Pertanyaan ini adalah pertanyaan klasik yang sudah ada sejak jaman dahulu kala. Sebagai manusia yang berakal tentunya akan menempuh cara-cara untuk menemukan dan menjawab pertanyaan itu. Namun terkadang seorang muslim dan mu’min yang sudah jelas apa panduan, dan bagaimana cara-cara syar’i untuk menemukan dan mengenal Tuhan-nya itu terjebak dengan cara-cara tidak syar’i dan tidak benar untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan diatas. Salah satu diantaranya adalah dengan berfilsafat. Mereka berdalih akan menemukan Tuhan dengan cara berfikir rasional dan hanya menggunakan kebenaran sesuai dengan akal saja. Atau dengan kata lain, akal lebih didahulukan atas wahyu.

Mengenai Hadits Agama Adalah Akal
Mereka berpendapat bahwa dengan berfilsafat akan mendapatkan sebuah jawaban yang memuaskan. Tentunya hal ini adalah sesuatu yang keliru dan menyimpang. Kadang, untuk menambah keyakinan mereka dalam berfilsafat, mereka berdalil dengan ungkapan:

الدين هو العقل ومن لا دين له لاعقل له
“Agama adalah akal, siapa yang tidak memiliki agama, maka dia tidak berakal.”
Seorang Muhadits (Ahli Hadits) besar, syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahumullah, mengatakan bahwa ungkapan itu kualitasnya bathil [2]. Sebagai muslim tentunya harus menjauhi apa-apa yang bukan menjadi rujukan yang benar dalam beragama, termasuk ungkapan tadi.

Komentar Syaikh Albani Mengenai Hadits Diatas: [3]

Alasan kelemahan hadits ini (diatas) adalah pada salah seorang periwayatnya yang bernama Bisyr karena dia seorang periwayat yang Majhul (anonim) sebagaimana dikatakan oleh Al Azdy dan disetujui oleh Imam Adz Dzahaby di dalam kitabnya Mizan Al I’tidal Fi Naqd Ar Rijal dan Imam Ibnu Hajar Al Asqalany di dalam kitabnya Lisan Al Mizan.


Semua hadits-hadits yang berkenaan dengan keutamaan akal tidak ada satupun yang shahih, sehingga berkisar antara kualitas Dha’if (Lemah) dan Maudhu’ (Palsu). Hadits-hadits seperti ini banyak terkoleksi di dalam buku “Al ‘Aql wa Fadhluhu” karya Abu Bakar bin Abi Ad Dun-ya atau yang lebih dikenal dengan Ibn Abi Ad Dun-ya bahkan beliau mengkritik diamnya pentashih buku tersebut, Syaikh Muhammad Zahid Al Kautsary atas riwayat-riwayat yang kualitasnya demikian.

Al Qur’an Sebagai Petunjuk Keberadaan Allah ta’ala

Oleh karena itu, hadits diatas tidak bisa dijadikan hujjah mengenai fungsi akal yang berada diatas wahyu, atau mendahulukan kepuasan akal atas petunjuk wahyu. Dan cukuplah Al Quran, As Sunnah dan pemahaman para sahabat menjadi panduan dalam menemukan Tuhan dan mengetahui dimana keberadaan-Nya, dan akal haruslah tunduk dibawah petunjuk wahyu yang ma’shum, karena akal setiap orang berbeda-beda dan tidak ma’shum.

Didalam Al Quran, Allah ta’ala berfirman bahwa Al Quran merupakan penjelas segala sesuatu, petunjuk, rahmat, dan kabar gembira.
Allah ta’ala berfirman:
“Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (Q.S. An Nahl [19]: 89)
Allah ta’ala berfirman:
“Inilah ayat-ayat Al Quran yang menerangkan.” (Q.S. Asy Syu’ara [26]: 2)
Allah ta’ala berfirman:
“Thaa Siin, (Surat) ini adalah ayat-ayat Al Quran, dan (ayat-ayat) Kitab yang menjelaskan.” (Q.S. An Naml [27]: 1)
Dalil Al Quran: Keberadaan Allah ta’ala Ada Diatas Langit (‘Arsy)
Al Quran merupakan petunjuk yang jelas dalam segala sesuatu. Sebagai muslim, kita tidak perlu mencari-cari cara dan petunjuk lain mengenai keberadaan Allah, kecuali hanya merujuk kepada Al Quran, As Sunnah, dan pemahaman para sahabat. Dalam beberapa ayat misalnya, Al Quran menjelaskan mengenai keberadaan Allah ta’ala:
Allah ta’ala berfirman:
“Dia bersemayam di atas ‘Arsy.” (Q.S. Al ‘Araf [7]: 54
Allah ta’ala berfirman:
“Dia bersemayam di atas ‘Arsy untuk mengatur segala urusan.” (Q.S. Yunus [10]: 3)
Allah ta’ala berfirman:
“Dia bersemayam di atas ‘Arsy, dan menundukkan matahari dan bulan.” (Q.S. Ar Ra’d [13]: 2)
Allah ta’ala berfirman:
“Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang bersemayam di atas ‘Arsy.” (Q.S. Thahaa [20]: 5)
Allah ta’ala berfirman:
“Yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy.” (Q.S. Al Furqaan [25]: 59)
Allah ta’ala berfirman:
“Allah lah yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy.” (Q.S. As Sajdaah [32]: 4)
Allah ta’ala berfirman:
“Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa: Kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy.” (Q.S. Al Hadiid [57]: 4)
Al Quran telah menjelaskan mengenai keberadaan Allah ta’ala, yakni bersemayam diatas ‘Arsy. Hal itu merupakan sesuatu yang wajib kita imani selaku muslim. Jika mengingkari keberadaan Allah ta’ala ada diatas ‘Arsy, maka dia telah menjadi kafir. Sebagaimana perkataan salah satu imam madzhab, yakni Imam Abu Hanifah -rahimahullah-.
Imam Abu Hanifah -rahimahumullah- berkata:
“Siapa yang berkata: ‘saya tidak tahu Tuhan-ku itu di mana, di langit atau di bumi’, maka orang tersebut telah menjadi kafir. Demikian pula orang yang berkata: ‘Tuhan-ku itu di atas ‘Arsy. Tetapi saya tidak tahu ‘Arsy itu di langit atau di bumi.” [4]
Pernyataan Serupa yang Seperti Ini Juga Dinukil dari: [5]
1. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Kitab Majmu’ Al Fatawa V/48.
2. Imam Ibnu Al Qayyim dalam Kitab Ijtima Al Juyusy Al Islamiyah, hlm 139.
3. Imam Adz Dzahabi dalam Kitab Al ‘Uluw, hlm 101-102.
4. Imam Ibnu Qudamah dalam Kitab Al ‘Uluw, hlm 116.
5. Imam Ibnu Abi Al Izz dalam Syarh Al Aqidah Ath Thahawiyah, hlm 301.

Para Imam Ahlus Sunnah telah sepakat mengenai dimana Allah itu berada. Maka kebimbangan akan keberadaan Allah Rabb semesta alam, merupakan sebuah kesesatan yang nyata. Dan bisa menyebabkan seorang muslim keluar dari Islam.

Dalil As Sunnah: Allah ta’ala Ada di Langit (‘Arsy)
Telah jelaslah bagi kita bahwa Al Quran itu merupakan petunjuk yang menerangkan secara jelas dimana Tuhan itu berada. Kita tidak perlu mencari-cari cara untuk menggapai keimanan dengan jalan yang rancu, yakni melalui filsafat. Selain dari Al Quran, Allah ta’ala melalui hamba dan utusan-Nya, yakni nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa salam menjelaskan Al Quran itu melalui As Sunnah.

Dan Selayaknya dalam urusan aqidah yang agung ini kita membaca hadits yang berasal dari dari sahabat Mu’awiyah bin Hakam As Sulami, ia berkata:
“Aku punya seorang budak yang biasa menggembalakan kambingku ke arah Uhud dan sekitarnya, pada suatu hari aku mengontrolnya, tiba-tiba seekor serigala telah memangsa salah satu darinya -sedang aku ini seorang laki-laki keturunan Adam yang juga sama merasakan kesedihan- maka akupun amat menyayangkannya hingga kemudian akupun menamparnya (menampar budaknya), lalu aku mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kuceritakan kejadian itu padanya. Beliau membesarkan hal itu padaku, aku pun bertanya, “Wahai Rasulullah apakah aku harus memerdekakannya?” Beliau menjawab, “Panggil dia kemari!” Aku segera memanggilnya, lalu beliau bertanya padanya, “Dimana Allah?” Dia (budak itu, pen) menjawab, “Di langit.” “Siapa aku?” tanya Rasul. “Engkau Rasulullah (utusan Allah)” ujarnya. Kemudian Rasulullah berkata padaku, “Merdekakan dia, sesunguhnya dia seorang mu`min.” [6]
Dari hadits yang agung diatas dapat kita simpulkan bahwa iman atau kufur seorang muslim itu dari keyakinan bahwa Allah ta’ala itu berada di langit, yakni diatas ‘Arsy. Hal ini semakna dengan ayat Al Quran yang menerangkan bahwa Allah ta’ala berada di langit.
Allah ta’ala berfirman:
“Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang (berkuasa) di langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang?” (Q.S. Al Mulk [67]: 16)
Penjelasan Syaikh Albani Mengenai Ayat Diatas: [7]
Karena “فى” disini (pada ayat diatas, pen) maknanya adalah “على” (di atas), dan dalil tentang hal itu banyak, bahkan banyak sekali. Di antaranya adalah hadits terdahulu yang banyak disebut oleh manusia, dan hadits itu dengan seluruh jalannya -Alhamdulillah- shahih. Dan makna sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Sayangilah yang di bumi.”
Bukan berarti serangga dan ulat-ulat yang ada di dalam bumi! Tetapi yang dimaksud adalah yang berada di atas bumi, seperti manusia dan hewan. Dan hal itu sesuai dengan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“… Maka yang di langit akan menyayangimu.”
Maksudnya: yang di atas langit. Orang-orang yang telah menerima da’wah yang haq (benar) ini mesti berada di atas kejelasan tentang perincian seperti tadi. Dan contoh lain yang mendekati hadits diatas, hadits Al Jariyah yang dia itu adalah pengembala kambing, hadits ini masyhur, saya akan menyebutkannya sebagai penguat. Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya: “Dimana Allah?” Dia menjawab: “Di langit”. [8]

Syubhat: Perkataan Allah ta’ala Ada Dimana-mana

Seringkali di kalangan kaum muslimin saat ini tersebar ucapan bahwa Allah ta’ala ada dimana-mana. Padahal ucapan itu adalah ucapan yang sangat bathil dan menyimpang. Ucapan itu sama dengan satu firqoh menyimpang dan sesat, yakni firqoh Jahmiyah [9]. Firqoh ini menyatakan bahwa Allah ta’ala ada dimana-mana, jika demikian adanya maka hal tersebut justru melecehkan Allah ta’ala sendiri. Dan secara tidak langsung dia menyatakan bahwa Allah ta’ala ada di kamar mandi, ada di WC, ada dalam tubuh binatang, ada dalam (maaf) kotoran, dan lain sebagainya. Maka hal ini tidak boleh sama sekali dengan mengatakan Allah ta’ala ada dimana-mana, dan justru itu merupakan satu kesesatan yang nyata!

Selayaknya kita melihat fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, beliau adalah seorang mufti dan mantan rektor Universitas Islam Madinah. Beliau mengatakan ketika ada yang menanyakan dimana adanya Allah ta’ala dan menjawab Allah ta’ala ada dimana-mana, maka beliau menjawab:
“Jawaban ini batil, merupakan perkataan golongan bid’ah dari aliran Jahmiyah dan Mu’tazilah serta aliran lain yang sejalan dengan mereka. Jawaban yang benar adalah yang diikuti oleh Ahlus Sunnah wal Jamaah, yaitu Allah itu ada di langit diatas Arsy, diatas semua mahlukNya.” [10]
Maka, ketika ada seseorang yang bertanya, lalu bagaimana kebersamaan Allah ta’ala bersama hamba-Nya, maka kita katakan seperti yang Syaikh Bin Baz jelaskan, beliau berkata:
“Akan tetapi ilmuNya ada dimana-mana (meliputi segala sesuatu).” [11]
Dan jika ada yang bertanya bagaimana cara bersemayam Allah ta’ala diatas ‘Arsy, beliau menjawab:
“Yang dimaksud dengan ‘bersemayam’ menurut Ahlus Sunnah ialah pada ketinggian atau berada diatas ‘Arsy sesuai dengan keagungan Allah. Tidak ada yang dapat mengetahui bagaimana bersemayamnya itu, seperti dikatakan oleh Imam Malik ketika beliau ditanya orang tentang hal ini. Beliau menjawab: “Kata bersemayam itu telah kita pahami. Akan tetapi, bagaimana caranya tidak kita ketahui. Mengimani hal ini adalah wajib, tetapi mempersoalkannya adalah bid’ah.” [12]
Juga perkataan dari Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, ketika ditanya tentang hal yang serupa, beliau menjawab:
“Adapun orang yang menjawab dengan kata-kata: ‘Allah itu ada di mana-mana maka jawaban ini sangat samar dan menyesatkan. Orang yang mengatakan bahwa Allah itu ada dimana-mana dengan pengertian dzat Allah ada dimana-mana, adalah kafir karena ia telah mendustakan keterangan-keterangan agama,bahwa dalil-dalil wahyu dan akal serta fitrah.” [13]
Pernyataan Imam Ahlus Sunnah Mengenai Filsafat (Ilmu Kalam):

Selanjutnya, setelah mengetahui dimanakah Allah ta’ala itu berada, dan cara-cara mengetahui keberadaannya, yakni dengan kembali kepada Al Quran, As Sunnah, dan pemahaman Salaful Ummah yakni sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in yang merupakan umat pertama yang selamat agamanya. Kini, kita akan melihat pernyataan-pernyataan para ulama Ahlus Sunnah yang ittiba’ kepada manhaj salaf mengenai kedudukan, hukum mempelajari, dan bermajelis dengan mereka (Ahlul Kalam/Filosof).
Imam Ibnu Rajab rahimahumullah, berkata:
“Mengikuti ocehan ahli ilmu kalam dan filsafat merupakan kerusakan yang nyata. Tak sedikit orang yang mencoba menyelami perkara itu akhirnya berlumuran dengan berbagai kotorannya, sebagaimana ucapan Al Imam Ahmad bin Hambal: ‘Tidaklah orang yang melihat ilmu kalam kecuali akan terpengaruh dengan Jahmiyyah’. Beliau dan para ulama salaf lainnya selalu memperingatkan dari ahli ilmu kalam walaupun (ahli ilmu kalam itu) berniat membela As Sunnah.” [14]
Imam Al Barbahari rahimahumullah, berkata:
“Ketahuilah –semoga Allah ta’ala merahmatimu–, sungguh tidaklah muncul kezindiqan, kekufuran, keraguan, bid’ah, kesesatan, dan kebingungan dalam agama kecuali akibat ilmu kalam, ahli ilmu kalam, debat, berbantahan, dan perselisihan.” [15]
Imam Abdurrahman bin Abu Hatim Ar Razi rahimahumullah, berkata:
“Aku mendengar bapakku dan Abu Zur’ah, keduanya memerintahkan untuk memboikot ahlul bid’ah. Keduanya sangat keras terhadap mereka, dan mengingkari pemahaman kitab (Al Quran, pen) dengan akal semata tanpa bersandar dengan atsar (hadits, pen), melarang duduk bersama ahlul kalam (kaum filsafat), dan melihat kitab-kitab ahlul kalam.” [16]
Imam Abu Hanifah rahimahullah, berkata:
“Aku telah menjumpai para ahli Ilmu Kalam. Hati mereka keras, jiwanya kasar, tidak peduli jika mereka bertentangan dengan Al Quran dan As Sunnah. Mereka tidak memiliki sifat wara’ dan tidak juga takwa. [17]
Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah, berkata:
“Pemilik ilmu kalam tidak akan beruntung selamanya. Para ulama kalam itu adalah orang-orang zindiq (kafir).” [18]
Imam Syafi’i rahimahullah. berkata:
“Barangsiapa yang memiliki ilmu kalam, ia tidak akan beruntung.” Beliau juga mengucapkan: “Hukum untuk Ahli Kalam menurutku adalah mereka harus dicambuk dengan pelepah kurma dan sandal atau sepatu dan dinaikkan ke unta, lalu diiring keliling kampung. Dan dikatakan: ‘Inilah balasan orang yang meninggalkan Al Kitab dan As Sunnah dan mengambil ilmu Kalam.’’ [19]
Imam Abu Nu’aim rahimahumullah meriwayatkan dari Imam Syafi’i, katanya, Imam Malik bin Anas apabila kedatangan orang yang dalam agama mengikuti seleranya saja, beliau berkata:
“Tentang diri saya sendiri, saya sudah mendapatkan kejelasan tentang agama dari Tuhanku. Sementara anda memilih ragu-ragu. Pergilah saja kepada orang-orang yang masih ragu-ragu, dan debatlah dia.” [20]
Kesimpulan
Setelah kita mengetahui bahwa dalam Al Quran, As Sunnah dan perkataan para Ulama Salaf, mengenai keberadaan Allah ta’ala. Maka kita akan menemukan petunjuk yang sangat jelas. Sedangkan cara-cara mengetahui keberadaan Allah ta’ala dengan cara Ilmu Kalam (Filsafat), selain menimbulkan kerancuan, bimbang, bahkan menyebabkan kesimpulan yang salah, tak syak lagi bahkan para pelakunya mendapat tahdzir (peringatan keras) dari ulama Salaf.

Maka, oleh karena itu hendaknya cara-cara atau manhaj dalam memahami keberadaan Allah ta’ala itu tidaklah dimulai dengan berfilsafat, namun dengan memahami nash-nash Al Quran, As Sunnah, dan pemahaman para Salaful Ummah dalam memahami nash itu. Insya Allah, pemahaman mengenai Tuhan tidak akan salah dan keliru, sehingga menyebabkan kesalahan yang sangat fatal dan konsekwensi sesat.
Wallahu ‘alam Bisshawab
_________________________
Catatan Kaki
[1]
[2] Kitab Silsilah Hadits Ad Dha’ifah wal Maudhu’ah. Hlm 53-54.
[3] Ibid., hlm 53-54.
[4] Kitab Al Fiqhul Al Absath, hlm 46.
[5] Kitab Al Itiqad Al ‘Aimmatu Al Arba’ah, oleh Syaikh Dr. Muhammad Abdurrahman Al Khumais, edisi Indonesia Aqidah Empat Imam Madzhab. Penerbit: Kantor Atase Agama Kerajaan Saudi Arabia.
[6] Hadits Diriwayatkan Imam Muslim dalam kitab Shahih-nya, Imam Abu Daud, dan Imam An Nasaai dalam kitab Sunan-nya.
[7] Kitab Tauhid Awwalan Yaa Du’atal Islam, Edisi Indonesia: Tauhid, Prioritas Pertama dan Utama. Hlm 31-35. Jakarta: Penerbit Darul Haq.
[8] Hadits Shahih Diriwayatkan oleh Imam Muslim no. 537, Imam Abu Daud no. 930, Imam An Nasaai juz I, no.14-18 dari hadits Mu’awiyah bin Al Hakami As Sulami Radhiyallahu ‘anhu.
[9] Jahmiyyah, yakni satu firqoh yang dinisbatkan kepada seseorang yang bernama Jahm Bin Shafwan, dia mengatakan bahwa Allah ta’ala ada dimana-mana.
[10] Majalah Ad Da’wah, no 1288.
[11] Ibid., no 1288.
[12] Ibid., no 1288.
[13] Kitab Majmu’ Fatawaa wa Rasaail, juz 1 halaman 132-133.
[14] Kitab Fadhlu ‘Ilmis Salaf ‘alal Khalaf, hlm 43.
[15] Kitab Syarhus Sunnah, hlm 93.
[16] Kitab Syarh Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah wal Jama’ah, hlm 322.
[17] Kitab Manhaj Imam Asy Syafi’i fii Itsbaatil ‘Aqiidah (I/74) oleh Dr. Muhammad bin ‘Abdil Wahhab Al ‘Aqiil.
[18] Kitab Talbis Iblis, hlm 112.
[19] Kitab Ahaadits fii Dzammil Kalam wa Ahlihi, hlm 99.
[20] Kitab Al Hilyah, hlm 324.


http://pemikiranislam.net/2011/01/dimanakah-allah-berada/