Rabu, 04 April 2012

HARTA GONO GINI


Tanya :
Sepasang suami isteri hendak bercerai. Harta mereka dalam bentuk rumah dan segala isinya. Harta isteri senilai sekitar 100 juta rupiah dan harta suami sekitar 50 juta rupiah. Pertanyaannya adalah :
(1) Apa yang disebut dengan harta gono gini?
(2) Bagaimana batasan harta isteri yang sudah terlanjur jadi satu dalam bentuk rumah dengan suami?
(3) Bagaimana pembagiannya atau presentase antara keduanya? Mohon penjelasannya? (08164894XXX)

Jawab :

A. Pengertian Gono Gini
         Dalam situs Asiamaya gono gini didefinisikan sebagai harta yang berhasil dikumpulkan selama berumah tangga sehingga menjadi hak berdua suami istri. (Inggris : gono-gini is property acquired jointly, especially during marriage, and which is divided equally in event of divorce).[1] Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, gono gini diartikan sebagai harta perolehan bersama selama bersuami isteri.[2] Dalam Kompilasi Hukum Islam  yang berlaku dalam lingkungan Pengadilan Agama, harta gono gini disebut dengan istilah “harta kekayaan dalam perkawinan”. Definisinya (dalam pasal 1 ayat f) adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami-isteri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung...tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapa.[3]

Jadi harta gono gini adalah istilah untuk harta benda yang diperoleh oleh suami isteri selama perkawinan dan menjadi hak kepemilikan berdua di antara suami isteri. Implikasinya, harta yang sudah dimiliki oleh suami atau isteri sebelum menikah, demikian pula mahar bagi isteri, juga warisan, hadiah, dan hibah milik isteri atau suami, tidak termasuk harta gono gini. Bahkan dalam Islam harta yang diperoleh isteri dari hasil kerjanya sendiri tidak termasuk harta gono gini, karena harta tersebut adalah hak milik isteri. Hal itu berdasarkan firman Allah SWT (artinya):

“Bagi para laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita pun ada bagian dari apa yang mereka usahakan.” (QS An-Nisaa` : 32)

Jadi, apabila isteri bekerja dan memperoleh harta, maka isteri punya hak penuh atas hartanya itu. Jika isteri mau menggunakan harta itu untuk keperluan keluarga, maka itu dianggap sebagai sedekah yang punya dua pahala, yakni pahala sedekah dan pahala berbuat baik kepada keluarga. Hal ini pernah dinyatakan Rasulullah kepada isteri Abdullah bin Mas'ud yang menyedekahkan hartanya untuk sang suami karena ia tergolong laki-laki miskin (HR Bukhari-Muslim). 

       Dalam perspektif fiqih Islam, sebagian ulama menganggap harta gono-gini dapat sebagai harta syirkah.[4] Memang benar termasuk syirkah, tetapi menurut pemahaman kami, bukan syirkah akad (syirkah ‘uqud), seperti syirkah abdan, syirkah ‘inan, dan syirkah mudharabah, melainkan syirkah kepemilikan (syirkah milk/syirkah amlak). Adapun definisi syirkah kepemilikan ini adalah kepemilikan bersama atas suatu barang di antara dua orang atau lebih yang terjadi karena adanya salah satu sebab kepemilikan (seperti jual-beli, hibah, wasiat, dan waris), atau karena adanya percampuran harta benda yang sulit untuk dipilah-pilah dan dibedakan.[5] Syirkah kepemilikan ini misalkan ada satu pihak yang menghibahkan suatu harta kepada dua orang, lalu keduanya menerimanya. Maka kepemilikan harta itu dalam fiqih Islam disebut syirkah kepemilikan (syirkah milk/ syirkah amlak).    

B. Batasan Harta Isteri
        Berdasarkan penjelasan sebelumnya mengenai definisi harta gono-gini, dapat diketahui bahwa harta yang menjadi hak isteri, adalah harta yang sudah dimiliki oleh isteri sebelum pernikahan. Misalnya, harta pemberian orang tua isteri. Termasuk juga hak milik isteri adalah mahar dari suami, demikian pula warisan, hadiah, dan hibah yang diberikan oleh suatu pihak kepada isteri. Semua itu adalah harta isteri, bukan harta gono gini. Demikian juga harta yang diperoleh isteri dari hasil kerjanya sendiri. Walau pun setelah akad nikah. 

Kecuali jika isteri menggunakan hartanya itu untuk keperluan keluarga dan dijadikan hak milik bersama (syirkah amlak). Misalnya uang yang semula milik isteri diberikan kepada suami, lalu suami menggabungkan uang isteri tersebut dengan uang suami yang selanjutnya uang gabungan itu dibelikan rumah untuk keperluan keluarga dan dijadikan sebagai hak milik bersama. Dalam hal ini rumah tersebut menjadi harta gono gini.  
           
C. Pembagian Harta Gono Gini
Jika suami-isteri yang akan bercerai berperkara mengenai harta gono-gini ke Pengadilan Agama, maka ada ketentuan khusus yang diberlakukan. Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 97 ada ketentuan bahwa janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak mendapat seperdua (bagian 50 %) dari harta bersama, sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.[6]
 
Tetapi jika suami-isteri tersebut tidak berperkara di Pengadilan Agama, yaitu melakukan musyawarah sendiri, maka harta gono-gini sebenarnya dapat dibagi menurut cara lain. Yaitu dibagi atas dasar kesepakatan dan kerelaan dari kedua pihak (suami-istri) yang bercerai. Atau dibagi menurut persentase masing-masing pihak jika diketahui jumlahnya. 

Jadi, kami berpendapat, bahwa ketentuan pasal 97 dalam Kompilasi Hukum Islam  bukanlah ketentuan yang sifatnya wajib secara syar’i. Sebab tidak ada nash dalam Al-Qur`an dan Al-Hadits yang menerangkan bahwa pembagiannya harus seperti itu, yakni suami dan isteri masing-masing mendapatkan setengah (50 %). Karena itu, kita dapat memahami mengapa di Filipina, dalam peraturan yang diberlakukan pemerintah untuk orang Islam (Code of Moslem Personel Laws of the Philippines), tidak ada aturan mengenai harta bersama dalam perkawinan. Demikian pula, dalam putusan-putusan pengadilan Malaysia, soal harta bersama ini masih menjadi masalah yang belum selesai.[7] 

Ini menunjukkan bahwa aturan pembagian gono gini yang berlaku di Indonesia (pembagian fifty-fifty) bukanlah ketentuan yang sifatnya wajib menurut syara’. Sebab jika wajib tentunya ketentuannya akan sama antara Indonesia dengan Filipina dan Malaysia. Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam tersebut (pembagian fifty-fifty) hukumnya secara syar’i tidak wajib, melainkan mubah (boleh). Lalu ketentuan mubah ini diadopsi dan ditetapkan menjadi sebuah pasal yang bersifat mengikat. Jadi pembagian fifty-fifty itu sebenarnya hanya satu pilihan, dari sekian pilihan yang ada mengenai cara pembagian harta gono-gini. Bukan satu-satunya pilihan yang tidak boleh menempuh cara pembagian lain.

Maka dari itu, seperti yang telah disampaikan di atas, penyelesaian sengketa harta gono gini dapat dilakukan di luar Pengadilan Agama berdasarkan musyawarah dengan menempuh jalan perdamaian (ash-shuluh). Dalam hal ini dapat diterapkan sabda Rasulullah SAW :

“Perdamaian adalah boleh [dilakukan] di antara kaum muslimin, kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.” (HR. Al-Hakim, Abu Dawud, Ibnu Hibban,  dan At-Tirmidzi).[8]

Hadits ini telah membolehkan adanya perdamaian (ash-shuluh), yaitu  suatu akad (perjanjian)  untuk menyelesaikan persengketaan. Dalam salah satu penerapannya, perdamaian dapat dilaksanakan di antara suami-isteri yang bersengketa.[9]

        Dengan melakukan perdamaian ini, pembagian harta gono gini dapat dilakukan atas dasar kesepakatan dan kerelaan dari kedua pihak (suami-istri) yang bercerai. Misalnya, suami isteri sepakat membagi harta dengan prosentase suami mendapat sepertiga, sedangkan isteri mendapat dua pertiga. Atau sebaliknya misalkan suami mendapatkan dua pertiga sedang isteri mendapat sepertiga. Atau prosentase lainnya sepanjang telah disepakati dalam perdamaian. Jadi, tidak wajib masing-masing mendapat setengah, tetapi masing-masing mendapatkan bagian sesuai dengan kesepakatan yang terjadi dalam perdamaian.

Adapun rumah yang ditanyakan, apakah termasuk gono gini atau bukan? Maka di sini perlu dilihat lebih dulu faktanya. Jika rumah itu telah dijadikan sebagai hak kepemilikan bersama, maka merupakan harta gono gini. Indikasinya juga menunjukkan hal demikian,  karena ada andil bersama dari isteri (sekitar 100 juta rupiah) dan dari suami (sekitar 50 juta rupiah). Namun, beda halnya andaikata begini faktanya : misalkan rumah itu diberi isteri dengan uangnya sendiri (suami tidak andil). Lalu suami merenovasi rumah itu dengan uangnya. Maka jika demikian keadaannya, menurut hemat kami, rumah itu bukan harta gono-gini, tapi milik isteri itu sendiri. Selanjutnya isteri dapat memberikan ganti rugi yang besarnya diperkirakan sama dengan nilai uang yang telah dikeluarkan suami ketika merenovasi rumah. Wallahu a’lam.


Muhammad Shiddiq Al-Jawi




[1] Lihat http://www.asiamaya.com/dictionary/gana-gini.htm; diakses 12 Pebruari 2004.
[2] JS Badudu dan SM Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia. Cetakan II. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1996, hlm. 421.  
[3] Abdul Gani Abdullah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, Jakarta : Gema Insani Press, 1994, hlm.77-78.
[4] Ibid.
[5] Abdul Aziz Al-Khayyath, Asy-Syarikat fi Asy-Syariah Al-Islamiyah wa Al-Qanun Al-Wadh’i, 1982, hlm. 38.
[6] Abdul Gani Abdullah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, Jakarta : Gema Insani Press, 1994, hlm. 106. 77-78. Perjanjian perkawinan adalah perjanjian yang disepakati suami isteri ketika mengadakan akad nikah yang dipersaksikan oleh petugas dari KUA.
[7] Busthanul Arifin,  Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia : Akar Sejarah, Hambatan, dan Prospeknya, Jakarta : Gema Insani Press, , 1996, hlm. 122.
[8] Imam Ash-Shan’ani, Subulus Salam, III, hlm. 58-59; Imam Taqiyuddin Abu Bakar Al-Husaini, Kifayatul Akhyar, I, hlm. 271.
[9] Imam Ash-Shan’ani, Subulus Salam, III, hlm. 58.

0 komentar: