Sabtu, 21 April 2012

BEBERAPA MACAM TA'ARUD DAN TARJIH


Pembahasan

Adapun empat macam atau bentuk yang tidak tersusun  atas satu tingkatan dari penjelasan dan kekuatan dalil-dalil yang dimaksud diantaranya : Dzahir, nash, mufassar dan muhkam. Sedangkan yang lebih kuat dan lebih jelas susunannya adalah Muhkam, Mufassar, Nash, dan Dzahir. Apabila diantaranya adayang bertentangan maka dalil nash itu didahulukan atas yang dzahir dan begitu juga mafassar didahulukan atas dalil dzahir dan nash, juga muhkam didahulukan atas semuanya. Dan ketika terjadi ta'arud (pertentangan), maka yang paling kuat itu didahulukan atas yang paling lemah.

Contoh-contoh ta'arud sebagai berikut:
  1. Ta'arud dalil dzahir dengan dalil Nash seperti Firman Allah: An-Nisa: 4/24 dan An-Nisa: 4/3, maka yang dikuatkan adalah dalil nash yaitu surat An-Nisa ayat 3  dari pada dalil dzahir (An-Nisa: 24).
  2. Ta'arud dalil Nash dengan dalil Mufassar seperti sabda Nabi SAW: bahwa wanita yang bertistihadhoh itu berwudhu untuk setiap melaksanakan shalat.sedangkan didalam riwayat yang lain Nabi SAW bersabda kepada fatimah binti hubais: berwudhulah kamu untuk waktu setiap mau mengerjakan shalat. Hadits pertama (dalil nash) itu memberi faidah wajibnya berwudhu bagi wanita yang istihadhah untuk setiap mau melakukan shalat walaupun didalam satu waktu. Sedangkan dalil yang kedua (dalil Mufassar) menjelaskan bahwasanya hadits tentang wajibnya wudhu untuk waktu setiap mau melakukan itu tidak mungkin bisa dita'wil sekalipun itu lebih banyak dari shalat. Maka yang lebih kuat disini adalah dalil Mufassar.
  3. Ta'arud dalil Mufassar dengan Muhkam, menurut para muhaqiq itu tidak didapati contohnya, akan tetapi sebagian mengatakan ada, seperti Firman Allah tentang masalah saksi : QS. Ath-Thalaq:65/2 dan Firman Allah tentang hukuman bagi orang yang menuduh zina : QS. An-Nur:4/24 , maka yang dirajihkan dalil Muhkam yaitu QS. An-Nur: 4/24.
  4. Ta'arud dalil Muhkam dengan dalil Nash. Sebagai mana Firman Allah QS. An-Nisa: 4/24. dan QS. Al-Ahzab: 33/53 tentang istri Rasulullah SAW. Maka yang didahulukan adalah dalil muhkam (QS.Al-Ahzab:33/53) karena lebih kuat dari pada dalil Nash.
  5. Ta'arud muhkam dengan dalil Dzahir seperti Firman Allah QS.Al-Ahzab:33/53. dan QS. An-Nisa:4/3, maka yang didahulukan dalil Muhkam (QS. Al-Ahzab33/53, karena lebih kuat dari dalil dzahir).

Kesimpulannya adalah tarjih itu berada diantara dua tingkatan dalil yang sama seperti dua ayat dan dua hadits. Kalau tidak terwujud kesamaan didalam satu tingkatan, maka tidak terjadi ta'arud dan tarjih seperti ta'arud diantara ayat dan hadits seperti QS. Al-Baqarah:2/230, dan hadits tentang tidak sah nikah kecuali dengan wali, maka yang lebih dikuatkan dan didahulukan dalil ayat secara muthlaq.

Beberapa bentuk wadhih menurut Jumhur Ushuliyin.
Menurut hanafiyah beberapa bentuk wadhih itu menjelaskan terhadap dalil. Sedangkan menurut Jumhur syafi'iyah dan selainnya ada dua macam yaitu Nash dan Dzahir, dan kalimat mubayyan yang tidak mujmal itu mencakup keduanya. Sedangkan nash menurut Jumhur ialah suatu dalil yang bisa dita'wil, atau sesuatu dalil yang menunjukan kepada makna Dilalah Dzaniyyah artinya yang Rajih.sama saja dalil dilalah ini berkembang dari bentuknya seperti Am (yang umum) itu mencakup kepada semua satuan-satuannya, atau Urf (kebiasaan) seperti dilalah shalat, didalam syara' itu mencakup semua perkataan dan perbuatan yang tertentu.menurut hanafiyah masing-masing dalil nash dan dalil dzahir. Jika suatu lafadz itu dipalingkan dari suatu makna dzahir kepada suatu makna yang rajih karena adanya suatu qarinah, maka disebut Muawwal. Sedangkan hukum dzahir menurut Jumhur ulama adalah dengan mangamalkan madlulnya dan tidak boleh meninggalkan dzahir kecuali dengan ta'wil  yang shahih.

Nash menurut jumhur ulama ialah suatu lafadz yang tidak bisa dita'wil atau suatu lafadz yang menunjukan kepada suatu makna dilalah qat'iyyah dan selain itu tidak bisa dita'wil seperti nama Muhammad atas suatu jenis atau alam, maka hal ini menurut hanafiyyah itu seperti Mufassar. Sedangkan hukumnya dengan mengamalkam madlulnya secara qat'I  dan dalil nash itu tidak akan berubah kecuali dengan adanya nasakh. Sedangkan menurut Jumhur ialah suatu dalil yang mencakup kepada dalil nash dan dalil dzahir, dan suatu lafadz yang menunjukan suatu makna yang wadhihah, dzaniyyah dan qat'iyyah. Dalil Mufassar menurut Jumhur itu tidak terkenal didalam maknanya, sedangkan menurut hanafiyyah itu masyhur. Dan sungguh imam syafe'I menyebutkan didalam kitab Al-Umm bahwa ini adalah ungkapan makna lughawi kemudian beliau mengatakan bahwa hadits tentang tanaman yang dialiri oleh air hujan itu zakatnya sepersepuluh, itu masih mujmal. Hadits menjelaskanbahwa tidak ada sodaqah selain lima wasaq. Maka itu merupaka dalil mufassar, dan lebih jelas ketentuannya.

Dua bentuk wadhih menurut jalan bayan adalah sebagai berikut:
  1. wadhih binafsihi ialah sesuatu yang mencukupi kepada faedah makna. Adakalanya untuk Amr yang kembali kepada bahasa seperti firman Allah Ta'ala Wallahu Bikulli Syaiin 'Aliim. Dan kadang-kadang berupa akal seperi firman Allah SWT: "wasalil Qaryata.
  2. wadhih Bighairihi ialah pemahaman makna yang dimaksud itu berhenti pada penggabungan selainnya.

Jalur bayan itu kadang-kadang berupa firman Allah seperti QS. Al-Baqarah: 2/69, maka itu menjadi bayan terhadap firman Allah QS.AL-Baqarah:2/67. dan kadang-kadang berupa sabda Rasulullah SAW, seperti Fiima al-saqat as-samau al-Asyru, maka sabda nabi ini menjadi bayan terhadap firman Allah QS. Al-An'am: 6/141, kadang-kadang berupa perbuatan Rasulullah SAW seperti Shalat, ini menjadi bayan kepada firman Allah Wa Aqimu as-Shalata. Oleh karena ini Rasulullah bersabda Shaluu Kama Raitumuni Ushali dan hujah-hujah yang lain, ini juga menjadi bayan kepada Allah SWT Walilahi 'Ala An-naasi Hiju al-Baiti dan oleh karena ini rasulullah bersabda Hudzu 'Anni Manasikakum. 

Hanabilah berpendapat bahwa bayan fi'il lebih kuat dari pada bayan qaul, dan kadang-kadang bayan tersebut menurut ijma shahabat itu untuk menjelaskan madlul kitab dan sunnah, seperti Ijma shahabat tentang bertemunya dua pesunatan walaupun tidak inzal akan tetapi wajib Mandi, maka hal ini menjadi bayan kepada firman Allah Ta'ala QS.Al-Maidah:5/6 yaitu Wainkuntum Junuban Faththaruu.

Kesimpulannya: Ibnu sam'ani mengatakan bahwa bayan Mujmal itu terjadi dengan enam bentuk:
  1. Dengan Qaul (ucapan). Dan ini lebih banyak digunakan
  2. Dengan Fi'il (perbuatan).
  3. Dengan Kitabah surat).
  4. Dengan Isyarah.
  5. Dengan Tanbih.
  6. bayan Ijtihad yang dikhususkan oleh ulama. Yaitu apa-apayang telah disebutkan didalam lima bentuk yang lalu, yang apabila ijtihad berhubungan dengam slah satu bentuk baik dari jalan qiyas yang bercabang pada pokok atau berupa jalan Amarah yang menunjukannya.

Apakah bayan qaul dan bayan fi'il itu dapat didahulukan?. Kalau qaul dan fi'il itu datang setelah Mujmal, padahal keduanya  sama-sama sebagai bayan, maka manakah yang didahulukan?
  1. Kalau keduanya disepakati didalam dalil, dan diketahui duluan dari salah satunya, maka yang duluan itu yang dijadikan bayan dan yang terakhir sebagai ta'kid (menguatkan). Sekalipun yang terakhir itu tidak didahulukan didalam kekuatan dalilnya, karena ta'kid  muncul dengan sendirinya itu tidak memerlukan  mu'akad yang  lebih kuat. Karena redaksinya dikuatkan dengan redaksi yang lain. Aka tetapi ta'kid yang tidak tegak dengan sendirinya itu memerlukan mu'akad yang lebih kuat, karena sesuatu itu tidak bisa dikuatkan oleh selainnya. Maka jika tidak diketahui mana yang duluan maka itu boleh dikira-kirakan yang pertama itu sebagai bayan dan kedua sebagai ta'kid.
  2. Kalau keduanya diperselisihkan didalam dalilnya. Maka menurut pendapat Jumhur Ulama qaullah yang dijadikan sebagai bayan secara muthlaq. Sama saja apakah qaul itu datang duluan atau belakangan, karena itu dapat menunjukan dengan sendirinya berbeda dengan Fi'il karena Fi'il itu tidak bisa menunjukan dengan sendirinya kecuali kalau Fi'il itu bersatu dengan qaul.

Mengakhirkan bayan pada waktu membutuhkan.
sesuatu dalil yang mujmal, 'Amm, musytarak, perbuatan yang diragukan, Muthlaq itu semuanya membutuhkan bayan jika bayan itu datang belakangan. Baik belakangan dari Fi'il, dari khithab kepada Fi'il. Segolongan kaum mu'tajilah, hanafiyyah dan dzahiriyyah mengatakan tidak boleh mengakhirkan bayan terhadap khithab dengan alasan karena khitahab harus bersambung  dengan bayan, atau didalam hukum itu juga harus bersambung yang tujuannya adalah untuk menjaga keterputusan kalam dari sebagian kepada sebagian yang lain.

Sedangkan Jumhur berhujjah dengan tiga dalil yaitu sebagai berikut:
  1. firman Allah Ta'ala QS. Al-Qiyamah: 56/19-18.
Penyebutan bayan dengan menggunakan lafadz tsumma maksudnya litarakhi (rentang waktu) dan litta'qib (datang sesudahnya). Maka hal itu menunjukan bolehnya menunda jeda waktu  bayan ittiba kepada Rasul.sedangkan ittiba Rasul itu diakhirkan dari menurunkan pembicaraan dan itu adalah yang dimaksud dengan firman Allah Ta'ala Qara'nahu artinya Anzalnahu (menurunkan). Dan contoh yang lain dalam surat Huud ayat 1:  
Lafadz Tsumma itu littarakhi (rentang waktu)
  1. kejadian fi'liyah yang diulang-ulang dalam Al-qur'an seperti QS. Al-Baqarah:2/67-68.

Yang dimaksud didalam ayat itu adalah baqarah yang mu'ayyanah berdasarkan dalil pertanyaan orang yahudi tentang sifatnya sapi  dan jawaban yang baik kepada mereka dimana  Allah SWT berfirman : dalam surat Al-baqarah : 68 dan 71. dan masih banyak contoh yang cukup diantaranya seperti: QS Al-baqarah: 43, Ali-"imran: 97, Al-Maidah: 38, Al-Anfal: 1, Al-Anfal: 41.
  1. Firman Allah al-Anbiya: 98 dan 101. ayat 98 ini mencakup semua yang disembah. Maka tatkala Ibnu Jiba'ri bertanya tentang 'Isa dan Malaikat maka turunlah firman Allah ta'ala surat al-Anbiya: 101

Mengakhirkan tabligh penyampaian sesuatu yang wahyukan kepada Nabi SAW.
Mereka berselisih tentang mengakhirkan bayan yang dimaksud oleh khithab mengenai waktu khithab.dan juga didalam masalah bolehnya mengakhirkan sesuatu tabligh yang diwahyukan kepada Nabi SAW berupa hukum-hukum dan ibadah kepada waktu yang dibutuhkan olehnya. Maka mayoritas ulama membolehkannya dengan menyefakati pendapat jumhur ulama. Karena bentuk Amr tidak mengharuskan untuk segera dilaksanakan dan mengharuskan untuk menunggu jeda waktu. Akan tetapi sebagian ulama tidak membolehkan menunda al-quran dan selainnya yang diwahyukan kepada Nabi SAW  berdasarkan firman Allah ta'ala: al-Maidah: 67.

Secara tekstual perintah itu wajib dan segera disampaikan. Jawabannya adalah bahwasanya Amr secara muthlaq itu tidak mengharuskan untuk segera dilaksanakan, kemudian Amr itu menunujukana bahwa lafadz Al-Qur'an yang telah diturunkan itu harus segera disampaikan bahkan ayat ini turun untuk menguatkan 'Azimahnya Nabi Muhammad SAW.dan menuntut sesuatu yang telah lalu didalam menyampaikan risalah-Nya, dan tidal memalingkan kepada orang-orang musyrik yang selalu membatalkan penyampaian-Nya dan tidak terpengaruh dengan keindahan ucapan mereka.

Oleh: Rohmansyah


0 komentar: