Kajian epistemologi Islam penting untuk dilakukan mengingat saat ini sudah menyebar apa yang disebut oleh Syamsuddin Arif, “kanker epistemologis”. Kanker jenis ini telah melumpuhkan kemampuan menilai (critical power) serta mengakibatkan kegagalan akal (intellectual failure), yang pada gilirannya mengerogoti keyakinan dan keimanan, dan akhirnya menyebabkan kekufuran. Gejala dari orang yang mengidap kanker ini, di antaranya suka berkata: “Di dunia ini, kita tidak pernah tahu Kebenaran Absolut. Yang kita tahu hanyalah kebenaran dengan “k” kecil.” “Kebenaran itu relatif.” “Agama itu mutlak, sedang pemikiran keagamaan relatif.” “Semua agama benar dalam posisi dan porsinya masing-masing.” Dll.

Epistemologi secara sederhana bisa dimaknai teori pengetahuan. Mungkinkah mengetahui, apa itu pengetahuan, dan bagaimana mendapatkan pengetahuan, merupakan tema-tema pembahasan epistemologi. Menurut Milton D. Hunnex, epistemologi berasal dari bahasa Yunani, episçmç yang bermakna knowledge, pengetahuan, dan logos yang bermakna teori. Istilah ini pertama kali digunakan pada tahun 1854 oleh J.F. Ferrier yang membuat perbedaan antara dua cabang filsafat yaitu ontologi (Yunani: on = being, wujud, apa + logos = teori) dan epistemologi. Jika ontologi mengkaji tentang wujud, hakikat, dan metafisika, maka epistemologi membandingkan kajian sistematik terhadap sifat, sumber, dan validitas pengetahuan. Menurut Mulyadhi Kartanegara, ada dua pertanyaan yang tidak bisa dilepaskan dari epistemologi, yaitu: (1) apa yang dapat diketahui dan (2) bagaimana mengetahuinya. Yang pertama mengacu pada teori dan isi ilmu, sedangkan yang kedua pada metodologi.

Mungkinkah Mengetahui?
 
Pertanyaan itu sudah mengemuka dari sejak zaman Yunani kuno. Pada zaman ini lahir aliran yang bernama sofisme (السوفسطائية). Menurut kaum sofis, semua kebenaran relatif. Ukuran kebenaran itu manusia (man is the measure of all things). Karena manusia berbeda-beda, jadi kebenaran pun berbeda-beda tergantung manusianya. Menurut anda mungkin benar, tetapi menurut saya tidak, demikian kurang lebih argumentasi kaum sofis. Akibatnya, mudah diterka, terjadi semacam kekacauan kebenaran. Semua teori sains diragukan, semua aqidah dan kaidah agama dicurigai. Manusia menjadi hidup tanpa pegangan “kebenaran”, dan hal seperti itu telah menyebabkan manusia terasing di dunianya sendiri.

Maka kemudian, muncullah Socrates, yang jejaknya diikuti oleh Plato dan Aristoteles. Menurut mereka tidak semua kebenaran relatif, ada kebenaran yang umum, yang mutlak benar bagi siapapun. Kebenaran ini disebut idea oleh Plato, dan definisi oleh Aristoteles.


Sofisme klasik ini kemudian berreinkarnasi (terlahir kembali) pada zaman modern dengan nama skeptisisme. Seseorang yang skeptis akan senantiasa meragukan kebenaran dan membenarkan keraguan. Baginya, semua pendapat tentang semua perkara (termasuk yang qath’i dalam agama) harus selalu terbuka untuk diperdebatkan. Pada tahap ekstrem dia akan mengklaim bahwa kebenaran hanya bisa dicari dan didekati, tetapi mustahil ditemukan.

Wujud lain dari sofisme modern adalah relativisme. Pengidap relativisme epistemologis menganggap semua orang dan golongan sama-sama benar, semua pendapat (agama, aliran, sekte, kelompok, dan lain sebagainya) sama benarnya, tergantung dari sudut pandang masing-masing. Jika seorang skeptis menolak semua klaim kebenaran, maka seorang relativis menerima dan menganggap semuanya benar. Aliran ini yang kemudian berkembang menjadi paham pluralisme agama.

Islam tentu saja menentang paham sofisme dengan segala macam bentuk reinkarnasinya. Dari sejak awal surat, al-Qur`an mengajarkan agar manusia mencari kebenaran, karena kebenaran itu ada, dan kesalahan pun beserta orang-orang yang salahnya juga ada.


Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.

Dalam awal surat al-Baqarah, lagi-lagi al-Qur`an menolak paham relativisme:

Alif laam miim, Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa.

Nabi Muhammad saw, sebagai insan biasa, yang terkadang ragu dengan propaganda sofisme dari musuh-musuhnya pun diingatkan Allah swt:

Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu.

Artinya, kebenaran itu ada, sumbernya dari Tuhanmu, yakni yang disampaikannya kepadamu melalui wahyu. Jadi jangan pernah bersikap sofis, karena pegangan kebenaran jelas dan ada, yakni wahyu.

Sebagai bukti lain bahwa Islam memerangi sofisme, Islam mewajibkan pencarian ilmu pengetahuan. Nabi Muhammad saw menegaskan dalam sebuah hadits yang terkenal:


طلب العلم فريضة على كل مسلم

Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap Muslim.

Hadits-hadits dan ayat-ayat lainnya yang mengutamakan ilmu, semuanya menolak mentah-mentah paham sofisme, skeptisisme, relativisme, dan semua bentuk reinkarnasinya.

Dalam berbagai tempat Allah swt juga suka mengingatkan bahwa dalam hidup ini akan selalu ada dua pilihan; haqq dan bathil, benar (shawab) dan keliru (khatha`), sejati (shadiq) dan palsu (kadzib), baik (thayyib) dan busuk (khabits), bagus (hasanah) dan jelek (sayyi`ah), lurus (hidayah) dan tersesat (dlalalah). Semuanya itu mengajarkan nilai kepada manusia bahwa kebenaran itu ada dan mungkin untuk diraih.


Terkait dengan adanya ikhtilaf di antara ulama yang sering dijadikan pembenar bahwa tidak ada kebenaran yang pasti, maka tentu harus dibedakan dulu mana yang qath’i dan mana yang zhanni, mana yang ushul dan mana yang furu’. Karena pastinya para ulama tidak mungkin berikhtilaf dalam masalah yang ushul dan qath’i. Kalaupun masih ada juga yang berbeda dalam kedua masalah tersebut, maka itulah orang-orang yang masuk kategori sayyi`ah dan dlalalah. Jika pemikir seperti Socrates, Plato dan Aristotels saja mengakui adanya kebenaran yang bersifat umum, maka sangat aneh jika para ulama yang terbimbing dengan al-Qur`an dan sunnah tidak mengakui adanya kebenaran tersebut. Padahal, al-Qur`an dan sunnah dengan sangat jelas telah memberikan bimbingan dalam masalah tersebut.

Bagaimana Kita Bisa Mengetahui?
Ilmu diperoleh oleh manusia dengan berbagai cara dan dengan menggunakan berbagai alat. Menurut Jujun S. Suriasumantri, pada dasarnya terdapat dua cara pokok bagi manusia untuk mendapatkan pengetahuan yang benar. Yang pertama adalah mendasarkan diri kepada rasio, dan yang kedua mendasarkan diri kepada pengalaman. Yang pertama disebut paham rasionalisme, dan yang kedua disebut paham empirisme. Pengetahuan jenis pertama disebut logis, dan pengetahuan jenis kedua disebut empiris.


Kerjasama rasionalisme dan empirisme melahirkan metode sains (scientific method), dan dari metode ini lahirlah pengetahuan sains (scientific knowledge) yang dalam bahasa Indonesia sering disebut pengetahuan ilmiah atau ilmu pengetahuan. Pengetahuan sains ini adalah jenis pengetahuan yang logis dan memiliki bukti empiris. Jadi tidak hanya logis saja yang menjadi andalan kaum rasionalis, tapi juga harus empiris yang menjadi andalan kaum empiris. Kalau ternyata pengetahuan tersebut hanya bersifat logis, tidak empiris, pengetahuan tersebut akan disebut pengetahuan filsafat, bukan pengetahuan sains/ilmiah.
Kerjasama dari rasionalisme-empirisme ini kemudian melahirkan paham positivisme, yakni paham yang menyatakan bahwa segala pengetahuan yang ilmiah harus dan pasti dapat “terukur”. Panas diukur dengan derajat panas, jauh diukur dengan meteran, berat diukur dengan timbangan.

Di samping rasionalisme dan empirisme, masih terdapat cara untuk mendapatkan pengetahuan yang lain. Yang penting dari semua itu, menurut Jujun, adalah intuisi dan wahyu. Intuisi merupakan pengetahuan yang didapatkan tanpa melalui proses penalaran tertentu. Seseorang yang sedang terpusat pemikirannya pada suatu masalah tiba-tiba saja menemukan jawaban atas permasalahan tersebut. Tanpa melalui proses berpikir yang berliku-liku tiba-tiba saja dia sudah sampai di situ. Inilah yang disebut intuisi.

Sementara wahyu merupakan pengetahuan yang disampaikan oleh Tuhan kepada manusia. Pengetahuan ini disalurkan lewat nabi-nabi yang diutus-Nya di setiap zaman. Menurut Jujun, agama merupakan pengetahuan bukan saja mengenai kehidupan manusia sekarang yang terjangkau pengalaman, namun juga mencakup masalah-masalah yang bersifat transendental seperti latar belakang penciptaan manusia dan hari kemudian di akhirat nanti. Pengetahuan ini didasarkan kepada kepercayaan akan hal-hal yang gaib (supernatural). Akan tetapi pengetahuan jenis ini banyak tidak diakui oleh para ilmuwan yang kurang berpihak pada agama, seiring dibatasinya pengetahuan ilmiah pada logis-empiris.

Menurut Ahmad Tafsir, terdapat aliran lain yang mirip sekali dengan intuisionisme, yaitu iluminasionisme. Aliran ini berkembang di kalangan tokoh-tokoh agama; di dalam Islam disebut teori kasyf. Teori ini menyatakan bahwa manusia yang hatinya telah bersih, maka ia telah siap dan sanggup menerima pengetahuan dari Tuhan. Aliran ini lebih terfokus pada ilhâm yang diturunkan Allah swt kepada manusia. Menurut Ahmad Tafsir, aliran ini terbentang juga di dalam sejarah pemikiran Islam, boleh dikatakan dari sejak awal dan memuncak pada Mulla Shadra.

Jika kita menilik pemikiran para ulama Islam tentang sumber pengetahuan, akan didapati bahwa di antara mereka tidak ada yang hanya membatasi pada salah satu dari empat saluran pengetahuan sebagaimana dijelaskan Jujun di atas. Tidak seperti halnya di dunia Barat yang membatasi keilmiahan pada logis-empiris saja misalnya, dalam khazanah pemikiran Islam aliran semacam itu hampir tidak ditemukan.

Lihat misalnya pemikiran al-Nasafi yang menyatakan terdapat tiga saluran yang menjadi sumber ilmu, yaitu perspesi indera (idrâk al-hawâs), proses akal sehat (ta’âqul) serta intuisi hati (qalb), dan melalui informasi yang benar (khabar shâdiq). Oleh al-Attas, penguraian seperti al-Nasafi di atas dihitung empat, dengan memisahkan proses akal sehat dan intuisi hati.

Ibn Taimiyyah sendiri tidak jauh berbeda dalam menjelaskan saluran-saluran pengetahuan ini. Dari tiga yang pokok: khabar, akal dan indera, Ibn Taimiyyah kemudian membagi indera pada indera lahir, yakni panca indera yang kita maklumi, dan indera batin, yakni intuisi hati. Terhadap teori kasyf sebagaimana disinggung oleh Ahmad Tafsir di atas, Ibn Taimiyyah juga memberikan kemungkinannya. Hanya menurutnya pengetahuan yang diperoleh lewat ilhâm tersebut tidak boleh bertentangan dengan khabar yang statusnya lebih kuat. Karena selain sama-sama berasal dari Allah swt, khabar ini juga disampaikan kepada manusia pilihan-Nya, yaitu para Nabi. Sehingga jelas apa yang disampaikan Allah swt kepada para Nabi lebih kuat kedudukannya ketika berbenturan dengan ilhâm yang banyak di antaranya hanya berupa lintasan-lintasan hati biasa dan tidak bisa dipertanggungjawabkan.

Al-Ghazali menyampaikan pendapat yang sama. Menurutnya, hâkim dalam makna pemutus benar tidaknya sesuatu itu ada tiga, yaitu hissî (indera), wahmî (intuisi), dan ‘aqlî (akal). Menurut al-Ghazali, ketika hâkim wahmî itu terkadang bertentangan dengan akal dan indera yang kuat, padahal di sisi lainnya terdapat peringatan tentang adanya yang melintas di dalam hati ini berupa bisikan syetan, maka al-Ghazali hanya mengakui saluran wahmî dari orang yang dikuatkan oleh Allah swt dengan taufiq-Nya, yakni orang yang dimuliakan Allah swt disebabkan orang yang bersangkutan hanya menempuh jalan yang haqq. Tidak menyebutkannya al-Ghazali kedudukan wahyu secara tegas, bukan berarti ia tidak mengakuinya. Karena di dalam berbagai karyanya, termasuk dalam menentang para filosof melalui Tahâfut al-Falâsifah, al-Ghazali melandaskannya pada dalil-dalil wahyu. Itu semua dikarenakan yang menjadi titik tekan al-Ghazali dalam pembahasannya ini adalah hâkim dari diri manusia sendiri, bukan dari luar.

Adapun al-Qadi Abu Bakar al-Baqillani, dengan konsep yang sama membagi sumber pengetahuan ini ke dalam enam bagian. Lima di antaranya adalah jenis-jenis indera, yaitu hâssat al-bashar (indera melihat), hâssat al-sam’ (indera mendengar), hâssat al-dzauq (indera mengecap), hâssat al-syamm (indera mencium), dan hâssat al-lams (indera merasa dan meraba). Adapun yang keenamnya, al-Baqillani menjelaskan: “Jenis yang keenam adalah sesuatu keharusan yang timbul di dalam jiwa secara langsung tanpa melalui indera-indera yang disebutkan tadi.” Al-Baqillani kemudian menyebutkan contoh-contoh pengetahuan yang diperoleh lewat (1) intuisi, seperti seseorang yang mengenali dirinya sendiri, (2) lewat akal, seperti memahami omongan, dan (3) lewat khabar khususnya yang mutawâtir, seperti tentang kehidupan yang ada di luar negeri. Termasuk tentunya khabar-khabar keagamaan, karena sifatnya yang sama sebagai khabar.

Penjelasan al-Baqillani ini menguatkan kesimpulan bahwa pemahaman para ulama terhadap sumber pengetahuan dalam Islam sama. Tidak ada pemilahan di antara mereka antara yang logis, empiris, dan intuitif. Semuanya diakui asalkan berdasar pada dalil-dalil yang kuat. Baik itu yang revelational/wahyu (naqlî), rasional (‘aqlî) ataupun empirikal (hissî).
Apa Itu Pengetahuan?
Peradaban Barat membedakan pengetahuan ke dalam dua istilah teknis, yaitu science dan knowledge. Istilah yang pertama diperuntukkan bagi bidang-bidang ilmu fisik atau empiris, sedangkan istilah kedua diperuntukkan bagi bidang-bidang ilmu nonfisik seperti konsep mental dan metafisika. Istilah yang pertama diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan ilmu pengetahuan, sementara istilah kedua diterjemahkan dengan pengetahuan saja. Dengan kata lain, hanya ilmu yang sifatnya fisik dan empiris saja yang bisa dikategorikan ilmu, sementara sisanya, seperti ilmu agama, tidak bisa dikategorikan ilmu (ilmiah).


Fenomena seperti ini baru terjadi pada abad modern. Karena sampai abad pertengahan, pengetahuan belum dibeda-bedakan ke dalam dua istilah teknis di atas, istilah pengetahuan (knowledge) masih mencakup semua jenis ilmu pengetahuan. Baru ketika memasuki abad modern yang ditandakan dengan positivisme, maka pengetahuan yang terukur secara empiris dikhususkan dengan penyebutan scientific knowledge atau science saja.

Islam tentu saja tidak mengenal pemenggalan zaman menjadi abad klasik, pertengahan dan modern. Karena di Islam tidak pernah terjadi tarik-ulur yang dahsyat antara akal dan iman, atau antara kekuasaan dunia dan kekuasaan agama. Islam juga tidak mengenal renaissance yang ditandakan dengan terbebasnya alam pikiran manusia dari kungkungan penguasa agama. Karena dari sejak awal kelahirannya, antara agama, akal dan indera, ketiganya berjalin kelindan dengan sangat baik. Konsekuensinya, tidak akan ditemukan dalam khazanah pemikiran Islam pergeseran definisi ilmu seperti yang terjadi di dunia Barat. Dari sejak awal dan sampai sekarang, ilmu dalam Islam mencakup bidang-bidang fisik juga bidang-bidang nonfisik.

Istilah yang digunakannya pun dari sejak awal tidak berubah, yakni ‘ilm. Menurut Wan Mohd Nor Wan Daud, penggunaan istilah ‘ilm itu sendiri, sangat terpengaruh oleh pandangan dunia Islam (Islamic worldview):

Pengetahuan dalam bahasa Arab digambarkan dengan istilah al-’ilm, al-ma’rifah dan al-syu’ûr (kesadaran). Namun, dalam pandangan dunia Islam, yang pertamalah yang terpenting, karena ia merupakan salah satu sifat Tuhan. Julukan-julukan yang dikenakan kepada Tuhan adalah al-’Âlim, al-’Alîm dan al-’Allâm, yang semuanya berarti Maha Mengetahui; tetapi Dia tidak pernah disebut al-’Ârif atau al-Syâ’ir.
Akan tetapi berkaitan dengan pertanyaan apa itu pengetahuan, menurut Wan Daud, sekarang ini umat Islam menyadari bahwa mendefinisikan ilmu (pengetahuan) secara hadd adalah mustahil. al-Attas dalam hal ini menjelaskan bahwa ilmu merupakan sesuatu yang tidak terbatas (limitless) dan karenanya tidak memiliki ciri-ciri spesifik dan perbedaan khusus yang bisa didefinisikan. Lagi pula, al-Attas menjelaskan, pemahaman mengenai istilah ‘ilm selalu diukur oleh pengetahuan seseorang mengenai ilmu dan oleh sesuatu yang jelas baginya. Ketika medan ilmu pada faktanya sangat luas, maka pengetahuan seseorang terhadapnya sangat terbatas. Oleh karena itu pasti pemahaman ilmu dari masing-masing orang akan terbatas.

Ketika menyadari bahwa mendefinisikan ilmu secara hadd adalah mustahil, maka Al-Attas hanya mengajukan definisi deskriptif (rasm). Dengan premis bahwa ilmu itu datang dari Allah swt dan diperoleh oleh jiwa yang kreatif, ia membagi pencapaian dan pendefinisian ilmu ke dalam dua bagian. Pertama, sebagai sesuatu yang berasal dari Allah swt, bisa dikatakan bahwa ilmu itu adalah datangnya (hushûl) makna sesuatu atau objek ilmu ke dalam jiwa pencari ilmu; kedua, sebagai sesuatu yang diterima oleh jiwa yang aktif dan kreatif, ilmu bisa diartikan sebagai datangnya jiwa (wushûl) pada makna sesuatu atau objek ilmu.


Yazdi adalah tokoh lainnya yang menyatakan ilmu tidak mungkin didefinisikan. Hal itu disebabkan konsep pengetahuan merupakan salah satu konsep paling jelas dan swanyata (badîhî). Bukan saja tidak membutuhkan definisi, pengetahuan tidak mungkin didefinisikan, lantaran tidak ada kata atau istilah lain yang lebih jelas untuk dipakai mendefinisikannya. Frase atau tuturan yang lazim dipakai dalam buku-buku filsafat dan logika sebagai definisi pengetahuan atau ilmu hanyalah memberikan contoh-contoh (mishdâq/instance) pengetahuan yang ada dalam ilmu atau bidang kajian tertentu, bukan definisi dalam arti sesungguhnya. Contohnya definisi yang disebutkan oleh para ulama dan ahli logika seperti: “penangkapan bentuk (shûrah atau form) sesuatu dalam pikiran”, “hadirnya maujud nonmaterial dalam maujud nonmaterial lainnya”, atau “hadirnya sesuatu pada maujud nonmaterial”.

Yazdi pun kemudian menjelaskan tentang ilmu ini sebagaimana halnya al-Attas. Cuma istilah yang digunakannya ada perbedaan. Untuk ilmu yang datang secara langsung dari Allah swt Yazdi menamakannya al-’ilm al-hudûrî (pengetahuan dengan kehadiran, presentational knowledge, knowledge by presence). Sementara untuk ilmu yang didapatkan lewat usaha manusia Yazdi menyebutnya al-’ilm al-hushûlî (pengetahuan tangkapan atau perolehan, acquired knowledge).

Dr. Rajih ‘Abd al-Hamid al-Kurdi, adalah tokoh lainnya yang menyatakan hal serupa. Dalam karyanya tentang perbandingan epistemologi antara al-Qur`an dan filsafat (nazariyyat al-ma’rifah baina al-Qur`ân wa al-falsafah) ia menguraikan definisi ilmu menurut para pemikir Mu’tazilah, filosof Yunani, dan para ulama Ahl al-Sunnah. Hasilnya, ia menyimpulkan bahwa ilmu cukup jelas untuk tidak didefinisikan. Karena semua definisi yang diajukan oleh masing-masing pakar berbeda-beda dan hanya terfokus pada beberapa aspek yang menjadi titik perhatiannya saja. Sehingga bisa dipastikan tidak ada definisi ilmu yang hadd.


Uraian keempat ulama di atas mengindikasikan dengan jelas bahwa ilmu dalam Islam mencakup dua pengertian; pertama, sampainya ilmu dari Allah ke dalam jiwa manusia, dan kedua, sampainya jiwa manusia terhadap objek ilmu melalui penelitian dan kajian. Dalam hal ini, mutlak disimak firman Allah swt berikut ini:

Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. (QS. Al-’Alaq [96] : 1-5)

Secara jelas, ayat di atas menginformasikan bahwa ilmu bisa diperoleh dengan aktivitas iqra`, juga bisa diperoleh dengan anugerah Allah swt langsung kepada manusia.

Klasifikasi Pengetahuan, Bukan Dikotomi
Konsekuensinya, Islam tidak mengenal dikotomi ilmu; yang satu diakui, yang lainnya tidak. Yang logis-empiris dikategorikan ilmiah, sedangkan yang berdasarkan pada wahyu tidak dikategorikan ilmiah. Semua jenis pengetahuan, apakah itu yang logis-empiris, apalagi yang sifatnya wahyu (revelational), diakui sebagai sesuatu yang ilmiah. Dalam khazanah pemikiran Islam yang dikenal hanya klasifikasi (pembedaan) atau diferensiasi (perbedaan), bukan dikotomi seperti yang berlaku di Barat.


Al-Ghazali misalnya membagi ilmu dari aspek ghard (tujuan/kegunaan) pada syar’iyyah dan ghair syar’iyyah. Syar’iyyah yang dimaksudkan al-Ghazali adalah yang berasal dari Nabi saw, sedangkan ghair syar’iyyah adalah yang dihasilkan oleh akal seperti ilmu hitung, dihasilkan oleh eksperimen seperti kedokteran, atau yang dihasilkan oleh pendengaran seperti ilmu bahasa.

Ibn Taimiyyah membagi ilmu dari aspek yang sama dengan pola yang sama. Cuma penamaannya, syar’iyyah dan ‘aqliyyah. Syar’iyyah yang dimaksudkan Ibn Taimiyyah adalah yang berurusan dengan persoalan agama dan ketuhanan, adapun ‘aqliyyah adalah yang tidak diperintahkan oleh syara’ dan tidak pula diisyaratkan olehnya.

Sementara syaikh al-’Utsaimin membahasakannya dengan ilmu syar’î dan nazarî. Ilmu syar’î adalah fiqh (pemahaman) terhadap kitab Allah dan sunnah Rasulullah saw, sementara ilmu nazarî adalah ilmu shinâ’ah (perindustrian) dan yang berkaitan dengannya.


Berkaitan dengan pembagian ilmu dalam Islam seperti di atas, Oliver Leaman menjelaskan, umat Islam membagi ilmu ke dalam model seperti itu disebabkan al-Qur`an menjelaskan bahwa bidang pengetahuan itu ada dua; yang tampak dan yang gaib. Yang tampak dapat diketahui oleh manusia dan juga merupakan objek kajian sains, sedangkan alam gaib, meskipun dapat diketahui dengan cara yang berbeda, merupakan wilayah wahyu. Hal ini dapat dimengerti mengingat tidak adanya bukti fisik yang bisa diterima ihwal alam gaib.

Oliver Leaman menjelaskan lebih lanjut, berdasar pada acuan al-Qur`an inilah maka kemudian ilmu pengetahuan dalam Islam ada dua jenis: ‘Ilm yang mengungkap ‘âlam syahâdah atau alam yang sudah diakrabi dan terpapar dalam sains alam; dan ma’rifah yang mendedahkan ‘âlam al-ghâ`ib atau alam yang tersembunyi dan karenanya lebih dari sekadar pengetahuan proposisional (propositional knowledge). Cara memperoleh pengetahuan jenis kedua ini adalah melalui wahyu.

Klasifikasi seperti ini penting untuk diterapkan agar tidak terjadi “kekacauan ilmu”. Ketika agama diukur oleh akal dan indera (induktif), maka yang lahir adalah sofisme modern. Sehingga adanya Ahmadiyah dan aliran-aliran sesat tidak dipahami sebagai sebuah “kesalahan”, melainkan sebuah pembenaran bahwa Islam itu warna-warni. Demikian juga, ketika sains dicari-cari pembenarannya dari dalil-dalil agama, maka yang lahir kelak pembajakan dalil-dalil agama. Sehingga langit yang tujuh dipahami sebagai planet yang jumlahnya tujuh, seperti pernah dikemukakan oleh sebagian filosof Muslim di abad pertengahan. Wal-’Llahu a’lam bis-shawab.

by Nashruddin Syarief