Rabu, 18 April 2012

Hukum Adzan di Telinga Bayi

Hukum Adzan di Telinga Bayi

Hukum Mengadzankan Bayi

Sebelum kita mengambil keputusan hukumnya, kita bahas dahulu hadits yang dijadikan sandaran bagi orang-orang yang menganggapnya sunnah. Kita katakan: ada tiga hadits mengenai mengadzankan bayi, yaitu:

Pertama: hadits Abu Rofi’ Maula Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ia berkata, “Aku melihat Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adzan ditelinga Al Hasan bin Ali seperti adzan untuk sholat ketika Fathimah radliyallahu ‘anha melahirkannya”. Dikeluarkan oleh Abu daud (5105), At Tirmidzi (4/1514), Al Baihaqi dalam Al Kubro (9/300), Ahmad (6/391-392). Ath Thobroni dalam Al Kabiir (931, 2578), Abdurrozaq (7986), Ath Thoyalisi (970), Al Hakim (3/179) dan Al Baghowi dalam Syarah Sunnah (11/273). Semuanya dari jalan Sufyan Ats Tsauri dari Ashim bin Ubaidillah dari Ubaidillah bin Abi Rofi’ dari ayahnya. Dalam sanad ini terdapat ‘Ashim bin Ubaidillah, ia lemah. Abu Hatim dan Abu Zur’ah berkata, “Munkar haditsnya.”. Ad Daroquthni berkata, “Yutrok (ditinggalkan haditsnya).”  Sementara itu Ath Thobroni meriwayatkan dalam Al Kabiir (926, 2579) dari jalan Hammad bin Syu’aib dari Ashim bin Ubaidillah dari Ali bin Al Husain dengan tambahan, “Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adzan ditelinga Al Hasan dan Al Husain…di akhirnya dikatakan, “dan beliau memerintahkannya.”. Dan Hammad bin Syu’aib sangat lemah, selain itu ia diselisihi oleh Sufyan Ats Tsauri dalam riwayat lalu sehingga riwayatnya munkar secara sanad dan matan.

Kedua: hadits Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu yang dikeluarkan oleh Al Baihaqi dalam Syu’abul iman (6/8620) dari Muhammad bin Yunus dari Al hasan bin Amru bin Saif As Sadusi mengabarkan kepada kami Al Qosim bin Muthoyyab dari Manshur bin Shofiyyah dari Abu ma’bad dari Ibnu Abbas sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adzan di telinga kanan Al hasan bin Ali pada hari kelahirannya dan iqomat di telinga kirinya. Kemudian setelahnya Al Baihaqi berkata, “Padanya terdapat kelemahan.”
Kita katakan, “Justru hadits ini palsuillat-nya adalah Al Hasan bin Amru, Al Hafidz Ibnu Hajar berkata dalam At Taqrib, “Matruk.” Adz Dzahabi berkata dalam Al Mizan, “Ia dianggap pendusta oleh Ibnul Madini, Al Bukhori berkata, “Kadzdzaab (tukang dusta).” Ar Rozi berkata, “Matruk.”

Ketiga: hadits Al Husain bin Ali, yang diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman (6/390), dan Ibnu Sunni dalam ‘Amal Yaum wal Lailah (ح – 623) dari Yahya bin Al ‘Ala dari Marwan bin Salim dari Tholhah bin Ubidillah dari Al husain bin Ali ia berkata, Rosulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang kelahiran bayi lalu ia adzan di telinga kanannya dan iqomat di telinga kirinya, tidak akan bermudlorot padanya ibunya bayi.” Sanad ini palsu, ada dua cacat: Yahya bin Al ‘Ala tertuduh berdusta (muttaham bil kadzib) dan Marwan bin Salim matruk.

Kesimpulan : hadits mengadzankan bayi adalah dlo’if dan tidak boleh dijadikan hujjah. Dan hadits-hadits tersebut tidak dapat saling menguatkan karena hadits kedua dan ketiga tidak dapat djadikan sebagai syahid karena sangat lemah bahkan palsu, dan yang seperti ini tidak dapat menguatkan sebagaimana disebutkan dalam ilmu mushtolah hadits.

Hukum mengadzankan bayi

Setelah memaparkan derajat hadits-haditsnya, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa mengadzankan bayi itu tidak boleh diamalkan karena haditsnya lemah.

Menepis Syubhat I

Sebagian orang berkilah bahwa Imam Nawawi mengatakan bahwa para ulama telah bersepakat bolehnya mengamalkan hadits dlo’if dalam fadlilah amalan, sehingga hadits mengadzankan bayi boleh kita amalkan.
Jawab : kita jawab dengan beberapa jawaban berikut ini :
Jawaban I : klaim bahwa para ulama telah bersepakat tidak benar, karena banyak ulama yang tidak membolehkan mengamalkan hadits dlo’if walaupun dalam fadlilah amalan, di antaranya adalah Al Bukhori, Muslim, Ibnu Hazm, Abu Bakar Ibnul ‘Arobi dan lainnya sebagaimana yang dikatakan oleh Jamaluddin Al Qosimi dalam kitab Qowa’id Tahdits halaman 94 dan kepada pendapat ini Ibnu Hajar condong. Dan inilah pendapat yang benar karena hadits dlo’if itu hanyalah menghasilkan dzonn yang marjuh (lemah) dan dzonn yang marjuhtidak boleh diamalkan dengan kesepakatan ulama, demikian kata Syeikh Al Bani (lihatTamamul Minnah halaman 34-38. penting).

Jawaban II : bahwa maksud Imam An Nawawi adalah hadits dlo’if yang ditunjukkan oleh dalil lain yang shohih, Syeikh Ali Al Qori dalam kitabnya Al Mirqot (2/381) berkata, “Perkataan beliau, ‘Sesungguhnya hadits dlo’if boleh diamalkan dalam fadlilah amalan secara ijma’ sebagaimana yang dikatakan oleh An Nawawi maksudnya adalah fadlilah dari amalan yang shohih dari Al Qur’an dan Assunnah “.

Jawaban III : Ibnu Hajar dalam Tabyinul ‘Ajab (hal 3-4) memberikan syarat bolehnya mengamalkan hadits dlo’if dalam fadlilah amalan dengan tiga syarat, yaitu ; hadits tersebut tidak boleh palsu, dan orang yang mangamalkannya wajib mengetahui bahwa hadits tersebut dlo’if, dan tidak boleh memasyhurkan amalan tersebut. Dan tiga syarat ini tidak dipenuhi oleh banyak orang yang mengamalkan hadits dlo’if dalam fadlilah amalan.
Jawaban IV : Ibnu Hajar berkata, “Tidak ada perbedaan dalam mengamalkan hadits baik dalam masalah hukum maupun fadlilah amalan, karena semuanya adalah syariat “. (Tabyinul ‘Ajab hal. 4). Di sini beliau menegaskan tidak adanya perbedaan antara masalah hukum dengan fadlilah, sedangkan para ulama bersepakat haramnya mengamalkan hadits dlo’ifdalam masalah hukum. Ibnu Taimiyah berkata, “Sesungguhnya suatu amal apabila diketahui pensyariatannya dengan dalil syar’i, lalu ada hadits mengenai keutamaan amal tersebut selama tidak palsu, bolehlah pahala tersebut menjadi benar, dan tidak ada seorang ulama pun yang berkata, ‘Sesungguhnya boleh menghukumi sesuatu itu wajib atau sunnah berdasarkan hadits dlo’if.’ Barang siapa yang mengatakan dengan perkataan ini maka ia telah menyalahi ijma’ ulama.” (Majmu’ Fatawa, 1/251).

Menepis Syubhat II

Sebagian orang berkata bahwa Syeikh Muhammad Nashruddin Al Bani menghasankan hadits tersebut dalam kitab beliau yaitu Irwaul Gholil.
Jawab : beliau telah rujuk dari pendapatnya tersebut dalam kitab lain yaitu Silsilah Hadits Dlo’ifah (1/494 no 321) beliau berkata, “Sekarang saya berkata, ‘Sesungguhnya kitabSyu’abul Iman telah dicetak, ternyata ia (hadits Ibnu Abbas) tidak layak untuk dijadikan syahid, karena padanya terdapat rowi kadzdzab dan rowi matruk. Dan aku merasa heran kepada Al Baihaqi dan Ibnul Qoyyim yang hanya sebatas menghukuminya sebagai hadits yang dlo’if sehingga hampir-hampir aku memastikan bahwa hadits Ibnu Abbas boleh dijadikan syahid. Maka saya wajib mengingatkannya disini…”

Menepis Syubhat III

Sebagian orang berkata bahwa masalah ini masih diperselisihkan oleh para ulama, maka boleh kita amalkan selama itu masih diperselisihkan.
Jawab : sesungguhnya perselisihan ulama bukan dalil untuk membolehkan, yang menjadi dalil adalah Al Qur’an dan As Sunnah, sedangkan telah kita jelaskan bahwa dalilnya dlo’iftidak bisa dijadikan hujjah. Al Imam Al Khoththobi mengomentari perkataan sebagian orang yang berkata bahwa ketika ulama berselisih dalam masalah minuman keras dan bersepakat mengharamkan arak dari anggur, maka kita ambil yang disepakati dan kita bolehkan selainnya. Berliau berkata, “Ini adalah sebuah kesalahan yang fatal, karena Allah telah memerintahkan untuk mengembalikan perselisihan kepada Allah dan Rosul-Nya…” (A’lam Sssunan, 3/2091-2092).


Penulis: Ustadz Abu Yahya Badrusalam, Lc.
Artikel www.cintasunnah.com

0 komentar: