Selasa, 10 April 2012

Belahan Jiwa


Wah, bagaimana ceritanya ibu bisa menikah empat kali dengan tiga orang pria? Mataku terbelalak sambil bertanya penuh selidik. Pertanyaan itu tidak segera ia jawab. Wanita yang berusia separuh baya itu malahan mengusap keringat di kening anaknya sambil memperbaiki posisi duduknya.

Ia adalah wanita yang beberapa menit yang lalu baru aku kenal, saat aku sedang beristirahat di tengah hiruk-pikuknya orang yang berlalu lalang di dalam stasiun Jatinegara. Beberapa loket tampak mulai dipadati. Tapi loket tujuan Tasikmalaya dan Yogyakarta tampak masih tutup. Walaupun begitu beberapa orang sudah mulai terlihat duduk mengantri tiket untuk kelas ekonomi. Udara yang panas membuat muka-muka di sekelilingku tampak bagai kerutan topeng. Mungkin juga wajahku termasuk di antaranya. Mencari wajah dengan secercah senyum di sini bagaikan mencari jarum di tumpukan jerami. Kipas murah bergambar Dao Ming Tse yang aku beli di Blok M tadi benar-benar bermanfaat. Setidaknya untuk menyegarkan pori-pori kulitku. Seorang ibu di antara mereka tiba-tiba datang ke arahku dengan tergopoh-gopoh menggendong anaknya dengan menenteng sebuah tas besar. Keringatnya mengalir deras, wajahnya menampakkan kelelahan yang luar biasa. Tempat duduk yang aku tawarkan dengan tanpa basa-basi didudukinya dengan sigap.

Pandangannya pun beralih padaku, dengan tetap tersenyum dia pun menanggapi ucapanku tadi. Wualaaah...panjang ceritanya, Neng! Awalnya Bibi menikah dan hidup sangat bahagia dengan suami pertama Bibi. Bibi dikaruniai satu orang anak laki-laki yang saat ini telah berusia 15 tahun. Sampai akhirnya dan wanita itu tidak segera meneruskan ucapannya. Dia malah menatapku tajam sambil bertanya, Neng, sudah menikah? Aku tidak mengerti mengapa dia bertanya seperti itu. Aku hanya menggeleng dan tak berucap sepatah kata pun.

Bibi hanya tidak mau Neng jadi takut menikah setelah mendengar cerita Bibi. Batinku tertawa mendengar ucapan wanita itu karena justru saat ini aku sangat ingin menikah seperti teman sebayaku yang sebagian besar sudah bertemu belahan jiwanya masing-masing.

Begini, Neng, Bibi hanya ingin kasih saran sama Neng, hati-hati sama laki-laki. Soalnya, di zaman edan seperti sekarang ini, laki-laki itu cuma ada dua macam, kalau nggak homo, ya buaya. Katanya sambil berapi-api. Kali ini batinku kembali geli mendengar ucapannya. Aku bingung, apakah wanita ini memang selalu memperbuas ucapannya atau hidupnya yang terkesan buas jika diucapkan. Suami Bibi selingkuh sama teman kerjanya. Saat itu, Bibi masih sangat muda, tidak banyak pertimbangan, terbakar cemburu lalu Bibi pun minta cerai.

Lama juga aku mengobrol dengan wanita itu. Pahit sekali kehidupan pernikahannya. Padahal, aku yakin, sewaktu muda dia adalah seorang wanita cantik. Masih dapat kulihat sisa garis-garis kecantikannya yang kini mulai pudar oleh kerutan dan kantung mata yang menebal. Memang sulit sekali bersahabat dengan takdir. Setelah pernikahan pertamanya kandas, dia pun mencoba untuk kembali kebahagiaannya. Tapi, pernikahan keduanya kembali hancur karena suami yang dia nikahi ternyata ringan tangan dan malas bekerja. Bibi nggak kapok nikah melulu? tanyaku. Kali ini aku berusaha menyesuaikan diri dengan memanggilnya  Bibi .

Bibi pun sempat kapok kawin selama beberapa tahun. Tiba-tiba ada lelaki yang usianya lebih dari setengah abad melamar Bibi. Awalnya, Bibi berpikir, dia pasti orang bener. Soalnya, dia pernah pergi haji. Tapi, ternyata dia itu pencemburu berat dan sering mengurung Bibi di dalam rumah. Kehidupan pernikahan ketiga bagaikan hidup dalam kerak neraka. Ya...daripada Bibi mati perlahan-lahan, lebih baik Bibi minta cerai. Batinku miris mendengar cerita wanita itu. Walau pun kadang aku ingin tertawa karena dia selalu memperbuas kalimat yang diucapkannya.

Bibi pernah merasa, kok Allah itu nggak adil sama Bibi. Bibi merasa Allah itu selalu menyiksa Bibi. Pernah satu kali, Bibi merasa ingin mengakhiri hidup. Tapi, Bibi juga nggak yakin, apakah dengan bunuh diri penderitaan ini bisa berakhir.

Wanita itu terus bercerita, tak kulihat mimik kesedihan di wajahnya. Malah, aku sendiri yang jengah mendengar ceritanya. Aku pun berusaha mengalihkan topik pembicaraan.

Bibi mau pergi ke mana? tanyaku.

Bibi mau pergi ke pesantren di Tasik, nengok anak pertama Bibi. Sebulan sekali biasanya dia pulang. Tapi, sudah tiga bulan ini dia tidak pulang-pulang. Bibi khawatir dia sakit.

Tiba-tiba anak dalam pangkuannya menagis. Dengan sigap wanita tersebut menyusui anaknya sambil menatap penuh sayang, dia pun berkata,  Ah, inilah si bungsu, buah perkawinan keempat Bibi.

Jadi, siapakah pria ke empat yang beruntung itu, Bi? Aku mencoba mencairkan suasana dengan sedikit bercanda.

Si Belahan Jiwa! katanya singkat.

Siapa, Bi? Tanyaku penasaran.

Siapa lagi kalau bukan mantan suami pertama Bibi. Status Bibi sekarang ini adalah istri kedua. Bibi mau menikah kembali dengan dia karena Bibi pikir, dia itu memang belahan jiwa Bibi. Coba, Neng bayangin, Bibi itu sudah berusaha mencari yang terbaik, tapi, takdir terus mempertemukan Bibi sama dia. Lalu bagaimana perasaan Bibi sekarang? Kataku sambil menyodorkan sebotol minuman dingin yang sengaja aku bawa dari rumah. Wanita itu segera meminum sambil tak henti-hentinya bercerita.

Kalau ditanya perasaan, jujur saja, Bibi jauh lebih bahagia sekarang. Sebelumnya Bibi selalu hidup dalam ketakutan. Anak Bibi pun tidak sebaik sekarang. Dulu, ia selalu melawan orangtua, tawuran dan mabuk-mabukan. Maklumlah, Neng, salah gaul. Tapi, setelah masuk pesantren, kelakuannya berubah 180 derajat. Dulu, Bibi punya penghasilan tetap sebagai penjahit di perusahaan konveksi. Tapi, Bibi selalu kekurangan, hutang pun di sana-sini. Puncaknya saat Bibi mengandung si bungsu, semua keluarga menyalahkan Bibi. Mereka terus mengatakan, Dengan kondisimu itu kamu sanggup member makan anak ini? Kali ini dia berbicara dengan mata yang menerawang.

Saat itu, Bibi cuma percaya dengan janji Allah kalau Allah itu telah menjamin rejeki setiap manusia, termasuk anak Bibi.

Dengan berbekal keyakinan itu, Bibi pun pulang ke desa, ke gubug peninggalan orangtua. Bibi pun berjualan pisang goreng dan gado-gado. Alhamdulillah& , tak pernah sekali pun kami kelaparan. Janji Allah memang terbukti. Sekarang, Bibi sangat bersyukur sama Allah. Suami Bibi tak pernah lupa berkirim uang kalau dia punya rejeki. Sebulan sekali dia menengok kami. Kali ini ia bercerita dengan mata berkaca-kaca.

Aku kagum sekali pada wanita ini. Aku yakin, pasti Allah sayang padanya. Seketika terlintas rasa malu yang luar biasa di hatiku. Aku malu dengan jilbab yang kupakai juga dengan ilmu yang kupunya. Tiba-tiba terlintas bayangan Mama, Papa, saudara-saudaraku dan rumahku. Aku sungguh malu. Bagaimana bisa aku selalu membaca buku-buku islami tapi aku tidak tahu cara bersyukur? Mana keyakinan itu? Aku malah sibuk mengkhawatirkan siapa belahan jiwaku nanti serta bagaimana prospek kerja di masa depan.

Saat keluargaku terus menghujaniku dengan pertanyaan kapan aku akan menikah karena mereka ingin segera menimang cucu, bukannya memberi penjelasan, aku malah berlari. Itu membuatku melupakan jutaan nikmat Allah.

Aku benar-benar malu. Jika dibandingkan kehidupan wanita ini, segala yang aku anggap penderitaan ternyata tidak ada apa-apanya. Lamunanku berantakan saat wanita tersebut bertanya, Ngomong-ngomong, Neng mau terus ke mana? Dengan keyakinan yang mantap, aku pun menjawab, Tadinya ada sesuatu yang mau saya cari di Yogya, tapi rasanya saya harus pulang sekarang. Di sini saya telah menemukan semuanya. Terima kasih banyak, Bi! Setelah kuselipkan selembar uang dua puluh ribuan, aku pun bergegas berbalik arah, ke arah yang seharusnya. Belahan jiwa ternyata bukanlah segala-galanya. Bukan satu-satunya sumber kebahagiaan. Dari kejauhan, aku melihat wanita itu kebingungan.

Penulis: Sri Mulyati 





0 komentar: