Jumat, 27 April 2012

Konsep al-Quran Nasr Hamid dan Mu’tazilah: Studi Komparatif

Pendahuluan
Salah satu klaim yang dilontarkan oleh NaÎr ×Émid AbË Zayd adalah bahwa pandangan-pandangannya tentang al-Qur’an berdasarkan pada pemikiran para ulama dimasa lalu. Diantaranya dan yang terpenting adalah kelompok mutakallim Mu’tazilah. Makalah ini akan mencoba memaparkan kajian perbandingan antara pandangan NaÎr ×Émid AbË Zayd dengan pandangan Mu’tazilah dalam soal al-Qur’an. Selain itu akan ditelusur pula kemungkinan pengaruh kajian teks Bible dalam tradisi Kristen terhadap metodologi NaÎr.

Konsep al-Quran Nasr Hamid
Menyimak sejumlah buku Nasr Hamid, dengan mudah dapat dibaca ia begitu menaruh perhatian pada aspek “teks” (naÎÎ). Ia katakan, misalnya, bahwa peradaban Arab Islam adalah ‘peradaban teks’ (ÍaÌÉrah al-naÎ). Maka, ia tulis buku-buku yang mengupas persoalan teks dan kritik terhadapnya, seperti MafhËm al-NÉÎ DirÉsah fÊ ‘UlËm al-Qur’Én dan NaqÌ al-KhiÏÉb al-DÊnÊ.[1]

Dalam melakukan kajian terhadap al-Quran, disamping merujuk kepada pendapat-pendapat Mu’tazilah, Nasr Hamid banyak menggunakan metode hermeneutik. Sebagai seorang hermeneut, maka tahap terpenting dalam melakukan kajian terhadap makna teks, adalah melakukan analisis terhadap corak teks itu sendiri. Dengan itulah, dapat diketahui kondisi pengarang teks tersebut. Untuk Bible, hal ini tidak terlalu menjadi masalah, sebab semua Kitab dalam Bible memang ada pengarangnya. Tetapi, bagaimana untuk al-Quran; apakah ada yang disebut sebagai pengarang al-Quran? Tokoh hermeneutika modern, Friedrich Schleiermacher (1768-1834), merumuskan teori hermeneutikanya dengan berdasarkan pada analisis terhadap pengertian tata bahasa dan kondisi (sosial, budaya, kejiwaan) pengarangnya. Analisis terhadap faktor pengarang dan kondisi lingkungannya ini sangat penting untuk memahami makna suatu teks.

Di sinilah Nasr Hamid kemudian tampil ‘cerdik’, dengan menempatkan Nabi Muhammad saw — penerima wahyu –  pada posisi semacam “pengarang” al-Quran. Ia menulis dalam bukunya, MafhËm al-NÉÎ, bahwa al-Quran diturunkan melalui Malaikat Jibril kepada seorang Muhammad yang manusia. Bahwa, Muhammad, sebagai penerima pertama, sekaligus penyampai teks adalah bagian dari realitas dan masyarakat. Ia adalah buah dan produk dari masyarakatnya. Ia tumbuh dan berkembang di Mekkah sebagai anak yatim, dididik dalam suku Bani Sa’ad sebagaimana anak-anak sebayanya di perkampungan badui. Dengan demikian, kata Nasr Hamid, membahas Muhammad sebagai penerima teks pertama,  berarti tidak membicarakannya sebagai penerima pasif. Membicarakan dia berarti membicarakan seorang manusia yang dalam dirinya terhadap harapan-harapan masyarakat yang terkait dengannya. Intinya, Muhammad adalah bagian dari sosial budaya, dan sejarah masyarakatnya. [2]

Tentang konsep wahyu dan Muhammad versi Nasr Hamid dan sejenisnya ini, ditulis dalam buku “Nasr Hamid Abu Zaid:Kritik Teks Keagamaan” (2003:70):  “ Mereka memandang al-Quran – setidaknya sampai pada tingkat perkataan – bukanlah teks yang turun dari langit (surga) dalam bentuk kata-kata aktual – sebagaimana pernyataan klasik yang masih dipegang berbagai kalangan –, tetapi merupakan spirit wahyu yang disaring melalui Muhammad dan sekaligus diekspresikan dalam tapal batas intelek dan kemampuan linguistiknya.”

Dengan definisi seperti itu, jelas bahwa Nabi Muhammad saw diposisikan Nasr Hamid sebagai semacam “pengarang” al-Quran. Nabi Muhammad saw, sebagai seorang ‘ummiy, bukanlah penerima pasif wahyu, tetapi juga mengolah redaksi al-Quran, sesuai kondisinya sebagai manusia biasa. Konsep yang menyatakan bahwa teks al-Quran sebagai ‘spirit wahyu dari Tuhan’ begitu identik dengan konsep teks Bible, bahwa The whole Bible  is given by inspiration of God”.  Dan pandangan seperti ini, akan berujung pada apa yang banyak dilakukan oleh orientalis generasi-generasi awal yang menyebut agama Islam sebagai “agama Muhammad”, dan hukum Islam disebut sebagai “Mohammedan Law”, umat Islam disebut sebagai Mohammedan”. Penganut konsep Quran versi Nasr Hamid ini biasanya tidak mau menyatakan: “Allah berfirman dalam al-Quran.”, sebab mereka menganggap al-Quran adalah kata-kata Muhammad. Atau, al-Quran adalah karya bersama antara Muhammad dengan Tuhannya.[3]

Pendapat Nasr dan kalangan dekontsruksionis ini memang menjebol konsep dasar tentang al-Quran yang selama ini diyakini kaum Muslim, bahwa al-Quran, baik makna maupun lafaz-nya adalah dari Allah. Dalam konsepsi Islam, Nabi Muhammad saw hanyalah sekedar menyampaikan, dan tidak mengapresiasi atau mengolah wahyu yang diterimanya, untuk kemudian disampaikan kepada umatnya, sesuai dengan interpretasinya yang dipengaruhi oleh kondisi kejiwaan, sosial, dan budaya, setempat dan seketika itu. Posisi beliau saw dalam menerima dan menyampaikan al-wahyu memang pasif, hanya sebagai “penyampai” apa-apa yang diwahyukan kepadanya. Beliau tidak menambah dan mengurangi apa-apa yang disampaikan Allah kepada beliau melalui Malaikat Jibril. Beliau pun terjaga dari segala kesalahan, karena beliau ma’ÎËm. Al-Quran menyebutkan: “Dan dia (Muhammad saw) tidak menyampaikan sesuatu, kecuali (dari) wahyu yang diwahyukan kepadanya.” (QS Al-Najm: 3). Muhammad saw memang seorang manusia biasa, tetapi beliau berbeda dengan manusia lainnya, karena beliau menerima al-wahyu. (QS FuÎilat: 6). Bahkan, dalam surat al-Haaqqah ayat 44-46, Allah memberikan ancaman kepada Nabi Muhammad saw:

“Seandainya dia (Muhammad) mengada-adakan sebagian perkataan atas (nama) Kami, niscaya Kami pegang dia pada tangan kanannya, kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya.” 

Dalam keyakinan Muslim selama ini, Nabi Muhammad saw hanyalah sebagai penyampai wahyu. Teks-teks al-Quran memang dalam bahasa Arab dan beberapa diantaranya berbicara tentang budaya ketika itu. Tetapi, al-Quran tidak tunduk pada budaya. Al-Quran justru merombak budaya Arab dan membangun sesuatu pola pemikiran dan peradaban baru. Istilah-istilah yang dibawa al-Quran, meskipun dalam bahasa Arab, tetapi membawa makna baru, yang berbeda dengan yang dipahami kaum Mushrik Arab waktu itu. Bahkan, al-Quran datang dengan konsep-konsep yang disimbolkan dengan istilah-istilah tertentu yang berbeda maknanya dengan yang dipahami kaum jahiliyah ketika itu.

Banyak cerita yang menunjukkan bagaimana tokoh-tokoh Mushrik Arab begitu terpesona dengan keindahan dan keluarbiasaan gaya bahasa Al-Quran, sehingga mereka menyatakan, bahwa mereka belum pernah mendengar hal serupa sebelumnya. Karena itu, mereka kemudian menuduh Muhammad saw sebagai ‘penyihir’ atau ‘penyair’. Banyak hadith Nabi yang menyebutkan, bahwa setiap tahun, Malaikat Jibril membacakan al-Quran kepada Nabi Muhammad saw. Menjelang wafat beliau, Malaikat Jibril datang dua kali dalam setahun. Dalam hadith-hadith itu digunakan lafazh mu‘ÉraÌa, yang menunjukkan, bahwa Malaikat Jibril dan Nabi Muhammad saw membaca al-Quran secara bergantian.[4]

Dengan menempatkan posisi Muhammad saw sebagai ‘pengarang’ al-Quran dan menyebut al-Quran sebagai ‘cultural product’, maka sebenarnya Nasr Hamid telah melepaskan al-Quran dari posisinya sebagai ‘kalam Allah’ yang suci. Ia menekankan, bahwa ‘teks’, apa pun bentuknya, adalah produk budaya. (Inna al-naÎ fÊ ÍaqÊqatihi wa jawharihi muntaj al-thaqÉfiy). Teks-teks Al-Quran terbentuk dalam realita dan budaya selama kurun lebih dari 20 tahun. Al-Quran jelas menggunakan bahasa Arab, dan tidaklah mungkin berbicara tentang bahasa terlepas dari realitas masyarakat dan budayanya. Dengan demikian, tidaklah mungkin berbicara tentang teks al-Quran terlepas dari realiata dan budaya masyarakat ketika itu.[5]

Ini berdampak kemudian pada metode penafsiran al-Quran yang dia ajukan, yang menggunakan pendekatan historisitas-budaya. Padahal, ketika kajian historisitas itu digunakan, maka seseorang juga akan dipengaruhi oleh pandangan, metode, atau ideologinya. Metode dan pola pikir apa yang digunakan untuk memahami sejarah. Boleh jadi Marxis, Kapitalis, atau lainnya. Metode historisitas juga sulit menghindarkan diri dari subyektivitas. Sebab ketika seorang mengaplikasikan metode ini, ia akan tarpaksa memilih sebagian fakta sejarah dan meninggalkan fakta-fakta lainnya. Seorang sejarawan tidak mungkin menampilkan semua fakta sejarah.

Metode penafsiran Nasr Hamid yang melepaskan posisi teks al-Quran sebagai ‘Kalam Allah’ dapat dilihat dari kritikannya terhadap metode tafsir Ahlu Sunnah, dengan menyimpulkan: (1) Tafsir yang benar menurut Ahlu Sunnah,  dulu dan sekarang,  adalah tafsir yang didasarkan pada otoritas ulama terdahulu. (2) Kekeliruan yang mendasar pada sikap Ahlussunnah, dulu dan sekarang, adalah usaha mereka mengaitkan “makna teks” dan ‘dalalah-nya’ dengan masa kenabian, risalah, dan turunnya wahyu. Ini bukan saja kesalahan “pemahaman”,  tetapi juga merupakan ekspresi sikap ideologisnya terhadap realitas –  suatu sikap yang bersadar pada keterbelakangan,  antikemajuan dan anti- progresivitas. Oleh karena itu kaum Ahlu Sunnah menyusun sumber-sumber utama penafsiran al-Quran pada empat hal: penjelasan Rasulullah saw, sahabat, tabi’in, dan terakhir yaitu tafsir bahasa.[6]

Benarkah Ahlu Sunnah mendukung keterbelakangan dan antikemajuan, seperti klaim Nasr Hamid? Pendapat Nasr Hamid seperti itu tentu saja bukan pendapat ilmiah yang didukung oleh data-data yang kuat. Apakah salah jika Ahlus Sunnah berpikir bahwa sebagai penerima wahyu, tentu Rasulullah saw adalah yang paling paham terhadap makna teks al-Quran. Jika bukan Rasul saw yang paling tahu, lalu siapa yang paling memahami makna wahyu tersebut?  Selama ratusan tahun, kaum Muslim mengalami zaman keemasan dan mencapai kemajuan di berbagai bidang justru ketika mereka menganut pola pemahaman Ahlu Sunnah. Upaya untuk meruntuhkan konsep Ahlu Sunnah dilakukan Nasr Hamid dengan menyerang sejumlah tokoh utamanya, seperti Imam al-Shafii, al-Ghazali dan Ash’ari.

Jadi, ketika konsep teks al-Quran dibongkar, dan dilepaskan dari posisinya sebagai ‘kalam Allah’ maka al-Quran akan diperlakukan sebagai ‘teks bahasa’ dan ‘produk budaya’, sehingga bisa dipahami melalui kajian historisitas, tanpa memperhatikan bagaimana Rasul Allah dan para sahabat beliau  mengartikan atau mengaplikasikan makna ayat-ayat al-Quran dalam kehidupan mereka.  Dengan pembongkaran konsep al-Quran sebagai ‘Kalam Allah’ ini, maka barulah metode hermenutika liberal memungkinkan digunakan untuk memahami al-Quran.  Metode ini memungkinkan penafsiran al-Quran menjadi bias dan disesuaikan dengan tuntutan nilai-nilai budaya yang sedang dominan (Barat).

Sebagian kalangan memuja Nasr Hamid secara berlebihan, dengan menempatkannya pada posisi ‘mujtahid’ atau ‘mujaddid’ baru, yang seolah-olah telah berhasil menggusur metode Imam al-Ash’ari, al-Shafii, al-Ghazali, dan sebagainya. Buku-bukunya diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia,  tanpa kritik yang memadai. Pendukungnya berjubel dan terkadang tetap mengatasnamakan diri mereka sebagai ‘Ahlu Sunnah’. Padahal, Nasr Hamid sendiri menghujat habis-habisan metode penafsiran al-Quran versi Ahl Sunnah dan lebih menyukai metode Mu’tazilah – meskipun nanti terbukti, konsep Quran-nya pun sangat jauh menyimpang dari konsep Mu’tazilah.[7]

Sebagaimana disinggung pada bagian terdahulu, jika ditelaah lebih jauh, upaya-upaya untuk meruntuhkan atau membongkar konsep al-Quran yang dilakukan para orientalis dan para pendukungnya, juga dilatarbelakangi oleh problema yang dihadapi kaum Kristen-Yahudi dalam soal otentisitas teks Kitab agama mereka, yaitu Bible. Itulah yang terjadi pada Bible, sehingga banyak pakar mereka yang berpendapat, mungkin sekali untuk menghadirkan Bible alternatif. Ini tentu sangat berbeda dengan kondisi al-Quran al-Karim. Uniknya, setelah para orientalis dan misionaris Kristen-Yahudi mulai kelelahan dalam menyerang al-Quran, justru dari kalangan muslim sendiri, muncul cendekiawan yang melanjutkan proyek-proyek mereka.

Banyak yang menyangka bahwa kajian teks al-Quran versi Nasr Hamid adalah berangkat dari tradisi Islam, padahal di dalamnya secara implicit menunjukkan kesamaan dan persamaan dengan metodologi kajian teks di Barat yang embrionya adalah kajian teks Bible yang bermasalah itu.

Kesamaan Kajian Nasr dengan Kajian teks Bible

Meski Nasr Hamid tidak menyebutkan secara eksplisit sumber dari metodologi dan pendekatannya terhadap al-Qur’an, namun kita dapat mencari kesamaannya dengan tradisi kajian teks Bible, kalau bukan pengaruhnya.  Terminologi naÎÎ yang digunakan Nasr,  yang dalam hal ini berdenotasi kepada makna teks mengingatkan kita kepada tradisi kajian teks Bible dalam Kristen.

Seperti diketahui bahwa Studi tentang kritik teks Bible memang telah berkembang pesat di Barat.[8] Oxford Concise Dictionary of the Christian Church” (Oxford University Press, 1996) menulis tentang ‘critical study of the Bible’ yang berkembang pesat abad ke-19: “It sets out from the belief that an ancient writing must be interpreted in its historical perspective and related to the circumstances of its composition and its meaning and purpose for its author and first readers.” Reginald H. Fuller, dalam bukunya berjudul A Critical Introduction to the New Testament, (London: Gerald Duckworth & Co Ltd, 1979), menulis: “That is why if we are to understand what the New Testament texts were meant to say by the authors when they were first written… we must first understand the historical situation in which they were first written.” 

Masalah yang dihadapi oleh Bible (The New Testament) adalah karena ia ditulis antara tahun 60-90 M, atau sekitar 30-60 tahun setelah masa Jesus. Karena itu maka masalah otentisitas teks Bible itu menjadi bermasalah dan menjadi perbincangan hangat di kalangan Kristen. Begitu juga bangunan teologis di atasnya. Di kalangan Kristen, hanya kelompok fundamentalis saja yang masih mempercayai bahwa Bible adalah ‘The Words of God/verba dei’. Namun dalam doktrin Kristen yang lain dikatakan: “The whole Bible  is given by inspiration of God.”  Dan dalam I Korinthus 2:13, disebutkan, Paulus mengucapkan kata-kata yang diajarkan oleh Roh Kudus.”[9]

Jika keyakinan bahwa Bible adalah “kata-kata Tuhan” dianggap keyakinan Kristen fundamentalis, maka tidak salah jika orang-orang Barat menuduh ummat Islam yang berkeyakinan serupa sebagai fundamentalis. Ketika membahas tentang keyakinan Muslim bahwa “al-Quran adalah kata-kata Allah” Hans Kung, menulis sebagai berikut: “It must be remembered, that not only Muslims believe this; fundamentalist Christians look upon the Bible in the same way. The fundamentalist Christian says: All this is dictated by God, from the first phrase to the last. There is nothing that changes, nothing to interpret. Everything is clear.”[10] Ada upaya sadar dikalangan Kristen dan orientalis untuk meletakkan al-Qur’an setara dengan Bible. Padahal ada yang mengakui bahwa: “The Quran has no parallel outside Islam.”[11]

Jadi disini telah jelas bahwa dari persoalan otentisitas teks Bible lahirlah pendekatan kritis terhadap kajian teks Bible. Karena mereka menganggap Bible dan al-Qur’an sebagai berstatus sama, yaitu teks keagamaan, maka trend kajian al-Qur’an dikalangan orientalis Kristen seperti sebuah pertanyaan curious: mengapa kajian kritis tentang teks Bible itu begitu berkembang, sementara Kitab Suci al-Quran masih tetap diyakini kaum Muslim sebagai Kalam Allah yang suci?

Pada tahun 1927, Alphonse Mingana, pendeta Kristen asal Irak dan guru besar di Universitas Birmingham Inggris, menyatakan, “sudah tiba saatnya untuk melakukan kritik teks terhadap al-Qur’an sebagaimana telah kita lakukan terhadap kitab suci Yahudi yang berbahasa Ibrani-Arami dan kitab suci Kristen yang berbahasa Yunani (The time has surely come to subject the text of the Kur’an to the same criticism as that to which we subject the Hebrew and Aramaic of the Jewish Bible, and the Greek of the Christian scriptures).”[12]

Setelah itu, muncullah trend dikalangan orientalis untuk melakukan kajian kritis terhadap teks al-Quran, sebagaimana sudah terjadi pada Bible. Toby Lester dalam The Atlantic Monthly, Januari 1999, mengutip pendapat  Gerd R. Joseph Puin, seorang orientalis pengkaji al-Quran, yang menyarankan perlunya ditekankan soal  aspek kesejarahan al-Quran. “So many Muslims have this belief that everything between the two covers of the Koran is just God’s unaltered word,” (Dr. Puin) says. “They like to quote the textual work that shows that The Bible has a history and did not fall straight out of the sky, but until now the Koran has been out of this discussion. The only way to break through this wall is to prove that the Koran has a history too.” 

Jadi, orang seperti Lester ini ingin agar kaum Muslim melepaskan keyakinannya, bahwa al-Quran adalah kata-kata Tuhan (kalam Allah) yang tidak berubah. Untuk menjebol tembok keyakinan umat Islam itu, menurut Puin, maka harus dibuktikan bahwa al-Quran juga memiliki aspek kesejarahan. Aspek historisitas al-Quran inilah yang harus ditekankan dalam pengkajian al-Quran, sebagaimana juga telah dilakukan orang-orang Kristen dan Yahudi di Barat terhadap Bible.

Lalau bagaimana semua ini berpengaruh terhadap pemikiran NaÎr ×Émid AbË Zayd? Tidak dapat dibuktikan secara langsung memang. Tapi Lester sendiri, setelah menyebut beberapa nama orientalis yang mengembangkan pendekatan serupa, menyatakan kegembiraannya bahwa di dunia Islam, sejumlah orang telah melakukan usaha “revisi” terhadap paham tentang teks al-Quran sebagai kalam Allah. Diantaranya, ia menyebut nama NaÎr ×Émid AbË Zayd, Arkoen, dan beberapa lainnya. Demikian pula Michael Cook, dalam bukunya, The Koran: A Very Short Introduction, (2000:44), mengutip pendapat NaÎr ×Émid AbË Zayd – yang dia tulis sebagai “a Muslim secularist” – tentang al-Quran sebagai produk budaya: “If the text was a message sent to the Arabs of the seven century, then of necessity  it was formulated in a manner which took for granted historically specific aspects of their language and culture. The Koran thus took shape in human setting. It was a ‘ cultural product’ – a phrase Abu Zayd used several times, and which was highlighted by the Court of Cassation when it determined him to be an unbeliever.[13]
 
Dari urain diatas dapat diasumsikan bahwa ide-ide NaÎr ×Émid AbË Zayd mendapatkan aspirasi dari kajian kritis teks Bible, dan bukan sepenuhnya pemikiran kreatif dan kritis yang dihasilkan dari tradisi intelektual Islam.

Konsep Khalq al-Qur’Én Mu’tazilah
Meskipun telah dapat diasumsikan bahwa pendekatan NaÎr ×Émid dalam kajian teks al-Qur’an telah bersentuhan dengan metodologi kajian teks Bible, namun ia sendiri mengklaim bahwa ia mengikuti faham Mu’tazilah.  Berikut ini kita paparkan bagaimana pandangan Mu’tazilah tentang al-Qur’an.

Jika dicermati, konsep al-Quran versi Mu’tazilah berkutat pada level filosofis tentang sifat ‘Kalam Allah’. Mu’tazilah berpegang teguh dengan konsep, bahwa al-Quran adalah ‘Kalam Allah’, dan sama sekali tidak berpendapat bahwa al-Quran adalah ‘karya’ Muhammad, atau produk budaya. Ulama-ulama Mu’tazilah[14] bersepakat bahwa al-Quran adalah Kalam Allah (firman-Nya). Hanya saja, mereka berpendapat, bahwa ‘Kalam Allah’ adalah diciptakan sebagaimana makhluk lainnya diciptakan. Oleh karena itu al-Quran dalam pandangan mereka bukanlah suatu yang qadÊm. [15].

Abu al-Hudhail al-AllÉf (131H-226H) berpendapat bahwa AllÉh menciptakan al-Qur’Én di LauÍ al-MaÍfËdh yang masih berbentuk ‘arad. Kemudian dinampakkan melalui tiga tempat; di tempat dia dijaga, di tempat dia ditulis dan di tempat dia dibaca dan didengar.[16] Pendapat ini diperkuat oleh khalifah al-MakmËn (w. 218 H) dengan menafsirkan surat al-BurËj: 21-22 (Bahkan dia adalah al-Qur’Én yang mulia, yang tersimpan di Lauh al-MahfËdh), bahwa sesungguhnya perkataan “Lauh” yang mendindingi al-Qur’Én mengandung pengertian “khalq” (temporal), sebab suatu benda tidaklah didindingi kecuali dengan sesuatu yang diciptakan (idh lÉ yuhÉÏu illÉ bi makhlËq).[17]

Lebih lanjut al-QÉdi Abd al-JabbÉr menerangkan bahwa kalÉm (firman) adalah bagian dari perbuatan (af’Él) Allah, yang Dia ciptakan dalam jism ketika hendak mengadakan kontak dengan makhluk-Nya, baik berupa perintah, larangan, janji maupun ancaman. Maka setiap perbuatan Allah tidak boleh dikatakan qadÊm, sebagaimana tidak boleh mengklaim bahwa segala ni’mat dan ihsan Allah yang senantiasa diberikan kepada hamba-hamba Nya adalah qadÊm. Dengan demikian al-Quran yang merupakan Kalam Allah otomatis adalah makhluk, karena dia merupakan bagian dari perbuatan-Nya (af’Él) yang selalu dilakukan sesuai dengan maslahat dan kebutuhan.[18]

Kata al-QÉdi Abd al-Jabbar, “Jikalau dalam al-Qur’Én terdapat perintah dan larangan, serta janji dan ancaman, maka sesungguhnya kedudukan perintah itu sendiri senantiasa memerlukan objek yang diperintah. Sebagai contoh,  ayat tentang perintah shalat, tidak mungkin sudah ada semenjak azali, sebelum diciptakannya manusia, karena merupakan hal yang mustahil, suatu perintah ditujukan kepada sesuatu yang tidak ada (ma’dËm). Maka dengan demikian perintah AllÉh bukanlah hal yang qadÊm.[19]

Dr. Ahmad HijÉzi al-SaqÉ dalam pengantar buku Fakhr al-DÊn al-RÉzi, Khalq al-Qur’Én bayna al-Mu’tazilah wa Ahl al-Sunnah, memperjelas pandangan Mu’tazilah dalam masalah khalq al-Qur’Én dengan menambahkan contoh kejadian-kejadian yang dijelaskan dalam al-Qur’Én setelah berlangsungnya peristiwa tersebut, seperti perang Badr, pengaduan perempuan kepada RasËlullÉh hal suaminya (al-MujÉdalah) dan lain sebagainya. Contoh-contoh ini membuktikan bahwasanya al-Qur’Én itu hÉdits. Sebab bagaimana mungkin kejadian perang badr dan perihal pengaduan perempuan sudah ada dan berlaku semenjak azali?

Konsep khalq al-Qur’Én versi Mu’tazilah itu memang ditempatkan dalam konteks pembahasan sifat-sifat AllÉh (God’s attributes). Dalam tradisi Mu’tazilah, masalah sifat Allah  dibahas dalam asl al-TawhÊd (prinsip tauhid), yang diletakkan sebagai prinsip pertama dalam akidah Al-UsËl al-Khamsah (lima prinsip dasar, five affirmations).[20] Dengan demikian masalah khalq al-Qur’Én adalah sub bahasan asl al-TawhÊd. Dan inti asl al-TawhÊd menurut Mu’tazilah bermuara pada tanzÊh al-BÉrÊ (pensucian Tuhan).[21] Maksud tanzÊh di sini berarti nafyu al-tashbÊh (menolak penyerupaan). Yaitu menyerupakan Dzat dan sifat AllÉh dengan makhluk-Nya. Sehingga dalam kerangka pembahasan sifat-sifat AllÉh mereka senantiasa menolak segala pemahaman yang mengarah kepada penyerupaan makhluk. Berawal dari konsep inilah, muncul pemikiran al-sifÉt ‘ainu al-dhÉt (sifat dan dzat AllÉh adalah satu), nafyu al-ru’yah dan khalq al-Qur’Én yang menolak madhhab tashbÊh dan tajsÊm. Dengan demikian pemikiran khalq al-Qur’Én sebenarnya untuk memperkuat konsep tanzÊh yang menyangkal keberbilangan Yang QadÊm. Konsep Mu’tazilah sebenarnya merupakan respon yang menyangkal ekstrimitas madhhab tashbÊh. Namun,  pada akhirnya mereka juga terjebak dalam bentuk ekstrimitas yang lain. Sebab, konsep ini telah menafikan keberadaan sifat, ketika mereka menyatukannya dengan dzat (al-sifÉt ‘ainu al-dhÉt).

Pendapat Mu’tazilah tentang al-Qur’Én itu kemudian  mendapatkan kritikan dari Ahlu al-Sunnah. Dalam Kitab al-Luma’, Imam al-Ash’ari menyatakan: “Jikalau al-Qur’Én itu makhluk (diciptakan), pasti tidak lepas dari tiga hal. Pertama, Allah menciptakan al-Quran dalam diri-Nya. Kedua,  Allah  menciptakannya secara independent (berdiri-sendiri). Ketiga, Allah menciptakannya di luar diri-Nya.

Yang pertama tidak bisa diterima oleh akal. Allah tidak mungkin menciptakan al-Quran dalam diri-Nya, sebab diri-Nya bukanlah tempat (mahallun) untuk al-hawÉdith (hal-hal yang bersifat temporal). Yang kedua juga mustahil. Al-Quran tidak mungkin diciptakan secara independen, sebab al-Quran adalah Kalam Allah,  dan Kalam adalah sifat yang keberadaannya tidak mungkin berdiri sendiri. Yang ketiga pun tidak mungkin. Bahwa Al-Quran diciptakan di luar diri-Nya. Jika begitu, berarti Allah menciptakan al-Quran dalam sebuah organ atau benda lain di luar diri-Nya. Jika al-Quran itu berbentuk perintah, berarti organ tersebut bersifat memerintah, dan bila berbentuk ancaman maka dia juga bersifat mengancam. Demikian seterusnya. Maka sangat mustahil bila Allah hanya dapat berfirman, memerintah atau memberikan janji dan ancaman melalui perantara sebuah organ atau benda yang diciptakan di luar diri-Nya,  yang dengan benda itu Allah baru bisa berfirman atau memerintah.[22]

Selanjutnya Imam al-Ash’ari membagi al-Quran kedalam dua bagian: al-kalÉm al-lafdhi adalah makhluk dan al-kalÉm al-ma’nawi adalah qadÊm.

Sementara itu Imam Ahmad menganalisis makna kata ja’alnÉ dalam ayat al-Quran 43:3. Ayat ini dipakai golongan zanÉdiqah untuk mendukung pendapat bahwa al-Quran itu diciptakan (makhluk). Menurut Imam Ahmad yang dimaksud dengan kata “ja’alnÉ” dalam ayat “ja’alnÉ Qur’Énan arabiyyan” masuk dalam pengertian perbuatan Allah (fi’l min af’Élihi) dan bukan berarti penciptaan (khalq) seperti dugaan mereka. Sehingga ketika Allah menjadikan al-Quran dalam bahasa Arab dan memudahkan pemahamannya melalui lisan Nabi-Nya, hal itu termasuk kehendak dan perbuatan Allah.[23] Akan tetapi jika yang dimaksud al-Quran itu adalah bacaan (tilÉwah), maka ulama Ahlu al-Sunnah bersepakat dengan Mu’tazilah tentang makhluknya al-Qur’Én, seperti yang diakui oleh Ahmad ibn Hanbal dan Ibnu Taimiyyah.[24]

Respon Ahlu Sunnah juga bisa dilihat pada pendapat Imam Fakhr al-DÊn al-RÉzÊ (544H- 606H/1149M-1210M). Ia menyorot argumentasi Mu’tazilah yang menggunakan kejadian-kejadian dalam al-Quran, seperti kisah perang Badr, pengaduan perempuan tentang suaminya dan sebagainya untuk memperkuat bukti konsep ‘al-Quran adalah makhluk’. al-RÉzÊ berpendapat bahwa jika kejadian-kejadian tersebut dipandang dari sisi huruf dan suara, maka beliau bersepakat dengan Mu’tazilah bahwa al-Quran itu makhluk, sebab dalam pandangan mereka al-Quran tidak lain hanyalah susunan huruf dan suara, sehingga argumentasi yang mereka utarakan hanyalah berkisar pada temporalnya (hudËth) huruf dan suara tersebut. Sedangkan pandangan Ahlu al-Sunnah tentang qadÊm-nya al-Quran bukan dari sisi ini, tapi dari sudut pengertian lain.[25]

Pengertian keazalian al-Quran bagi Ahlu al-Sunnah merujuk kepada al-kalÉm al-nafsi, yang berwujud ide dan pengetahuan (‘ilm) yang telah ada semenjak azali sebelum terlafadzkan dan diwahyukan kepada Muhammad SAW. Jadi segala peristiwa yang termaktub dalam al-Quran sudah dalam pengetahuan Allah semenjak azali. Sebab sifat mengetahui bagi Allah (sifat al-‘ilm lillÉh) adalah qadÊm, dan tidak terbatasi dengan ruang dan masa, baik masa yang telah lalu maupun yang akan datang.

Menurut al-RÉzÊ, hakekat perintah adalah suatu sifat yang menuntut pelaksanaan (al-fi’l). Akan tetapi kenapa harus dinafikan ketika Allah berkehendak menetapkan suatu perintah secara azali (sebelum diciptakan semua makhluknya),  sedangkan pelaksanaannya setelah diciptakan manusia dan alam semesta? Demikian juga ketika terdapat penyebutan Musa, Abu Lahab dan sebagainya, sebenarnya tidak harus diinterpretasikan bahwa al-Quran itu makhluk, sebab Allah secara azali telah mengetahui bahwa Dia akan menciptakan alam semesta seisinya, kemudian ketika alam telah tercipta, maka berarti hal tersebut bersesuaian dengan pengetahuan (‘ilm) Allah yang azali itu.[26]
Pandangan Ahlu Sunnah tentang al-Quran didasarkan pada konsep lÉ hiya huwa wa lÉ hiya ghairuhu (sifat bukanlah dzat dan bukan selain dzat) yang menganut pendekatan paradox, dan bukan pendekatan dichotomist yang dilakukan oleh Mu’tazilah dan Mushabbahah (antropomorphisist) menghasilkan konsep al-sifÉt ‘ainu al-dhÉt (sifat dan dzat adalah satu) dan al-sifÉt ghairu al-dhÉt (sifat adalah independen di luar dzat).

Analisis  dan kesimpulan

Walaupun Mu’tazilah berpendapat bahwa al-Qur’Én adalah makhluk tetapi mereka tidak sampai mengklaim bahwa posisi teks atau wahyu al-Quran telah berubah menjadi peradaban, seperti yang menjadi salah satu trend pemikiran kontemporer.[27] Atau menyamakan kemunculan al-Qur’Én dalam peradaban Arab dengan kemunculan filsafat dalam perjalanan peradaban Barat.[28]

Demikian pula tidak didapati dalam tradisi pemikiran Mu’tazilah bahwa mereka mempermasalahkan jenis bahasa yang digunakan al-Qur’Én sebagai media untuk memahami wahyu Tuhan, sebab Mu’tazilah tidak pernah memperdulikan bahasa apapun yang digunakan, selama bahasa tersebut bisa memudahkan manusia memahami segala firman-Nya. Ini sangat berbeda dengan pandangan Nasr Hamid  bahwa penggunaan bahasa Arab telah mencemari kesakralan wahyu itu sendiri. Sebab menurut Nasr Hamid, bahasa Arab yang digunakan dalam al-Quran ini bukanlah diturunkan di “tempat yang kosong”.[29] Bahkan, menurutnya, bahasa Arab kala itu sudah memiliki struktur dan sistem yang tidak dapat dilepaskan dari struktur dan sistem masyarakat Arab.

Dengan demikian dapat dipahami dari pemikiran Nasr Hamid bahwa seolah-olah nilai al-Quran sebagai wahyu dan Kalam Allah sudah hilang kesakralannya, hanya karena Allah memilih bahasa Arab sebagai bahasa al-Quran yang pada waktu itu digunakan oleh suku-suku yang berperadaban rendah dalam percakapan mereka sehari-hari. Jika jenis bahasa sebagai sesuatu yang partikular, lalu dengan bahasa apakah al-Quran seharusnya diturunkan, sehingga manusia dapat memahami wahyu Tuhannya tanpa mengotori kesakralannya?

Jika konsep al-Quran sebagai ‘Kalam Allah’ diruntuhkan, maka giliran berikutnya adalah al-Hadith al-Nabawi. Beberapa diantara pemikir Arab kontemporer menyatakan, bahwa al-HadÊth pada awal mulanya sama sekali bukanlah sesuatu yang sakral. Mohammed Arkoun menyatakan, bahwa al-HadÊth baru mendapatkan lebel sakral “sejak Imam al-Shafi‘Ê melakukan ‘interposisi’nya yang terkenal itu (204 H./820 M)”.[30] Dengan menyimak uraian di atas, dapat dipahami bahwa tradisi pemikiran Mu’tazilah tidak dapat disamakan dengan banyak ide-ide dekonstruksi konsep-konsep dasar Islam, yang dilakukan sejumlah pemikir Arab kontemporer.  Dekonstruksi konsep al-Quran yang dilakukan para pemikir kontemporer itu lebih tepat jika dikatakan merupakan adopsi dari tradisi Kristen di Barat yang berkembang pesat pada abad ke-19, dan bukan berasal dari penggalian tradisi pemikiran yang pernah dikembangkan Mu’tazilah.

Klaim bahwa al-Qur’an adalah produk budaya Arab, sejatinya sangat berlebihan. Ini akan   membawa konsekuensi kepada timbulnya pendapat bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia ini diluar kehendak dan perbuatan Allah. Jika yang dimaksud adalah bahwa al-Qur’an itu terkondisikan oleh budaya Arab, barangkali bisa diterima. Sebab dimanapun al-Qur’an diturunkan ia akan mengikuti bahasa dan budaya setempat yang sudah tentu berunsur manusia. Maka dari itu pernyataan bahwa bahwa al-Qur’an dipengaruhi oleh budaya Arab harus difahami sebagai terkondisikan oleh budaya itu. Tapi yang tidak terucap disini adalah bahwa bangsa Arab tidak saj a dipengaruhi oleh al-Qur’an tapi justru dirubahnya. Konsep-konsep seperti al-bai’, nikÉh’, taqwÉ, karÉmah, ukhuwwah dsb. Adalah konsep baru yang merubah pandangan hidup Arab.

Jika dikatakan, bahwa tradisi dan budaya masyarakat Arab jahiliyyah telah mempengaruhi al-Quran, lalu mengapa mereka tidak mengikuti petunjuk al-Qur’Én bahkan menjauhi dan mengingkarinya serta menganggapnya sihir?

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa sebenarnya NaÎr ×Émid AbË Zayd tidak sepenuhnya merujuk kepada Mu’tazilah. Pernyataannya bahwa al-Qur’an adalah produk budaya, yang melampaui ide-ide Mu’tazilah itu, nampaknya dimaksudkan untuk meletakkan al-Qur’an pada status makhluk Tuhan dan agar al-Qur’an tidak dianggap sakral lagi sehingga ia dapat dikaji secara kritis. Dalam menggunakan metodologi kritik teks ini besar kemungkinan NaÎr ×Émid AbË Zayd mengadopsi metodologi kajian kritis teks Bible atau hermeneutika di Barat.

Oleh: Adian Husaini dan Henri Shalahuddin


[1] Nasr Hamid Abu Zaid, MafhËm al-NÉÎ DirÉsah fÊ ‘UlËm al-Qur’Én, (Beirut: al-Markaz al-Thaqafiy al-Araby, 1994), hal. 9. AbË Zaid, NaÎr ×Émid, Naqd al-KhiÏÉb al-DÊnÊ (Al-QÉhirah: Maktabah MadbËlÊ, cetakan ke-4, 2003).
[2] Nasr Hamid Abu Zaid, MafhËm al-NÉÎ, hal. 59, 65
[3] Dalam sampul buku Mafhum al-NaÎ edisi terjemahan bahasa Indonesia, ditulis: “Dengan pembongkaran ini, kajian atas al-Quran menjadi semakin menarik, merangsang perdebatan ini melahirkan konsep baru yang radikal terhadap eksistensi al-Quran.”
[4] MuÍammad MuÎÏafÉ al-AÐami, The History of the Qur’Énic Text from Revelation to Compilation: A Comparative Study with the Old and New Testaments (Leicester: UK Islamic Academy, 2003), hal. 52.
[5] Nasr Hamid, MafhËm al-NÉÎ, hal. 24.
[6] Nasr Hamid, MafhËm al-NÉÎ, hal. 221-223.
[7] Di sampul buku Mafhum al-NaÎ edisi terjemahan Indonesia ditulis: “Buku ini merupakan salah satu sayap penafsiran radikal yang menolak al-Quran didekati secara dogmatis-ideologis. Sebagai sanggahannya, penulis melakukan pembongkaran atas Konsep Teks dan Wahyu melalui metode analisis teks.”
[8] Dr. Ernest C. Colwell, dari School of Theology Claremont, misalnya, selama 30 tahun menekuni studi ini, dan menulis satu buku berjudul “Studies in Methodology in Textual Criticism on the New Testatement”.  Buku-buku karya Prof. Bruze M. Metzger, guru besar The New Testament di Princeton Theological Seminary, menunjukkan, bagaimana kuatnya tradisi kajian kritis terhadap Teks Bible. Juga, Werner Georg Kume, The New Testament: The History of the Investigation of Its Problem, (Nashville: Abingdon Press, 1972).
[9] Lihat: Louis Berkhof, A Summary of Christian Doctrine, (London: The Banner of Truth Trust, 1978), hal. 16-17.
[10] Hans Kung, “What Is True Religion?” dalam Leonard Swidler (ed), Toward a Universal Theology of Religion, (New York: Orbis Book, 1987), hal. 200-201.
[11] Norman Daniel, Islam and The West: The Making of an Image, (Oxford:Oneworld Publications, 1997), hal. 53
[12] Lihat artikelnya dalam Bulletin of the John Rylands Library (Manchester, 1927) XI: 77.
[13] Pendapat Lester dan Cook dikutip dari buku The History of the Qur’anic Text, From Revelation to Compilation: A Comparative Study with the Old and New Testament, karya MusÏafa A’zhami (Leicester: UK Islamic Academy, 2003),  hal. 8-9.
[14] Di antara ulama-ulama Mu’tazilah tersebut adalah al-NadhÉm, Abu al-Hudhail al-AllÉf, Ja’far Ibnu Harb, Muammar, al-QÉdi Abd al-JabbÉr dan para pengikut mereka serta golongan al-BaghdÉdiyyËn.
[15] QadÊm berarti azali dan kekal, yang tidak bermula dan tidak berakhir
[16] Abd al-RahmÉn Badawi, MadhÉhib al-IslÉmiyyÊn, vol. I, Dar al-Ilm li al-MalÉyÊn, Beirut, hal. 164-168 dan hal. 300
[17] al-Ùabari (w.310H), TÉrÊkh al-Umam wa al-Muluk, vol. XI, hal. 1125-1131.
[18] Imam al-Hasan al-Basri, al-QÉdi Abd al-JabbÉr, Imam al-QÉsim al-Rassi dan al-ØarÊf al-Murtadla, RasÉil al-‘Adl wa al-TawhÊd, DÉr al-HilÉl, h. 141
[19] al-QÉdi Abd al-JabbÉr, al-Mughni fi AbwÉb al-TawhÊd wa al-Adl, vol 7, al-DÉr al-MiÎriyyah, hal. 63
[20] Al-UsËl al-Khamsah terdiri dari lima prinsip; Tauhid (the Unity of God), keadilan (the justice of God), janji dan ancaman (the promise and the threat), kedudukan di antara dua kedudukan (the “neutral” position in relation to the sinner) dan amar ma’ruf nahi munkar (the “commanding of good and forbidding of evil”). Namun bila merujuk kepada kronologi sejarah, maka asl al-Manzilah bayna al-Manzilatain (kedudukan diantara dua kedudukan) ditempatkan sebagai prinsip pertama. Walau demikian, semua tokoh Mu’tazilah bersepakat bahwa barang siapa tidak mempercayai salah satu prinsip, atau mengurangi dan menambahi kelima prinsip di atas, maka tidaklah layak digolongkan sebagai Mu’tazilah. (lihat: Mustafa Hilmi, t.t. , Manhaj UlamÉ’ al-HadÊth wa al-Sunnah min UsËl al-DÊn, DÉr al-Da’wah, Iskandaria, hal. 85)
[21] Yang dimaksud tanzih (mensucikan) adalah menetapkan keesaan dhat Allah dengan menafikan qadim–nya sifat-sifat Nya. Karena dalam keyakinan Mu’tazilah, anggapan tentang qadimnya sifat sama dengan ta’addud al-qudama (berbilangnya zat yang qadim) yang dikategorikan sebagai perbuatan shirik. Maka konsep tanzih Mu’tazilah sebenarnya lahir sebagai respon atas aliran Mushabbahah, Mujassamah, akidah Yahudi dan akidah trinitasnya Nasrani.
[22] Imam Abu al-Hasan al-AÎ’ari, 1955 al-Luma’ fi al-Radd alÉ Ahl al-Zaigh wa al-Bida’, Maktabah al-Khanji, Kairo, hal. 64-65
[23] Imam Ahmad ibnu Hanbal, 1399H, al-Radd ‘AlÉ al-ZanÉdiqah wa al-Jahamiyyah, al-MaÏba’ah al-Salafiyyah, Kairo, hal: 27-29
[24] Abu Zahrah, Ahmad ibnu Hanbal, hal. 132 dalam buku JalÉl Muhammad Abd al-HamÊd MusÉ, Nash’at al-Ash’ariyyah wa TaÏawwuruha, DÉr al-Kutub al-LibnuÉni, hal. 254
[25] Imam Fakhr al-DÊn al-RÉzÊ, al-TafsÊr al-KabÊr, 1992, hal. 70
[26] ibid
[27] YumnÉ ÙarÊf Al-KhËlÊ, AmÊn Al-KhËlÊ wa al-Ab‘Éd al-Falsafiyyah li al-TajdÊd, DÉr al-Ma‘Érif, Kairo, 2000, hal. 70.
[28]‘AlÊ ×arb, Al-HaqÊqah wa al-Ta‘wÊl, DÉr al-TanwÊr, Beirut, cet. I, 1985, hal. 45.
[29] NaÎr HÉmid AbË Zaid, 1990, MafhËm al-NaÎÎ: DirÉsah fÊ ‘UlËmi al-Qur’Én, Al-Haiah al-MiÎriyyah al-‘Émmah li al-KitÉb, Kairo, hal. 27
[30] Muhammed Arkoun, Al-Fikr al-UÎËlÊ wa IstihÉlah al-Ta’ÎÊl: NaÍwa TÉrÊkh Ékhar li’l Fikr al-IslÉmÊ, diarabkan dan dikometari oleh HÉshim ØÉlih, Dar Al Saqi, Beirut, cet. I, 1999, hal. 23.

0 komentar: