Rabu, 04 April 2012

BAB I (NAJIS)

NAJIS

Definisi

Najis secara bahasa adalah segala sesuatu yang dipandang kotor atau menjijikkan secara syar’i
Najis adakalanya hakiki / hissiyah (dzatnya bisa terindera), seperti kencing. Dan adakalanya hukmiyah (hadast), seperti janabat.
Menurut Sayyid Sabiq dalam kitabnya, fiqhus-sunah. Najis secara istilah adalah kotoran yang wajib dibersihkan oleh seorang muslim dan dicuci apa-apa yang terkena oleh najis itu.

وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ (4)
“Dan pakaianmu, bersihkanlah.” (al-Mudatstsir: 4)

إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ (222)
“…Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (al-Baqarah: 222)
Macam-Macam Najis

v  Najis-najis yang disepakati
  1. Daging babi
Daging babi adalah najis, walaupun disembelih secara syar’i. Karena najis ‘ain (najis secara dzat), pengharamannya berdasarkan al-Qur’an. Jadi, daging dan semua bagiannya seperti bulu, kulit dan tulangnya meskipun disamak adalah najis.

قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَحِيمٌ(145)
Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi --karena sesungguhnya semua itu kotor-- atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. Al An’am : 145)
Menurut Malikiyah, babi yang masih hidup adalah suci, karena tidak adanya dalil yang jelas yang menyatakan najisnya dalam keadaan hidup.

  1. Darah
Yaitu semua jenis darah, baik itu yang dialirkan seperti dari penyembelihan, maupun bukan seperti darah haidh, kecuali darah manusia karena perang (syahid), darah kucing, ikan dan darah yang mengental dari asalnya, yaitu hati dan limpa atau darah yang tersisa pada urat-urat hewan setelah disembelih yang tidak mengalir.
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah. (QS. Al Maidah : 3)

Cara membersihkan darah haidh menurut Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah, dengan menyiramnya dengan air hingga hilangnya sifat-sifatnya dari rupa, bau dan rasanya, dan tidak mengapa tertinggal bekas salah satu sifat najis tadi.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ خَوْلَةَ بِنْتَ يَسَارٍ أَتَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَجٍّ أَوْ عُمْرَةٍ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ لَيْسَ لِي إِلَّا ثَوْبٌ وَاحِدٌ وَأَنَا أَحِيضُ فِيهِ قَالَ فَإِذَا طَهُرْتِ فَاغْسِلِي مَوْضِعَ الدَّمِ ثُمَّ صَلِّي فِيهِ قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنْ لَمْ يَخْرُجْ أَثَرُهُ قَالَ يَكْفِيكِ الْمَاءُ وَلَا يَضُرُّكِ أَثَرُهُ
Dari Abu Hurairah bahwasanya Khaulah binti Yasar datang kepada Nabi saw. pada waktu haji atau umrah, lalu ia berkata; “Hai Rasulullah, saya tidak mempunyai pakaian kecuali selembar yang kupakai sedang saya berhaidh”. Jawab Nabi saw.: “jika kamu telah bersih dari haidl, maka cucilah tempat yang kena darah, lalu shalatlah dengan pakaian itu.”Kemudian Khaulah menanya pula, “Hai Rasulullah, bagaimana jika bekas darah tadi tidak hilang?” Jawab Nabi saw.: “Cukup bagimu dengan memakai air, dan tidak mengapa akan bekas darah tadi.” (HR. Ahmad, Abu Daud dan Tirmidzi)

عَنْ أَسْمَاءَ قَالَتْ جَاءَتْ امْرَأَةٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ إِحْدَانَا يُصِيبُ ثَوْبَهَا مِنْ دَمِ الْحَيْضَةِ كَيْفَ تَصْنَعُ بِهِ قَالَ تَحُتُّهُ ثُمَّ تَقْرُصُهُ بِالْمَاءِ ثُمَّ تَنْضَحُهُ ثُمَّ تُصَلِّي فِيهِ.
Dari Asma berkatalah ia: “Datang kepada Nabi saw. Seorang wanita berkata: Seorang dari pada kami pakaiannya terkena darah haidh, bagaimana harusnya dilakukan? Maka bersabda Nabi saw. Supaya dia menghilangkan dan mencuci pakaian itu dengan air, kemudian disiramnya lalu di pakai shalat.“ (Diriwayatkan oleh imam Enam)

  1. Muntah, kencing dan kotoran manusia
Kencing, kotoran dan muntah hewan yang tidak dimakan dagingnya adalah najis.
Tidak ada satu dalil pun yang menajiskan muntah, namun hukumnya najis menurut kesepakatan para ulama, kecuali jika kadarnya sedikit, maka dapat dimaafkan.
Menurut Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah, cara beristinja, bisa dengan air, dengan tiga batu atau dengan yang lainnya selain tulang dan kotoran.

عَنْ عَطَاءِ بْنِ أَبِي مَيْمُونَةَ أَنَّهُ سَمِعَ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ يَقُولُ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدْخُلُ الْخَلَاءَ فَأَحْمِلُ أَنَا وَغُلَامٌ نَحْوِي إِدَاوَةً مِنْ مَاءٍ وَعَنَزَةً فَيَسْتَنْجِي بِالْمَاءِ. (متفق عليه)
Dari ‘Atha bin Abi Maimunah, bahwa ia mendengar Anas bin malik berkata: “Rasulullah s.a.w. masuk ke jamban, maka aku bersama anak yang sebaya denganku membawa tempat air  dan tongkat, lalu beliau beristinja’ dengan air. (Muttafaq ‘Alaih)

عَنْ سَلْمَانَ قَالَ: لَقَدْ نَهَانَا رسول الله أَنْ نَسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةَ لِغَائِطٍ أَوْ بَوْلٍ أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِالْيَمِينِ أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِأَقَلَّ مِنْ ثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِرَجِيعٍ أَوْ بِعَظْمٍ. (رواه مسلم)
Dari Salman, berkata: Rasulullah saw. telah melarang kami menghadap kiblat saat buang air besar, kencing, istinja’ dengan tangan kanan, istinja’ dengan kurang dari tiga batu, beristinja’ dengan kotoran atau tulang. (HR. Muslim)

  1. Khamr
Menurut Jumhur khamar mencakup setiap yang cair lagi memabukan. Kebanyakan fuqaha berpendapat bahwa khamar adalah najis. Sebagian ahli hadis berpendapat bahwa barangnya sendiri tidaklah najis, melainkan suci. Hal ini sama kedudukannya dengan candu, uang dari hasil riba, alat-alat berjudi dan sebangsanya, yang semuanya itu bila dilihat dari bendanya adalah suci, sedang yang haram adalah memakan, meminum dan memakannya.

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ(90)

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan”. (al-Maidah: 90)
 Makna najis dalam ayat tersebut searti dengan najis yang terdapat dalam surat al-Hajj ayat 30 :
فَاجْتَنِبُوا الرِّجْسَ مِنَ الْأَوْثَانِ
“Hendaklah kamu jauhi najis yang bernama berhala”.
Di tengah-tengah masyarakat bangsa-bangsa akan ditemukan berbagai macam jenis minuman beralkohol yang memabukkan, seperti wiski, jenever, brandi, tuak, arak, sake, vodka dan sebangsanya. Berbagai jenis minuman serupa ini hukumnya adalah haram, baik dalam jumlah banyak atau pun sedikit, sampai menyebabkan mabuk maupun tidak mengakibatkan mabuk.

  1. Nanah
Yaitu darah busuk yang tidak bercampur dengan darah, ataupun yang sejenisnya, yaitu yang bercampur dengan darah.

  1. Wadi dan madzi
Wadi adalah air yang berwarna putih, kental, sedikit berlendir yang keluar mengiringi keluarnya air kencing dikarenakan kelelahan. Sedang madzi adalah air yang berwarna putih juga, bergetah, yang keluar karena kuatnya dorongan syahwat, akan tetapi keluarnya air itu tidak disertai dengan perasaan apa-apa.
Kedua cairan tersebut hukumnya najis. Sehingga kalau salah satu dari keduanya menimpa badan hendaklah dicuci dan seandainya mengenai kain, maka cukuplah dipercikkan air ke atasnya.  Aisyah ra. mengatakan:
وأما الودي فإنه يكون بعد البول فيغسل ذكره وأنثييه وَيتوضأ ولايغتسل. (رواه ابن المنذر)
Wadi itu keluar setelah kencing selesai. Maka hendaklah mencuci kemaluannya (baik laki-laki ataupun perempuan) dan berwudhu, tidak perlu mandi. (HR. Ibnu Mundzir)

عَنْ عَلِيٍّ قَالَ كُنْتُ رَجُلًا مَذَّاءً وَكُنْتُ أَسْتَحْيِي أَنْ أَسْأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمَكَانِ ابْنَتِهِ فَأَمَرْتُ الْمِقْدَادَ بْنَ الْأَسْوَدِ فَسَأَلَهُ فَقَالَ يَغْسِلُ ذَكَرَهُ وَيَتَوَضَّأُ
Dari Ali, ia berkata: Saya kerap kali mengeluarkan madzi, sedang saya sendiri malu menanyakannya pada Rasulullah SAW, karena putrinya menjadi istriku, maka saya menyuruh Miqdad untuk menanyakannya. Miqdad pun menanyakan kepada beliau. Beliau menjawab “Hendaklah ia basuh kemaluannya dan berwudhulah”. (HR. Bukhari-Muslim)
Hadis diatas menunjukan bahwa tidak wajib mandi sebab keluar madzi. Ibnu Hajar menyebutkan dalam Fathul Bari: Pendapat itu sudah ijma’. Dan hadis itu juga menunjukkan bahwa perintah wudhu’ karena keluar madzi itu seperti perintah wudhu’ karena kencing.

  1. Bangkai hewan selain hewan air yang mengalir darahnya
Semua bangkai secara umum hukumnya najis. Namun dalam hal ini ada beberapa macam bangkai yang dikeluarkan dari hukum najis, antara lain bangkai manusia, belalang dan bangkai ikan. Begitu juga dengan bangkai hewan yang darahnya secara inderawi tampak seolah-olah tidak mengalir, seperti bangkai semut, nyamuk, lebah, lalat atau sebangsanya adalah tidak najis.

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah. (QS. Al Maidah : 3)

  1. Daging hewan yang tidak dimakan
Daging hewan yang tidak dimakan adalah najis, begitu pula susunya karena berasal dari dagingnya, maka hukumnya adalah sama.

عَنْ سَلَمَةَ بْنِ الْأَكْوَعِ قَالَ خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى خَيْبَرَ ثُمَّ إِنَّ اللَّهَ فَتَحَهَا عَلَيْهِمْ فَلَمَّا أَمْسَى النَّاسُ الْيَوْمَ الَّذِي فُتِحَتْ عَلَيْهِمْ أَوْقَدُوا نِيرَانًا كَثِيرَةً فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا هَذِهِ النِّيرَانُ عَلَى أَيِّ شَيْءٍ تُوقِدُونَ قَالُوا عَلَى لَحْمٍ قَالَ عَلَى أَيِّ لَحْمٍ قَالُوا عَلَى لَحْمِ حُمُرٍ إِنْسِيَّةٍ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَهْرِيقُوهَا وَاكْسِرُوهَا فَقَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَوْ نُهرِيقُهَا وَنَغْسِلُهَا قَالَ أَوْ ذَاكَ. (رواه البخاري ومسلم وابن ماجه)
Dari Salamah bin Al Akwa’, ia berkata: Kami keluar bersama Nabi saw ke Khaibar, kemudian Allah swt menaklukannya atas mereka, maka ketika waktu sore pada hari setelah ditaklukannya Khaibar, mereka menyalakan api banyak, lalu Rasulullah saw. Bertanya: Apakah api ini, untuk apa kalian menyalakannya? Mereka menjawab: untuk daging! Ia bertanya: daging apa? Mereka menjawab: daging himar piaraan! Maka Rasulullah saw. berkata: tumpahkanlah dan pecahkanlah! Maka seorang laki-laki bertanya: ya Rasulullah, adakah kami menumpahkannya dan mencucinya? Maka sabdanya: ya demikianlah! (HR. Bukhari, Muslim dan Ibnu Majah)

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ لَمَّا كَانَ يَوْمُ خَيْبَرَ جَاءَ جَاءٍ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أُكِلَتْ الْحُمُرُ ثُمَّ جَاءَ آخَرُ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أُفْنِيَتْ الْحُمُرُ فَأَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَبَا طَلْحَةَ فَنَادَى إِنَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ يَنْهَيَانِكُمْ عَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ فَإِنَّهَا رِجْسٌ أَوْ نَجِسٌ. (متفق عليه)
Dari Anas bin Malik, ia berkata, pada hari Khaibar datang seseorang, lalu ia berkata, “wahai Rasulullah, telah dimakan keledai”, kemudian datang yang lain, lalu berkata “wahai Rasulullah, telah dihabiskan (daging) keledai”, lalu Rasulullah saw. memerintahkan Abu Thalhah (untuk memberitahu mereka), kemudian Abu Thalhah menyeru: “Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya melarang kalian dari memakan daging keledai piaraan, karena sesungguhnya hewan itu kotor atau najis”.  (Muttafaq ‘alaih)
Asy Saukani menjadikan kedua hadis tersebut sebagai dasar atas najisnya daging binatang yang tidak boleh dimakan, karena; pertama, adanya perintah memecahkan bejana-bejana, kedua, untuk mencucinya, dan yang ketiga, sabda Nabi saw.: “Sesungguhnya ia adalah kotor dan najis”.
Tetapi itu semua adalah penegasan tentang himar-himar piaraan, sedang untuk semua binatang-binatang lain yang tidak boleh dimakan dagingnya adalah diqiaskan dengan itu karena sama-sama tidak boleh dimakan dagingnya, dan tidak wajib (mencuci) tujuh kali.

  1. Bagian yang terpisah atau dipotong dari hewan yang masih hidup, seperti tangan dan ekor, kecuali rambut dan yang sejenisnya seperti bulu domba, bulu onta dan bulu burung.

عَنْ أَبِي وَاقِدٍ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا قُطِعَ مِنْ الْبَهِيمَةِ وَهِيَ حَيَّةٌ فَهِيَ مَيْتَةٌ. (رواه الحاكم وصححه على شرط الشيخين, وأخرجه أبو داود والترمذي وحسنه عن ابى واقد الليثي رضي الله عنه)
Dari Abu Waqid, bahwa Rasulullah telah bersabda : “Sesuatu yang dipotong dari seekor binatang, sedang ia masih hidup maka (potongan hidup) itu  adalah bangkai”.


v Najis-najis yang diperselisihkan
  1. Anjing
Imam Syafi’i dan Ahmad berpendapat anjing adalah najis. Sedangkan menurut Abu Hanifah, anjing bukanlah najis ‘ain, karena bisa dimanfaatkan kesetiaan dan buruannya. Sementara menurut Imam Malik anjing adalah suci, baik itu anjing yang digunakan untuk berburu, mengembala atau bukan.
Menurut Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah, cara menghilangkan najis dari air liur anjing ini dengan mencucinya tujuh kali, salah satunya dengan debu yang bersih.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طُهُورُ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ إِذَا وَلَغَ فِيهِ الْكَلْبُ أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ أُولَاهُنَّ بِالتُّرَابِ. أخرجه أحمد و مسلم. والترمذي: أُولَاهُنَّ أَوْ أُخْرَاهُنَّ بِالتُّرَابِ
Dari Abu Hurairah: “Sucinya bejana salah seorang dari kamu sekalian, apabila digunakan minum oleh anjing, supaya dicuci tujuh kali, permulaannya dengan debu.” (HR. Muslim dan Ahmad). Dan Tirmidzi meriwayatkannya dengan tambahan: “Permulaannya atau penghabisannya dengan debu.”
Menurut Abu Hanifah, mencuci najis itu sama seperti mencuci semua jenis najis, jika ia yakin telah hilang najisnya maka telah cukup meskipun hanya sekali cuci. Sementara menurut Malik, dicucinya najis hanya sebagai ta’abbudiyah, dan itupun hanya khusus pada jilatannya.
Pensyarah Nailul Authar berkata, telah terjadi khilaf, apakah dicampurnya dengan tanah itu di dalam tujuh kali atau diluarnya. Menurut dzahirnya hadist Abdullah bin Mughaffal, bahwa debu itu di luar tujuh kali dan itulah yang lebih kuat dalilnya.
Ibnu Hajar berkata didalam kitab Fathul Bari: Riwayat yang menggunakan kata uulaahunna (pertama kalinya dicampur dengan tanah) adalah lebih kuat sebab lebih banyak dan lebih mahfudz, dan juga dari segi maknanya. Syafi’i menentukan, bahwa mencuci yang pertama dengan tanah itu lebih utama.

  1. Bangkai hewan air dan hewan yang tidak mengalir darahnya
Para Imam madzhab sepakat bahwa bangkai hewan air dan semisalnya dari hewan laut itu suci.

أحلت لنا ميتتان ودمان: السمك والجراد، والكبد والطحال .(أخرجه أحمد وابن ماجه والدارقطني عن ابن عمر، وفيه ضعف (سبل السلام: 1/25، نيل الأوطار: 8/150)
“Telah dihalalkan bagi kita dua bangkai dan dua darah, yaitu ikan dan belalang, hati dan limpa”

هو الطهور ماؤه الحل ميتته .( أخرجه أصحاب السنن الأربعة وابن أبي شيبة، واللفظ له، وصححه ابن خزيمة والترمذي عن أبي هريرة (سبل السلام: 1/14))
“Air laut itu suci dan halal bangkainya”
Tetapi Fuqoha berbeda pendapat tentang bangkai hewan yang darahnya tidak mengalir.
Menurut Hanafiyah daging dan kulit dari bangkai hewan yang darahnya mengalir itu najis, kecuali setelah disamak. Sedangkan untuk hewan yang darahnya tidak mengalir, jika jatuh di air maka tidak menajiskannya, karena hewan itu sendiri suci, seperti kutu, lalat, kumbang, kalajengking dan semisalnya.

إذا وقع الذباب في شراب أحدكم، فليغمسه، ثم لينزعه فإن في إحدى جناحيه داء وفي الأخرى شفاء. (رواه البخاري عن أبي هريرة)
“Apabila lalat jatuh dalam minuman salah seorang diantara kalian, maka celupkanlah, kemudian hendaklah dibuang, karena salah satu sayapnya ada penyakit dan sayap lainnya adalah penawarnya.”
Sedangkan menurut Syafi’iyyah bangkai hewan yang darahnya tidak mengalir itu najis. Sementara menurut Imam Ahmad suci.
Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa ulat yang dilahirkan dalam makanan, jika ia mati didalamnya maka tidak menajiskannya dan boleh dimakan bersama makanan itu.
Sementara hewan yang hidup di air seperti kodok, jika mati di air yang sedikit, maka menajiskannya menurut Ahmad, Malik dan Syafi’i.
Menurut Syafi’iyyah dan Hanabilah bahwa bangkai hewan laut yang hidup di darat, seperti katak, buaya dan ular itu najis.

  1. Bagian-bagian bangkai yang keras yang tidak berdarah
Menurut Hanafiyah, bagian-bagian bangkai yang keras yang tidak berdarah itu suci, seperti tanduk, tulang, gigi, gading gajah, kuku kuda, kuku sapi, kuku unta, rambut, bulu, karena semuanya itu bukan bangkai, sebab menurut syara’, bangkai hewan itu untuk sebutan hewan yang hilang nyawanya dengan proses yang tidak sesuai syari’at. Sedangkan hal-hal diatas tidak ada kehidupan didalamnya, maka itu tidak bisa disebut bangkai.
Menurut Jumhur kecuali Hanafiyah, semua bagian bangkai itu najis, dikecualikan oleh Hanabilah, rambut dan bulunya itu suci. Ia berargumen dengan hadist dha’if:

لا بأس بمسك الميتة إذا دبغ، وصوفها وشعرها إذا غسل )رواه الدارقطني(
“Tidak mengapa (menjadi suci) kulit bangkai jika telah disamak, bulu dan rambutnya tika telah dicuci.”
Ringkasnya, Fuqaha selain Syafi’iyyah berpendapat bahwa rambut, bulu dan bulu burung dari hewan yang mati adalah suci.

  1. Kulit bangkai
Menurut Abu Hanifah, kulit bangkai itu semuanya suci dengan disamak, kecuali kulit babi.
Pendapat yang masyhur di kalangan Malikiyah dan Hanabilah, bahwa kulit bangkai itu najis, baik sudah disamak atau belum, karena itu bagian dari bangkai.

عَنْ أَبِي الْمَلِيحِ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ جُلُودِ السِّبَاعِ
Dari Abil Malih bin Usamah dari ayahnya, bahwa Nabi saw. melarang (memanfa’atkan) kulit-kulit binatang buas. (HR Ahmad, Abu Daud dan Nasa’i)

Sedangkan menurut Syafii semua kulit bangkai itu suci jika sudah di samak, kecuali kulit anjing, babi dan sejenisnya.

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِذَا دُبِغَ الْإِهَابُ فَقَدْ طَهُرَ
Dari Abdullah bin ‘Abbas, ia berkata: Aku telah mendengar Rasulullah saw. mengatakan apabila disamak kulit, maka ia telah suci. (HR. Muslim)

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ تُصُدِّقَ عَلَى مَوْلَاةٍ لِمَيْمُونَةَ بِشَاةٍ فَمَاتَتْ فَمَرَّ بِهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ هَلَّا أَخَذْتُمْ إِهَابَهَا فَدَبَغْتُمُوهُ فَانْتَفَعْتُمْ بِهِ فَقَالُوا إِنَّهَا مَيْتَةٌ فَقَالَ إِنَّمَا حَرُمَ أَكْلُهَا. (رواه الجماعة إلا ابن ماجه)

Dari Ibnu Abbas, ia berkata: Maula Maimunah diberi sedekah seekor kambing, lalu kambing itu mati, kemudian lewatlah Rasul saw. Lalu ia bersabda: “Mengapa kamu tidak mengambil kulitnya, kemudian kamu samak, lalu kamu memanfa’atkannya? Mereka menjawab: Sesungguhnya itu bangkai. Ia bersabda: Yang diharamkan itu hanya memakannya. (HR Jama’ah, kecuali Ibnu Majah)
Dalil itu menunjukkan meskipun kulit bangkai itu suci dengan disamak, tapi tidak halal dimakan.

  1. Kencing bayi yang belum makan apa-apa kecuali ASI
Syafi’iyyah dan Hanabilah menetapkan bahwa sesuatu yang terkena kencing atau muntah bayi laki-laki yang belum makan selain ASI (sebelum 2 tahun), meskipun itu najis tapi dicukupkan dengan memercikannya. Sementara untuk bayi perempuan perlu dicuci. Sebagaimana hadist Nabi saw.:

إِنَّمَا يُغْسَلُ بَوْلُ الْجَارِيَةِ وَيُنضَح بَوْلِ الْغُلَامِ. (رواه أحمد)
Dicuci kencing bayi perempuan, dan diperciki kencing bayi laki-laki. (HR. Ahmad)
Sedangkan Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah hanya menyebutkan cara membersihkan kencing bayi laki-laki, yaitu dengan memercikinya sampai basah, berdasarkan hadist nabi saw.:

عَنْ أُمِّ قَيْسٍ بِنْتِ مِحْصَنٍ أَنَّهَا أَتَتْ بِابْنٍ لَهَا صَغِيرٍ لَمْ يَأْكُلْ الطَّعَامَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَجْلَسَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حِجْرِهِ فَبَالَ عَلَى ثَوْبِهِ فَدَعَا بِمَاءٍ فَنَضَحَهُ وَلَمْ يَغْسِلْهُ.
Dari Ummu Qais binti Muhshan ra. “bahwa ia bersama-sama anaknya laki-laki yang masih kecil dan belum pernah makan makanan, telah datang kepada Rasulullah. Lalu Nabi mendudukkan anak tadi di atas pangkuannya: tiba-tiba anak itu kencing pada pakaian beliau: kemudian beliau meminta air, lalu dipercikkan dan tidak dicucinya.” (HR. jama’ah ahli hadist)
Hanafiyah dan Malikiyah menyatakan najisnya kencing dan muntah anak kecil laki-laki atapun perempuan, dan wajib mencucinya berdasarkan keumuman perintah hadist membersihkan dari kencing.

استنزهوا من البول فإن عامة عذاب القبر منه. (الدارقطني)
Bersihkanlah diri kalian dari kencing, karena kebanyakan azab kubur itu (disebabkan) olehnya. (HR. Daruqutni)
Malikiyah berpendapat: Dimaafkan pakaian atau badan yang terkena kencing atau kotoran bayi, baik itu ibunya sendiri maupun orang lain jika ia telah berhati-hati untuk menjauhkannya. Tetapi jika kotor disunahkan mencucinya.

  1. Kencing dan kotoran dari hewan yang dimakan dagingnya
Dalam hal ini ada dua pendapat:
Pertama,Malikiyah dan Hanabilah berpendapat suci. Malikiyah mengecualikan hewan yang memakan atau meminum barang yang najis, maka kotorannya adalah najis. Demikian juga kencingnya semua hewan, hukumnya mengikuti hukum dagingnya. Maka kencing hewan yang haram dimakan adalah najis, kencing hewan yang halal dimakan adalah suci, dan kencing hewan yang makruh dimakan adalah makruh.
Mereka beralasan bahwa Rasulullah membolehkan suku ‘Urainah meminum kencing dan susu unta.

عَنْ أَنَسٍ أَنَّ رَهْطًا مِنْ عُكْلٍ أوَقَال عُرَيْنَة قدموا فاجتووا الْمَدِينَةَ فَأَمَرَ لَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِلقاحٍ وَأَمَرَهُمْ أَنْ يَخْرُجُوا فَيَشْرَبُوا مِنْ أَبْوَالِهَا وَأَلْبَانِهَا
Dari Anas bin Malik, bahwa satu kaum dari suku Uklin, atau Anas mengatakan suku Urainah, mereka datang ke Madinah lalu sakit, kemudian Nabi saw. memerintahkan mereka membawa unta-unta perahan dan memerintahkan mereka agar keluar (dari Madinah), kemudian minum air kencing dan air susunya. (HR Ahmad, Bukhari dan Muslim)

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا حَضَرَتْ الصَّلَاةُ فَلَمْ تَجِدُوا إِلَّا مَرَابِضَ الْغَنَمِ وَأَعْطَانَ الْإِبِلِ فَصَلُّوا فِي مَرَابِضِ الْغَنَمِ وَلَا تُصَلُّوا فِي أَعْطَانِ الْإِبِلِ. (رواه البخاري)
Dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah saw. bersabda: Apabila telah datang waktu shalat, lalu kalian belum mendapatkan (tempat shalat) kecuali di tempat ternak kambing dan pemberhentian unta, maka shalatlah di tempat ternak kambing, dan jangan kalian shalat di tempat pemberhentian unta. (HR. Bukhari)
Bolehnya shalat di tempat ternak kambing menunjukkan sucinya kotoran dan kencing kambing. Dan dianalogikan hewan lainnya yang halal dimakan.
Ibnu Taimiyah mengatakan: “Tidak seorangpun dari para sahabat yang menyatakan kenajisan binatang yang halal dimakan dagingnya.” Pernyataan yang menyatakan kenajisannya merupakan pendapat baru. Sedangkan mencuci kotoran tersebut hanyalah merupakan usaha untuk membersihkannya saja.
Kedua, Hanafiyah dan Syafi’iyyah berpendapat najis secara mutlak.
Hanya saja Hanafiyah berpendapat bahwa kencing hewan yang halal dimakan adalah najis mukhaffafah (ringan), maka boleh shalat bagi seseorang yang terkena najis itu seperempat pakaian. Sedangkan kotoran kuda dan sapi adalah najis mughaladzah (berat), seperti halnya kotoran hewan yang tidak halal dimakan, karena Rasulullah saw membuang kotoran itu dan mengatakan itu kotor atau najis.
Sebagaimana hadist dari Abu Hurairah ra.

أَتَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْغَائِطَ فَأَمَرَنِي أَنْ آتِيَهُ بِثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ فَوَجَدْتُ حَجَرَيْنِ وَالْتَمَسْتُ الثَّالِثَ فَلَمْ أَجِدْهُ فَأَخَذْتُ رَوْثَةً فَأَتَيْتُهُ بِهَا فَأَخَذَ الْحَجَرَيْنِ وَأَلْقَى الرَّوْثَةَ وَقَالَ هَذَا رِكْسٌ. (رواه البخاري وابن ماجه وابن خزيمة)
Nabi SAW pernah buang air besar, lalu beliau menyuruhku membawakan tiga batu untuk beliau. Akan tetapi, aku hanya mendapat dua batu saja. Selanjutnya aku mencari batu yang ketiga, namun tidak juga mendapatkannya, lalu aku mengambil kotoran dan aku membawanya kepada beliau. Maka beliau hanya mengambil dua batu saja dan membuang dua kotoran tersebut seraya berkata: ini adalah najis.
Dalam riwayat yang lain ditambahkan dengan lafadz sebagai berikut: “Sesungguhnya itu adalah najis, karena merupakan kotoran keledai.”
Mereka membantah tentang perintah Nabi saw. untuk minum air kencing unta, karena itu sekedar untuk obat, sedangkan berobat dengan barang yang najis itu boleh ketika tidak ada sesuatu yang suci.

  1. Mani
Abu Hanifah dan Malik berpendapat bahwa mani itu najis. Menurut Ahmad, mani manusia suci, dan Syafi’i suci secara mutlak, kecuali mani anjing dan babi.

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: سئل النبي صعلم عن الْمَنِيّ يصيب الثوب، فقال: إنما هو بِمَنْزِلَةِ الْمُخَاطِ والبصاق وإنما يكفيك أن تمسحه بخرقة أوبِإِذْخِرَةٍ. (رواه الدارقطني)
Dari Ibnu Abbas, berkata: Nabi saw. ditanya tentang mani yang mengenai pakaian, lalu Ia menjawab: “Mani itu sama kedudukannya seperti ingus, liur, dan dahak. Dan cukup bagimu mengusapnya dengan kain atau dengan rumput idzkir (tumbuhan yang wangi). (HR. Daruqutni)

Cara membersihkannya menurut Malik, dengan mencucinya dengan air, baik mani itu kering maupun basah. Sementara menurut Abu Hanifah dicuci jika basah, dan dikerik jika kering. Dan wajib mandi janabah bagi yang mengeluarkan mani. Hal ini didasarkan penjelasan Siti Aisyah r.a:

كنت أفرك المني من ثوب رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا كان يابسا وأغسله إذا كان رطبا. رواه الدارقطني وأبو عوانة والبزار.

“Kukorek mani itu dari kain Rasulullah saw. bilamana ia telah mengering, dan kucuci kain itu bila masih basah”.

  1. Air yang keluar dari luka
Hanafiyah dan Malikiyah menganggap yang termasuk dari barang-barang najis adalah: Qaih (nanah yang mengental yang keluar dari bisul), Shadid (nanah encer yang bercampur darah), dan air yang keluar dari luka (berwarna putih jernih) seperti air yang keluar karena kulit yang melepuh kena panas, kudis, dan yang semisalnya. tetapi dimaafkan jika sedikit.
Syafi’iyyah dan Hanabilah bersepakat bersama para Imam yang lain dalam menghukumi najisnya qaih, dan shadid, tapi Hanabilah menetapkan bahwa dimaafkan jika itu sedikit.
Ukuran sedikitnya yang tidak membatalkan wudhu itu adalah yang tidak mengotori diri. Dan dimaafkan nanah dan yang semisalnya melebihi ukuran dimaafkannya darah.
Dimaafkan juga jika keluar dari hewan yang suci, dan dari manusia dari selain kemaluan. Jika berasal dari kemaluan, maka dimaafkan.
Yang paling shahih dari madzab Syafi’i: Sucinya darah jerawat, darah kutu, kotoran lalat, air yang keluar dari luka, dan darah bekam, baik itu sedikit ataupun banyak. Dan yang paling jelas adalah dimaafkannya darah yang sedikit yang berasal dari orang lain (darah orang yang mengenai dirinya).

  1. Mayat dan sesuatu yang mengalir dari mulut orang yang tidur

Menurut Hanafiah, mayat itu najis, berdasarkan fatwa sebagian sahabat (Ibnu Abbas dan Ibnu Zubair), seperti semua mayat.
Jumhur berpendapat, bahwa ia suci, karena Rasulullah saw. bersabda
إِنَّ الْمُسْلِمَ لَا يَنْجُسُ. (البخاري)
Sesungguhnya orang Islam itu tidak najis”. (HR. Bukhari)
Adapun air yang mengalir dari mulut orang yang tidur adalah suci, sebagaimana dijelaskan Syafi’iyyah dan Hanabilah. Hanya saja Syafi’iyyah dan Malikiyah berpendapat: jika keluar dari lambung seolah-olah berbau busuk dengan warna kuning seperti lendir yang keluar dari lambung, maka najis. Tetapi jika bukan keluar dari lambung atau ragu apakah keluar dari lambung atau bukan, maka suci.
Diceritakan dari Abu Hanifah bahwa sesuatu yang keluar dari lambung adalah suci.
Malikiyah menganggap yang termasuk suci adalah: Qalas (muntah), yaitu sesuatu yang dikeluarkan lambung berupa air ketika lambung itu penuh, selagi itu belum menyerupai perubahan salah satu sifat kotoran.

  1. Jalalah
Adalah hewan liar yang makan kotoran, baik kotoran unta, sapi, kambing, ayam, angsa dan lain-lainnya, sehingga hewan tersebut berubah baunya. Semua yang keluar dari hewan tersebut adalah najis, dagingnya tidak boleh dimakan dan air susunya tidak boleh diminum, serta tidak boleh dijadikan tunggangan.

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ لَبَنِ الْجَلَّالَةِ. رواه أبوا داود
Dari Ibnu Abbas, bahwasannya Rasulullah saw. melarang (minum) susu hewan jalalah. (HR. Abu Daud)

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى يَوْمَ خَيْبَرَ عَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ الْأَهْلِيَّةِ وَعَنْ الْجَلَّالَةِ وَعَنْ رُكُوبِهَا وَعَنْ أَكْلِ لَحْمِهَا.  رواه أحمد و النسائي و أبوا داود
Bahwasannya Rasulullah saw. pada hari Khaibar melarang (makan) daging himar jinak, hewan jalalah, menjadikannya tunggangan, dan memakan dagingnya. (HR. Ahmad, Nasa’i dan Abu Daud)
Akan tetapi jika hewan jalalah ini dipelihara serta diberi makan yang suci, sehingga dagingnya menjadi baik dan bau busuknya pun hilang, maka hewan ini menjadi halal untuk dimakan. Sementara sebutan jalalah padanya pun menjadi hilang dengan sendirinya.

v  Air sebagai alat untuk menghilangkan najis

وَيُنَزِّلُ عَلَيْكُمْ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً لِيُطَهِّرَكُمْ بِهِ
“…dan Allah menurunkan kepadamu air dari langit untuk menyucikan kamu dengannya…”. (al-Anfal; 11)

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو أَنَّ أَبَا ثَعْلَبَةَ قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفْتِنَا فِي آنِيَةِ الْمَجُوسِ إِذَا اضْطُرِرْنَا إِلَيْهَا قَالَ إِذَا اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهَا فَاغْسِلُوهَا بِالْمَاءِ وَاطْبُخُوا فِيهَا
Dari Abdillah bin Umar, bahwa Abi Tsa’labah pernah bertanya: Ya Rasulullah, berilah kami fatwa tentang bejana orang Majusi, kalau kami terpaksa (menggunakannya). Nabi saw. Menjawab: “Apabila kamu terpaksa (menggunakannya), maka cucilah dengan air dan masaklah dengannya.” (HR. Ahmad)
Air adalah pokok alat untuk mensucikan, karena telah disifati di dalam Qur’an dan Sunah secara mutlak dengan tanpa dibatasi. Tetapi pendapat yang menentukan hanya air saja sebagai alat untuk mensucikan, sedang yang lain tidak, adalah ditentang dengan hadis tentang “mengusap kasut”, “mengerik mani”, “mengerik mani dan menghilangkannya dengan rumput idzkhir” dan banyak yang lainnya.

v  Membersihkan Tanah Yang terkena Najis
Tanah yang terkena najis bisa disucikan dengan menyiramkan air ke atasnya, berdasarkan hadist:

أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ قَالَ قَامَ أَعْرَابِيٌّ فَبَالَ فِي الْمَسْجِدِ فَتَنَاوَلَهُ النَّاسُ فَقَالَ لَهُمْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعُوهُ وَهَرِيقُوا عَلَى بَوْلِهِ سَجْلًا مِنْ مَاءٍ أَوْ ذَنُوبًا مِنْ مَاءٍ فَإِنَّمَا بُعِثْتُمْ مُيَسِّرِينَ وَلَمْ تُبْعَثُوا مُعَسِّرِينَ
Dari abu Hurairah berkata: Berdirilah seorang Baduwi lalu kencing di dalam mesjid, kemudian orang-orang berdiri untuk memukulnya, lalu Rasulullah saw. Bersabda: Biarkanlah dia, dan tuangkanlah setimba air di atasnya, karena sesungguhnya kamu di utus untuk memudahkan dan tidak di utus untuk mempersukar”. (HR Jama’ah kecuali Muslim)

Tanah yang terkena najis juga bisa suci dengan keringnya tanah tersebut, hal ini juga bisa dianalogikan untuk yang semisalnya, seperti  pohon dan bangunan.

قالت عائشة: زكاة الأرض يـبسها. (رواه ابن أبي شيبة)
‘Aisyah berkata: “Sucinya tanah adalah (dengan) keringnya
Hal itu berlaku jika najisnya cair, tapi jika tidak cair, maka tidak bisa dihilangkan kecuali dengan membuangnya atau memindahkannya.

v  Membersihkan alas kaki
Alas kaki dan yang sejenisnya itu sucinya adalah dengan menggosokkannya ke tanah, baik basah atau kering serta melihat dzatnya. Tidak ada bedanya antara najis yang bermacam-macam, bahkan semua kotoran yang mengenai alas kaki, sucinya adalah digosok dengan debu.

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى قَالَ إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ الْمَسْجِدَ فَلْيَقْلِبْ نَعْلَهُ فَلْيَنْظُرْ فِيهمَا فَإِنْ رَأَى خَبَثًا فَلْيُمِسَّهُ بِالْأَرْضِ ثُمَّ لِيُصَلِّ فِيهِمَا
Dari Abi Sai’d, bahwa Rasul saw. bersabda: “Apabila salah seorang di antara kamu datang ke mesjid, maka baliklah kedua alas kakinya dan lihatlah pada keduanya, kalau ia melihat kotoran, maka gosoklah dengan tanah kemudian sembahyanglah dengan memakai kedua terompah itu.” (HR. Ahmad dan Abu Daud)
Dan juga dicukupkan dengan mengusapnya dengan benda keras seperti istinja, bahkan itu lebih utama menurut Sayyid Sabiq, karena menghilangkannya dua kali atau tiga kali seperti halnya istinja.

v  Membersihkan Minyak dan yang sejenisnya
Jika najis yang terjatuh ke dalam minyak itu tidak mencemari keseluruhannya, maka cara menghilangkannya ialah dengan membuang najis itu dan minyak yang tercemari disekitarnya.

عَنْ مَيْمُونَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عَنْ فَأْرَةٍ سَقَطَتْ فِي سَمْنٍ فَقَالَ أَلْقُوهَا وَمَا حَوْلَهَا فَاطْرَحُوهُ وَكُلُوا سَمْنَكُمْ
Dari Maimunah, bahwasanya Rasulullah saw. ditanya tentang tikus yang jatuh ke dalam minyak, lalu Rasul menjawab: “Buanglah tikus itu dan minyak disekitarnya, dan makanlah minyak kamu”. (HR. Bukhari)
Tetapi jika najis itu cair, maka pendapat jumhur adalah minyak itu harus dibuang semuanya (tidak bisa dipakai lagi) karena menjadi tercemar seluruhnya dengan terjatuhnya najis tersebut.
Imam Zuhri dan Auza’i berpendapat sesuatu yang cair hukumnya sama seperti air, yaitu tidak najis kecuali air itu berubah dengan sebab kejatuhan najis itu. Tetapi jika tidak berubah, maka tetap suci. Ini juga pendapat Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, dan Bukhari.

v  Membersihkan najis dari benda-benda yang mengkilap dan sejenisnya

Mensucikan cermin, pisau, kuku, tulang, kaca, bejana yang berminyak, dan setiap benda yang mengkilap yang tidak berpori adalah dengan mengusapnya, karena para sahabat pernah shalat sambil membawa pedang mereka yang terkena darah, mereka mengusapnya dan mereka merasa cukup dengan yang demikian itu (usapan itu cukup untuk mensucikannya).

0 komentar: