tersebut melalui bekas yang ditinggalkan as-Syâfi'i, dari aspek ide ushul fiqih, namun penerimaan mereka terhadap apa yang telah dihasilkan oleh as-Syâfi'i tetap berbeda, sesuai dengan perbedaan orientasi fiqih mereka. Di antara mereka ada yang mengikuti pandangan beliau, mensyarah, memperluas dan berdasarkan metodologinya berhasil menelorkan kaidah baru. Ini seperti yang dilakukan oleh para pengikut as-Syâfi'i sendiri. Ada yang telah mengambil mayoritas yang dikemukakan oleh as-Syâfi'i, sekalipun ada perbedaan dalam beberapa derivat ushulnya, namun secara akumulatif tidak berbeda. Sebab, secara akumulatif, sistematika dan langkahnya tidak berbeda dengan ushul as-Syâfi'i. Ini seperti para pengikut Hanafi, dan orang yang telah menempuh langkah berdasarkan metodologinya. Ada yang berbeda dengan as-Syâfi'i dalam ushul fiqih ini, seperti para pengikut Zhâhiri dan Syî'ah. 

Di antara yang mengikuti pandangan-pandangan as-Syâfi'i adalah para pengikut Hambali. Mereka telah mengambil ushul fiqih as-Syâfi'i, sekalipun mereka berpendapat bahwa Ijma' --yang bisa diterima-- itu hanyalah Ijma' Sahabat. Sementara para pengikut Mâliki, yang hadir pasca as-Syâfi'i, metodologi mereka sebenarnya sama dengan kebanyakan apa yang yang dikemukakan oleh ushul fiqih as-Syâfi'i. Meskipun mereka menetapkan perbuatan penduduk Madinah sebagai hujah (dalil), dan berbeda dengan beliau dalam beberapa rincian. Mengenai mereka yang menempuh jalan as-Syâfi'i, dan mengembangkan pandangan-pandangannya adalah para pengikut mazhabnya, yang telah giat mengkaji ilmu ushul fiqih dan banyak melakukan penulisan dalam bidang tersebut. Telah disusun beberapa buku di bidang ushul fiqih berdasarkan metodologi as-Syâfi'i, yang masih tetap menjadi pilar dan penyangga ilmu ini. Karya orang-orang terdahulu yang paling agung dan telah dikenal adalah tiga buku: Pertama, buku al-Mu'tamad karya Abû al-Husayn Muhammad bin al-Bashri (w. 413 H); Kedua, buku al-Burhân karya Abd al-Malik bin Abdillâh al-Juwayni, yang terkenal dengan nama Imam al-Haramayn (w. 478 H); Ketiga, kitab al-Mustashfâ karya Abû Hâmid al-Ghazâli (w. 505 H). Setelah mereka muncul Abû al-Husayn 'Alî yang terkenal dengan nama al-Amidi (w. 631 H). Beliau mengumpulkan ketiga buku ini dan memberikan beberapa tambahan dalam buku yang diberi nama al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, yang merupakan buku paling agung yang pernah disusun dalam bidang ushul fiqih.

Sementara orang yang mengambil kebanyakan yang dikemukakan oleh as-Syâfi'i, namun berbeda dalam beberapa rincian, mereka adalah para pengikut Hanafi. Sebab, metodologi istinbât mereka sama dengan dengan ushul fiqih as-Syâfi'i, namun dalam ilmu ushul fiqih tersebut mereka mempunyai tendensi yang terpengaruh dengan masalah-masalah derivatif (furû'). Mereka mengkaji kaidah ushul digunakan untuk mendukung masalah-masalah derivatif, sehingga mereka telah menjadikan masalah-masalah derivatif tersebut sebagai dasar; kaidah umum dibangun berdasarkan masalah derivatif, dan digunakan untuk mendukungnya. Boleh jadi hal yang mendorong mereka mempunyai tendensi seperti ini adalah pembahasan mereka mengenai ushul untuk mendukung mazhab mereka, bukan menghasilkan kaidah yang menjadi dasar istinbât mereka. Ini karena istinbât Abû Hanifah (w. 150 H), yang telah mendahului as-Syâfi'i, dan wafat pada tahun di mana as-Syâfi'i dilahirkan, tidak didasarkan pada kaidah umum yang menyeluruh. Begitu juga murid-murid yang hidup setelahnya, seperti Abû Yûsuf, Muhammad dan Zafar. Mereka belum memberi perhatian untuk menyusun ushul fiqih, sehingga datanglah kemudian para ulama' mazhab Hanafi; mereka mempunyai tendensi untuk menggali kaidah yang bisa membantu masalah-masalah derivatif mazhab Hanafi. Jadi, kaidah tersebut datang belakangan, setelah derivatnya, dan bukan sebelumnya. Sekalipun demikian, ushul mazhab Hanafi secara keseluruhan ditelurkan dari ushul fiqih as-Syâfi'i. Hal yang mereka berbeda dengan mazhab as-Syâfi'i, seperti bahwa lafadz umum itu qath'i seperti halnya lafadz khusus, dan bahwa tidak ada ruang bagi mafhûm as-syarth dan shifat, tidak bisa men-tarjîh karena banyaknya perawi, dan sebagainya, adalah masalah-masalah rincian, bukan kaidah kulliyah. Maka, bisa dikatakan bahwa ushul fiqih Hanafi dan as-Syâfi'i adalah ushul fiqih yang sama. Jadi, kecenderungannya pada masalah-masalah derivatif, serta perbedaan dalam beberapa rincian tidak bisa dikatakan sebagai ushul fiqih yang berbeda, sebaliknya merupakan ushul fiqih yang sama, dari aspek keseluruhan, keglobalan dan kaidah-kaidahnya. Bahkan, hampir anda tidak akan menemukan adanya perbedaan antara kitab ushul fiqih as-Syâfi'i dengan kitab ushul fiqih Hanafi. Sebaliknya, semuanya tadi merupakan ushul fiqih yang sama. Kitab ushul fiqih mazhab Hanafi yang paling agung adalah Ushûl al-Bazdawi atau Kanz al-Wushûl Ilâ Ma'rifat al-Ushûl, yang ditulis oleh Fakhr al-Islâm Alî bin Muhammad al-Bazdawi (w. 483 H).

Sementara yang berbeda dengan ushul fiqih as-Syâfi'i adalah mazhab Zhâhiri dan Syî'ah. Mereka berbeda dengan ushul fiqih as-Syâfi'i dalam bebarapa pilar dasarnya, bukan hanya rinciannya. Mazhab Zhâhiri jelas telah menolak Qiyas, semuanya, dan mereka hanya berpijak kepada dhâhir-nya nash, bahkan apa yang disebut dengan Qiyâs Jalli pun tetap tidak mereka anggap sebagai Qiyas, melainkan mereka anggap sebagai nash. Penilaian mereka terhadap nash adalah penilaian terhadap dhâhir-nya nash, tidak lebih. Imam mazhab ini adalah Abû Sulaymân Dâwûd bin Khalaf al-Asfahâni (w. 270 H). Beliau asalnya pengikut mazhab as-Syâfi'i, dan mendapat pendidikan fiqih dari para pengikut as-Syâfi'i, lalu meninggalkan mazhab as-Syâfi'i dan memilih membuat mazhab sendiri, yang hanya berpijak kepada nash, kemudian mazhabnya disebut mazhab Zhâhiri. Di antara mereka adalah Imâm Ibn Hazm. Beliau telah memasarkannya kepada sebagian orang, dan mereka juga telah memberikan bentuk yang brilian terhadapnya, sehingga buku-bukunya diterima, padahal buku-buku tersebut bukan buku fiqih dan ushul yang berbeda dari aspek pembahasan fiqih dan wajh al-istidlâl­-nya. Sedangkan Syî'ah, mereka berbeda dengan ushul fiqih as-Syâfi'i dengan perbedaan yang sangat besar. Sebab, mereka telah menjadikan pernyataan para imam sebagai dalil syara', seperti al-Qur'an dan as-Sunnah. Menurut mereka, itu dianggap sebagai hujah, setidak-tidaknya setelah kehujahan al-Kitab dan as-Sunnah. Mereka juga menjadikan kata-kata para imam sebagai mukhashshish (penspesifik) atas as-Sunnah. Syî'ah Imâmiyyah, bahkan telah memposisikan para imam mereka berdampingan dengan as-Sunnah. Menurut mereka, ijtihad itu terikat dengan mazhab, sehingga seorang mujtahid tidak boleh menyimpang dari pandangan-pandangan mazhabnya. Artinya, mujtahid tidak boleh berijtihad yang menyimpang dari pandangan Imâm Ja'far as-Shâdiq. Mereka menolak hadits, kecuali melalui jalur para imam mereka. Mereka tidak mengambil Qiyas. Telah diriwayatkan secara mutawatir dari para imam mereka, sebagaimana yang mereka riwayatkan dalam buku-buku mereka, bahwa jika syariat dianalogikan, maka agama ini pasti hancur.

Inilah secara umum tentang sejarah ushul fiqih, hubungan antara satu ushul fiqih dengan yang lain, serta perbedaan masing-masing dengan yang lain.





[1]  Ibn Mandhûr, Lisân al-'Arab, Dâr al-Fikr, Beirut, t.t., juz XI, hal. 16 dan juz XIII, hal. 523; Ibrâhîm Anis, dkk., al-Mu'jam al-Wasîth, Mathba'ah Angkâsa, Bandung, t.t., juz II, hal. 698.    
[2]  Lihat, As-Subki, al-Ibhâj, Dâr al-Kutub al-'Ilmiyyah, Beirut, cet. I, 1404, juz I, hal. 28; al-Asnawi, at-Tamhîd, Muassasah ar-Risâlah, Beirut, cet. I, 1400, hal. 50.
[3]   Al-Khatîb al-Baghdadi, al-Fiqh wa al-Mutafaqqih, juz I, hal. 45.
[4]   Al-Khatîb, Ibid, hal. 54.
[5] An-Nabhâni, as-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, Mansyûrat Hizbut Tahrîr, Beirut, 1953, juz III, hal. 6. Lihat, Adhuddin, Syarh Mukhtashar al-Muntahâ, Maktabah al-Kulliyahal-Azhariyyah, Kaero, t.t., juz I, hal. 18; al-Ashfahani, Bayân al-Mukhtashar, ed. Muhammad Mudhhir Baqâ, Thab'ah Jâmi'ah Umm al-Qurâ, Makkah al-Mukarramah, juz I, hal. 14-15.
[6]  Hâfidh Tsanâ' Allâh, Taysîr al-Ushûl, Dâr Ibn Hazm, Beirut, cet. II, 1997, hal. 18-19; Muhammad Husayn Abdullâh, al-Wâdhih fi Ushûl al-Fiqh, Dâr al-Bayâriq, Beirut, cet. II, 1995, hal. 19.
[7]  An-Nabhâni, as-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, juz I, hal. 238.
[8]   At-Taftazâni, Syarh al-'Aqâid an-Nashafiyyah, Maktabah al-Azhariyyah li at-Turâts, Kaero, cet. I, 2000, hal. 15.
[9]    Muhammad Husayn Abdullâh, al-Wâdhih fi Ushûl al-Fiqh, Dâr al-Bayâriq, Beirut, cet. II, 1995, hal. 19. Lihat juga, al-Ghazâli, al-Mustashfâ, hal. 5-6; al-Amidi, al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, al-Maktab al-Islâmi, Beirut, cet. II, 1402, juz I, hal. 7.  
[10]   Al-Amidi, al-Ihkâm, juz I, hal. 7.  
[11]   As-Syawkâni, Nayl al-Awthâr, Dâr al-Fikr, Beirut, t.t., juz VI, hal. 324 dan 325.
[12]   Al-Jazîri, al-Fiqh 'alâ Madzâhib al-Arba'ah, Dâr Ihyâ' at-Turâts, Beirut, t.t., juz III, hal. 446-447.

Sumber: Buku Membangun Paradigma Berfikir Tasyri'î

0 komentar: