Rabu, 04 April 2012

BAB VIII (SHALAT TATHAWWU’ )



Sebelum berbicara tentang shalat tathawwu’, perlu diketahui beberapa hal yang terkait dengan shalat tathawwu’:

1.      Hikmah shalat sunah
Hikmah shalat-shalat sunah ialah untuk menyempurnakan kekurangan kekurangan yang terjadi pada shalat-shalat fardu, hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw:
إن أول ما يحاسب اناس به يوم القيامة من أعمالهم الصلاة, يقول ربنا للملائكة و هو أعلم: انظروا فى صلاة عبدي أتمها أم نقصها؟ فإن كانت تامة كتبت له تامة, وإن كان إنتقص منها شيأ قال: انظروا هل لعبدي من تطوع؟ فإن كان له تطوع قال: أتموا لعبدي فريضة من تطوعه, ثم تأخذ الأعمال على ذلك
”Sesungguhnya amal perbuatan manusia yang pertama kali dihisab ialah shalat. Allah berfirman kepada para malaikat, “lihatlah shalat hamba-Ku, apakah sempurna atau kurang?” jika sempurna maka ditulis sempurna untuknya, dan jika ada yang kurang maka Allah berfirman,”lihatlah apakah hamba-Ku mempunyai amalan sunah?” jika hamba tersebut mempunyai shalat sunah, maka Allah berfirman,”sempurnakan shalat wajib hamba-Ku dengan shalat sunahnya,” kemudian seluruh amalm perbuatan diambil seperti itu.”(Diriwayatkan Abu Daud. Hadis ini hasan)


2.      Waktu Shalat Sunah
Waktu shalat-shalat sunah ialah malam dan siang kecuali 5 waktu. Kelima waktu tersebut dijelaskan dalam sabda Rasulullah SAW:
“Kerjakanlah shalat Subuh kemudian berhentilah dari shalat hingga matahari terbit dan naik, karena matahari terbit diantara dua tanduk setan dan ketika itu orang-orang kafir sujud kepada matahari. Setelah itu, kerjakanlah shalat, karena shalat ketika itu disaksikan para malaikat hingga bayangan setinggi tombak, kemudian berhentilah dari shalat karena pada waktu tersbut neraka sedang dinyalakan. Jika bayang-bayang telah terlihat maka shalatlah, karena shalat pada saat tersebut disaksikan para malaikat hingga engkau shalat Ashar, kemudian berhentilah dari shalat hingga matahari terbenam karena matahari terbenam diantara dua tanduk setan, dan ketika itu orang-orang kafir sedang sujud kepadanya".

3.      Tempat yang disunahkan dalam mengamalkannya.
Disunahkan pelaksanaan shalat–shalat sunah dilaksnaakan di rumah. Hal ini berdasarkan hadist dari Rasulullah saw.:
عن زيد ابن ثابت رض أن النبي صلعم قال: أفضل الصلاة صلاة المرء فى بيته إلا المكتوبة.
Dari Zaid bin Tsabit bahwa Nabi saw. bersabda: Shalat seseorang yang paling utama adalah di rumahnya kecuali shalat wajib.


Macam-Macam Shalat Tathawwu’ Menurut Muhammadiyah

A.    Shalat Sesudah Wudlu’
Ialah shalat sunah dua rakaat yang dilaksanakan setelah melakukan wudhu.
لا يتوضأ رجل مسلم فيحسن الوضوء فيصلي صلاة إلا غفر الله له ما بينه وبين الصلاة التي تليها.
”Tidaklah seorang Muslim berwudlu dan memperbaiki wudlunya kemudian shalat, melainkan Allah mengampuni dosa-dosanya sejak saat itu hingga shalat sesudahnya.”(Diriwayatkan Muslim).

B.     Shalat Diantara Adzan dan Iqamah
Sebenarnya di dalam HPT tidak disebutkan landasan dalil shalat sunah ini akan tetapi di dalam Fiqh Sunah terdapat dalil
عن عبد الله بن مغفل ان النبي صلعم قال بين كل اذانين صلاة , بين كل اذانين صلاة ثم قال في الثالثة لمن شاء
Dari Abdullah bin Mughaffal bahwa sanya Nabi saw bersabda: antara setiap dua azan terdapat shalat, antara setiap dua azan terdapat shalat kemudian beliau bersabda yang ketiga kali jika ia menghendaki. (Fiqh Sunah: 116)

C.    Shalat Tahiyatul Masjid
Ialah shalat sunah dua rakaat tatkala memasuki Masjid.
عن أبي قتادة قال: قال رسول الله صلعم: إذا دخل أحدكم المسجد فلا يجلس حتى يصلي ركعتين.
”Abi Qatadah berkata,”Rasulullah bersabda,”Apabila seseorang masuk Masjid, jangan duduk sebelum ia shalat 2 rakaat.”(Diriwayatkan Bukhari dan Muslim).
Meskipun shalat tahiyatuul masjid dilaksanakan setiap kali masuk masjid sebagai penghormatan terhadap rumah Allah, akan tetapi ada keadaan yang membuka ruang untuk menghalangi pelaksaannya, yaitu ketika seseorang masuk masjid sedangkan di masjid tersebut sudah diadakan shalat berjamaah, maka orang tersebut dilarang melaksanakan shalat tahiyatul masjid. Hal ini berdasarkan hadist Nabi saw.:
إذا أقيمت الصلاة فلا صلاة  إلا المكتوبة
Kemudian bagaimana jika kita melaksanakan shalat tahiyatul Masjid di Mushalla? Menurut definisi Mushalla yang berkembang di masyarakat, bahwa Mushalla adalah tempat ibadah umat Islam untuk melaksanakan shalat berjama’ah tetapi tidak diadakan shalat Jum’at.
Menurut definisi di atas, maka jelaslah perbedaan antara masjid dan Mushalla yaitu diadakan atau tidak diadakannya shalat Jum’at. Namun Mushlla masih ada persamaan yang sangat dominan diantara keduanya yaitu sebagai tempat melaksanakan ibadah shalat berjama’ah. Jadi, shalat Tahiyatul Masjid sah dilakukan di Mushalla.

D.    Shalat Rawatib
Ialah shalat-shalat sunah qabliyah dan ba’diyah pada shalat-shalat wajib, yaitu dua rakaat sebelum Subuh, dua atau empat rakaat sebeum dan sesudah shalat Dhuhur, dua rakaat sebelum shalat Ashar, dua rakaat sebelum dan sesudah shalat Maghrib serta dua rakaat sesudah shalat Isya’.
عبد الله ابن عمر قال: حفظت من رسول الله صلعم ركعتين قبل الظهر وركعتين بعد الظهر وركعتين بعد المغرب وركعتين بعد العشاء وركعتين قبل الغداة.
“Hadis Abdullah bin Umar yang berkata:” Yang aku ingat dari Rasulullah ialah 2 rakaat sebelum Dhuhur, 2 rakaat sesudah Dhuhur, 2 rakaat sesudah Maghrib, 2 rakaat sebelum Subuh”. (Diriwayatkan Bukhari, Muslim dan lainnya).
أم حبيبة قال: سمعت رسول الله صلعم يقول: من صلى أربعة ركعات قبل الظهر وأربعا بعدها حرمه الله على النار.
 “Hadis Ummu Habibah yang berkata, ”Aku mendengar Rasulullah bersabda,”barangsiapa shalat 4 rakaat sebelum Dhuhur dan 4 rakaat sesudahnya, Allah mengharamkannya dari api neraka”.
Dan diriwatkan oleh Tirmidzi dengan dishahihkannya dan oleh Nasa’i dengan sebutan:
أربع قبل الظهر وبعده, وركعتين بعد المغرب وركعتين بعد العشاء وركعتين قبل صلاة الفجر.
“Empat rakaat sebelum Dhuhur serta 2 rakaat sesudahnya, 2 rakaat sesudah Maghrib, 2 rakaat sesudah Isya’dan 2 rakaat sebelum shalat Fajar.”
قال النسائي: ركعتين قبل العصر بدل ركعتين بعد العشاء.
Berkata Nasa’i, ” Dua rakaat sebelum Ashar pengganti dua rakaat sesudah Isya’.”
أنس ابن مالك رض قال: كنا نصلي على عهد رسول الله صلعم ركعتين بعد غروب الشمس قبل صلاة المغرب. فقلت له: أكان رسول الله صلعم صلاهما؟ قال: كان يرانا نصليهما فلم يأمرنا ولم ينهنا .
“Hadis Anas bin Malik r.a. yang berkata: ”pada masa hidup Nabi kami kerjakan 2 rakaat sesudah matahari terbenam sebelum shalat Maghrib. Aku tegur dia: ”adakah Rasulullah sendiri mengerjakan itu?. ”jawabnya.” Beliau melihat kami mengerjakan 2 rakaat itu, tetapi tidak menyuruh kami ataupun melarang kami.”(Diriwayatkan Muslim).                                                          
Untuk shalat sunah Subuh hukumnya sunah muakkad seperti halnya shalat witir, sebab shalat sunah Subuh adalah pembuka shalat seorang Muslim disiang hari, sedangkan shalat Witir adalah penutup shalat dimalam hari. Rasullah menegaskan shalat sunah Subuh ini dengan perbuatan-perbuatannya sebab beliau selalu mengerjakannya dan tidak pernah meninggalkannya serta menganjurkan dengan sabda-sabdanya.
ركعتا الفجر خير من الدنيا وما فيها.
”Dua rakaat shalat sunah Subuh itu lebih baik daripada dunia dan seisinya.”(Diriwayatkan Muslim).
لا تدعوا ركعتي الفجر وإن طردتكم الخيل
”Janganlah kalian meninggalkan dua rakaat shalat sunah Subuh kendati kalian dibawa lari oleh kuda.”(Diriwayatkan Ahmad dan Abu Daud).
Karena Rasulullah dan para Sahabat pernah tidur di salah satu perang dan baru bangun ketika Matahari telah terbit. Kemudian mereka pindah sedikit dari lokasi mereka, dan Rasulullah memerintahkan Bilal untuk mengumandangkan adzan kemudian beliau mengerjakan shalat sunah Subuh dan shalat Subuh (HR. Bukari).
Waktu shalat sunah Subuh adalah antara terbitnya fajar dengan shalat Subuh. Mengenai sifat shalat sunah Subuh adalah dua rakaat ringan
عن عائشة قالت: كان رسول الله يصلي ركعتي الفجر فيخفف حتى إني أقول: هل قرأ فيهما بأم القرأن؟
”Rasulullah mengerjakan 2 rakaat fajar itu singkat sekali, sehingga aku berkata dalam hati apakah beliau sudah membaca fatihah dalam kedua rakaat itu?.”(Diriwayatkan Muslim).
Pada rakaat pertama setelah al-Fatihah seoraang Muslim disunahkan membaca surat al-Kafirun dan pada rakaat yang kedua setelah al-Fatihah disunahkan membaca surat al-Ikhlas.
عن ابن عمر قال: رفقت النبي صلعم شهرا فكان يقرأ فى الركعتين قبل الفجر قل ياأيها الكافرون وقل هو الله أحد.
”Ibnu Umar berkata,”Aku mengikuti Nabi sebulan lamanya, maka beliau dalam shalatnya dua rakaat sebelum fajar membaca surat qulyaa ayyuhal kafiruun dan surat qulhu walla-hu ahad”(Diriwayatkan Muslim).
Riwayat lain menyebutkan pada rakaat pertama setelah al-Fatihah membaca  qu-lu-a-manna billa-hi wa ma-unzila ilaina dan pada rakaat kedua setelah al-Fatihah membaca-ahlal kita-bi ta’a-lau ila-kalimatin sawa-in bai nana-wa bainakum.
عن أبي هريرة رض قال: كان رسول الله صلعم يقرأ في الركعتي الفجر قولوا أمنا بالله وما أنزل إلينا-الأية-والتي في ألي عمران: ياأهل الكتاب تعالو إلى كلمة سواء بيننا وبينكم-الأية-
”Abu Hurairah berkata,”Rasulullah adakalnya membaca dalam shalat fajar,”qu-lu-a-manna billa-hi wa ma-unzila ilaina-.....dan juga membaca ayat dalam surat ali imran, ya-ahlal kit-bi ta’a-lau ila-kalimatin sawa-in bai nana-wa bainakum...(Diriwayatkan Muslim, Abu Dawud dan Nasa’i).

E.     Shalat Lail (Malam)

1.      Pengertian

Shalat Lail disebut juga shalat Tahajjud. Jika terdapat kalimat “hajadarrajulu” maka artinya ada seorang yang tidur di waktu malam. Namun jika ada kalimat “hajjadarrajulu” maka artinya orang tersebut shalat di waktu malam. Sedangkan istilah orang yang bertahajjud itu bermakna bagi orang yang bangun tidur untuk mengerjakan shalat.

2.      Hukum shalat lail

Shalat Lail atau Tahajjud merupakan ibadah yang sangat dianjurkan (sunah muakkad). Daiantara dalil-dalil yang terkait dengan shalat Lail, firman Allah swt.
والذين يبيتون لربّهم سجّدا وقياما (الفرقان: 64)
 “Dan orang-orang yang bersujud dan berdiri untuk tuhan mereka pada waktu malam”.
Ketika Allah menyebutkan ciri-ciri orang yang bertaqwa Allah berfirman:
كانو قليلا من اليل ما يهجعون وبالأسحار هم يستغفرون (الداريات:18-17).
      “Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam, dan pada waktu sahur mereka meminta ampun”.
Dan masih banyak lagi ayat-ayat yang lain. Diantaranya: As-Sajdah: 16-17, ali-Imran: 113, az-Zumar: 9, al-Muzzammil: 1-4, al-Isra’: 79, al-Insan: 23,26, Qaf: 40, at-Thur: 49.
Nabi saw. bersabda:
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صليّ الله عليه وسلّم:  أفضل الصيام بعد رمضان شهر الله المحرّم وأفضل الصلاة بعد الفريضة صلاة اليل (رواه مسلم).
“ Puasa yang paling utama setelah Ramadlan adalah puasa Muharram dan shalat yang paling utama setelah shalat fardhu shalat Lail (malam)”.(HR. Muslim).

3.      Waktu shalat lail

Waktu yang paling utama untuk shalat Lail adalah sepertiga malam terakhir. Melakukan shalat Malam di awal, dan di tengah malam juga boleh, berdasarkan hadis yang diriwayatkan dari Anas:

كان رسول الله صلـيّ الله عليـه وسلّم يفطر من الشهر حتي نظن ان لايفطر وكان لاتشـاء ان تراه من اليل مصليا إلا رأيـته. (رواه البخاري).
“Adalah Rasulullah saw. pada suatu bulan Nabi tidak berpuasa sampai-sampai kami mengira bahwa beliau tidak berpuasa sama sekali pada bulan itu. Namun pada saat yang lain, beliau berpuasa sehingga kamu mengira bahwa beliau berpuasa terus. Bila kau ingin melihat beliau dalam keadaan tidur pasti kau bisa melihatnya”. (HR. Bukhari) 
Hadis tersebut menunjukkan adanya kemudahan mengenai waktu pelaksanaan shalat Malam. Karena itu kapan saja kita bisa bangun tidur malam, saat itulah kita bisa mengerjakan shalat Malam. Namun waktu yang paling utama adalah di sepertiga malam terakhir. Karena adanya hadis dari Amr bin Abasah bahwa dia pernah mendengar Nabi saw. bersabda:
أقرب مايكون الربّ من العبد في جوف اليل الآخر فإن ا ستطعت ان تكون ممّن يذكر الله في تلك االساعة فكن                            (رواه الترمذي وابوداود والنسائي).
“Saat Allah berada paling dekat dengan seorang hamba adalah pada tengah malam terakhir. Maka jika kau mampu menjadi orang yang mengingat Allah pada waktu itu maka lakukanlah”. (HR. Tuirmidzi, Abu Dawud, dan Nasai. Disahihkan oleh Al Bani dalam sahih sunan Tirmidzi).
Hadis di atas diperjelas oleh hadis Jabir, katanya “aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda:
إنّ في اليل لساعة لايوافقها عبد مسلم يسال الله خيرا من أمر الدنيا والآخرة إلا أعطاه إيّاه وذلك كلّ ليلة.                                  (رواه مسلم).
“Sungguh dalam waktu malam terdapat suatu waktu, dimana bila seorang hamba muslim meminta kebaikan dunia dan akhirat kepada Allah swt. Pada waktu tersebut, pasti Allah akan kabulkan dan itu terjadi disetiap malam”.(HR. Muslim).
Menurut Syafi’iyyah: shalat Lail tidak disunahkan berjamaah. shalat Lail sunahnya salam disetiap dua rakaat. Dengan berdasarkan hadis Ibnu Umar,bahwa Nabi bersabda:
“Shalat Lail itu dua rakaat-dua rakaat. Jika engkau melihat bahwa subuh akan segera tiba, maka witirlah satu rakaat.” ( HR. Bukhari dan Muslim).
Tapi boleh menggabungkan beberapa rakaat dengan satu salam. (Lihat al-Fiqhul Islami. Jild. 2, hal.1076-1077).
Menurut Hanafiyyah: jumlah rakaatnya adalah dua rakaat sampai dengan delapan rakaat. Dianjurkan menghidupkan malam-malam iedain (Dua Hari Raya), malam 10 hari terakhir pada bulan Ramadhan untuk menghidupkan Lailatul Qadar, malam 10 Dzulhijjah, dan malam Nisfu Sya’ban. Didasarkan pada hadis-hadis yang sahih yang menetapkannya. (al-Fiqhul Islami, jild. 2, hal. 1063).
Menurut Hanabalah: jumlah rakaat shalat Lail Nabi saw. ada perbedaan pendapat. Di dalam hadis Zaid bin Khalid dan Ibnu Abbas disebutkan tiga belas rakaat termasuk dengan witirnya tiga rakaat, (keduanya diriwayatkan oleh Muslim). Dalam hadis Aisyah disebutkan sebelas rakaat termasuk Witir tiga rakaat, (Bukhari dan Muslim).
Ibnu Qudamah al-Hanbali berkata: dimungkinkan pada suatu malam Nabi shalat tiga belas rakaat, dan pada malam yang lain shalat sebelas rakaat. (al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu jild. 2, hal. 1095).

4.      Jumlah rakaat

Dalam HPT (himpunan Putusan Tarjih) cetakan ke 3 telah dimuat keputusan Muktamar Tarjih di Wiradesa th. 1932 / 1972. Dalam Muktamar diputuskan tentang shalat Lail berdsarkan dalil-dalil yang lebih luas. Shalat Lail dapat dilakukan empat-empat rakaat lalu tiga rakaat Witir. Dapa juga dilakukan dengan dua-dua rakaat lalu tiga rakaat yang semuanya berjumlah sebelas rakaat.
Dasar melakukan shalat Malam empat-empat rakaat adalah hadis Nabi riwayat Bukhari dan Muslim dari Aisyah.
عن عائشة رضي الله عنها حين سئلت عن صلاة رسول الله صليّ الله عليه وسلّم قالت: ماكان رسول الله صليّ الله علـيه وسلّم  يزيد في رمضان ولا في غيره علي إحدي عشرة ركعة, يصلّي أربعا فلاتسأل عن حسنهنّ وطولهنّ ثمّ يصلّي أربعا فلاتسأل عن حسنهنّ وطولهنّ ثمّ يصلّي ثلاثا (رواه البخاري و مسلم).
“Dari Aisyah ra. Diriwayatkan bahwa ketika ditanya tentang shalat Nabi di bulan Ramadlan Aisyah berkata: pada bulan Ramadlan maupun yang lainnya, Nabi tidak pernah melakukan shalat lebih dari sebelas rakaat. Nabi saw. kerjakan empat rakaat, jangan engkau tanyakan tentang elok dan lamanya, kemudian Nabi kerjakan lagi empat rakaat dan jangan engkau tanyakan tentang elok dan lamanya. Lalu Nabi kerjakan shalat tiga rakaat”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Bolehnya melakukan shalat Malam dua-dua rakaat kemudian Witir didasarkan pada hadis riwayat Jamaah dari Ibnu Umar.
عن ابن عمر قال: قام رجل فقال: يا رسول الله! كيف صلاة اليل؟ فقال رسول الله صليّ الله عليه وسلّم: صلاة اليل مثنى فإن خفتَ الصبح فأوُتِر بواحدة (رواه الجماعة).
Dari Ibnu Umar diriwayatkan bahwa seorang laki-laki berdiri dan bertanya: “Hai Rasulullah! Bagaimana cara melakukan shalat Malam? Rasulullah saw. menjawab: shalat Malam itu dua rakaat-dua rakaat. Jika engkau khawatir akan terkejar shubuh, hendaknya engkau kerjakan Witir satu rakaat”. (HR. Jamaah dari Ibnu Umar).
Jika hendak mengerjakan shalat Lail dengan cara yang lain, maka yang sebelas rakaat itu boleh dikerjakan dengan enam rakaat atau delapan rakaat dengan sekali salam. (HPT cetakan ke 3, Hal. 343).
Dalilnya hadis Abdullah bin Abu Qais.
لحديث عبد الله بن أبي قيس قال: قلت لعائشة بكم كان رسول يوتر؟ قالت: كان يوتر بأربع وثلاث و ستّ وثلاث وثمان وثلاث وعشر وثلاث. ولم يكن يوتر بأنقص من سبع ولا بأكثر من ثلاث وعشرة. (رواه أبوداود).
Beralasan hadis Abdullah bin Abu Qais, ia brekata:” Aku  pernah bertanya pada Aisyah, berapa rakaat Rasulullah saw. shalat Witir?[1] Ia menjawab: Ia kerjakan Witir empat lalu tiga, atau enam lalu tiga, atau delapan lalu tiga atau ,sepuluh lalu tiga. Ia tak pernah berwitir kurang dari tujuh rakaat dan tak lebih dari tiga belas.” (Riwayat Abu Dawud).
Dan juga hadis Abu Salamah.
 لحديث أبي سلمة قال: سألت عائشة عن صلاة رسول لله فقالت: كان يصلّي ثماني ركعات ثم يوترثم يصّلي ركعتين وهو جالس إذا أراد ان يركع قام ثم يركع ثم يصّلي  ركعتين بين النداء والإقامة من صلاة الصبح. (رواه مسلم)
Beralasan hadis Abu Salamah yang mengatakan: “pernah aku bertanya pada Aisyah tentang shalat Rasulullah saw., maka ia menjawab: Ia kerjakan tiga belas rakaat. Ia shalat delapan rakaat kemudian shalat Witir lalu shalat dua rakaat sambil duduk. Kalau ia hendak rukuk ia bangkit lalu rukuk. Kemudian dari pada itu ia shalat dua rakaat antara adzan dan iqamah pada shalat Subuh.” (Riwayat Muslim).
Diterangkan dalam riwayat Abu Dawud dari Qatadah katanya:Nabi shalat delapan rakaat dengan tidak duduk (tahiyat) kecuali pada rakaat yang kedelapan. Dalam duduk itu ia membaca dzikir dan doa kemudian membaca salam dengan salam yang terdengar sampai kepada kami; lalu shalat dua rakaat sambil duduk setelah ia baca salam. Kemudian ia shalat lagi satu rakaat. Itulah sebelas rakaat semuanya, hai anakku .” (HPT hal. 353).
Sebelum shalat Malam disunahkan shalat Iftitah (pembukaan) dua rakaat. Hal ini berdasarkan dalil hadis Nabi saw. riwayat Muslim dan Ahmad dari Aisyah dari Abu Hurairah.
عن أبي هريرة قال: قال رسول الله صليّ الله عليه وسلّم:  إذا قام أحدكم من اليل فالفتتح صلاته بركعتين خفيفتين.                       (رواه مسلم و أحمد و أبوداود)
“Dari Abu Hurairah diterangkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: jika salah satu di antara kamu melakukan shalat Malam, hendaklah ia mengerjakan shalat pendahuluan dengan shalat dua rakaat yang singkat”. (HR. Muslim dan Abu Dawud).
Riwayat Muslim dari Ahmad dari Aisyah berbunyi:
عن عا ئشة قالت: كان رسول الله صليّ الله عليه وسلّم إذا قام من اليل افتتح صلاته بركعتين خفيفتين. (رواه مسلم وأحمد).
“Dari Aisyah ra. Berkata, adalah Rasulullah saw. apabila bangun di waktu malam untuk shalat, ia memulai shalatnya dengan dua rakaat ringan”. (HR. Muslim dan Ahmad).
Sifat shalat Iftitah sama dengan shalat Sunah yang lain. Yang berbeda hanya bacaan Iftitahnya dan tanpa membaca surat sesudah al-Fatihah. Karena itulah ia disebut dengan dua rakaat yang ringan.
Adapun bacaan Iftitahnya adalah:
سُبحان ذى الملكِ والملكوتِِ والجبَرُوْتِ والكِبْرياءِ والعَظمةِ.(اخرجه الطبراني فىالأوسط).

سُبحان ذى الملكِ والملكوتِ والعزّةِ والجبَرُوْتِ والكِبْرياءِ والعَظمةِ.

Bacaan di atas berdasrkan hadis Hudzaifah bin Yaman.
لحديث حذيفة ابن اليمن قال: اتيت النبيّ ذات ليلة فتضأ وقام يصليّ. فأتيته فقمت عن يساره فاقامني عن يمينه فقال سبحان ذىالملك... (اخرجه الطبراني فىالأوسط وقال فىمجموع الزوائد رجاله موثقون).
“Karena hadis Abu Hudzaifah bin Yaman yang mengatakan: “Aku pernah mendatangi Nabi pada suatu malam, ia mengambil air wudhu kemudian shalat, lalu aku hampiri kesebelah kirinya, lalu aku ditempatkan di sebelah kanannya. Ia membaca: “subhana dzilmulki…dst.”.” (Riwayat Tabrani, tersebut dalam kitab Ausath dengan mengatakan bahwa perawinya adalah orang-orang yang terpercaya).

5.      Shalat witir

Shalat Witir hukumnya sunah muakkad. Shalat Witir sebenarnya termasuk shalat Malam, seperti yang terdapat di dalam cacatan kaki HPT hal. 341 bahwa shalat Lail disebut juga shalat Tahajjud, Witir, Qiyamullail, Qiyamu  Ramadlan. Namun tepatnya adalah merupakan penutup shalat Malam.
Menurut Hanabalah: makruh meninggalkannya.
Imam Ahmad berkata: orang yang meninggalkan shalat Witir secara sengaja, tidak sepantasnya persaksiannya diterima.
Jumlah rakaat minimalnya adalah satu rakaat. Dalam HPT disebutkan bahwa setelah selesai shalat Malam engkau kerjakan shalat Witir satu rakaat, atau tiga rakaat, atau lima rakaat, atau tujuh rakaat dengan duduk pada penghabisannya. Atau tujuh rakaat, atau sembilan rakaat dengan duduk tasyahud awal pada rakaat keenam dan kedelapan lalu salam pada rakaat terakhir (ketujuh dan ke sembilan).
Dalil untuk Witir satu rakaat atau tiga rakaat.
“Karena hadis Aisyah istri Nabi saw. ia berkata: “Adapun Rasulullah saw. mengerjakn shalat pada waktu antara ia selesai shalat Isya’-yaitu yang orang namakan ‘atamah-hingga fajar sebelas rakaat dengan membaca salam antara dua rakaat lalu shalat Witir satu rakaat. Kemudian apabila muadzin telah selesai seruan subuhnya, dan terlihat olehnya akan fajar dan Bilal menghampirinya, ia lalu shalat dua rakaat singkat-singkat kemudian berbaring pada lambung kanan sampai muadzin datang kepadanya untuk seruan iqamah.” (Riwayat Bukhari dan Muslim). (HPT hal. 353)
Dalil shalat Witir dengan lima rakaat atau tujuh rakaat dengan satu salam.
“Karena hadis Abu Hurairah yang mengatakan bahwa Nabi saw. pernah berkata: “Jangan mengerjakan Witir tiga rakaat seperti shalat Maghrib (dengan tahiyat awal). Hendaklah kamu kerjakan lima atau tujuh rakaat.” (Riwayat Daruqutni , Ibnu Hibban dan Hatim dengan kata-kata yang berbeda. Kata al-Iraqi: Sanadnya sahih). (HPT. hal. 355)
Dalil untuk Witir tujuh rakaat dengan duduk tasyahud awal pada rakaat keenam dan salam pada rakaat terakhir.
“Karena hadis Sa’d bin Hisyam: Maka setelah ia bertambah berat badannya karena usia lanjut ia kerjakan Witir tujuh rakaat dengan hanya duduk antara yang keenam dan ketujuh untuk hanya membaca salam pada rakaat yang ketujuh.” (HPT. hal. 355)
Dalil shalat Witir sembilan rakaat dengan tasyahud awal pada rakaat kedelapan dan salam pada rakaat terakhir.
“Karena hadis Aisyah yang menceritakan bahwa ia pernah ditanaya tentang shalat Rasulullah di tengah malam lalu ia mengatakan: “ia kerjakan shalat Isya’ dengan berjamaah kemudian ia kembali kepada keluarganya, lalu shalat empat rakaat kemudian ia pergi keperaduannya lalu tidur, di arah kepalanya terletak tempat air wudhu yang ditutupi dan sikat gigi, sampai ia dibangunkan Allah saat ia dibangunkan pada tengah malam, ia lalu menggosok giginya dan berwudhu dengan wudhu yang sempurna kemudian pergi ke tempat shalat lalu ia shalat delapan rakaat. Dalam rakaat-rakaat itu ia membaca Fatihah dan surat al-Quran dan ayat-ayat lainnya. Ia tidak duduk (untuk tahiyat awal) selama itu kecuali pada rakaat kedelapan dan tidak menutup dengan salam. Pada rakaat kesembilan ia membaca seperti sebelumnya lalu duduk tahiyat akhir membaca doa dengan macam-macam doa dan mohon kepada Allah serta menyatkan keinginan-keinginannya kemudian ia membaca salam sekali dengan suara keras yang hampir membangunkan seluruh isi rumah karena nyaringnya. Kemudian ia shalat sambil duduk dengan membaca Fatihah dan rukuk sambil duduk lalu ia kerjakan rakaat kedua seerta rukuk dan sujud sambil duduk kemudian membaca doa sepuas hatimya dan akhirnya menutup dengan salam dan lalu bangkit pergi. Demikianlah selalu shalat Rasulullah saw. Sampai akhirnya bertambah berat badannya. Maka lalu yang sembilan rakaat itu dikurangi dua sehinga menjadi enam dan tujuh[2] ditambah dua rakaat yang dikerjakan sambil duduk. Demikianlah dikerjakan sampai Nabi wafat. (HR. Abu Daud).(HPT. hal. 349).
Waktu akhir shalat Witir adalah terbitnya fajar. Karena ada hadis yang diriwayatkan Abu Dawud dan Nasa’i yang disahihkan oleh Abu Awanah dan yang lainnya dari jalur Sulaiman bin Musa, dari Nafi’ bercerita kepada Sulaiman bahwa Ibnu Umar pernah berkata: “barang siapa yang melaksanakan shalat Malam hendaklah ia menjadikan Witir sebagai akhirnya. Sebab Rasulullah saw. telah memerintahkan demikian. Apabila fajar telah terbit, maka habislah waktu shalat Malam dan Witir.”(Terj. Fathul Bari jild. 5, hal. 262-263).

6.      Berdiri lama

Dalam melaksanakan shalat Lail, yang utama adalah berdiri lama. Hal ini didasarkan pada hadis Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Ahmad, Muslim, Ibnu majah dan Tirmidzi dari Jabir.
عن جابر أنّ النبي صليّ الله عليه وسلّم قال: أفضل الصلاة طول القنوت. (رواه أحمد ومسلم وابن ماجه والترمذى وصحّحه).
“Dari Jabir ra. Bahwa Nabi saw. berkata: Shalat yang paling utama adalah yang lama qunutnya.”
Adapun maksud dari tuulul qunut hadis diatas tuulul qiyam[3] (berdiri lama), karena banyaknya bacaan itu dapat menyebabkan lama berdiri.
Sedangkan arti qunut diartikan dengan arti khusus yang berdiri lama ketika I’tidal dan membaca doa “Allahumma fiman hadait, dan seterusnya diwaktu shalat Subuh, hukumnya diperselisihkan ulama. Dan Lajnah Tarjih memilih untuk tidak melakukannya, karena dalilnya tidak kuat. Yang ada tuntunannya adalah qunut NAZILAH yakni dilakukan setiap shalat selama satu bulan dikala kaum Muslimin mengalami penganiayaan dari orang-orang kafir.

7.      Doa pada shalat lail

Majlis Tarjih telah memberikan tuntunan dalam buku HPT halaman 341-343. Di sana disebutkan bahwa doa tersebut dibaca setelah selesai witir, tidak dibaca setiap selesai salam pada shalat Malam. Bacaan doanya adalah:
سبحان الملك القدّوس
“Maha suci Tuhan Yang Maha merajai dan Maha suci.”
Doa ini dibaca tiga kali dan pada ketiga kalinya dibaca dengan suara nyaring dan panjang. Setelah selesai membaca doa ini, dilanjutkan dengan doa:
ربّ الملا ئكة والروح
”Yang menguasai Malaikat dan Jibril.”
Doa-doa tersebut dibaca sambil duduk.
Tuntunan Majlis Tarjih tentang doa-doa ini didasarkan pada hadis Nabi saw. dari Ubai bin Ka’ab.
عن أبي بن كعب قال: كان رسول الله صليّ الله عليه وسلّم يقرأ في الوتر بسبّح اسم ربّك الاعلي وقل ياأيها الكفرون وقل هو الله أحد فإذا سلّم قال سبحان الملك القدّوس ثلاث مرات يمدّ صوته في الثالث ويرفعه ويقول رب الملا ئكة والروح                          (رواه أبوداود والنسائي والدارقطنى).
“Dari Ubai bin Ka’ab berkata:”Rasulullah saw. pada shalat Witir membaca “sabbihisma rabbikil a’la, dan qulya ayyuhal kafirun, dan qulhuwAllahu ahad”. Lalu jika ia telah membaca salam ia membaca “Subhanal malikil quddus” tiga kali dengan memanjangkan dan mengeraskan suaranya pada yang ketiga kalinya. Kemudian membaca “rabbil malaikati warruh.”(HR. Abu Dawud, Nasa’i dan Daruqutni).

F.     Shalat Dhuha
Shalat Dhuha hukumnya sunah. Ada banyak hadis yang menjelaskan tentang keutamaan. (Lihat Fiqhus Sunah jild. 2, hal. 154).
Dalam kitab HPT hasil putusan Muktamar Tarjih Wiradesa dimuat tentang tuntunan shalat Tathawwu’ termasuk shalat Dhuha. Bunyi teksnya adalah: hendaklah engkau kerjakan shalat Dhuha pada waktu matahari meninngi dua rakaat, atau empat rakaat, atau delapan rakaat singkat-singkat dengan salam pada tiap-tiap dua rakaat.
Dalilnya adalah:
لحديث أبى هريرة قال: أوصانى خليلي صليّ الله عليه وسلّم بثلاث: بصيام ثلاثة أيّام من كلّ شهر وركعتي الضحى وأن اُوتِر قبل أن ارقد. (رواه مسلم).
Karena hadis Abu Hurairah yang mengatakan: Rasulullah saw. Menganjurkan padaku tiga perkara yaitu: puasa tiga hari tiap bulan, dua rakaat Dhuha, dan agar aku kerjakan shalat witir sebelum tidur.” (Riwayat Muslim).
لحديث معاذة أنّها سألت عائشة كم كان رسول الله صليّ الله عليه وسلّم يصلى صلاةالضحى؟ قالت: أربع ركعات ويزيد ماشاء. (رواه مسلم).
Beralasan hadis Mu’adz yang menceritakan, bahwa ia pernah bertanya kepada Aisya: “berapa rakaat Rasulullah saw. Mengerjakan Dhuha?” Ia menjawab: “empat rakaat dan adalanya ia menambah sesukanya.” (Riwayat Muslim).
لحديث أمّ هانئ بنت أبي طالب أخبرت أنّ رسول الله صليّ الله عليه وسلّم اتى بعدما ارتفع النهار يوم الفتح فأُتي بثوب فستر عليه فاغتسل ثمّ قام فركع ثماني ركعات. (رواه مسلم).
Karena hadis Ummi Hanik putri Abu Thalib yang menceritakan bahwa Rasulullah saw. Pada hari penaklukan kota mekah datang menjelang waktu matahari tinggi dan dibawakan sehelai kain untuk dibuat tabir baginya, lalu beliau mandi kemudian shalat delapan rakaat.” (Riwayat Muslim).
لحديث أمّ هانئ بنت أبي طالب أنّ رسول الله صليّ الله عليه وسلّم يومُ الفتح صلّى سُبْحة الضحى ثماني ركعات يسلّم من كل ركعتين. (رواه أبوداود).
Karena hadis Ummi Hanik putri Abu Thalib yang menceritakan bahwa Rasulullah saw. Pada hari penaklukan kota mekah mengerjakan shalat Dhuha delapan rakaat dengan salam tiap dua rakaat. (Riwayat Abu Daud).
Waktu shalat Dhuha adalah sejak matahari terbit setinggi tombak dan berakhir ketika matahari tergelincir. Namun waktu yang dianjurkan untuk melaksanakan shalat Dhuha ketika matahari agak tinggi dan matahari terasa panas. Di dalam kitab al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu: 2, hal. 1062 disebutkan bahwa setelah seperempat siang.
Karena berdasarkan hadis dari Zaid bin Arqam.

عن زيد بن أرقم قال: خرج النبيّ علي أهل قباء وهم يصلّون الضحي فقال: صلاة الأوّابين إذا رمضتْ الفصال من الضحي   (رواه أحمد و مسلم و الترمذى).
“Dari Zaid bin Arqam ra. Berkata: Nabi saw. Keluar menuju penduduk Qiba’ dan mereka sedang shalat Dhuha, lalu berkata: shalat Awwabin (orang-orang yang kembali kepada Allah) itu apabila anak unta merasa kepanasan karena waktu Dhuha.” (HR. Ahmad, Muslim dan Tirmidzi).
Ini menunjukkan bahwa waktu shalat Dhuha itu ketika mataahari terasa panas.
Jumlah Rakaat minimal menurut Muhammadiyah adalah dua rakaat dan maksimal delapan rakaat berdasarkan hadis di atas. Namun ada perbedaan pendapat mengenai batas maksimal rakaatnya. Dalam Fiqhus Sunah disebutkan bahwa pendapat yang mengatakan batas maksimal delapan rakaat ditetapkan berdasarkan perbuatan Rasul saw. Sedangkan yang berpendapat dua belas rakaat ditetapkan berdasarkan qaulnya saw. (perkataan).
Dalil pendapat yang mengatakan dua bealas rakaat dari Anas.
عن أنس قال النبيّ صليّ الله عليه وسلّم من صلّي الضحي إثنتي عشرة ركعة بنى الله له قصرا في الجنّة.  (رواه الترمذى وابن ماجه).
“Dari Anas, Nabi saw bersabda: barang siapa shalat Dhuha dua belas rakaat, Allah membuatkan baginya istana di Surga.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah).      
Ada yang berpendapat bahwa tidak ada batasan maksimal tentang jumlah rakaat shalat Dhuha. Diantara mereka adalah Abu Jakfar at-Thabari, dikuatkan oleh al-Halimi dan ar-Ruwayani dari kalangan Syafi’iyah.
Dalam kitab syarah at-Tirmidzi, al-Iraqi berkata: saya belum meriwayatkan satupun dari kalangan sahabat dan tabi’in yang membatasi shalat Dhuha dua rakaat. Begitu pula pendapat Imam Suyuti.
Menurut Syafi’iyyah: jumlah minimal rakaat shalat Dhuha dua rakaat dan maksimal dua belas rakaat. Dengan berdasarkan hadis riwayat Muslim. (al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu jild. 2, hal. 1078).
Menurut Hanafiyah: rakaat minimal sama dengan Syafi’iyyah. Tapi maksimalnya berbeda yaitu delapan rakaat. Menurut pendapatnya yang benar, shalat Dhuha 4 rakaat sampai dengan delapan rakaat. Karena hadis Aisyah bahwa ”Rasul saw. Shalat Dhuha empat rakaat. Beliau tidak memisahkan diantaranya dengan ucapan.” (HR. Abu Ya’la). Dan riwayat Muslim; “ Rasulullah saw. Shalat Dhuha empat rakaat, ia menambah apa yang dikehendaki Allah swt.”. Juga hadis sahihain dari Abu Hurairah; “dan dua rakaat Dhuha”.
       Sebagian Hanabalah berpendapat tidak dianjurkan melakukan shalat Dhuha terus-menerus, karena Nabi saw. Melakukannya tidak terus-menerus. Berdasarkan hadis Aisyah: “Aku sama sekali tidak melihat Nabi saw. Shalat Dhuha.” (Muttafaqun Alaih). Sebagian yang lain juga berpendapat bahwa dianjurkan melakukannya terus-menerus, karena Nabi mewasiatkan kepada sahabatnya, dan berkata: “barang siapa yang menjaga shalat Dhuha yang genap, maka diampuni dosa-dosanya sekalipun seperti buih di lautan.” Imam Tirmdzi berkata; kami tidak mengetahui hadis ini kecuali dari hadis Nuhas bin Quhm. Juga karena amal yang paling dicintai Allah swt. Adalah yang terus-menerus dilakukan. (al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu jild. 2, hal. 1093)

G.    Shalat Safar (Bepergian).
      Dalam kitab HPT hal. 341 pada bagian shalat safar disebutkan bahwa disunahkan bagi orang yang hendak bepergian untuk mengerjakan shalat dua rakaat. Begitu pula setelah kembali dari bepergian shalat dua rakaat di Masjid sebelum duduk.
       Shalat dua rakaat di Masjid setelah pulang dari perjalanan adalah keputusan Ijma’.(Bid’ah-Bid’ah Yang Dianggap Sunah hal. 140). Nabi saw. Bersabda:
لحديث ابن مسعود رضي الله عنه قال: جاء رجل إلى رسول الله صليّ الله عليه وسلّم فقال: يارسول الله إنّي أن اخرج إلى البحرين فى تجارة فقال صليّ الله عليه وسلّم قم صلّ ركعتن. (رواه الطبراني فى الكبير وقال فى المجمع الزوائد ورجاله مُوثّقون)
“Karena hadis Ibnu Mas’ud ra. Yang mengatakan: “pernah datang seorang laki-laki kepada Rasulullah saw. Dan berkata: Hai Rasulullah saya hendak pergi ke Bahrein untuk urusan dagang. Lalu Rasulullah menyuruh orang itu: “Pergilah shalat dua rakaat”. (HR. Tabrani dalam al-Kabir).
       Dalil yang menerangkan tentang shalat dua rakaat ketika pulang dari perjalanan.
لحديث جابربن عبد الله رضي الله عنه قال: كنت مع رسول الله صليّ الله عليه وسلّم فى سفرفلمّا قدِمنا المدينة قال لي: ادخل المسجد فصلّ ركعتين. (متفق عليه).
“Karena hadis Jabir bin Abdullah yang mengatakan: Pernah aku bersama–sama Rasullah saw. Dalam perjalanan. Lalu setiba kami di Madinah beliau berkata: masuklah ke Masjid dan shalatlah dua rakaat.” ( HR. Bukhari dan Muslim)
     
H.    Shalat Istikharah
Shalat Istikharah artinya shalat meminta petunjuk yang baik. Ketika seseorang akan mengerjakan suatu pekerjaan yang penting, sedangkan ia masih ragu-ragu, apakah pekerjaan itu baik untuk dia atau tidak? Maka saat itulah disunahkan baginya shalat dua rakaat (Istikharah) di luar shalat fardhu. Sesudah itu berdoa meminta petunjuk kepada Allah swt. atas pekerjaan/perkara yang masih diragukannya tersebut.
       Rasulullah saw. bersabda:
لحديث جابربن عبد الله رضي الله عنه قال: كان رسول الله صليّ الله عليه وسلّم يعلمنا الإستخارة في الأمور كما يعلّمنا السورة من القرآن يقول: إذا همّ احدكم بأمر فاليركع ركعتن من غيرالفريضة ثمّ لْيقل اللهمّ... (رواه البخاري)  
      Lafadz doanya sebagai berikut:
اللهمّ إنى استخيرك بعلمك واستقدرك بقدرتك واسألك من فضلك العظيم فإنّك تقدر ولا اقدر وتعلم ولا اعلم وأنت علّام الغيوب. اللهمّ إن كنت تعلم أنّ هذا الأمر خيرلى فى ديني ودنياي ومعاشي وعاقبة أمري (اوعاجل أمري وآجله) فاقدره لي ويسّره لي ثّم بارك لي فيه. وإن كنت تعلم أنّ هذا الأمر شرّلي في ديني ودنياي ومعاشي وعاقبة أمري (اوعاجل أمري وآجله) فاصرفه عنّي واصرفني عنه واقددرلي الخير حيث كان ثمّ رضّني به. (رواه البخاري).
“Ya Allah! Arahkanlah diriku kepada yang baik dengan ilmu-Mu, dan berilah aku kemampuan dengan kekuasaan-Mu, dan aku selalu mengharapkan anugerah-Mu yang melimpah, sesunguhnya Engkau Maha Kuasa, dan aku tidak kuasa sedikitpun, dan Engkau yang Maha Mengetahui, dan aku tidak tahu sedikitpun. Dan Engkaulah yang Maha mengetahui segala yang baik. Ya Allah! Jika hal ini baik bagiku, bagi agama, dunia, penghidupan dan kesudahan urusanku, maka mohon Engkau tetapkan kebaikan dan kemudahan bagiku, kemudian limpahkanlah berkah bagiku. Jika hal ini jelek bagiku, bagi agama, dunia, penghidupan dan kesudahan urusanku, mohon Engkau jauhkan ia dari padaku dan jauhkan aku dari padanya dan limpahkanlah kepadaku keutamaan juga adanya, kemudian jadikanlah aku orang yang rela dengan pemberian.” (HR. Bukhari)
Menurut Hanafiyah dan Syafi’iyah shalat Istikharah ada dua rakaat dan membaca doa sesudahnya dengan berdasarkan hadis Jabir yang diriwayatkan oleh Bukhari. Syafi’iyah menambahkan pada rakaat pertama membaca al-Kafirun dan pada rakaat kedua membaca al-Ikhlas setelah al-Fatihah.
Shalat istikharah boleh dilakukan kapanpun baik pada malam atau siang hari diluar shalat fardhu. Karena tidak ada hadis yang menerangkan waktu khusus tentang pelaksanaanya.

I.       Shalat Idain
Pada saat hari raya idul fitri dan idul adha kaum muslimin dianjurkan untuk melakukan shalat id. Baik pria maupun wanita semuanya dianjurkan oleh rasullah saw. untuk mengerjakannya.
Jumhur ulama bersepakat bahwa hukum mengerjakan shalat idain adalah sunah muakkad.
Dalam rangka syiar agama Islam di hari raya rasulullah menganjurkan kepada semua kaum muslimin keluar mendatangi tempat shalat. Bahkan para wanita yang meskipun dalam kondisi haid juga diperintahkan oleh Rasululah untuk keluar menuju lapangan.
أمرنا أن نحرج العواتق والحيّض في العيد ين يشهد الخيرودعوةالمسلمين ويعتزل الحيّض المصلّى. (متّفق عليه)
Artinya: ”Kami diperintahkan untuk mengeluarkan para budak yang telah bebas dan para wanita yang sedang haid pada shalat id, agar bersaksi pada kebenaran dan seruan ummat islam. Dan hendaklah orang yang sedang dalam kondisi haid agar menyingkir dari tempat shalat( tidak ikut shalat)”. (Muttafaq Alaih)
1.      Waktu shalat idul fitri dan idul adha
Waktu melaksanakan shalat Idul Fitri dan Idul Adha adalah semenjak matahari naik setinggi tombak sampai tergelincir ke arah barat. Untuk shalat idul Adha disunahkan dikerjakan di awal waktu agar kaum Musliamin dapat menyembelih hewan qurban dengan segera. Sedangkan shalat Idul Fitri diakhirkan agar kaum Muslimin dapat mengeluarkan sedekah mereka.
2.      Etika shalat idul fitri dan idul adha
a.       Mandi, menggunakan parfum dan mengenakan pakain yang terbagus.
            Dari Anas Ibnu Malik berkata: Rasulullah saw. Memerintahkan kita didua hari raya mengenakan pakaian terbagus yang kita miliki menggunakan parfum terbagus yang kita miliki dan berkurban dengan apa saja yang paling bernilai yang kita miliki. (HR. Hakim)
Untuk pakain yang terbagus yang dimaksud dari hadis di atas bukan berarti yang baru dan yang mahal harganya, tapi pakain yang menurutnya indah dan rapi.
b.      Makan terlebih dahulu sebelum keluar untuk Idul Fitri dan untuk Idul Adha makannya setelah pulang dari mengerjakan shalat.
Rasulullah saw. bersabda:
عن أبي بريدة عن أبيه قال:كان النبيّ ص م لا يخرج يوم الفطر حتى يطعم ولا يطعم يوم الأضحى حتّى يصلّى  (رواه أحمد)
Artinya:”Dari Abu Hurairah dari  bapaknya ia berkata: Rasulullah tidak keluar (berangkat) pada hari Idul Fitri hingga makan da tidak makan pada hari Idul Adha (HR. Ahmad)
c.       Memeperbanyak Takbir, Tahmid, dan Tahlil pada malam hari raya.
Batas waktu takbir pada hari raya Idul Adha dimulai pada malam hari raya sampai dengan akhir hari tasyrik (13 Dzulhijjah), sedang pada hari raya Idul Fitri dimulai malam hari raya sampai dengan imam keluar untuk melaksanakan shalat bersama mereka.
Lafadz takbir yang diajarkan oleh Rasulullah adalah:
ألله أكبر ألله أكبر
لا إله إلاّالله  الله أكبر  ألله أكبر والله الحمد
Atau dengan lafadz:
ألله أكبر ألله أكبر ألله اكبر  كبيرا
d.      Shalat Idul Fitri dan Idul Adha dikerjakan di tanah lapang. Kecuali karena adanya hal yang menghalanginya, seperti hujan lebat atau yang lainnya
عن أبى هريرة قال: أنّهم أصابهم مطر في يوم عيد فصلى بهم النبى صلاة العيد في المسجد (رواه مسلم)
Artinya: “Dari Abu Hurairah ia berkata: sesungguhnya kami ketika di hari raya sedang hujan, nabi mengerjakan shalat di Masjid bersama mereka. (HR. muslim).
e.       Menuju tempat shalat dengan berjalan kaki.
عن علي رضي الله عنه قال قال رسول الله صم : من السنة أن يخرج إلى العيد ماشيا  (رواه البخار ى)
Atinya: ”Dari Ali ra. Ia berkata. Nabi bersabda: Termasuk bagian dari sunahku adalah keluar pada shalat ied dengan berjalan kaki. (HR. Bukhari).
f.       Memilih jalan yang berbeda ketika berangkat dan pulang shalat Ied.
كان رسول الله صم إذا كان يوم العيد خالف الطريق (رواه البخارى)
Artinya: ”Adalah Rasulullah ketika pada hari raya ia ( ketika berangkat dan pulang shalat Ied ) menyelisihi jalan. (HR. Bukhari).
g.      Ucapan selamat.
Yaitu setiap Muslim dianjurkan untuk mengucapkan kepada saudarannya taqobbalAllahu minna wa minkum.
Diriwayatkan bahwa jika sebagian para shahabat bertemu dengan sebagian yang lain mengucapkan taqobbalAllahu minna wa minkum. (HR. Ahmad)
3.      Sifat shalat idain
a.      Ketika matahari telah naik beberapa meter shalat dimulai dengan tanpa adzan dan iqomah.
عن ابن عبّاس رض قال: أن النبى صم صلى العيد بلا أذان ولا إقامة (رواه البخارى)
Artinya: ”Dari Ibnu Abbas ra. Ia berkata: sesungguhnya nabi saw shalat id dengan tanpa adzan dan iqomah.” (HR. Buhkari)

b.      Shalat Idain dikerjakan sebelum khotbah Ied dimulai .
كان رسول الله صم وأبو بكر وعمر يصلّون ن العيدين قبل الخطبة  (متفق عليه)
Artinya: “Adalah Rasulullah saw, Abu Bakar dan Umar shalat id sebelum khotbah.” ( HR. Bukhari dan Muslim)

c.       Shalat Ied dilakukan sebanyak dua rekaat.
عن إبن عبّاس أن النبى صم صلّى يوم العيد ركعتين لم يصلّى قبلها ولا يعدها (أخرجه السبعه)
Artinya: ”Dari Ibnu Abbas ra. Sesungguhnya Nabi saw. shalat pada hari raya dua rakaat dengan tidak ada shalat sebelumnya dan sesudahnya.”
4.      Cara mengerjakan shalat Ied
a.    Pada rakaat pertama takbir sebanyak tujuh kali termasuk takbiratul ihram. Dan diantara sela-sela takbir tidak terdapat bacaan tertentu.
b.    Seusai takbir imam membaca Al- Fatihah kemudian membaca surat dari Al- Qur’an
c.    Pada rakaat kedua imam takbir sebanyak enam kali dengan takbir qiyam (berdiri dari sujud).
d.    Kemudian membaca surat Al-Fatihah dan Suarat Al-Qur’an lainya.
قال رسول الله صم التكبير في الفطر سبع في الألى وخمس في أخره  (رواه البخارى)
Artinya: ”Rasulullah saw bersabda: Takbir pada hari raya sebanyak tujuh kali pada rakaat pertama dan sebanyak lima kali pada rakaat akhir.”(HR. Bukhari).

J.      Shalat Gerhana
Shalat Gerhana adalah shalat sunah muakad yang dikerjakan ketika sedang terjadi gerhana baik gerhana matahari(kusuf) maupun gerhana rembulan (khusuf).
Anggapan masyarakat dalam shalat kusuf berkaitan dengan sebab adanya kematian seseorang, Nabi memberikan penjelasan di dalam hadisnya.
عن مغيرة ابن شعبه قال: إنكشف الشمس عاى عهد رسول الله صم يوم مات إراهيم فقال الناس :إنكشفت الشمس لموة إبراهيم فقال رسول الله صم إنّ الشمس والقمر أيتان من أيات الله لا ينكشفان لموت أحد ولا لحياته فإذا رأيتموهما فادعوالله فصلّوا حتّى تنكشف  (متفق عليه)ٍٍ
Artinya: ”Dari Mughirah Ibnu Syu’bah ia berkata: bertepatan dengan adanya gerhana gerhana pada zaman Rasulullah dihari wafatnya Ibrahim (putra nabi) para manusia berkata: Gerhana matahari matahari I ni di kerenakan kematia ibrahim. Kemudian Rasulullah saw berkata:”Sesungguhnya matahari dan rembulan keduanya adalah tanda kekuasaan Allah, keduanya tidak ada kaitan dengan kematian dan hidup seseorang maka ketika kamu melihat keduanya (gerhana) maka berdoalah kepada Allah dan shalatlah sampai ia tertutup.” (muttafaq ‘alaih)

Yang dianjurkan dan dicontohkan oleh nabi berkenaan dengan shalat gerhana adalah:
1.    Kaum muslimin berkumpul di Masjid dengan tanpa adzan dan iqamat. Namaun tidak ada salahnya kaum Muslimin dipanggil dengan panggilan  asshalaatu jaami’ah.
2.    Disunahkan untuk memanjangkan bacaan dalam setiap gerakan shalat.
عن ابن عبّاس قال: إنخسفت الشمس على عهد رسول الله صم فصلّى رسول الله صم فقام قياما طويلا نحو من قرائة سورةالبقره ثم ركع ركوعا طويلا...(رواه مسلم)
Artinya: “Ketika terjadi gerhana di zaman Rasulullah maka beliau mengerjakan shalat, lalu berdiri dengan lama sepadan dengan bacaan surat Al-Baqarah kemudian rukuk dengan dengan rukuk yang lama…”.(HR. Muslim)
3.    Waktu mengerjakan shalat Kusuf  dimulai sejak awal terjadi gerhana sampai gerhana selesai (matahari atau bulan terlihat kembali).
4.    Tata cara shalat gerhana
a.    Takbiratul ihram.
b.    Membaca doa Iftitah, Al-Fatihah dan membaca ayat Al-Qur’an yang panjang.
c.    Rukuk, I’tidal (bangun dari rukuk) dan melanjutkan membaca surat al-Fatihah dan ayat dari Al-Qaur’an yang panjang.
d.    Rukuk, I’tidal kemudian sujud.
e.    Seusai dari sujud kemudian mengerjakan rakaat kedua sama seperti pada rakaat yang pertama.
Ibnu Abbas mwriwayatkan bahwa pada shalat Gerhana Nabi selalu membaca ayat yang panjang, kemudian bertakbir, kemudian rukuk lama sekali, kemudian mengangkat kepalanya sambil berkata “SamiAllahu liman Hamidah” kemudian berdiri lalu membaca surat panjang namun lebih pendek dari yang sebelumnya. Kemudian takbir, kemudian rukuk yang lebih cepat dari yang sebelumnya . Kemudian berkata “Sami’Allahu liman hamidah”kemudian sujud kemudian berbuat  seperti itu pada rakaat berikutnya hingga genap empat rukuk dan tempat sujud. (HR. Muslim)

K.    Shalat Istisqa’
Shalat Istisqa’ ialah meminta hujan kepada Allah untuk salah satu daerah ketika kekeringan terjadi dengan shalat, dzikir, istigfar.
1.      Hukum shalat Istisqa’
Shalat Istisqa’ adalah sunah muakad yang biasa dikerjakan Rasulullah saw, diumumkan kepada para sahabat dan beliau keluar untuk mengerjakannya di tanah lapang. Abdullah Ibnu Zaid berkata, “Rasulullah saw keluar untuk meminta hujan, kemudian beliau menghadap kiblat, mengubah posisi pakaiannya, kemudian shalat dua rakaat dengan bacaan keras.
2.      Waktu Shalat Istisqa’.
      Waktu shalat Istisqa’ sama dengan shalat hari raya, karena Aisyah ra. Berkata: “Rasulullah saw. keluar untuk mengerjakan shalat Istisqa’ ketika sinar matahari telah terlihat. “(Diriwayatkan Abu Daud dan al Hakim mensahihkannya)
Hanya saja shalat Istisqa’ boleh dikerjakan di semua waktu, kecuali waktu-waktu yang di makruhkan untuk shalat.
3.      Perbuatan-Perbuatan Yang Sunah Dikerjakan Sebelum Shalat Istisqa’.
Imam harus mengumumkan mengumumkan shalat Istisqa’ beberapa hari sebelumnya dan mengajak kaum Muslimin bertaubat dari maksiat, keluar dari kedoliman, berpuasa dan membuat perselisihan, karena maksiat adalah penyebab kekeringan kemarau sebagaimana ketaatan adalah penyebab kebaikan.
Rasulullh saw. bersabda:
“Tidaklah kaum mengurangi takaran dan mengurangi timbangan, melainkan mereka dihukum dengan diberikan kemarau panjang, hidup yang sulit dan penguasa yang dhalim. Tidaklah mereka menolak membayar zakat harta mereka, melainkan mereka diharamkan mendapatkan hujan dari langit. Kalaulah tidak ada hewan-hewan, maka mereka tidak diberi hujan.” (HR. ibnu majah).
4.      Sifat Shalat Istisqa’.
Sifat shalat Istisqo’ ialah imam dan kaum Muslimin keluar menuju tanah lapang, kemudian imam shalat dua rakaat bersama mereka. Jika ia mau ia boleh bertakbir tujuh kali pada rakaat pertama dan lima kali pada rakaat kedua seperti shalat hari raya. Pada rakaat pertama setelah membaca Al Fatihah, imam membaca surat Al-A’la dengan suara keras dan dan membaca surat Al-Ghasyiyah pada rakaat kedua. Usai shalat ia menghadap jamaah, dan berkhutbah dengan memperbanyak istigfar di sela-sela hutbahnya. Usai hutbah imam berdoa dengan diaminkan jama’ah, kemudian menghadap kiblat, memindahkan kain di sebalah kanannya ke sebelah kiri dan kain di sebelah kirinya ke sebelah kanannya dengan di ikuti jama’ah, berdoa sesaat, dan bubar.
      Dalilnya ialah ucapan Abu Hurairah ra. “Rasulullah saw. keluar meminta hujan, dan shalat bersama kita dua rakaat tanpa adzan dan iqomah, kemudia berkhutbah, berdoa kepada Allah, menghadapkan wajahnya ke kiblat dengan mengangkat kedua tangannya, memindahkan kainnya dari sebelah kanan ke sebelah kiri dan kain di sebelah kiri di sebelah kanan.” (Diriwayatkan Ahmad, Ibnu Majjah, dan Baihaki. Ketiganya berkata,” perawi hadis ini orangnya terpercaya).
5.      Beberapa Doa Shalat Istisqa’
      Diriwayatkan bahwa jika Rasulullah saw. meminta hujan beliau berdoa: “Ya Allah turunkanlah kepada kami hujan yang berakibat baik, menyuburkan, deras rata, umum, dan lebat. Ya Allah turunkanlah hujan kepada kami, dan jangan jadikan kami orang-orang yang putus asa. Ya Allah dengan hamba-hamba, negri-negri, hewan-hewan, dan mahluk aku adukan kesukaran, kesulitan dan kesempitan yang tidak aku adukan kecuali kepada-Mu. Ya Allah, tumbuhkan tanaman untuk kami, keluarkan susu untuk kami, turunkan untuk kami keberkahan-keberkahan langit, dan tumbuhkan keberkahan-keberkahan bumi untuk kami. Ya Allah hilangknlah dari kami kesulitan, kelaparan, dan ketertelanjangan, serta singkaplah dari kami musibah yang tidak bisa disingkap kecuali oleh Engkau. Ya Allah kami meminta ampunan kepada-Mu, karena Engkau Maha Pengampu. Turunkan hujan deras kepada kami. Ya Allah berilah minum hamba-hamba-Mu dan hewan-hewan-Mu, tebarkan Rahmat-Mu, dan hidupkan negri-Mu yang mati”. (diriwayatkan oleh Ibnu Majah, perawi-perawinya terpercaya, dan sebagian redaksinya dari Abu Dawud).
Juga diriwayatkan bahwa ketika hujan turun Rasulullah saw. berdoa:
اللهمّ سقيا رحمة ولا سقيا عذاب ولا بلاءولا هدم ولا غرق   أللهمّ على الضراب ومنابت الشجر   أللهمّ حوالين ولا علينا .(رواه بخارى ومسلم)
“Ya Allah, ini hujan rahmat, dan bukan hujan siksa, ujian, penghancuran, dan penenggelaman. Ya Allah, di atas bukit-bukit dan tempat-tempat tumbuhnya rumput. Ya Allah, di sebelah kami dan tidak di atas kami.” ( HR. Bukhari dan Muslim ).


Beberapa Shalat Sunah yang Belum Diputuskan Muhammadiyah dan yang Bukan Sunah

A.    Shalat tasbih
Nabi saw. bersabda:
عَنْ عِكْرِمَةَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِلْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ يَا عَبَّاسُ يَا عَمَّاهُ أَلَا أُعْطِيكَ أَلَا أَمْنَحُكَ أَلَا أَحْبُوكَ أَلَا أَفْعَلُ بِكَ عَشْرَ خِصَالٍ إِذَا أَنْتَ فَعَلْتَ ذَلِكَ غَفَرَ اللَّهُ لَكَ ذَنْبَكَ أَوَّلَهُ وَآخِرَهُ قَدِيمَهُ وَحَدِيثَهُ خَطَأَهُ وَعَمْدَهُ صَغِيرَهُ وَكَبِيرَهُ سِرَّهُ وَعَلَانِيَتَهُ عَشْرَ خِصَالٍ أَنْ تُصَلِّيَ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ تَقْرَأُ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ فَاتِحَةَ الْكِتَابِ وَسُورَةً فَإِذَا فَرَغْتَ مِنْ الْقِرَاءَةِ فِي أَوَّلِ رَكْعَةٍ وَأَنْتَ قَائِمٌ قُلْتَ سُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاللَّهُ أَكْبَرُ خَمْسَ عَشْرَةَ مَرَّةً ثُمَّ تَرْكَعُ فَتَقُولُهَا وَأَنْتَ رَاكِعٌ عَشْرًا ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ مِنْ الرُّكُوعِ فَتَقُولُهَا عَشْرًا ثُمَّ تَهْوِي سَاجِدًا فَتَقُولُهَا وَأَنْتَ سَاجِدٌ عَشْرًا ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ مِنْ السُّجُودِ فَتَقُولُهَا عَشْرًا ثُمَّ تَسْجُدُ فَتَقُولُهَا عَشْرًا ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ فَتَقُولُهَا عَشْرًا فَذَلِكَ خَمْسٌ وَسَبْعُونَ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ تَفْعَلُ ذَلِكَ فِي أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ إِنْ اسْتَطَعْتَ أَنْ تُصَلِّيَهَا فِي كُلِّ يَوْمٍ مَرَّةً فَافْعَلْ فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِي كُلِّ جُمُعَةٍ مَرَّةً فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِي كُلِّ شَهْرٍ مَرَّةً فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِي كُلِّ سَنَةٍ مَرَّةً فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِي عُمُرِكَ مَرَّةً. (رواه ابوداود وابن ماجه وابن خزيمة فىصحيحه والطبراني).
“Dari Ikrimah dari Ibnu Abbas bin Abdul Muthallib, wahai Abbas pamanku! Sukakah kamu kuberi, kukaruniai, kuhadiai, kuajari denagn sepuluh perbuatan? Jika kamu mngerjakannya, maka niscaya Allah mengampuni dosa, yang terdahulu dan yang terakhir, yang lama dan yang baru, yang tidak disengaja dan yang disengaja, yang kecil dan yang besar, yang tersembunyi dan yang nampak. Sepuluh perbuatan itu ialah kamu kerjakan shalat empat rakaat, kamu baca pada setiap rakaat al-Fatihah dan satu surat yang lain. Jika engkau telah selesai membacanya pada rakaat yang pertama, dikala kamu masih berdiri, ucapkanlah: Subhaanallaah wal hamdulillaah wa laa ilaaha illallaahu wallaahu akbar” lima belas kali kemudian kamu rukuk maka kamu ucapkan lafadz itu dikala kamu masih rukuk sepuluh kali, kemudian kamu angkat kepalamu dari rukuk dan ucapkanlah lafadz itu sepuluh kali, kemudian kamu tundukkan untuk sujud dan  ucapkanlah lafadz itu sepuluh kali dikala kamu sedang sujud, kemudian kamu angkat kepalamu dari sujud dan ucapkan lafadz itu sepuluh kali, kemudian kamu sujud dan ucaokanlah lafadz itu sepuluh kali. Kemudian kamu angkat kepalamu dan kamu ucapkan lafadz itu sepuluh kali. Dengan begitu, telah menjadi tujuh puluh lima kali pada setiap rakaat. Kamu lakukan seperti itu pada empat rakaat. Jika kamu mampu melakukan shalat itu pada setiap hari satu kali, maka lakukanlah, jika kamu tidak mampu melakukan, maka setiap Jum’at satu kali, jika kamu tidak mampu melakukan, maka lakukanlah satu bulan satu kali, jika kamu tidak mampu maka lakukanlah satu tahun satu kali dan jika kamu tidak mampu maka lakukanlah semasa hidupmu satu kali.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ibnu Khuzaimah dalam Sahihnya dan at-Tabrani).

Menurut hadis di atas, shalat Tasbih itu:
a.    Terdiri dari empat rakaat.
b.    Setiap rakaat membaca al-Fatihah dan surat.
c.    Setiap rakaat membaca tasbih (SubhanAllah…WAllahu akbar) 75 kali. Adapun cara membacanya 15 kali sesudah membaca surat, 10 sesudah membaca doa/dzikir rukuk, 10 kali ssesudah membaca tasmi’ (sami’Allahu liman hamidah), 10 kali sesudah membaca doa sujud pertama, 10 kali sesudah membaca doa duduk antara sujud, 10 kali sesudah membaca doa sujud kedua, dan 10 kali pada duduk istirahat (sesudah sujud kedua) akan berdiri meneruskan rakaat berikutnya. Hali seperti ini dilakukan pada rakaat pertama dan ketiga. Pada rakaat kedua dan keempat, tasbih dibaca setelah membaca tasyahud (ada yang mengatakan sebelum tasyahud).
d.    Tasbih yang dibaca, seluruhnya berjumlah 300 kali.
e.    Kalau bisa, shalat Tasbih ini dikerjakan tiap hari. Kalau tidak bisa, hendaknya dikerjakan setiap hari Jum’at. Kalau tidak bisa juga, dikerjakan satu bulan sekali. Kalau tak bisa juga, satu tahun sekali. Kalau tak bisa juga, paling tidak sekali seumur hidup.
Perlu dikemukakan pula ulasan ahli hadis mengenai hadis-hadis shalat Tasbih. Sayyid Alawi al-Maliki al-Hasani menukil pendapat para Muhadditsin dalm kitabnya Syarafu al-Ummati al-Muhammadiyyah sebagai berikut:
a.    Hadis tersebut diriwayatkan dari banyak sahabat melalui beberapa jalan.    Diantara para sahabat, yaitu Abdullah bin Abbas, Abu Rafi’ al-Anshari      (maula Nabi), Abdullah bin Amer al-Anshari.
b.    Al-Mundziri dalm kitab al-Targhib wal Tarhib, berpendapat bahwa hadis Ikrimah tersebut di atas dianggap yang terbaik dan telah ditashih oleh banyak ulama hadis, antara lain Abu Bakar al-Ajiri, Abu Muhammad Abdurrahim al-Misri, Abu al-Hasan al-Qudsi. Dan Abu Bakar bin Abi Daud mengatakan, ayahnya berpendapat bahwa hadis-  hadis tentang shalat Tasbih Tidak ada yang sahih selain hadis Ikrimah.
c.    Muslim bin al-Hajjaj berpendapat bahwa hadis Ikrimah di atas,        sanadnya lebih baik. Dan menurut pentahqiqkan, hadis tersebut derajatnya tidak lebih rendah dari hadis Hasan. Karena hadis yang satu           memperkuat hadis yang lain (Syaraful aimmatil Muhammadiyah hal 107-108).

Nukilan dari kitab al-Maudu’at oleh Abu al-Faraj Abdurrahman bin Ali bin Jauzi al-Quraisyi, dapat dikemukakan sebagai berikut:
Mengenai shalat Tasbih ada beberapa jalur periwayatan, antara lain:
a.    Jalur riwayat Ibnu Dailami dari Abbas bin Abdul Muthallib. Hadis melalui jalur ini, menurut Ahmad nialinya Dhaif, menurut al-Bukhari Mungkar, menurut Ibnu Hibban Mu’dhal.
b.    Jalur riwayat Ikrimah dari Ibnu Abbas dinilai majhul.
c.    Jalur riwayat Sa’id bin Abi Sa’id dari Abu Rafi’. Hadis melalui jalur ini tidak bisa dibenarkan.
Dan masih banyak lagi beberapa jalur riwayat lainnya yang dinilai Matruk, Mauquf, Dhaif, atau tidak dapat dibenarkan.
Selain di atas, berikut tanggapan para ulama yang lain:
a.    Imam Ahmad: tidak dianjurkan karena tidak ada hadis yang menetapkannya. Tapi jika seseorang melakukannya tidak mengapa.         Karena shalat nawafil (sunah) dan al-fadhail (amalan-amalan yang           utama) tidak disyaratkan kesahihan hadisnya. (al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu jild. 2, hal. 1093).
b.    Dalam “al-La’ali” Jalaluddin as-Suyuti dan Abu Ja’far al-Uqaili      mengatakan: tidak ada hadis yang jelas berkenaan dengan shalat Tasbih.
c.    Abu Bakar bin Arabi berkata: tidak ada hadis yang sahih atau hasan dalam shalat Tasbih.
d.    Ibnu Jauzi memasukkan semua hadis tentang shalat Tasbih dalam     kelompok maudhu’(hadis palsu).
e.    Abu Musa al-Madani memasukkan sebagian hadis shalat Tasbih ke dalam kelompok hadis sahih.
f.     Al-Iraqi berkata: tidak ada hadis sahih yang berkenaan dengan shalat Tasbih.
Syaikh Muhammad Abdus Salam dalam bukunya “Bid’ah-Bid’ah Yang Dianggap Sunah” menyebutkan, yang benar adalah semua sanad hadis Abu Rafi’ derajatnya lemah dan hadis Ibnu Abbas mendekati syarat hadis Hasan namun Syadz, karena dia sendiri yang meriwayatkan hadis seperti itu, disamping urutan-urutan periwayatannya tidak bersambung. Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Rafi’ dengan teks yang hampir sama dengan teks Ibnu Abbas, Ibnu Taimiyah dan al-Muzi melemahkannya.

B.     Shalat Hajat
Shalat Hajat adalah shalat yang dilakukan karena agar supaya permintaannya di kabulkan oleh Allah.
  Bersumber dari hadis Ibnu Majah meriwayatkan dari Utsman Ibnu Hunaif: seorang yang buta datang memnemui Nabi saw. dan memohoan “berdoalah kepada Allah untuk kesembuhanku” Nabi menjawab: “kalau kau mau aku akan menunda permintaanmu dan itulah yang terbaik dan kalau engkau mau aku akan berdoa” kata orang tersebut “berdoalah” Rasulullah menyuruh orang tersebut berwudlu dan shalat dua rakaat kemudian membaca doa berikut “Ya Allah aku memohon kepada-Mu, aku menghadap kehadirat-Mu, dengan Muhammad pembawa rahmat. Wahai Muhammad aku menghadap kehadirat Rabbku denganmu untuk keperluanku ini agar engkau memenuhinya. Ya Allah berikanlah pertolongan kepadaku.”
Menurut Ibnu Ishaq hadis ini shahih sedangkan menurut penulis kitab hasyi’ah Ibnu majjah berpendapat bahwa hadis ini diriwayatkan oleh Tirmidzi dan derajatnya hasan shahih gharib.
Menurut Rasyid Ridha, penulis kitranb al-Manar dalam catatannya hadis ini gharib sebagaiman diungkapkan oleh Tirmidzi karena hanya diriwayatkan oleh Abu Ja’far.
Mengenai hukum melaksanakan shalat Hajat Muhammadiyah tidak menggolongkan didalam kitab HPT sebagai shalat taawwu’.

C.    Shalat Ghoflah
Shalat Ghaflah adalah shalat yang dikerjakan antara Magrib dan Isya’. Dalam Al-Jami’us Shagir juga diriwayatkan: Rasulullah saw. Bersabda, ”Barang siapa shalat antara Maghrib dan Isya’ sebelum mengucapkan sepatah katapun, maka ia akan dituliskan ke dalam kelompok iliyyin.
Hadis ini digolongkan mursal dho’if. Diriwayatkan juga, ” Barang siapa shalat setelah maghrib enam rakaat dan tidak berkata buruk di sela-sela rakkaat itu maka pahalanya menyerupai idadah selama duabelas tahun.” Hadis ini diberi kode oleh Tirmidzi dan Ibnu Majah, dan oleh penilis dan penyarah al-Jami’us Shagir, dinilai lemah. Namun menurut Ibnu Thahir al-Maqdisi, dalam sanad hadis ini terdapat nama Umar Ibnu Rasyid al-Yamani dan Muhammad Ibnu Ghazwah yang dinilai dha’if. Dalam Isnad Muthalib disebutkan bahwa hadis ini tidak benar, karena diriwayatkan oleh Umar Ibnu Rasyid. Ibnu Ma’in dan Daruquthni melemahkan hadis ini, sedangkan Bukhari menyebutnya sebagai hadis mungkar.
Menurut Tirmidzi, hadis ini gharib karena ia hanya diriwayatkan dari Zaid Ibnu Al-Habab. Kata Bukhari, sebagaimana dikutup oleh Tirmidzi, Umar Ibnu Abdullah Ibnu Abi Khats’am adalah seseran yang diingkari hadisnya dan sangat lemah.
Ibnu Majah meriwayatkan dari Aisyah: “Rasulullah saw. Bersabda ”barang siapa melaksanakan shalat diantara maghrib dan isya’ duapuluh rakaat’ maka Allah akan membangunkan rumah di surga untuknya”. Menurut penulis Hasyiah Ibnu Majah, dalam Isnad hadis ini terdapat nama Ya’qub Ibnu Al-Walid yang jelas-jelas dha’if, bahkan oleh Ahmad nama ini dinilai sebagai pendusta dan sering membuat hadis palsu.

Menurut kesimpulan penulis, karena menurut berbagai kalangan imam dalam menilai hadis diatas sebagai hadis yang lemah maka tidak dapat dijadikan hujjah (dalil)  untuk mengamalkan shalat Gaflah.,

D.    Shalat Awwabin[4]
Dalam al-Jami’ush Shaghir diriwayatkan: Rasulullah saw. bersabda, “Barang siapa shalat  antara Maghrib dan Isya’ maka itu adalah shalat Awwabin.” Hadis ini mursal dan dhaif. Diriwayatkan pula: Rasulullah bersabda, “Shalatlah Shubuh dan Dhuha, karena itulah yang dinamakan shalat Awwabin.” Hadis ini oleh penulis al-Jami’ush Shaghir dan pensyarahnya, digolongkan sebagai hadis sahih. Diriwayatkan pula, “Shalat Awwabin adalah shalat ketika pasir itu sangat panas.” Hadis ini diberi kode Ahmad dan Muslim dan sudah jelas kesahihannya. Diriwayatkan Pula, “Shalat Dhuha adalah shalat Awwabin”. Hadis ini diberi kode Musnad al-Firdaus dan digolongkan sahih, tetapi pensyarahnya melemahkan hadis ini.

E.     Shalat Taubat
Ialah shalat sunah yang dikerjakan bagi orang yang menyesali perbuatannya untuk bertaubat kepada Allah swt. atas dosa-dosa yang pernah dilakukannya.
ما من رجل ينب ثم يقوم فيتطهر, ثم يصلي ركعتين يستغفر الله إلا غفر له.
”Tidaklah orang yang berdosa kemudian membersihkan diri dan shalat dua rakaat meminta ampun kepada Allah, melainkan ia diampuni.” (Diriwayatkan Tirmidzi. Hadis ini hasan gharib).

Shalat Taubat dikerjakan paling sedikitnya 2 rakaat. Sedangkan cara melaksanakan shalat Taubat seperti shalat biasa, baik bacaannya maupun gerakannya. Setelah selesai shalat Taubah, hendaklah memperbanyak membaca istighfar.

F.     Shalat Kifayah
Shalat kifayah ini terdiri dari 2 rakaat, dalam setiap rakaat yang dibaca adalah surat al-Fatihah, surat al-Ikhlas 5 kali, surat al-Qadr 5 kali, kemudian yang terakhir mambaca doa: ”Wahai zat yang sangat kuat, wahai zat yang memiliki kekuatan dan kemegahan, wahai zat yang memiliki kemuliaan dan kekuasaan, Engkau telah menjinakkan seluruh makhluk-Mu, lindungilah aku dari apa yang aku takutkan dan khawatirkan (dibaca 3 kali).” Setelah itu bertasyahud dan mengucapkan salam. Penulis al-Hishnul hashin mengatakan: ”aku pernah mencoba melakukan shalat kifayah, tetapi aku tidak jadi melakukannya karena ternyata shalat ini tidak diakui oleh Rasulullah.” menurut as-Syaukani, hadis ini dusta, sedangkan niat untuk mencoba tidak menunjukkan keshahihan hadis.

G.    Shalat Zawal
Ialah shalat sunah 2 rakaat, dimana pada masing-masing rakaat membaca al-Fatihah, pada rakaat pertama membaca al-Kafirun dan pada rakaat kedua membaca al-Ikhlas.
Shalat sunah ini berdasarkan riwayat yang menyatakan bahwa Nabi pernah melaksanakan shalat Zawal ini dan juga pernah memerintahkannya. Akan tetapi hadisnya gharib dari segi periwayatannya yaitu hanya terdapat seorang perawi saja
  
H.    Shalat Agar Bermimpi Bertemu Dengan Nabi Muhammad SAW.
Dalam al-La’ali al-Masnu’ah, Jalaluddin as-Suyuti menulis hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas secara marfu’ Rasulullah saw. bersabda;Jika seorang mukmin shalat dua rakaat pada malam jum’at dengan membaca surat la-Fatihah dan surat al-Ikhlas dua puluh lima kali dalam setiap rakaatnya, kemudian salam; setelah itu, membaca “sallAllahu ala Muhammadin Nabiyyil Ummiyyi seribu kali, maka dia akan melihatku dalam mimpi, dan barang siapa yang melihatku, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosanya.”
Hadis ini tidak sahih karena ada beberapa perawi yang majhul (tidak diketahui). As-Suyuti juga menyebutkan bahwa hadis yang berkenaan dengan hal ini, yang diriwayatkan dari Ibnu Ukasyah adalah palsu. Karena Ibnu Ukasyah adalah seorang pendusta. (Bid’ah-Bid’ah Yang Dianggap Sunah, hal. 144)
Berdasarkan keterangan di atas jelas bahwa, shalat agar bermimpi bertemu dengan Nabi saw. tidak ada tuntunannya. Dengan demikian amalan tersebut adalah bid’ah.




[1] Yang dimaksud oleh sahabat Abdullah bin Abi Qais pada pertanyaanya ialah bilangan rakaat yang dikerjakan Nabi saw. Sepanjang malam hari.
[2] Maksudnya Nabi saw. Mengajarkan shalat enam rakaat lalu duduk untuk tahiyat awal kemudian berdiri dan pada rakaat ketujuh menutupnya dengan salam. Lalu shalat dua rakaat sambil duduk. Demikianlah mudahnya mengerjakan shalat Lail sehingga tidak mengharuskan bilangan rakaat sebelas, asal jumlanya gasal.
[3] Lihat kitab al-Fiqhul Islami jild. 2, hal. 1064,  oleh Wahbah az-Zuhaili.
[4] Awawabin jamak dari awwab artinya orang-orang yang kembali kepada Allah swt. dengan bertaubat dan meminta ampun.(Lihat al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu hal. 1061 jild. 2, oleh Wahbah az-Zuhaili)

0 komentar: