Senin, 23 April 2012

CORAK PEMIKIRAN POLITIK DALAM DUNIA ISLAM



ZAMAN KLASIK, PERTENGAHAN  dan  KONTEMPORER[1]

1.      Pendahuluan
Setiap zaman memiliki sejarah yang berbeda, pemikiran-pemikiran yang berbeda dan tokoh-tokoh yang berbeda jua. Islam yang diklaim sebagai agama yang komprehensif, baik dari kalangan intern maupun kalangan ekstern- bahkan orientalis sekalipun juga mempunyai cerita tersendiri dalam sejarah ke-tata negaraannya. Bermula sejak Nabi telah memilki konsep dasar dalam bernegara , terbukti dengan adanya penyebutan dalam sejarah yaitu adanya negara Madinah, yang dianggap merupakan praktek bernegara pertama yang dilakukan Nabi, dengan konsep diantaranya, Hak Azazi Manusia, serta penanaman sikap tenggang rasa antar sesama umat beragama-diakatakan demikian, karena pada saat itu umat Yahudi juga berdampingan dengan umat Islam di Madinah, dalam Al-Quran sendiri tidak ditemukan adanya petunjuk eksplisit pada ayat-ayatnya mengenai tata cara bernegara dalam Islam, melainkan hanya melalui penyebutan prinsip-prinsip dasar dalam kehidupan sehari-hari.
Pada fase setelah wafat Nabi, dunia peraturan politik dan tata negara mengalami berbagai perubahan, seperti pada masa Khalifah al-‘Arba’ah, system negara memakai pola Khilafah, namun setelah terjadinya pengkudetaan di masa Ali, sistem kenegaraan berubah menjadi monarki atau kerajaan yang dimasa-masa selanjutnya kekuasaan selalu diserahkan kepada putra mahkota, dimulai dengan pemegangan tampuk kekuasaan Muawiyah bin Abi Sufyan dengan putra mahkotanya Yazid.
Ada ungkapan setiap zaman pasti memiliki pemikir yang disebut sebagai anak zaman, dan dari tiap pemikir tersebut pasti akan menghasilkan berbagai konsepsi yang berbeda-beda, bukan tidak mungkin kita yang ada pada saat ini, hanya suatu saat nanti akan menjadi tokoh terkemuka dalam dunia perpolitikan Islam, seperti halnya Al-Farabi dengan konsepnya yang sama dengan “Negara Sempurna” Plato atau Muhammad Abduh yang menganut pemikiran sekularistik, tapi jelas yang diharapkan bukan pemikiran-pemikiran yang sifatnya mem-plagiat pendapat orang lain ataupun yang keluar dari koridor Islam, melainkan bentuk pemikiran “Otentik Islamiyyah” yang mampu menjawab segala permasalahan yang terjadi pada masyarakat kita. Jadi, bersiaplah!


2.      FlashBack Tiga Zaman
Sejarah mencatat bahwa dunia politik bukan hanya dimulai sejak turunnya Islam, namun jauh sebelum itu. Dalam kisah Nabi-nabi terdahulu[2], manusia sudah mengenal system pemerintahan, seperti zaman Nabi Ibrahim dengan rajanya “Namrudz” yang terkenal lalim.
Empat belas abad sudah Islam bertahan sebagai agama yang dipegang di daerah Jazirah Arab, tentunya bukan merupakan waktu yang singkat, dan seiring waktu yang terus berputar, segala permasalahan yang belum terjamah oleh sejarah-sejarah Islam sebelumnya, menjadi sebuah problematika dalam kehidupan, dan terdesak untuk dilegitimasikan oleh Islam, maka muncul para pemikir yang handal serta menggagaskan konsep pemikirannya dan sampailah kepada kita buah tangan dari mereka yang siap dikaji ulang serta siap untuk diperbaharui oleh kita melihat dari situasi dan kondisi kita saat ini.
  1. Era Klasik dan Pertengahan
Dimulai dengan masa Khulafaurrasyidin- di masa Nabi konsep bernegara dikenal dengan Negara Madinah, yang akan diulas pada pembahasan selanjutnya- corak praktek dalam bernegara belum memiliki teori-teori yang utuh, maka dari itu mekanisme penggantian Khalifah pun berubah-ubah dari masa Abu Bakar kepada Umar dengan cara wasiat, Umar kepada Usman dengan tim formatur, Usman kepada Ali dengan cara aklamasi. Setelah itu, akhirnya kekuasaan Islam diambil alih oleh Mu’awiyah dan mengawali sistem monarki dalam pemerintahan.
Pada Khalifah Abbasiyah lah dimana ilmu pengetahuan berkembang pesat dan kebebasan berfikir yang diberikan pemerintah, para ahli ilmu mulai bermunculan, termasuk para pemikir politik, tokoh-tokoh yang terkenal sebagaimana disebutkan Suyuthi Pulungan yaitu[3] Al-Baqillani (w. 1013 M), Al-Baghdadi (w. 1037 M), Ibn Abi Rabi (Hidup pada masa Khalifah Al-Mu’tashim 833-842 M), Al-Mawardi (974-1058 M), Al-Juwaini (1028-1087 M), Al-Ghazali (1058-1111 M), Ibn Taimiyah (1262-1328 M) dan Ibnu Khaldun (1332-1406 M) yang terakhir disebutkan hidup pada abad pertengahan.
Menurut Azyumardi Azra dalam bukunya[4] Al-Mawardi memberikan gambaran ideal mengenai kekhalifahan. Namun diklaim bahwa para pemikir ini sama sekali tidak membuat sistem politik atau garis-garis besar aturan pemerintahan yang komprehensif, melainkan sekedar membuat gambaran ideal moral bagi para penguasa dan kekuasaannya. Diawali dengan pemikiran mengenai proses terbentuknya negara, para ahli mendominasi pemikiran dari alam pikiran Yunani, bahwa manusia adalah makhluk sosial, saling membutuhkan satu sama lain guna memenuhi hajat dalam kehidupan. Ditambah dengan pernyataan-pernyataan lanjutan yang kelihatannya terjadi satu sama lain antara satu tokoh dengan tokoh yang lain, namun dalam pola piker para ahli juga diwarnai dengan pengaruh-pengaruh dari aqidah Islam, namun dalam pola pikir para ahli juga diwarnai dengan pengaruh-pengaruh dari aqidah Islam, seperti Al-Mawardi yang menganggap proses berdirinya negara bukan hanya didasari sekadar untuk membentuk regenarasi manusia pada satu komunitas. Namun juga untuk mengingatkan manusia pada Allah, bahwa manusia diciptakan sebagai makhluk yang lemah, karenanya saling membutuhkan. Menurut Al-Mawardi[5], manusia adalah makhluk yang paling memerlukan bantuan pihak lain dibandingkan dengan makhluk-makhluk lain. Oleh karena banyak binatang misalnya yang sanggup hidup sendiri dan mandii lepas dari binatang sejenisnya, sedangkan manusia selalu memerlukan manusia lain. Dan ketergantungannya satu sama lain merupakan suatu yang tetap dan langgeng.
Kemudian dengan criteria memilih dan mengangkat pemimpin, para tokoh juga lebih mengedepankan pemikiran yang Islam kental. Dengan memberikan berbagai kriteria yang hampir-hampir menyerupai manusia yang sempurna, seperti menurut Al-Farabi yang menetapkan bahwa seorang pemimpin harus memiliki 12 kualitas luhur[6]: lengkap anggota badannya, baik daya pemahamannya, tinggi itelektualitasnya, pandai mengemukakan pendapatnya, dll. Bila kriteria yang ada dua belas itu dimiliki semuanya oleh seseorang, maka ia berhak untuk ditunjuk kepala negara apabila ada lebih dari satu orang maka yang lain menunggu giliran untuk menjadi pengganti. Namun apabila dalam satu wilayah tidak ada yang memiliki kriteria tersebut secara sempurna maka pemimpin negara dipikul secara kolektif.
Untuk lebih mudah melihat beberapa perbedaan atau persamaan apa saja yang terdapat pada pemikiran pakar politik periode klasik dan pertengahan, dapat dilihat melalui kolom berikut:

Pemikiran Tokoh
Eksistensi Negara
Eksistensi Kepala Negara
Bentuk Pemerintahan
Lain-lain
Ibn Rabi
Manusia, makhluk sosial Allah menciptakan manusia dengan watak yang cenderung berkumpul dan bermasyarakat.
Otoritas Raja adalah mandate dari Tuhan, didasari dari nash Al-Quran.
Monarki
Pemikirannya berpenagruh pada pemerintahan Khalifah Mu’tashim.
Al-Farabi
Memenuhi hajat hidup manusia, untuk dunia dan akhirat.
Seorang kepala negara haruslah dari golongan kelas atas.
-
Konsepsinya yang Utopian.
Al-Mawardi
Kebutuhan untuk meneruskan roda-roda kehidupan, adapun mekanismenya manusia menggunakan akalnya.
Seorang kepala negara mempunyai kredibilitas dalam bernegara dan agama.
-
Teori kontrak sosial.
Al-Ghazali
Faktor regenarasi.
Kepala negara adalah bayang-bayang Tuhan di Bumi jabatan kepala negara adalah sesuatu yang suci/Muqaddas.
Teokrasi.
Agama dan raja adalah ibarat dua anak kembar, agama adalah fondasi dan raja adalah penjaganya.
Ibn Taimiyah
Selain karena faktor sosial, juga karena manusia mengemban amanat dari Tuhan.
Mempunyai kepala negara adalah satu hal yang sangat urgen.
-
Pemikirannya yang puritan, zahid dan penekanan pada penegakan keadilan.
Ibnu Khaldun
Kodrat manusia saling membutuhkan satu sama lain.
Keefektifan dalam pelaksanaan syari’at Islam.
Khilafah atau Imamah
Teori Ashabiyah

Melihat dari penjabaran yang telah disebutkan diatas mengenai beberapa pemikiran-pemikiran para pakar, dalam literature dikatakan, adanya sebuah realita bahwa tiap tokoh tersebut tidak memberikan penjabaran yang eksplisit mengenai mekanisme pengangkatan dan pemberentian seorang kepala negara. Dan menjadi sebuah pertanyaan, adakah pemikir Islam yang nantinya berani menggagas secara gambling mengenai mekanisme baku bernegara dalam Islam, sehingga pengharapan dengan adanya penyeragamana umat Islam dalam bermasyarakat terwujud.
Tidak ada pengklasifikasian yang jelas mengenai karakteristik pemikiran pada zaman ini, namun bisa ditarik pernyataan bahwa pendapat para tokoh tersebut,[7]
Pertama, cenderung diwarnai oleh pemikiran dari alam Yunani, terutama konsep Plato, meskipun kadar pengaruh itu tidak sama antara satu pemikir dengan pemikir yang lain.
Kedua, selain Al-Farabi, mereka mendasarkan pikirannya atas penerimaan terhadap sistem kekuasaan yang ada pada zaman mereka masing-masing. Bahkan diantara mereka ada yang dalam penyajian gagasannya bertitik tolak pada pemberian legitimasi/ keabsahan kepada sistem pemerintahan yang ada, atau mempertahankan status quo bagi kepentingan penguasa, dan baru kemudian menawarkan saran-saran perbaikan dan reformasi.

B.     Era Kontemporer
Setelah sekian lama dunia Islam tenggelam tertutp oleh peradaban barat (Pasca takluknya Dinasti Abbasiyah, selaku pusat pemerintahan Islam, ketangan bangsa Mongol) kemudian tersadarlah para leader Islam (sejak abad XVIII M). Bahwa pada saat itu Islam sudah tertinggal jauh dari peradaban lainnya. Dan bangkitlah mereka dengan berbagai upaya untuk menghidupkan kembali dunia pemikiran Islam. Berbeda dengan dua masa sebelumnya, para tokoh dimasa ini tidak mengemukakan kembali dasar-dasar berdirinya negara, dll. Melainkan lebih terfokus pada praktek berpolitik praktis, seperti Al-Maududi yang mengembangkan konsep Jihad (holy war) guna pengembalian keeksistensian Islam. Sekalipun konsep jihad ini mempunyai pandangan yang negative dari barat kepada pemeluknya.
Cita-cita yang luhur tersebut ditandai dengan munculnya para tokoh dan beberapa organisasi beserta pemikiran-pemikiran yang mengutamakan revivalisasi ajaran Islam, diantara tokoh-tokoh yang terkenal adalah Sayid Jamal Al-Din Al-Afghani (1838-1897 M), Muhammad Abduh (1849-1905 M), Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935 M), Ali Abd Al-Raziq (1888-1966 M), Hasan Al-Banna (1906-1949 M), Sayyid Quthb (1906-1966 M). Dua nama yang disebut terakhir adalah termasuk aktifis dari organisasi Al-Ikhwan Al-Muslimin, Abu Al-A’la Al-Maududi (1903-1979 M). Para tokoh dalam upaya revivalisasi ini terbagi kepada tiga corak; Sekuleristik, Moderat, Integralistik.
Diantara yang mewakili dasar pemikiran sekuleristik sebenarnya hal ini jalan sekuleristik merupakan bukan “barang” baru lagi dalam Islam, mengingat pada pembahasan sebelumnya ada pemikiran Ibnu Taimiyah (dikutip dari buku Munawir Syadzali) yang menyetujui pendapat, bahwa seorang kepala negara yang adil walaupun tidak beragama Islam itu lebih baik, daripada kepala negara muslim namun berbuat zalim adalah Ali Abd Al-Raziq. Beliau mengemukakan pada bagian kedua kesimpulan dibukunya[8] yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad itu hanya seorang utusan Tuhan dan tidak diperintah untuk mendirikan sebuah negara. Jelas, tergambar pada pernyataan Raziq diatas, Islam tidak mencampuri urusan duniawi. Raziq mengambil dalil dari pernyataan dia yaitu hadits Nabi yang berbunyi, “Kalian lebih mengetahui urusan dunia Kalian”. Dalam pemikirannya pun Raziq banyak dipengaruhi dari sang guru, Muhammad Abduh. Yang akhirnya dia kembangkan sendiri menjadi pemikiran sekuler, selain itu melihat dari basic pendidikan dia pernah mengenyam pendidikan barat.
Pada perkembangannya pemikiran Raziq sangat ditentang oleh orang-orang dari golongan Islamic Oriented, yang mulanya  sangat bersemangat untuk menanamkan kembali sendi-sendi Islam pada setiap elemen kehidupan, namun ketika melihat dari pengaruh Raziq mereka menjadi takut kalau-kalau pemikiran tersebut, memiliki pengaruh yang sangat luas nantinya.
Kemudian, pada golongan Moderat yang menganggap bahwa Islam tidak sepenuhnya mencampuri urusan ketatanegaraan ialah Dr. Muhammad Husin Haikal dan Muhammad Abduh[9]. Meskipun Islam tidak memberikan bentuk baku dalam prototype bernegara, namun memberikan asas-asas yang nantinya dipergunakan dalam bernegara. Oleh karena itu mereka memberikan keleluasaan umat Islam untuk melihat pola bernegara yang dipakai oleh Barat, tentunya dengan pemikiran yang masih satu rel dengan Islam.
Yang ketiga, tipologi yang dipakai adalah tipe integralistik, dimana Islam dan agama menyatu. Golongan ini merujuk kepada pemikiran-pemikiran klasik, juga pola pemerintahan yang dianjurkan menurut golongan ini adalah tipe pemerintahan yang dicontohkan oleh Rasulullah (negara-kota Madinah), dan juga pola pemerintahan pada masa Khulafaurrasyidin, mereka tidak menghendaki umat Islam meniru pada pola pemeritahan yang dipakai oleh Barat. Tokohnya adalah Abu Al-A’la Al-Maududi, Sayyid Quthb, dan ikhwannya, Muhammad Rasyid Ridha. Terdapat kegelisahan pemakalah, apakah pola pemerintahan seperti ini masih bisa diterapkan, mengingat alur kehidupan pada saat ini yang tergolong majemuk. Dan menjunjung tinggi nilai-nilai moralitas. Dalam pola ini Maududi mencetuskan gagasan rakyat mempunyai otoritas dalam hal pengambilan kebijakan pada pemerintahan. Namun dibatasi oleh ketetapan yang telah dicantumkan oleh nash, meminjam dari istilah Munawwir Syadzali, tipe negara ini disebut Teodemokrasi.
Pemakalah pun lebih condong kepada pemikiran kedua yang mengedepankan keseimbangan antara segi agama dan kemashlahatan.

C. Letak Distings Corak Dalam Tiga Zaman
Tidak ada dalam literatur yang kami ambil, menyebutkan secara spesifik corak pemerintahan dari tiap zaman, namun sebagaimana dengan pembahasan yang telah kami uraikan diatas, kami menyimpulkan beberapa perbedaan yang tampak jelas:
  1. Pemikiran Periode Klasik
a.       Kebanyakan para ahli yang menjelaskan tentang asal-usul berdirinya sebuah negara, artinya hal-hal yang bersifat esensi sekali dalam bersosialisasi masih menjadi topik pembahasan utama.
b.      Pemikiran para ahli yang memiliki kecenderungan terpengaruh oleh ajaran-ajaran dari alam Yunani, sebagaimana yang telah disebutkan diatas. Sebagai contoh, pendapat Plato yang mengatakan bahwa manusia adalah makhluk sosial.
c.       Pada umumnya para ahli di periode ini, ide pemikirannya berpengaruh pada pemerintahan yang berkuasa dimana mereka hidup.
d.      Corak pemikiran integralistik Agama dan politik menyatulah yang mewarnai pemikiran politik pada masa ini, maka tidak heran ada tokoh yang mengatakan, “Raja adalah baying-bayang Tuhan di muka bumi” (Al-Ghazali).

  1. Pemikiran Periode Pertengahan
a.       Tidak banyak tokoh yang muncul pada masa ini, hanya Ibn Taimiyah dan Ibn Khaldun lah yang bisa dikatakan sebagai perwakilan dari tokoh pertengahan ini, itupun jika kita melihat pada pembagian periode yang dirujuk dari Harun Nasution. Adapun pemikiran pada dua tokoh yang mewakili zaman ini, tidak jauh berbeda dengan tokoh-tokoh zaman klasik. Mengingat dua tokoh yang dianggap sebagai wakil dari zaman pertengahan ini, masih sama-sama hidup pada kondisi masyarakat yang sama dengan para tokoh kalsik. Mungkin kalaupun harus ada perbedaan corak pada zaman ini kita harus melihat pada sejarah Islam setelah runtuhnya Dinasti Abbasiyah. Yang mana pada saat itu Islam terpecah menjadi kerajaan-kerajaan kecil. Namun sayangnya pada masa ini Islam mengalami saat-saat kembali ke titik nadirnya. Ketika Barat bangkit dengan reformasi gerjanya sementara dunia Islam sedang sibuk mengurusi kekuasaan masing-masing dan dunia pengetahuan mengalami kemunduran. Sehingga tidak muncul para tokoh yang membuat ide brilian yang bersifat progresif.
  1. Pemikiran Periode Kontemporer
a.       Para tokoh tidak lagi terfokus pada tema bagaimana asal mula negara ini terjadi.
b.      Teori politik praktislah yang dimunculkan pada masa ini, buktinya dengan munculnya beberapa ide pemikiran pada masa ini, diantaranya: Integralistik, Moderat, dan Sekuleristik.
c.       Pemikiran para tokoh pun disinyalir terpengaruh dengan ide-ide yang dicetuskan pemikir barat (Prancis, Jerman, dll) seperti pada pola pikir yang menganut paham sekuleristik.
d.      Mengenai bentuk bernegara yang ideal para ahli tidak menentukan apakah harus Khilafah, Imamah atau Monarki. Akan tetapi lebih mengutamakan bagaiamana syariat Islam itu bisa dilaksanakan sebagaimana mestinya di wilayah tersebut.

3.      Penutup
Orang Barat lebih melihat ke bumi, orang Timur lebih melihat ke langit
Bunyi ungkapan yang dikutip dari Sayid Muhammad Baqr Ash-Shadr, ini merupakan justifikasi yang memang terjadi pada realita kehidupan saat ini. Orang barat yang tergila-gila dengan konsep imperialisnya, yang menghendaki pemenuhan kepuasan kepada materi sementara orang Islam berpolitik di muka bumi sebagai Khalifah sebagaimana titah dari langit, sehingga bertendensi religius.
Mungkin ini hanya pengkalaiman sepihak dari kita, namun pertanyaan tadi memaksa kita untuk tetap menjaga kemurnian dari tujuan berpolitik umat Islam dan menghindari dari upaya Islam sebagai bentuk pe-legitimasi-an dalam berpolitik, padahal banyak terdapat kebusukan-kebusukan yang dilakukan para oknum birokrat.
Layaknya nikmat allah yang tak dapat dihitung, ilmu pengetahuan juga seperti itu. Masih banyak mungkin bentuk-bentuk pemikiran yang belum sempat diangkat oleh manusia. Oleh karena itu, kita selaku generasi Islam jangan hanya diam, bersiaplah untuk menjawab segala permasalahan dimasa nanti. Dan mencatatkan kita pada tinta emas kesejatrahan Islam.


DAFTAR PUSTAKA
Al-Jabiri, Muhammad Abid. 2001. Agama, Negara: Dalam Penerapan Syariah. Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru.

Al-Usairy, Ahmad. 2003. Sejarah Islam: Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX. Jakarta: Akbar Media Eka Sarana.

Ash-Shadr, Sayid Muhammad Baqir. 2001. Sistem Politik Islam: Sebuah Pengantar. Jakarta: Lentera.

Azra, Azyumardi, Dr. 1996. Pergolakan Politik Islam: Dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga Post-Modernisme. Jakarta: Paramadina.

Nasution, Harun, Prof. Dr. 1974. Islam: Ditinjau Dari Berbagai Aspek, Jilid I. Jakarta: UI Press.

Pulungan, J. Suyuthi. Dr. 1993. Fiqh Siyasah: Ajaran Sejarah Dan Pemikiran. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Syadzali, Munawir. H. M.A. 1990. Islam Dan Tata Negara, Cet V. Jakarta: UI Press.

Syarif, Mujar Ibnu. Drs. M.Ag. 2003. Hak-Hak Politik Minoritas Non Muslim Dalam Komunitas Islam: Tinjauan Dari Prespektif Politik Islam. Bandung: Angkasa.









[1]  Pembagian dari tiap-tiap zaman, pemakalah merujuk pada Harun Nasution, yang menetapkan periode klasik: 650 – 1250 M, pertengahan: 1250 – 1800 M, kontemporer: + 1800 M. Lih. Harun Nasution, Islam: Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, (Jakarta: UI Press, 1974), h. 50
[2] Ahmad al-Usairy, Sejarah Islam: Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX ,(Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2003) h. 26. Nabi Ibrahim hidup antara tahun 1700-2000 SM. Pada peradaban orang-orang Sumeria.
[3] J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1993), h. 216-217. Pada buku ini dalam catatan kaki terdapat juga nama lengkap dari masing-masing tokoh.
[4] Azyurmadi Azra, Pergolakan Plitik Islam: Dari Fundementalisme, Modernisme dan Post Modernisme (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 4
[5] Munawir Syadzali, Islam dan Tata Negara, (Jakarta: IU Press, 1990) Cet-V. h. 60
[6] Lebih lengkap lih. Munawir Syadzali, Ibid, h. 56.
[7] Ibid, 42
[8] Ibid, h. 142-143. Untuk mengetahui teks yang aslinya dapat melihat langsung dari buku karangan Raziq yaitu Al-Islam Wa Usul Al-Hukm.
[9] Ibid. h. 208

0 komentar: