Rabu, 04 April 2012

BAB VI (WUDHU)



A.    Tata Cara Wudhu

  1. Menurut Tuntunan Muhammadiyah
 a.    Membaca basmalah pada permulaan wudhu, sesuai  dengan hadis dari an-Nasa’i :
Tawadha’uu- bismillah dengan niat yang ikhlas semata mata karena Allah swt.
b.    Membersihkan kedua telapak tangan sebanyak tiga kali, hendaknya pada cela-cela jari tangan dibersihkan sebersih mungkin. [lih. HPT hadis ke 3 bab wudhu]
c.    Menggosok gigi dengan kayu arok atau sejenisnya. Berdasarkan hadis
”kalau aku tidak khawatir akan menyusahkan umatku, niscaya aku perintahkan kepada mereka bersiwak (menggosok gigi) pada tiap wudhu”. ( H.R. Malik, Ahmad dan an-Nasa’i). [lih. HPT hadis ke 4 bab wudhu]
d.  Berkumur-kumur dan menghirup air ke dalam hidung dari telapak tangan sebelah  kanan serta menyemburkanya kembali, yang masing-masing dilakukan tiga kali. Hal tersebut dilakukan keculi ketika berpuasa. [lihat. HPT hadis ke 5 dan 6 bab wudhu]
e. Membasuh muka tiga kali dengan mengusap dua sudut mata, menggosok dan melebihkan dalam membasuhnya serta menyela-nyelai janggut. [lihat HPT hadis ke 7, 8, 9, 10 dan 11]
f. Membasuh kedua tangan sampai kedua siku dengan digosok tiga kali sambil menyelai jari-jari tangan dengan melebihkan dalam membasuh keduanya serta memulai dengan tangan sebelah kanan [lihat. HPT hadis ke 11, 12, 13, 14, 15, bab wudhu]
g. Mengusap ubun-ubun dan bagian atas sorban [mengusap kepala] dengan menjalankan kedua telapak tangan dari ujung muka kepala hingga tengkuk dan dikembalikan lagi pada permulaan kemudian mengusap kedua telinga sebelah luar dengan dua ibu jari dan sebelah dalam dengan kedua telunjuk [Lih. HPT  hadis ke 16, 17, 18, 19 bab wudhu]
h.    Membasuh kedua kaki beserta mata kaki dengan melebihkan dalam membasuh keduanya, memulai dari yang kanan dan menyempurnakan dalam membasuhnya. [Lih. HPT hadis ke 20, 21, 22 bab wudhu]
i.     Berdoa setelah berwudhu ;

أأََشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ

  1. Pendapat di luar Muhammadiyah

a.                  Mengusap dengan air yang baru

          عَنْ عَبْدِاللّهِ بْنِ زَيْدٍ أَنَّهُ رَأَى النَّبِيَ صلعم يَأْخُذُ لأُذُنَيْهِ ماَءً غَيْرَ الْماَءِ الّذِيْ أَخَذَ لِرأْسِهِ  [أخرجه عَنْ عَبْدِ اللّهِ ابْنِ البيهقي] 
“Dari Abdullah bin Zaid bahwasanya ia melihat Nabi Saw mengambil air untuk dua telinganya bukan air yang ia ambil untuk mengusap kepalanya”. ( HR. al-Baihaqi )

Secara dzahir hadis ini menunjukkan perintah untuk mengambil air baru ketika mengusap kedua telinga. Sementara hadis yang menyebutkan kaifiyah wudlu secara sempurna (hadis Utsman) tidak menyebutkan bahwa Nabi mengambil  air yang baru ketika mengusap telinga. Sekalipun pendapat ini dibantah dengan alasan bahwa tidak disebutkanya hal tersebut bukan berarti Nabi tidak melakukanya.
Pendapat ini kemudian terbantahkan oleh praktek para sahabat ketika mengusap kedua telinga dengan menggunakan sisa air ketika mengusap kepala. Meskipun sanad-sanad ini diperbincangkan tetapi banyak riwayat lain yang saling menguatkan seperti hadist Ali, Ibnu Abbas, Rubba’i, Ustman. (lih. Subulussalam hadis ke 50 bab wudhu)

b.                  Mengusap kepala sebagian
Persoalan mengusap kepala memang terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama,  sebab ayat wamsahuu biruusikum  mengandung dua kemungkinan, bisa seluruhnya juga bisa bermakna sebagian kepala. Akan tetapi imam Syafi’i menguatkan makna sebagian berdasarkan hadis Mursal dari jalur Atha’ 

 أَنَّ رَسُوْلُ اللّهِ صلعم تَوَضََّأَ فَحَسَرَ العِماَمَةَ عَنْ رَأْسِهِ وَمَسَحَ مُقَدَّمَ رَأْسِهِ  
Rasulullah saw berwudhu lalu beliau mencukupkan mengusap sorbannya dan bagian depan kepalanya”

Meskipun hadis ini Mursal tapi dikuatkan oleh hadis  Anas ra :

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَوَضَّأُ وَعَلَيْهِ عِمَامَةٌ قِطْرِيَّةٌ فَأَدْخَلَ يَدَهُ مِنْ تَحْتِ الْعِمَامَةِ فَمَسَحَ مُقَدَّمَ رَأْسِهِ وَلَمْ يَنْقُضْ الْعِمَامَة                        
Dari Anas ra ; Aku melihat Rasulullah saw berwudhu dengan mengenakan sorban qitriyah, beliau memasukkan tangannya dibagian bawah sorban lalu mengusap bagian depan kepalanya tanpa melepas sorbannya”. (H.R Abu Dawud)

Dalam hadis Anas ini terdapat seorang rawi yang dinilai Majhul yaitu Ma’qol, demikian komentar Ibnu Hajar. Demikian pula Ibnu Qayyim berkata tentang masalah ini : sesungguhnya tidak sah bahwa Nabi SAW. Hanya membatasi mengusap sebagian kepala saja. Akan tetapi yang ada adalah apabila Nabi SAW. Mengusap ubun-ubunya maka ia menyempurnakanya pada bagian atas sorbanya. Mengenai hadis Anas ini, Ibnu Qayyim berkata :
 ”Maksud hadis Anas ra tersebut bahwasanya Nabi saw tidak melepas sorbannya hingga  mengusap seluruh rambutnya dan beliau tetap menyempurnakan mengusap pada bagian  atas sorbannya”.

(Subulussalam sarah hadis ke 30 bab wudhu dan Nailul Authar sarah hadis 188 bab mengusap kepala seluruhnya atau sebagianya).

c.                   Mengusap tiga kali
Tidak ditemukan satupun hadis Bukhari Muslim yang menyebutkan pengulangan dalam menyapu kepala, dan ini menjadi pendapat mayoritas ’ulama. Namun imam Syafi’i berkata ”mengusap anggota wudhu tiga kali adalah disukai sebagaimana halnya membasuh”. Beliau melandasi pendapatnya ini dengan makna dzahir hadis yang terkandung dalam riwayat imam Muslim : 
عن عَبْدَ اللَّهِ بْنَ زَيْدِ بْنِ عَاصِمٍ الْمَازِنِيَّ يَذْكُرُ أَنَّهُ رَأَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ فَمَضْمَضَ ثُمَّ اسْتَنْثَرَ ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلَاثًا وَيَدَهُ الْيُمْنَى ثَلَاثًا وَالْأُخْرَى ثَلَاثًا وَمَسَحَ بِرَأْسِهِ بِمَاءٍ غَيْرِ فَضْلِ يَدِهِ وَغَسَلَ رِجْلَيْهِ حَتَّى أَنْقَاهُمَا [ رواه مسلم ] ٍٍٍٍ
”Dari Abdullah bin Zaid bin Ashim al-Maziniyyi menyebutkan bahwa dia melihat Rasulullah saw berwudhu dengan berkumur-kumur lalu beristinsyar kemudian membasuh mukanya tiga kali dan tangan kanannya tiga kali dan tangan kirinya tiga kali kemudian mengusap kepalanya dengan air  bukan dari sisa tangannya kemudian membasuh kedua kaki sampai mata kakinya. ( HR. Muslim )
Akan tetapi alasan imam Syafi’i ini dapat dijawab dengan riwayat imam Muslim  tersebut yang masih bersifat global, sementara dalam riwayat-riwayat shahih lainnya yang menerangkan praktek wudhu Nabi secara terperinci disebutkan bahwa menyapu kepala hanya dilakukan sekali saja. Dengan demikian makna tiga kali pada riwayat Muslim berlaku bagi sebagian besar anggota wudhu bukan keseluruhanya atau dapat dipahami bahwa berwudhu tiga kali-tiga kali berlaku untuk anggota wudhu yang dibasuh bukan yang diusap. [ Fathul Bari 2 hadis no. 24]

d.                  Memisahkan antara berkumur-kumur dengan istinsyar.

Dalam riwayat imam Muslim dari jalur Khalid disebutkan :
ثُمَّ أَدْخَلَ يَدَهُ اسْتَخْرَجَهاَ فَمَضْمَضَ
”Kemudian Nabi saw. memasukkan tanganya ke dalam bejana setelah itu dikeluarkanya lalu beliau berkumur - kumur”.

Riwayat ini dijadikan sebagai dalil bahwa berkumur-kumur lebih didahulukan (terpisah) dari istinsyar. Namun persoalan ini perlu pembahasan lebih mendalam.
Sementara dari jalur Khalid bin Abdullah berikut ini disebutkan :
مَضْمَضَ وَاسْتَنْشَقَ مِنْ كُفٍّ وَاحِدٍ فَعَلَ ذَلِكَ ثَلاَثًا
 ”Rasulullah berkumur-kumur dan beristinsyaq dari satu telapak tangan, beliau melakukanya tiga kali”.

Riwayat ini sangat tegas menyatakan bahwa berkumur-kumur dan memasukkan air kedalam hidung dilakukan dengan sekali ciduk.
Kemudian dalam riwayat Sulaiman bin Bilal yang dikutip oleh imam Bukhari pada bab ”Berwudhu dari bejana kecil” disebutkan

فَمَضْمَضَ وَاسْتَنْثَر ثَلاَث مَرَّاتٍ مِنْ غَرْفَةٍ وَاحِدَةٍ
”Rasulullah berkumu-kumur dan beristinsyar tiga kali dengan satu kali cidukan”.
Riwayat ini juga dijadikan dalil untuk menyatukan antara berkkumur-kumur dan beristinsyar dengan satu kali cidukan [ Fathulbari Hadis 38 Jilid 2 Syarah ;Tsumma madhmadha istantsara]

e.                   Doa sesudah wudhu.
Mengenai doa sesudah wudhu imam Muslim meriwayatkan hadis Umar :

 عن عمرقَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللّهِ صلعم مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ يَتَوَضَّأُ فَيُبْلِغُ أَوْ فَيُسْبِغُ الْوَضُوءَ ثُمَّ يَقُولُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ إِلَّا فُتِحَتْ لَهُ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ الثَّمَانِيَةُ يَدْخُلُ مِنْ أَيِّهَا شَاءَ [ رَوَاهُ مُسْلِم ]

”Dari Umar ra berkata Rasulullah saw. bersabda : Siapa diantara kamu yang berwudhu maka sempurnakanlah wudhunya lalu berdoa ”Asyhadualla ilaha illAllah wahdahu laa syarikalah wa asyhadu anna muhammadan ’abduhu wa rasuuluhu” Maka dibukakan baginya delapan pintu syurga lalu  ia masuk kedalamnya dari arah yang dia kehendaki”.

Sementara tambahan lafadz

اللَّهُمَّ اجْعَلْنِي مِنْ التَّوَّابِينَ وَاجْعَلْنِي مِنْ الْمُتَطَهِّرِينَ
”Ya Allah jadikanlah Aku termasuk orang-orang yang bertaubat dan juga orang-orang yang mensucikan”.
Adalah berasal dari riwayat imam Tirmidzi. Akan tetapi imam Tirmidzi sendiri mengomentarinya : dalam hadis ini terdapat kegoncangan sanadnya (Mutthorib).

  1. Perkara yang tidak masyru’.

Bacaan Doa-Doa tertentu pada masing-masing anggota wudhu.
Hadis-Hadis tentang adanya doa pada masing-masing anggota wudhu semuanya dha’if bahkan sebagian ulama’ berkata riwayat tersebut tidak ada asalnya [ soal jawab A. Hasan Jilid 1 hal. 43 ].

 Semantara imam Nawawi berkata: ”doa-doa dipertengahan wudhu tidak ada asalnya dan orang-orang terdahulu tidak pernah menyebutknya”. Sementara Ibnu Shalah berkata : ”Hadis-Hadis tentang doa ketika membasuh tiap-tiap anggota wudhu tidak terdapat satupun hadis shahih tentangnya [ Subulussalam Hadis ke 53 bab wudhu ].
Yusuf Qaradhawi ketika ditanya tentang hal ini beliau menjawab doa-doa ini [ doa tiap-tiap anggota wudhu ] dan semacamnya merupakan bid’ah yang diada-adakan setelah abad pertama [ Fatwa Kontemporer ; Yusuf Qaradhawi 1 ].

B.     Pembatal-Pembatal Wudhu.

1.      Menurut Muhammadiyah.

a.    Keluarnya sesuatu dari dua jalan [ Tinja, Mani, Madzi, Wadzi, Kentut ]
Dalam hal ini Majlis Tarjih mengemukakan beberapa dalil :
                . berdasarkan surat al-Maidah ayat 6

                  .     Berdasarkan hadis  Shofwan
لِحَدِيْثِ صَفْوَانَ بْنِ عَسَّالٍ قَالَ :  فَأَمَرَنَا أَنْ نَمْسَحَ عَلَى الْخُفَّيْنِ إِذَا نَحْنُ أَدْخَلْنَاهُمَا عَلَى طُهْرٍ ثَلَاثًا إِذَا سَافَرْنَا وَيَوْمًا وَلَيْلَةً إِذَا أَقَمْنَا وَلَا نَخْلَعَهُمَا إِلَّا مِنْ جَنَابَة [ رواه أحمد ]
Menurut hadis Shafwan bin Assal berkata : ”Rasulullah SAW memerintahkan kami supaya mengusap bagian atas kedua khuf kalau kami memakainya di waktu suci, tiga hari jika kami bepergian dan satu hari satu malam jika tidak bepergian. Dan kami tidak perlu membuka keduanya karena buang air besar atau kecil dan karena tidur. Dan supaya kami tidak membukanya kecuali karena janabah”. ( HR. Ahmad )

.     Hadis Abu Hurairah      

 عن َأَبُو هُرَيْرَةَ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تُقْبَلُ صَلَاةُ أَحَدِكُمْ إِذَا أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأ
[ رواه مسلم ]
Dari Abu Hurairah ra berkata : ”Rasulullah SAW bersabda : tidak diterima shalat salah seorang diantara kalian apabila berhadats sehingga ia berwudhu”. ( HR. Muslim )

 عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَقْبَلُ اللَّهُ صَلَاةَ أَحَدِكُمْ إِذَا أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ وَقَدْ فَسَّرَهُ أَبُوْهُرَيْرَة لَمّا قَال لهُ رَجُلٌ مَالحَدَث ؟ قَالَ فُسَاءٌ وَضُرَاطٌ [ رواه البخاري ]
Dari Abu Huraiah ra. Nabi Saw bersabda, “Allah swt tidak menerima shalat kalian apabila berhadats sehingga ia berwudhu. Abu Hurairah ra. menafsirkan ketika ada seseorang yang bertanya, Apakah hadats itu ? ia menjawab : kentut yang berbunyi dan yang tak berbunyi”.                        ( HR. Bukhari ) 
               
.     Hadis Ali
 
عَنْ عَلِيٍّ قَالَ كُنْتُ رَجُلًا مَذَّاءً وَكُنْتُ أَسْتَحْيِي أَنْ أَسْأَلَ النَّبِيَّ ركعتينلِمَكَانِ ابْنَتِهِ فَأَمَرْتُ الْمِقْدَادَ بْنَ الْأَسْوَدِ فَسَأَلَهُ فَقَالَ يَغْسِلُ ذَكَرَهُ وَيَتَوَضَّأ [ رواه مسلم ]
Dari Ali ra. berkata : adalah aku itu seorang lelaki yang sering keluar madzi dan aku malu bertanya pada rasulullah saw karen kedudukan anak perempuanya disisiku lalu aku memerintahkan Miqdad ibn al-Aswad untuk bertanya padanya, maka berkatalah Nabi SAW hendaklah ia membasuh kemaluanya dan berwudhu”. ( HR. Muslim)

b.      Menyentuh wanita ( jima’ )

Berdasarkan pemahaman Muhammadiyah terhadap lafadz au-lamastumun- nisa’َ dengan makna Jima’.
c.       Menyentuh kemaluan

لِحَدِيْثِ بُشْرَةَ بِنْتِ صَفْوَانَ رَضِيَ اللّه عَنْهَا أَنَّ النَّبِيَ صلعم قَالَ مَنْ مَسَّ ذَكّرّهُ فَلاَ يُصَلِّيْ حَتَّى يَتَوَضَّأَ [ أَخْرَجَهُ الأَرْبَعَةُ ]   
Dari Busyrah binti Shofwan ra. Berkata bahwa Nabi Saw. Bersabda, ”Barang siapa yang menyentuh dzakarnya maka janganlah ia shalat sebelum berwudhu”. (HR. Imam Empat)

عَنْ طَلَق بْنِ عَلِيِّ أَنَّ رَسُوْلَ اللّهِ صلعم قَالَ مَنْ مَسَّ فَرْجَهُ فَلْيَتَوَضَّأ         أَخْرَجَهُ الطبرنيّ ]                  
Dari Tholaq bin Ali berkata bahwa Nabi Saw. Bersabda, ”Barang siapa yang menyentuh kemaluanya maka hendaklah ia berwudhu”. ( HR. imam at-Thabrani )

عَنْ عَمْرو بن شُعَسْبٍ عَنْ أَبِيْهِ عَنْ جَدِّهِ عَنِ النَّبِيِ صلعم قَالَ أَيُّمَا رَجُلٍ مَسَّ جَرْجَهُ فَليَتَوَضَّأْ وَأَيُّمَا امْرَأَةٍ مَسَّتْ فَرْجَهَا فَلْيَتَوَضَّأْ [ رواه أحمد ]
Dari Amr bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya Nabi Saw. Bersabda, ”Setiap laki-laki yang menyentuh kemaluanya hendaklah ia berwudhu dan juga setiap perempuan yang menyentuh kemaluanya hendaklah ia berwudhu”. ( HR. Ahmad )
عَنْ أَبُوْ هُرَيْرَةَ : إِذَا أَفْضَى أَحَدُكُمْ بِيَدِهِ إِلَىَ فَرْجِهِ لَيْسَ دُوْنَهَا حِجَابٌ وَلَا سَتْرٌ فَقَدْ وَجَبَ عَلَيْهِ الوُضُوْء [ رواه ابن حبّان وصحّحه الحاكم وابن عبدالبرّ]                                                                                                                      
Dari Abu Hurairah : ”Apabila salah seorang diantara kalian menyentuh kemaluanya dengan tanganya tanpa ada hijab dan penutup maka ia wajib berwudhu”.                                  ( HR. Ibnu Hibban dan dishohihkan oleh Hakim dan Ibnu Abdilbar )

d.      Tidur nyenyak dalam keadaan miring

عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وِكَاءُ السَّهِ الْعَيْنَانِ فَمَنْ نَامَ فَلْيَتَوَضَّأْ [ رواه أبوداود ]

Dari Ali ra. bahwa Rasullah Saw. Bersabda, ” kedua mata itu bagaikan tali dubur, barangsiapa tertidur maka berwudhulah”. (HR. Abu Dawud)

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَسْجُدُ وَيَنَامُ وَيَنْفُخُ ثُمَّ يَقُومُ فَيُصَلِّي وَلَا يَتَوَضَّأُ قَالَ فَقُلْتُ لَهُ صَلَّيْتَ وَلَمْ تَتَوَضَّأْ وَقَدْ نِمْتَ فَقَالَ إِنَّمَا الْوُضُوءُ عَلَى مَنْ نَامَ مُضْطَجِعًا زَادَ عُثْمَانُ وَهَنَّادٌ فَإِنَّهُ إِذَا اضْطَجَعَ اسْتَرْخَتْ مَفَاصِلُهُ [ أخرجه أصحاب السّنان ]
Dari Ibnu Abbas ra., “bahwa ia melihat Rasullah Saw. tidur sedang beliau bersujud sehingga ia mendengkur, kemudian ia berdiri untuk shalat, kemudian aku berkata : wahai Rasullah sesungguhnya Engkau telah tertidur. Beliau bersabda : sesungguhnya wudhu itu tidak wajib melainkan bagi orang yang tidur berbaring, karena jika berbaring lemasalah sendi-sendinya”. ( HR. Ashabus Sunan ).
                

2.      Pendapat di luar Muhammadiyah
a.      Menyentuh Wanita

Perbedaan dalam memahami ayat (au-laa mastumunnisa’) melahirkan dua madzhab yang populer dikalangan ulama :

Ø  Golongan yang berpendapat bahwa menyentuh wanita termasuk membatalkan wudhu. Pendapat ini dipegangi  oleh  Ibnu Mas’ud, Ibnu Umar, az-Zuhri, as-Syafi’i dan para sahabatnya.
Ø  Golongan yang berpendapat bahwa menyentuh wanita tidak membatalkan wudhu.

Pendapat ini dipegangi oleh Ibnu Abbas, Ath’a, Thaus, al-Utrah, Abu Hanifah dan Abu Yusuf.
Kelompok pertama memahami ayat au-laa mastumunnisa’ dengan makna dzahir, sedang kelompok yang kedua memahaminya dengan makna majazi, berdasarkan hadis Aisyah :

عَنْ إِبْرَاهِيمَ التَّيْمِيِّ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُقَبِّلُ بَعْضَ أَزْوَاجِهِ ثُمَّ يُصَلِّي وَلَا يَتَوَضَّأُ    [رواه أبوداود والنّساءى ]                                                                               
Dari Ibrahim at-Taimi dari Aisyah ”bahwa Nabi Saw. mencium sebagian istri-istrinya kemudian beliau shalat dan tidak berwudhu”.  (HR. Abu Daud dan Nasai)

Meskipun  hadis ini mursal bahkan ada yang mendhaifkannya, sehingga kehujjahanya masih dipertentangkan dikalangan  ’ulama. Namun demikian banyaknya orang yang meriwayatkanya menjadikan hadis ini satu dengan yang lain saling menguatkan. Pendapat kedua inilah yang dirajihkan oleh Muhammadiyah. [Nailul Author bab pembatal-pembatal wudhu]


b.      Memakan daging unta

عَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَأَتَوَضَّأُ مِنْ لُحُومِ الْغَنَمِ قَالَ إِنْ شِئْتَ فَتَوَضَّأْ وَإِنْ شِئْتَ فَلَا تَوَضَّأْ قَالَ أَتَوَضَّأُ مِنْ لُحُومِ الْإِبِلِ قَالَ نَعَمْ فَتَوَضَّأْ مِنْ لُحُومِ الْإِبِلِ قَالَ أُصَلِّي فِي مَرَابِضِ الْغَنَمِ قَالَ نَعَمْ قَالَ أُصَلِّي فِي مَبَارِكِ الْإِبِلِ قَالَ لَا [ رواه مسلم وأحمد ]   
Dari Jabir Bin Samurah Bahwa seorang laki-laki bertanya pada Rasullah Saw. : Apakah kami harus berwudhu dari daging kambing ? Rasullah menjawab ” jika kamu mau maka berwudhulah dan jika tidak maka tidak usah berwudhu. Kemudian laki-laki tersebut berkata : apakah kami harus berwudhu dari daging unta? Nabi menjawab : ya. Apakah aku boleh shalat di kandang kambing ? jawab Nabi ya. Apakah aku boleh shalat di kandang unta ? Nabi menjawab tidak. ( HR. Muslim dan Ahmad )

      Hadis serupa juga diriwayatkan Ibnu Majjah melalui jalur Muharrib bin Dutsar dan Ibnu Umar. Hadis ini menjadi landasan bahwa memakan daging unta termasuk membatalkan wudhu.
     Mengenai hal ini imam Nawawi berkata : Orang yang berpendapat bahwa memakan daging unta tidak termasuk pembatal wudhu adalah khalifah yang empat : Ibnu Mas’ud, Ubai bin Ka’ab, Ibnu Abbas, Abu Darda, Abu Tolhah, Amar bin Rabia’ah, Abu Umamah, sekelompok Tabi’in, imam Malik, Abu Hanifah, dan imam Syafi’i. Sedangkan kelompok yang menganggap batal adalah Ahmad bin Hambal, Ishaq bin Rahawaih, Yahya bin Yahya Ibnu Huzaimah, Abu Bakar bin Mundzir dan al-Baihaqi.
     Kelompok kedua menjadikan hadis Jabir ini sebagai dalil bahwa memakan daging unta termasuk pembatal wudhu. Sedangkan kelompok pertama menyandarkan pendapatnya pada khalifah yang empat dan sebagian besar yang masyhur serta perkataan Ibnu Hibban :
أَنَّهُ كَانَ أخِرُالأَمْرَيْنِ مِنْهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَدَمُ الوُضُوْءِ مِمَّا مَسَّتْ النَّارُ      [ رواه ابن حبّان ]
Bahwasanya akhir dari dua urusan Nabi SAW adalah tidak berwudhu dari memakan makanan yang disentuh ( dimasak ) dengan api”. ( HR. Ibnu Hibban )  

      Meskipun demikian Imam Nawawi membantah metode yang digunakan Ibnu Hibban dalam mengkompromikan dua hadis tersebut di atas ( Nailul Authar H.256 Bab : wudhu dari daging unta ).

c.       Pingsan

   Jumhur ’ulama sepakat bahwa hilangnya akal disebabkan karena pingsan, gila, dan mabuk menjadi salah satu penyebab batalnya wudhu. Mereka berpendapat bahwa kalau tidur saja (kecuali posisi tidur tertentu) membatalkan wudhu, sudah tentu pingsan, gila dan mabuk termasuk pembatal wudhu sebab keadaannya lebih berat dibanding tidur. [Bidayatul Mujtahid Bab Pembatal-Pembatal Wudhu]

Sekalipun Muhammadiyah melalui majelis Tarjih tidak menggolongkan pembatal-pembatal wudhu yang ada pada poin ”Pendapat di luar Muhammadiyah” ini sebagai keputusan resmi bukan berarti Muhammadiyah menolaknya. Sehingga kepada warga Muhammadiyah demi menjaga sikap kehati-hatian dalam masalah ibadah maka tidak ada salahnya jika hal ini diperhatikan.


3.      Pendapat Yang Tidak Masyru’
a.      Muntah

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَصَابَهُ قَيْءٌ أَوْ رُعَافٌ أَوْ قَلَسٌ أَوْ مَذْيٌ فَلْيَنْصَرِفْ فَلْيَتَوَضَّأْ ثُمَّ لِيَبْنِ عَلَى صَلَاتِهِ وَهُوَ فِي ذَلِكَ لَا يَتَكَلَّمُ [ أخرجه ابن ماجه و ضعّفه أحمد وغيره ]
Dari Aisyah ra berkata : Rasulullah SAW bersabda:  “Barang siapa yang mendapati dirinya muntah, mimisan atau madzi maka hendaklah ia meninggalkan shalatnya lalu berwudhu kemudian melanjutnya shalatnya selama dia tidak berbicara di dalamnya”. ( HR. Ibnu Majah sedangkan imam Ahmad dan selainya mendhaifkanya )
Termasuk kelompok yang menganggap muntah membatalkan wudhu adalah   mazhab Hanafiyah, Hambaliyah, sementara Hadawiyah mensyaratkan muntahnya berasal dari perut besar dan memenuhi mulut. Sedangkan kelompok dari kalangan Ahlul Bait; Syafi’i dan Malik beranggapan bahwa muntah tidak termasuk pembatal wudhu dengan alasan hadis Aisyah r.a  tidak kuat karena hanya sampai pada derajat mursal disamping itu juga dha’if sehingga tidak layak untuk dijadikan hujjah.

b.      Mimisan

Mengenai mimisan apakah termasuk membatalkan  wudhu atau tidak juga diperselisihkan. Bagi yang menganggap termasuk pembatal wudhu berdalil pada hadis Aisyah r.a diatas, sementara kita tahu derajat hadis tersebut lemah. Sementara yang tidak menganggapnya sebagai pembatal wudhu  karena mengamalkan hukum asal yaitu asalnya tidak membatalkan sampai ada dalil kuat yang menerangkannya.
Sedang mengenai darah yang keluar selain dari dua jalan diterangkan oleh hadis Anas bahwa Nabi saw berbekam lalu beliau bangkit untuk shalat tanpa berwudhu.

c.       Membawa mayit

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ غَسَّلَ مَيِّتًا فَلْيَغْتَسِلْ وَمَنْ حَمَلَهُ فَلْيَتَوَضَّأ   [ أخرجه أحمد والنّسائى والتّرمذيّ وحسّنه وقال أحمد لايصحّ في هذا الباب شيئ ] 
Dari Abu Hurairah berkata bahwa Rasulullah Saw bersabda: Barang siapa yang memandikan mayit maka hendaklah ia mandi besar. Dan barang siapa yang membawanya maka hendaklah ia berwudhu. ( HR. Ahmad, an-Nasai, at-Tirmidzi, dan ia menghasankan hadis tersebut).

Hadis ini ditakhrij oleh Imam Ahmad dari jalur yang lemah. Sekalipun demikian imam Tirmidzi menghasankanya dan Ibnu Hibban menshahihkanya karena ada hadis lain yang semakna dengan hadis ini dan tidak terdapat sanad yang dianggap lemah. Imam Ahmad berkata hadis ini dimansuhkan oleh hadis Ibnu Abbas riwayat al-Baihaqi.

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ : أَنَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : لَيْسَ عَلَيْكُمْ فِى غُسْلِ مَيِّتِكُمْ غُسْلٌ إِذَا غَسَلْتُمُوْهُ إِنَّ مَيِّتَكُمْ يَمُوْتُ طَاهِرًا وَلَيْسَ بِنَجَسٍ فَحَسْبُكُم أَنْ تَغْسِلُوْا أَيْدِيَكُمْ [ رَوَاهُ الْبَيْهَقِيُ وَلكِنَّهُ ضَعَّفَهُ ]
Dari Ibnu Abbas bahwasanya Nabi SAW bersabda : “Tidak wajib bagi kalian mandi apabila kalian memandikan mayat, sesungguhnya mayat di antara kalian itu suci dan bukan najis maka cukuplah kalian membasuh kedua tangan kalian”. (HR. al-Baihaqi akan tetapi ia sendiri mendhaifkanya)

Imam Bukhari mengkompromikan antara hadis Abu Hurairah dan Ibnu Abbas ini bahwa : ” mandi setelah membawa mayat hanyalah sunah. ash-Shan’ani pensyarah kitab Bulughul Maram menunjukkan hadis Ibnu Umar yang ditakhrij oleh imam Ahmad sebagai qorinah untuk menengahi dua hadis di atas.

كُنَّا نَغْسِلُ المَيِّتَ فَمِنَّا مَنْ بَغْتَسِلُ وَمِنَّا مَنْ لَا يَغْتَسِلُ [ أخرجه أحمد ]
”Kami memandikan mayit maka diantara kami ada yang mandi dan ada yang tidak ”. ( HR. Ahmad )



TARTIB WUDHU

Pengertian

Tartib wudhu adalah mensucikan anggota-anggota wudhu satu persatu secara berurutan, sebagaimana yang ada di dalam nash al-Qur’an. Artinya membasuh wajah yang pertama kali, dua tangan, mengusap kepala kemudian membasuh dua kaki. (Fiqh wa Adillatuh, Wahbah Suhaili)

Dalam masalah ini para ahli fiqh berbeda pendapat diantaranya adalah :

1.        Pendapat Hanafiyah dan Malikiyah

Keduanya berpendapat bahwa tartib dalam wudhu adalah sunah muakaddah tidak wajib, alasanya adalah nash alquran tentang wudhu terdapat huruf athaf wau. Sedangkan huruf athaf wau memberikan pengertian semua berhak mendahului (mutlaq semua) dan tidak menuntut berurutan, jika yang dimaksud dalam ayat ini tartib maka seharusnya menggunakan huruf athaf tsumma ( ثُمَّ ). Selain ayat tersebut ada riwayat yang mendasari hal ini :

قَالَ عَلِيٌّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: مَا أُبَالِي بِأَيِّ أَعْضَائِي بَدَأْتُ وَقَالَ ابْنُ عَبَّاٍس رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا: لَا بَأْسَ بِالْبِدَايَةِ بِالرِّجْلَيْنِ قَبْلَ الْيَدَيْنِ. [روى الدارقطني ]


Ali ra berkata :”Aku tidak peduli dengan yang mana aku memulai membasuh anggota-anggota wudhuku”, Ibnu Abbas ra berkata: “tidak mengapa memulai dengan dua kaki dahulu sebelum kedua tangan”. ( HR. Daraqudni )

قَالَ ابْنُ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: لَا بَأْسَ أَنْ تَبْدَأُ بِرِجْلِكَ قَبْلَ يَدَيْكَ فِي الْوُضُوْء 
Ibnu Mas’ud berkata : Tidak mengapa engkau memulai dengan kakimu sebelum tanganmu di dalam berwudhu”. Dua atsar di atas diriwayatkan oleh imam Daraqutni, sedangkan yang ketiga tidak ada asalnya.

Selain tiga atsar di atas terdapat juga atsar lain dari Ali ra yaitu :

رُوِيَ عَنْ عَلَيٍّ أَنَّهُ بَدَأَ بِمُيَاسَرِهِِ وَبِأَنَّهُ قَالَ مَا أُبَالِيْ بِشَمَالِهِ بَدَأْتُ أمْ بِيَمِيْنِيْ إِذَا اتْمَمْتُ الوُضُوءِ
Diriwayatkan dari Ali ra. Bahwasanya dia memulai berwudhu dengan yang kiri, dan dia berkata : “ Aku tidak peduli aku memulai dengan yang kiri atau kanan apabila aku menyempurnakan wudhu”.

Dua atsar di atas dalam Subulussalam diriwayatkan oleh Imam Daraqutni tanpa mendhaifkanya, akan tetapi keduanya tidak dapat dijadikan dalil dan tidak dapat melawan hadis-hadis yang digunakan dalil tentang wajibnya tartib dalam wudhu. Kesimpulannya bahwa semua dalil yang digunakan tentang tidak wajibnya tartib dalam wudhu adalah lemah, dalam kitab Subulussalam Shan’ani menyebutkan dalil-dalilnya mauquf semua.
   
2.            Pendapat Syafi’iyyah dan Hanabilah

Golongan ini berpendapat bahwa tartib dalam wudhu adalah wajib, dengan alasan dalil bahwa Nabi SAW berwudhu seperti yang telah diperintahkan dalam al-Quran Surat al-Maidah ayat 6. Sebagaimana sabdanya :

اِبْدَؤُوْا بِمَا بَدَأَ اللهُ بِهِ [ رواه النسائي بإسناد حسن ]
“ Mulailah kalian dengan apa yang telah diperintahkan oleh Allah swt dengannya”.

Dari riwayat di atas dapat diambil pengertian bahwa Nabi SAW memerintahkan berwudhu dengan memulai seperti yang terdapat dalam surat al-maidah ayat 6.
Selain syafi’iyyah dan hanafiyyah, Hadawiyyah juga menganggap bahwa tartib wudhu adalah wajib dengan alasan yang sama. Selain itu mereka juga beralasan bahwa Nabi saw secara terus menerus berwudhu secara tertib seperti dalam firman Allah di atas. Dan juga berdalil dengan hadis Ibnu Umar, Zaid Ibnu Tsabit dan Abu Hurairah.

إِنَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ عَلَى الْوَلَاءِ ثُمَّ قَالَ : هَذَا وُضُوْءٌ لَا يَقْبَلُ اللّهُ الصَّلَاةَ إِلَّابِهِ
bahwasanya Nabi saw berwudhu secara berurutan, kemudian beliau berkata ini adalah wudhu, Allah swt tidak menerima shalat kecuali dengan wudhu”.

Hadis di atas banyak jalannya yang saling menguatkan sebagian kepada bagian yang lain sehingga dapat digunakan sebagai hujjah. (Subulussalam bab wudhu syarah hadis: 42)
Kesimpulan bahwa pendapat yang mengatakan bahwa tartib dalam wudhu adalah wajib lebih kuat dalilnya daripada yang berpendapat tidak wajibnya.


MENGHILANGKAN AIR DARI ANGGOTA WUDHU
( MENGERINGKANYA )

Dalam masalah ini ada beberapa pendapat, diantaranya adalah melarang mengeringkan air pada anggota badan setelah berwudhu baik dengan mengelap dengan kain atau mengibaskannya, hal ini didasarkan pada hadis :

إِذَا تَوَضَّأْتُمْ فَأَشْرِبُوْا أَعْيُنَكُمْ مِنَ الْمَاءِ وَلاَ تَنْفُضُوْا أَيْدِيَكُمْ مِنَ الْمَاءِ [ رواه أبوا حاتم ]
“ Apabila kamu berwudhu, siramlah mata kalian dengan air dan jangan kamu kebaskan ( untuk menghilangkan / mengeringkan ) tangan-tangan kamu daripada air”. [ H.R. Abu Hatim]

Hadis di atas memberikan pengertian bahwa mengibaskan anggota wudhu dengan tujuan menghilangkan atau mengeringkannya itu dilarang.
Selain pendapat yang melarangnya, terdapat pula yang memakruhkan mengusap atau mengibaskan air dari anggota wudhu agar kering, hal ini didasarkan pada hadis Nabi saw:    

عَنْ ابْنُ عَبَّاسٍ قَالَ : قَالَتْ مَيْمُونَةُ : أَدْنَيْتُ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غُسْلَهُ مِنْ الْجَنَابَةِ فَغَسَلَ كَفَّيْهِ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا ثُمَّ أَدْخَلَ بِيَمِينِهِ فِي الْإِنَاءِ فَأَفْرَغَ بِهَا عَلَى فَرْجِهِ ثُمَّ غَسَلَهُ بِشِمَالِهِ ثُمَّ ضَرَبَ بِشِمَالِهِ الْأَرْضَ فَدَلَكَهَا دَلْكًا شَدِيدًا ثُمَّ تَوَضَّأَ وُضُوءَهُ لِلصَّلَاةِ ثُمَّ أَفْرَغَ عَلَى رَأْسِهِ ثَلَاثَ حَثَيَاتٍ مِلْءَ كَفِّهِ ثُمَّ غَسَلَ سَائِرَ جَسَدِهِ ثُمَّ تَنَحَّى عَنْ مَقَامِهِ فَغَسَلَ رِجْلَيْهِ قَالَتْ ثُمَّ أَتَيْتُهُ بِالْمِنْدِيلِ فَرَدَّ [ رواه البخاري والنّسائ ]  ُ
Dari Ibnu Abbas berkata : Maimunah berkata : ”Aku menaruh air mandi untuk Rasulullah saw lalu aku menutupi beliau dengan kain, dan beliau pun menuangkan air ke kedua tangannya dan mencucinya. Kemudian menuangkan air dengan tangan kanannya ke tangan kirinya, lalu mencuci kemaluanya. Kemudian memukul-mukul kedua tangannya di atas tanah lalu mengusap dan mencucinya. Kemudian berkumur-kumur dan menghirup air ke hidung dan mengeluarkannya. Lalu membasuh mukanya, dan lenganya, kemudian menuangkan air ke kepalanya lalu ke tubuhnya. Kemudian berpindah tempat dan mencuci kedua kakinya. Lalu aku mengulurkan pakain, tetapi beliau tidak mengambilnya”. ( HR. Bukhari dan Nasai )

Riwayat ini menerangkan bahwa Rasulullah saw menolak kain  pemberian Maimunah untuk mengeringkan badannya, Hal ini menunjukkan bahwa Rasulullah tadak menyukai untuk mengeringkan badannya. Walaupun teks hadis ini berbicara tentang mandi janabat akan tetapi masuk pula di dalam hal wudhu, sebab dalam mandi janabat disyariatkan berwudhu dahulu. Selain hadis di atas terdapat pula riwayat lain yaitu :

 عَنْ الزُّهْرِيِّ قَالَ إِنَّمَا كُرِهَ الْمِنْدِيلُ بَعْدَ الْوُضُوءِ لِأَنَّ الْوُضُوءَ يُوزَنُ [ رواه التّرمذي ]
Dari Az-zuhri berkata : ”Dibenci menggunakan sapu tangan setelah berwudhu,karena wudhu itu ditimbang”. ( HR. at-Tirmidzi )

Dari hadis-hadis di atas dapat disimpulkan bahwa mengeringkan anggota wudhu baik dengan kain atau hanya mengibaskan saja hukumnya makruh.
Akan tetapi dari semua hadis yang dijadikan dalil dari dua pendapat tersebut, masing-masing ada catatan kritisnya diantaranya adalah : Hadis pertama yang diriwayatkan oleh Abu Hatim  yang dijadikan alasan dalam melarang mengibaskan air pada anggota wudhu adalah tidak sah datangnya dari Nabi saw dan oleh perawi sendiri hadis tersebut dianggap mungkar tertolak seperti yang tertulis dalam kitab ”Ilalul Hadis”   ( Soal Jawab A. Hasan ).
Selain itu, Hadis ini bertentangan dengan hadis shahih yang diriwayatkan oleh Bukhari :
 Dari Ibnu Abbas ra mengatakan bahwasanya Maimunah ra berkata : ”Nabi Saw mengibaskan air dengan kedua tangannya”. ( HR. Bukhari Dalam Fathul Bari bab mandi janabat ).
  
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خِرْقَةٌ يُنَشِّفُ بِهَا بَعْدَ الْوُضُوءِ
[رواه الترمذي والحاكم ]             
Dari Aisyah ra berkata : “Adalah Rasulullah saw mempunyai selembar kain perca yang beliau keringkan ( anggota badan ) setelah wudhu”. ( H.R. at-Tirmudzi dan al-Hakim ).

Hadis ini menjelaskan bahwa Rasulullah saw mengeringkan anggota badannya setelah wudhu. Walaupun dalam hadis di atas diperselisihkan tentang keabsahanya seperti yang dikatakan oleh Abu Isa  bahwa hadis Aisyah di atas tidak kuat dan tidak sah datangnya dari Nabi saw, akan tetapi banyak hadis lain yang menguatkan kebolehan mengeringkan air dari anggota wudhu seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah :
عَنْ سَلْمَانَ الْفَارِسِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ فَقَلَبَ جُبَّةَ صُوفٍ كَانَتْ عَلَيْهِ فَمَسَحَ بِهَا وَجْهَه [ رواه إبن ماجه بإسناد صحيح ]ُ
Dari Salman al-Fairisi, bahwa Rasulullah saw pernah berwudhu lalu membalikkan jubah yang beliau pakai, lalu beliau sapu mukanya dengan itu”. [ H.R. Ibnu Majah ] .

Kemudian hadis Maimunah ra yang dijadikan dasar tentang makruhnya tidak menyebutkan secara jelas bahwa Nabi saw membenci hal tersebut karena bisa jadi Nabi saw tidak berkeinginan dalam menggunakannya pada saat itu selain itu juga telah disebutkan hadis-hadis yang di atas yang membolehkanya begitu juga hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Ibnu Majah, Abu Dawud, Nasa’i yang menyebutkan bahwa Nabi saw pernah memakai kain yang dicelup dengan za’faran untuk mengelap badannya sesudah mandi atau wudhu. Sedangkan riwayat at-Tirmidzi itu adalah perkataan az-Zuhri saja sehingga tidak dapat dijadikan dalil dalam perkara ini. (Soal Jawab A. Hasan 3).
  Kesimpulan bahwa mengeringkan anggota wudhu baik dengan kain atau hanya menyekanya saja tidak mengapa dilakukan dikarenakan tidak ada riwayat yang shahih  melarangnya. Selain itu menyeka atau mengibaskan anggota wudhu adalah hanyalah perkara dunia saja.


KEBOLEHAN MENGUSAP DI ATAS SURBAN

           
Beberapa pendapat tentang imamah:

1.    Hanafiyah
Hanafiyah berpendapat bahwa tidak sah mengusap imamah, qolansuah, burqo’ dan juga quffaz. Karena mengusap itu sesuatu yang tetap dan tidak bisa diqiyaskan. Oleh karena itu tidak bisa sesuatu diikutkan kepadanya.
2.    Hanabilah
Seorang laki-laki yang memakai imamah setelah berwudhu apabila ia berhadats kemudian ia berwudhu maka ia boleh mengusap di atas imamahnya. Pendapat ini berdasarkan perkataan Amer bin Umaiyah al-Dhomari. Beliau berkata  bahwa ”Saya melihat Rasullah saw. mengusap imamahnya dan juga khufnya”. Dan juga perkataan Mughirah bin Syu’bah yang mengatakan bahwa Rasulullah saw. berwudhu dan mengusap kedua khufnya dan juga imamahnya.
3.    Malikiyah
Malikiyah berpendapat bahwa boleh mengusap sorban bila dihawatirkan jika dilepas akan mendatangkan bahaya dan juga tidak mampu mengusap dibawahnya karena terlilit olehnya. Tetapi jika mampu mengusap sebagian kepala maka hendaklah mengusapnya dan juga menyempurnakan di atas surbarnya.
4.    Syafi’yah
Syafi’iyah berpendapat bahwa tidak boleh hanya mengusap surbanya saja. Berdasarkan hadis Anas.

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَوَضَّأُ وَعَلَيْهِ عِمَامَةٌ قِطْرِيَّةٌ فَأَدْخَلَ يَدَهُ مِنْ تَحْتِ الْعِمَامَةِ فَمَسَحَ مُقَدَّمَ رَأْسِهِ وَلَمْ يَنْقُضْ الْعِمَامَةَ   ( رواه ابو دواد )
Namun hadis ini dikomentari oleh Ibnu Hajar bahwa sanadnya masih memerlukan penelitian. (Nailul Autor 1, hadis: 157 )

Mereka juga berhujjah bahwa Allah saw sudah jelas telah mewajibkan membasuh kepala, sedangkan hadis tentang imamah itu memungkinkan untuk ditakwil maka tidak boleh meninggalkan sesuatu yang sudah pasti dan mengambil sesuatu yang masih mengandung kemungkinan.
Dalam kitab Ghayatul Ahkam Fi Ahadisil Ahkam dalam bab mengusap imamah disebutkan bahwa Ahlul Ilmi berbeda pendapat tentang apakah boleh mengusap sorban saja ? Sebagian mereka membolehkan berdasarkan hadis dari Anas bahwa Rasulullah Saw mengusap di atas qalansuwah  (peci). Namun kebanyakan Ahlul Ilmi dari kalangan sahabat, tabiin dan generasi sesudahnya mengatakan bahwa tidak boleh mengusap sesuatu di atas kepala kecuali juga mengusap kepalanya. Mereka yang membolehkan hanya mengusap imamah saja itu memberikan suatu persyaratan agar ketika memakainya dalam keadaan suci yang sempurna sebagian mereka juga ada yang mensyaratkan bahwa surban itu dililitkan sampai leher.
5.    Imam as-Syaukani
Beliau berkata bahwa mengusap kepala saja boleh, mengusap imamah saja juga boleh dan mengusp kedua-duanya juga boleh. Karena semua itu benar dan juga sudah menjadi ketetapan. Oleh karena itu menurut beliau kita boleh memilih diantara ketiga cara tadi yang penting tidak menganggap wajib salah satu diantaranya


Mengusap Khuf dan Kaos Kaki.

1.      Menurut Muhammadiyah
Mengusap kedua khuf atau yang sesamanya adalah sebagai pengganti membasuh (mencuci) kedua kaki dalam berwudhu. Kelebihan mengusap berlaku tiga hari bagi musafir (dalam perjalanan) dan sehari semalam (24 jam) bagi orang yang muqim (tidak bepergian) selama tidak membuka keduanya, sedang waktu memakainya di waktu suci (belum batal wudhunya).  Hal ini berdasarkan berdasarkan beberapa dalil di bawah ini :



عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : لَوْ كَانَ الدِّيْنُ بِالرَّأْيِ  لَكَانَ أَسْفَلُ  الْخُفِّ أَوْلَى بِالْمَسْحِ مِنْ أَعْلَاهُ، لَِقَدْ رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ (ص) يَمْسَحُ عَلىَ ظَاهِرِ خُفََّيْهِ. وَقَالَ عَلِيٌّ أَيْضًا  جَعَلَ رَسُوْلُ اللهِ (ص) ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ وَلَيَالِيْهِنَّ لِلْمُسَافِرِ ، وَيَوْمًا وَلَيْلَةً لِلْمُقِيْمِ [ أخرجه أبو داود والدارقطني بإسناد حسن ، وقال ابن حجر : إنه حديث صحيح . والثاني : أخرجه مسلم وأبو داود والترمذي وابن ماجه ] (سبل السلام : 1 / 58 - 60 ، نيل الأوطار : 1 / 184)
 Dari Ali ra berkata : ”Seandainya agama dengan akal sungguh adalah bawah khuf itu lebih utama untuk diusap dari pada atasnya. sungguh aku melihat Rasulluh Saw. mengusap atas dua khufnya”. Ali juga berkata : “ Rasulullah Saw. menjadikan tiga hari tiga malam mengusap khuf bagi musafir dan sehari semalam bagi muqim (orang yang tidak dalam perjalanan)”. (HR. Abu Daud dan Daruqudni dengan sanad yang baik. Ibnu Hajar berkata, “ sesungguhnya dia itu hadis Shahih”. Hadis yang kedua diriwayatkan oleh Imam Muslim, Abu Daud, Turmudzi dan Ibnu Majjah.  Subulussalam jld.1/58-60, Nailul Authar. Jld.1/184 ). ( lht. Fiqhul Islam wa adillatuhu, jld. 1/473)

حَدِيْثُ المُغِيْرَةِ بن عَسَّال، قال: كُنْتُ مَعَ النَّبِيِ (ص) فَتَوَضَّأَ، فَأَهْوَيْتُ لِأَنْزَعَ خُفَّيْهِ فَقَالَ: دَعْهُمَا، فَإِنِّي أَدْخَلْتُهُمَا طَاهِرِيْنَ، فَمَسَحَ عَلَيْهِمَا [ متفق عليه ، سبل السلام : 1 / 57 ، نيل الأوطار : 1 / 180 ]
حَدِيْثُ صَفْوَانَ بْنُ عَسَّالٍ ، قَالَ : أَمَرَنَا ، يَعْنِى النَِّبيُّ )ص( أَنْ نَمْسَحَ عَلَى خُفَّافَناَ، إِذاَ نَحْنُ أَدْخَلْنَاهُمَا عَلَى طُهْرٍ ، ثَلَاثًا إِذَا سَافَرْنَا ، وَيَوْمًا وَلَيْلَةً إِذَا أَقَمْنَا، وَلَا نَخْلَعُهُمَا مِنْ غاَئِطٍ وَلَابَوْلٍ، وَلَا نَخْلَعُهُمَا إِلَّا مِنْ جَناَبَةٍ         
    رواه أحمد وابن خزيمة، والنسائي والترمذي، وصححه الترمذي وابن خزيمة، ورواه الشافعي وابن ماجه وابن حبان [والدراقطني والبهقي ، وقال البخاري :  إنه حديث حسن (نيل الأوطار 1 / 181 ، سبل السلام : 1 /59 سسسس]

Boleh mengusap kaos kaki pada saat berwudhu apabila dipakai dalam keadaan suci. Jadi apabila wudhu seseorang batal lalu dia hendak berwudhu lagi sementara dia memakai kaos kaki, maka ia diperbolehkan mengusap kedua kaos kakinya untuk menggantikan membasuh kedua kaki. Kebolehan ini berlaku selama dua puluh empat jam apabila dia mukim, dan bagi musafir berlaku selama tiga hari.
     Berdasarkan hadis  Shofwan    

 لِحَدِيْثِ صَفْوَانَ بْنِ عَسَّالٍ قَالَ :  فَأَمَرَنَا أَنْ نَمْسَحَ عَلَى الْخُفَّيْنِ إِذَا نَحْنُ أَدْخَلْنَاهُمَا عَلَى طُهْرٍ ثَلَاثًا إِذَا سَافَرْنَا وَيَوْمًا وَلَيْلَةً إِذَا أَقَمْنَا وَلَا نَخْلَعَهُمَا إِلَّا مِنْ جَنَابَة [ رواه أحمد ]
Menurut hadis Shafwan bin Assal berkata : ”Rasulullah saw memerintahkan kami supaya mengusap bagian atas kedua khuf kalau kami memakainya di waktu suci, tiga hari jika kami bepergian dan satu hari satu malam jika tidak bepergian. Dan kami tidak perlu membuka keduanya karena buang air besar atau kecil dan karena tidur. Dan supaya kami tidak membukanya kecuali karena janabah”. ( HR. Ahmad )

Hal ini dimaksudkan untuk memudahkan orang dalam berwudhu khususnya pada hari-hari yang sangat dingin, ketika orang merasa takut melepasakan kaos kaki  dan membasuh kedua kakinya dengan air dingin. Sedangkan Islam, sebagaimana kita ketahui, adalah Din yang mudah dan tidak mempersulit.


Wudhu Bagi Orang Yang Memakai Perban

Bila perban atau pembalut yang dipakai seseorang dimaksudkan untuk pengobatan, seperti karena luka atau patah tulang, maka ia boleh berwudhu dengan mengusap bagian yang dibalut itu, dan hal itu sudah mencukupi (yakni dengan mengusap bagian yang dibalut, sedangkan bagian yang tidak dibalut dibasuh seperti biasa).
Tetapi dalam hal ini ada perbedaan pendapat di kalangan para imam. Sebagian di antara mereka mensyaratkan bahwa perban atau pembalut itu harus dipasang dalam keadaan suci, sedangkan sebagian yang lain tidak mensyaratkan demikian. Sebagian lagi mewajibkan tayamum, tetapi sebagian yang lain tidak mewajibkanya.


0 komentar: