Kamis, 05 April 2012

BAB XI (SHALAT JAMA’ DAN QASHAR)

 
Di dalam HPT belum dibahas tentang shalat jama’ dan qashar, akhirnya kami merujuk ke kita fiqih Islam karya Wahba Zuhail

Jama’
Jama' antara dua shalat, pada waktu safar dibolehkan. Shalat yang boleh dijama' adalah shalat Dluhur dengan Ashar, dan shalat Maghrib dengan Isya. Rasulullah SAW bersabda:

سنن أبي داود - (ج 3 / ص 447(
عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ فِي غَزْوَةِ تَبُوكَ إِذَا زَاغَتْ الشَّمْسُ قَبْلَ أَنْ يَرْتَحِلَ جَمَعَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَإِنْ يَرْتَحِلْ قَبْلَ أَنْ تَزِيغَ الشَّمْسُ أَخَّرَ الظُّهْرَ حَتَّى يَنْزِلَ لِلْعَصْرِ وَفِي الْمَغْرِبِ مِثْلُ ذَلِكَ إِنْ غَابَتْ الشَّمْسُ قَبْلَ أَنْ يَرْتَحِلَ جَمَعَ بَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ وَإِنْ يَرْتَحِلْ قَبْلَ أَنْ تَغِيبَ الشَّمْسُ أَخَّرَ الْمَغْرِبَ حَتَّى يَنْزِلَ لِلْعِشَاءِ ثُمَّ جَمَعَ بَيْنَهُمَا

Artinya: Dari Muadz bin Jabal:"Bahwa Rasulullah SAW pada saat perang Tabuk, jika matahari telah condong dan belum berangkat maka menjama' shalat antara Dluhur dan Ashar. Dan jika sudah dalam perjalanan sebelum matahari condong, maka mengakhirkan shalat Dluhur sampai berhenti untuk shalat Ashar. Dan pada waktu shalat Maghrib sama juga, jika matahari telah tenggelam sebelum berangkat maka menjama' antara Maghrib dan 'Isya. Tetapi jika sudah berangkat sebelum matahari matahari tenggelam maka mengakhirkan waktu shalat Maghrib sampai berhenti untuk shalat Isya, kemudian menjama' keduanya" (HR Abu Dawud dan at-Tirmidzi).

Shalat jama' terdiri dari dua macam, yaitu jama taqdiem dan jama' ta'khir. Jama' taqdiem adalah menggabungkan shalat antara shalat Dluhur dan Asar yang dilakukan pada waktu Dhuhur dan shalat Maghrib dan Isya' yang dilakukan pada waktu Maghrib. Sedangkan jama' ta'khir adalah menggabungkan shalat antara shalat Zhuhur dan Asar yang dilakukan pada waktu Ashar dan shalat Maghrib dan Isya' yang dilakukan pada waktu Isya'.

Menurut Jumhur ulama’ selain Hanafiah berpendapat bahwa boleh menjama’ shalat dluhur dengan ’Ashar secara taqdiem pada waktu pertama (dluhur) dan ta’khir pada waktu yang kedua (ashar), shalat Maghrib dengan shalat Isya’ didalam safar yang panjang. Shalat Jum’at sama halnya dengan shalat Dluhur dalam jama’ taqdiem.
Dan dalil-dalil yang berkaitan dengan shalat jama’ taqdim dan ta’khir, seperti hadis Mua’dz
.
من حديث معاذ رضي الله عنه: أن النبي )ص(  كان في غزوة تبوك إذا ارتحل بعد المغرب عجل العشاء فصلاها مع المغرب ( رواه أحمد وأبو داود والترمذي وحسنه، والدارقطني والحاكم، والبيهقي وابن حبان وصححاه)

Artinya; dari hadis muadz ra : Sesungguhnya Nabi saw pada perang Tabuk apabila melakukan perjalanan setelah Maghrib beliau mensegerakan shalat Isya’, lalu beliau melaksanakan shalat Isya’ bersama Maghrib. (HR Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi, Daraqutni, Baihaqi, dan Ibnu Hibban dan ia menshahihkannya)

Dan dalil-dalil tentang shalat jama’ ta’khir:

Ada beberapa dalil yang berkaitan dengan shalat jama’ ta’khir, seperti yang diriwayatkan oleh Bukari Muslim dari Anas.

، فقال أنس: كان رسول الله )ص( إذا رحل قبل أن تزيغ -تميل ظهرا- الشمس، أخر الظهر إلى وقت العصر، ثم نزل يجمع بينهما، فإن زاغت قبل أن يرتحل صلى الظهر، ثم ركب  ( متفق عليه)

Artinya : Anas Berkat: Adalah Rasulullah saw, apabila melakukan perjalan sebelum tergelincir matahari – masuk Dluhur- beliau mengakhirkan shalat Dluhur pada waktu Ashar, kemudian turun dan menjama’ keduanya, dan jika matahari telah doyong sebelum bepergian beliau shalat Dluhur dahulu kemudian berangkat. (Muttfaqun ‘Alaih)

Dan hadis Ibnu Umar.

ابن عمر فهو: أنه استُغيث على بعض أهله، فجدَّ به السير، فأخر المغرب حتى غاب الشفق، ثم نزل، فجمع بينهما، ثم أخبرهم أن رسول الله )ص ( كان يفعل ذلك إذا جدَّ به السير( رواه الترمذي بهذا اللفظ، ومعناه عند الجماعة إلا ابن ماجه)
Artinya: dari Ibnu Umar, sesungguhnya ia dimintai pertolongan oleh salah seorang dari keluarganya, lalu ia bersungguh melakukan perjalanan, lalu ia mengakhirkan Maghrib sehingga tengelam cahaya kemerah-merahan, kemudia ia melaksanakan dan menjama’ keduanya. Kemudian ia mengkhabarkan kepada orang-orang bahwa Rasulullah melakukan itu apabila mendapati (bersungguh) melakukan perjalanan. (HR. Tirmidzi dengan lafadz ini)

Syarat jama’ taqdiem sebagaimana tertulis dalam kitab Fiqih Islam wa Adillatuhu yaitu,
-                Berniat shalat jama’, artinya berniat jama’ taqdiem pada shalat yang pertama.
-                Tertib. Dimulai pada shalat yang pertama (Maghrib atau Dluhur) sebagai shahibul wakt
-                Dilakukan secara beruntun artinya, tidak dipisah oleh apapun dalam waktu yang lama dan seandainya dipisah oleh waktu yang lama walaupun ada uzur seperti pingsan atau lupa maka jama’nya tetap batal dan wajib mengakhirkan shalat Ashar atau Isya pada waktunya. Tapi apabila pemisahnya tidak terlalu lama, seperti adzan, iqamat atau bersuci, maka tidak mengapa. Sebagaimana terdapat dalam riwayat shahahaini, dari Usamah bahwa Nabi tatkala menjama’ shalat di Namirah beliau menyelingi dua shalat dengan Iqamat.
-                Waktu shalat Dzuhur atau Magrib masih ada.
-                Safar masih berlangsung sampai memasuki waktu shalat Ashar atau Isya’.

Dan yang menjadi syarat jama’ ta’khir yaitu:
-                Niat jama’ ta’khir sebelum memasuki shalat Dhuhur atau Maghrib.
-                Safar masih berlangsung sampai memasuki waktu shalat Ashar atau Isya’.

A.    SEBAB-SEBAB JAMA’

Orang-orang yang membolehkan jama’ baik secara taqdiem maupun ta’khir sepakat tentang akan adanya jama’ dalam tiga hal yaitu, safar, sakit, hujan, dan semisalnya seperti dingin, berembun, dan berlumpur yang tebal.

1.      Safar

Safar secara bahasa berarti: Melakukan perjalanan, lawan dari iqomah. Orangnya dinamakan musafir lawan dari muqim. Sedangkan secara istilah, safar adalah: Seseorang keluar dari daerahnya dengan maksud ke tempat lain yang ditempuh dalam jarak tertentu.
Jadi seseorang disebut musafir jika memenuhi tiga syarat, yaitu: Niat, keluar dari daerahnya dan memenuhi jarak tertentu. Jika seseorang keluar dari daerahnya tetapi tidak berniat safar maka tidak dianggap musafir. Begitu juga sebaliknya jika seorang berniat musafir tetapi tidak keluar dari daerahnya maka tidak dianggap musafir. Begitu juga jarak yang ditempuh menentukan apakah seseorang dianggap musafir atau belum, karena kata safar biasanya digunakan untuk perjalanan jauh. (konsultasi syariah @syariahonline)



Rukhsoh Shalat Bagi Musafir
Seorang musafir mendapatkan rukhsoh dari Allah swt dalam pelaksanaan shalat. Rukhsoh tersebut adalah: Mengqashar shalat yang bilangannya empat rakaat menjadi dua, menjama' shalat Zluhur dengan Ashar dan Maghrib dengan 'Isya, shalat di atas kendaraan, tayammum dengan debu/tanah pengganti wudhu dalam kondisi tidak mendapatkan air dll.

Shalat Qashar
Shalat qashar adalah shalat yang diringkas bilangan rakaatnya pada shalat fardlu yang mestinya empat rakaat dikerjakan dua rakaat saja. Shalat fardlu yang boleh diqashar hanya Dluhur, Ashar, dan ’Isya. Sedangkan Maghrib dan subuh tetap dikerjakan sebagaimana biasanya dan tidak boleh diqashar.
Dalil Shalat Qashar

Allah swt berfirman:

وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا إِنَّ الْكَافِرِينَ كَانُوا لَكُمْ عَدُوًّا مُبِينًا (101)

Artinya:"Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu menqashar sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu" (QS an-Nisaa' 101).

Rasulullah SAW bersabda:

  من حديث عائشة: [فرضت الصلاة ركعتين ركعتين، فأقرت صلاة السفر، وزيد في صلاة الحضر] أخرجه الشيخان في الصحيحين

Dari 'Aisyah ra berkata : "Awal diwajibkan shalat adalah dua rakaat, kemudian ditetapkan bagi shalat safar dan disempurnakan ( 4 rakaat) bagi shalat hadhar (tidak safar)"(Muttafaqun 'alaihi)

Dari 'Aisyah ra berkata:" Diwajibkan shalat 2 rakaat kemudian Nabi hijrah, maka diwajibkan empat rakaat dan dibiarkan shalat safar seperti semula (2 rakaat)" (HR Bukhari)

Dalam riwayat Imam Ahmad menambahkan : "Kecuali Maghrib, karena Maghrib adalah shalat witir di siang hari dan shalat Subuh agar memanjangkan bacaan di dua rakaat tersebut.
Para ahli ilmu bersepakat untuk mengqashar shalat bagi musafir baik perjalanan yang wajib seperti haji, jihad, hijrah, dan umrah atau yang mustahab seperti mengunjungi saudara, menjenguk orang sakit, berkunjung ke salah satu dari dua mesjid; mesjid Madinah dan Aqsha’, mendatangi orang tua atau yang mubah seperti, tamasyah, pertunjukan (show), perdagangan atau yang dimakruhkan

Hukum Qashar
Dengan ungkapan bahwa apakah seorang musafir diharuskan menqashar secara syar’i atau hanya berupa pilihan antara qashar dan menyempurnakan (itmam), kemudian manakah yang lebih baik antara qashar dan tidak (itmam)
Beragam pendapat para Fuqaha tentang hal ini, diantaranya adalah wajib, sunah, dan rukhsoh yang dipilih seorang musafir.
Hanafiah berpendapat bahwa qashar adalah wajib-azimah. Diwajibkan di setiap shalat yang beraka’at empat untuk mengqashar menjadi dua raka’at, tidak boleh menambahnya dengan sengaja.

 وحديث ابن عباس: [فرض الله الصلاة على لسان نبيكم في الحضر أربع ركعات، وفي السفر ركعتين، وفي الخوف ركعة]  أخرجه مسلم
Dari Ibnu ’Abbas ra berkata : "Allah mewajibkan shalat melalui lisan Nabi kalian pada shalat hadhar (tidak safar) empat rakaat, dan di dalam safar dua rakaat (4 rakaat) bagi shalat hadhar (tidak safar)". (HR Muslim)

Malikiyah berpendapat atas pendapat yang paling masyhur dan paling rajih; bahwa qashar itu sunah muakkad karena perbuatan Nabi, karena Nabi di dalam safar-safarnya selalu tidak menyempurnakan shalat atau mengqashar.
Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa qashar itu rukhsoh atas pilihan, artinya boleh menyempurnakan dan mengqashar, tapi mengqashar lebih baik secara mutlaq menurut Hanabilah dan syafi’iyah atas pendapat yang masyhur lebih baik menyempurnakan apabila terdapat pada dirinya kesusahan (tidak tenang) apabila qasharnya. (Fiqh Islam: 1339-1340)

Hikmah Disyariatkan Qashar.
Hikmah adanya shalat qashar bagi musafir adalah untuk menolak atau menghindari kesulitan yang terkadang dihadapi musafir di perjalanan. Dan sebab disyariatkannya qashar adalah karena dalam perjalanan yang panjang menurut Jumhur selain Hanafiyah.

Jarak Qashar
Seorang musafir dapat mengambil rukhsoh shalat dengan mengqashar dan menjama' jika telah memenuhi jarak tertentu.

 Rasulullah SAW bersabda:
Artinya: Dari Yahya bin Yazid al-Hana'i berkata, saya bertanya pada Anas bin Malik tentang jarak shalat Qashar ? "Anas menjawab:" Adalah Rasulullah SAW jika keluar menempuh jarak 3 mil atau 3 farsakh beliau shalat dua rakaat" (HR Muslim)

Artinya: Dari Ibnu Abbas berkata, Rasulullah SAW bersabda:" Wahai penduduk Mekkah janganlah kalian mengqashar shalat kurang dari 4 burd dari Mekah ke Asfaan" (HR at-Tabrani, ad-Daruqutni, hadis mauquf)

"Dari Ibnu Syaibah dari arah yang lain berkata:" Qashar shalat dalam jarak perjalanan sehari semalam"
"Adalah Ibnu Umar ra dan Ibnu Abbas ra mengqashar shalat dan buka puasa pada perjalanan menepun jarak 4 burd yaitu 16 farsakh".

Ibnu Abbas menjelaskan jarak minimal dibolehkannya qashar shalat yaitu 4 burd atau 16 farsakh. 1 farsakh = 5541 M sehingga 16 Farsakh = 88,656 km. Dan begitulah yang dilaksanakan sahabat seperti Ibnu Abbas dan Ibnu Umar. Sedangkan hadis Ibnu Syaibah menunjukkan bahwa qashar shalat adalah perjalanan sehari semalam. Dan ini adalah perjalanan kaki normal atau perjalanan unta normal. Dan setelah diukur ternyata jaraknya adalah sekitar 4 burd atau 16 farsakh atau 88,656 km. Dan pendapat inilah yang diyakini mayoritas ulama seperti imam Malik, imam asy-Syafi'i dan imam Ahmad serta pengikut ketiga imam tadi.

Kesimpulan: Jarak dibolehkannya seseorang mengqashar dan menjama' shalat, menurut jumhur ulama; yaitu pada saat seseorang menempuh perjalanan minimal 4 burd atau 16 farsakh atau sekitar 88, 656 km. (Konsultasi Stariah @syariahonline)

Lama Waktu Qashar
Jika seseorang musafir hendak masuk suatu kota atau daerah dan bertekad tinggal disana maka dia dapat melakukan qashar dan jama' shalat. Menurut pendapat imam Malik dan Asy-Syafi'i adalah 4 hari, selain hari masuk kota dan keluar kota. Sehingga jika sudah melewati 4 hari ia harus melakukan shalat yang sempurna. Adapaun musafir yang tidak akan menetap maka ia senantiasa mengqashar shalat selagi masih dalam keadaan safar.

Berkata Ibnul Qoyyim:" Rasulullah SAW tinggal di Tabuk 20 hari mengqashar shalat". Disebutkan Ibnu Abbas dalam riwayat Bukhari:" Rasulullah SAW melaksanakan shalat di sebagian safarnya 19 hari, shalat dua rakaat. Dan kami jika safar 19 hari, shalat dua rakaat, tetapi jika lebih dari 19 hari, maka kami shalat dengan sempurna".

2.      Sakit

Berdasarkan hadis yang diriwayatkan Muslim di atas serta yang diriwayatkan Muslim, Nasa’i, Abu Daud, dan Tirmidzi. Dengan teks hadis

عن ابن عباس قال :صلى  رسول الله صلى الله عليه و سلم, الظهر والعصر جميعا بالمدينة فى غير خوف ولا سفر, قال ابو الزبير : فسالت سعيدا لم فعل ذلك؟ فقال سالت ابن عباس كما سالتنى فقل : ارادا ان لايحرج احدا من امتى
Dari Ibnu Abbas ia berkata: “Rasulullah saw pernah shalat di Madinah dengan menjama’kan Dluhur dan ashar tidak dalam keadaan takut dan perjalanan. Abu az-Zubaer salah seorang perawi tersebut berkata : “saya bertanya kepada Said mengapa Rasulullah berbuat demikian maka Said menjawab saya pernah menanyakan pertanyaan seperti itu kepada Ibnu Abbas. Ia menjawab Rasulullah ingin agar tidak memberatkan ummatnya.”

Para ulama berbeda pendapat tentang interpretasi terhadap hadis ini dan dan tentang kebolehan menjamak shalat tanpa uzur imam an-Nawawi menyebutkan beberapa pendapat :
Tirmizdi mengatakan tidak terdapat dalam kitab saya suatu hadis yang disepakati untuk tidak diamalkan yaitu hadis Ibnu Abbas tentang shalat jamak di Madinah tanpa adanya keadaan takut atau hujan. Kemudian an-Nawawi membenarkan pendapat at-Tirmizdi mengenai hadis Ibnu Abbas
Ada pula yang menafsirkan sebagai jama’ pada pertemuan dua waktu, yaitu beliau mengakhirkan shalat pertama pada penghujung waktunya dan segera memulai shalat kedua pada awal waktunya.
Ada pula yang mentakwil hadis ini dengan sakit. Artinya, jamak boleh dilakukan ketika berada di tempat (tidak musafir) apabila dalam keadaan sakit. an-Nawawi memilih pendapat ini.
Sebagaian ulama membolehkan jama’ tanpa uzur kalau ada keperluan penting sepanjang tidak dibiasakan terus menerus. Pendapat ini dipegang oleh Ibnu Sirin, Asyhab dari mazhab Maliki, al-Qaffal dan as-Syasyi al-Kabiri dari mahzab Syafi’i, dan segolongan ahli hadis dan ini dipilih oleh Ibnu al-Munzir.

Ibnu mundzir mengatakan bahwa tidak ada alasan untuk mentakwil hadis Ibnu Abbas itu dengan uzur tertentu, karena Ibnu Abbas sendiri menegaskan maksud Rasulullah melakukan yang demikian, yaitu untuk memberikan kelapangan pada umatnya.
Catatan. Bahwa hadis tentang jamak shalat bukan dalam perjalanan itu tidak dilakukan dengan qasar, jadi hanya jama’ saja. (Tanya Jawab Tim Tarjih)  

Adapun orang sakit, seperti sakit perut atau semisalnya boleh melakukan jama’, tidak denagn qasar (ringkas). Sebagai pilihan boleh melakukan shalat yang pertama (Dhuhur atau Maghrib) diakhir waktu, kemudian kemudian melakukan shalat yang kedua (Ashar atau Isya’) di awal waktu. Untuk menghilangkan kesusahan.
Barang siapa takut akan pingsan, pusing, demam, pada waktu shalat yang kedua (Ashar atau Isya’) maka shalat yang kedua itu dimajukan ke shalat yang pertama (Dhuhur atau Maghrib), jama’ taqdiem.
Sebagai kongklusi dari jama’ bagi orang yang sakit itu sesungguhnya shalat yang dijama’  disebabkan takut akan tidak sadar (hilang akal), atau apabila jama’ itu lebih menolong dan memudahkan dan waktunya pada shalat yang pertama atau secara taqdiem. (Fiqh Islam wa Adillatuhu)

3.      Hujan atau Dingin, Berembun, berlumpur.

Orang yang menghadapi hal di atas boleh melakun jama’ taqdiem saja tentunya hanya bagi orang yang melakukan shalat Maghrib dan Isya’ secara jama’ah di masjid. Walaupun hujan berhenti setelah adanya rukhsah boleh melanjutkan jama’.
Setelah jama’ telah dilakukan jama’ah pulang ke rumah masing-masing tanpa melakukan shalat nawafil (rawatib) karena pada saat itu dimakruhkan, sehingga tidak ada nawafil setelah jama’ di masjid.
Tidak boleh melakukan jama’ ini bagi orang yang bertetangga dengan mesjid (dekat dengan masjid) jika tidak melakukan shalat jama’ah, walau disebabkan karena sakit atau perempuan perempuan yang tidak takut fitnah apabila keluar untuk jama’ah. Tidak pula bagi orang yang shalat di masjid sendirian kecuali apabila ia seorang imam shalat. (Fiqh Islam wa Adillatuhu)
Melakukan shalat jama’ karena hujan, bukan karena sebab ada hujan  turun kita dapat melakukan shalat jama’, tetapi merupakan hukum rukhsoh. Artinya kemurahan bagi orang yang bisa melakukan shalat berjama’ah di masjid. Tidak untuk orang yang shalat di rumah. Dengan dalil:
Hadis Rasulullah dengan riwayat Bukhari: Bahwa Nabi saw menjama’ antara shalat Magrib dengan Isya’ pada suatu malam turun hujan lebat. (HR. Bukhari) (Tanya Jawab Tim Tarjih)

  
4.      Ada Hajat

Hal ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan Muslim :

جمع رسول الله صلى الله عليه و سلم بين الظهر والعصر والمغرب والعشاء بالمدينة فى غير خوف ولا مطر (رواه مسلم)

Komentar Ibnu ‘Abbas ketika ditanya apa yang dimaksud dengan melakukan seperti itu, ia menjawab untuk tidak menyempitkan umatnya. Tentu saja hal itu karena Nabi menghadapi hal yang penting dan tidak menjadi kebiasaan.

Diperkuat oleh riwayat  riwayat Bukhari dan juga Muslim dari Ibnu ’Abbas:

ان النبى صلى الله عليه و سلم صلى بالمدينة سبعا وثمانيا, الظهر والعصر والمغرب والعشاء (رواه البخارى ومسلم)
Bahwa Nabi saw shalat di halaman kota Madinah tujuh raka’at. Dzuhur  dengan Asar dan Magrib dengan Isya’.(HR. Muslim).


Cara Shalat di Kendaran

a.          Shalat di atas kendaraan dan dengan menghadap kemana saja.

Muhammadiyah dalam HPT, belum mencantumkan persoalan ini, akan tetapi dalam buku “Fiqh Islam” karangan Musthofa Kamal Pasha, menyebutkan bahwa kalau memungkinkan dalam perjalanan shalat dengan berdiri, maka dengan berdiri, tetapi kalau tidak memungkinkan hendaknya dikarjakan menurut kemampuanya, seperti ketika sedang naik kereta, pesawat, dll. Maka diperbolehkan mengerjakannya sambil duduk dengan isyarat yang memungkinkan saja.

سئل النبى صم قال عن الصلاة فى السفينة قال : صل فيها قائما الا ان تخاف الغرق  (رواه الدار القطنى والحاكم عن ابن عمر)

Nabi saw ditanya perihal shalat di atas kapal, maka ujar beliau: ”Shalatlah di sana dengan berdiri, kecuali kalau engkau takut tenggelam”.(HR. Daruqutni)

Ada beberapa komentar ulama dalam hal ini.
·     Syaukani dalam Nailul Authornya mengomentari hadis ini, bahwa shalat di atas perahu wajib dikerjakan dengan berdiri kecuali di kawatirkan tenggelam. Beliau juga membedakan antara orang yang di atas perahu dengan di atas kendaraan, dan keduanya tidak dapat dikiaskan. Beliau juga menyebutkan orang yang telah berlayar, shalatnya sah dikerjakan di atas perahu, walau sebenarnya mampu mengerjakannya di darat.

عن عبد الله بن ابى عتبة قال : صحبت جبر بن عبد الله وابا سعيد الخد رى  و ابا هريرة فى سفينة                                                         
فصلوا قياما فى جما عة امهم بعضهم وهم يقدرون على الجد (رواه سعيد)

·     Sayid Sabiq dalam Fiqih Sunahnya, membolehkan dengan mengutip dalil yang berbeda

 عن ابى موسى : ان النبى صم قال : اذا مرض لبداو سافر كتب الله لها كان يعله وهو صحح (رواه البخارى)
عن ابنعمر انه صم كان يسبح على ظهر راحلته حيث كان وجهه يومئ براسه

Kata yasbahu diartikan dengan yushalli.(Fiqih Sunah: 243)

b.          Shalat sunah di perjalanan.

Muhammadiyah dalam hal ini pun belum menyinggung persoalan ini, tetapi jumhur telah bersepakat kebolehan mengerjakan shalat sunah termasuk shalat sunah rawatib dalam perjalanan dengan merujuk beberapa hadis di bawah.

ان النبى صم اغسل فى بيت ام هانئ يوم فتح مكة وصلى ثمانى ركعات(رواه البخارى و مسلم)
وقال الحسن: كان اصحاب رول الله صم يسافرون فيتطو عون قبل المكتبة وبعدها



0 komentar: