Rabu, 04 April 2012

KONSEP WALI DALAM PERNIKAHAN


Pernikahan adalah sesuatu yang sakral dan sangat suci, ia merupakan dambaan setiap pemuda dan pemudi. Namun di dalam mewujudkan hal tersebut tidaklah mudah dan sembarangan,  karena di dalam pernikahan ada rukun-rukun dan syarat-syarat yang harus dipenuhi, apabila kurang salah satu rukun atau syaratnya maka menurut kesepakatan ulama fiqih tidak sah pernikahan tersebut. Di antara rukun-rukun nikah yang harus dipenuhi adalah sebagaimana berikut:
  1. Wali.
  2. Dua orang saksi
  3. Akad.
  4. Mahar.
Adapun salah satu rukunnya  adalah adanya wali dari pihak perempuan. Apabila rukun ini tidak terpenuhi bahkan cenderung diabaikan maka sia-sialah pernikahan yang dilaksanakan, sehingga seorang laki-laki belum resmi memiliki seorang wanita yang dinikahinya.
Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah
عن عائشة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: “لا نكاح إلا بولي وشاهدي عدل
Dari Aisyah Radhiyallahu anha bahwasanya Rasulullah r bersabda, “Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil.”[1]
Sabdanya yang lain,
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ
Dari Aisyah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Wanita manapun yang menikah tanpa seizin walinya maka nikahnya adalah batal, nikahnya adalah batal, nikahnya adalah batal”[2].

1. Wali Nikah Menurut Bahasa Dan Istilah.
Kata wali dalam kamus besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai pengasuh, orang tua atau pembimbing terhadap orang atau barang.[3] Perwalian dari bahasa Arab adalah Walayah atau wilayah yaitu hak yang diberikan oleh syariat yang membuat si wali mengambil dan melakukan sesuatu, kalau perlu secara paksa diluar kerelaan dan persetujuan dari orang yang diperwalikan.[4]

Menurut Amin perwalian dalam literatur fiqh Islam disebut dengan Al-walayah atau Al-Wilayah seperti kata ad-dalalah yang juga disebut ad-dilalah. Secara etimologis mengandung beberapa arti yaitu cinta (al-mahabbah) dan pertolongan (an-nashrah) atau bisa juga berarti kekuasaan atau otoritas. Seperti dalam ungkapan al-wali yakni orang yang mempunyai kekuasaan untuk mengurus sesuatu.[5] Perwalian dalam istilah Fiqh disebut wilayah yang berarti penguasaan dan perlindungan. Yang dimaksud perwalian adalah penguasaan penuh yang diberikan oleh agama kepada seseorang untuk menguasai dan melindungi orang atau barang.[6] Dalam Fiqh Sunnah di jelaskan bahwa wali adalah suatu ketentuan hukum yang dapat di paksakan kepada orang lain sesuai dengan bidang hukumnya, wali ada yang khusus dan ada yang umum. Wali khusus adalah yang berkaitan dengan manusia dan harta bendanya.[7] Menurut Syarifuddin yang dimaksud dengan wali dalam perkawinan adalah seseorang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dalam suatu akad nikah.[8] Wali yaitu pengasuh pengantin perempuan pada waktu menikah yaitu yang melakukan janji nikah dengan pengantin laki-laki.[9] Perwalian dalam perkawinan adalah suatu kekuasaan atau wewenang Syar’i atas segolongan manusia yang dilimpahkan kepada orang yang sempurna, karena kekurangan tertentu pada orang yang dikuasai itu demi kemaslahatannya sendiri.[10] Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa yang dimaksud wali nikah adalah orang yang mewakili perempuan dalam hal melakukan akad pernikahan, karena ada anggapan bahwa perempuan tersebut tidak mampu melaksanakan akadnya sendiri karena dipandang kurang cakap dalam mengungkapkan keinginannya sehingga dibutuhkan seorang wali untuk melakukan akad nikah dalam pernikahan.

3. Klasifikasi Wali
Dalam beberapa refrensi hukum Islam, baik yang berbahasa arab atau berbahasa Indonesia, ulama berbeda-beda dalam menyebutkan macam-macam wali dalam pernikahan, semisal Imam Taqiyuddin Abi Bakrin in Muhammad Al-Husainy Al-Hishny al-Damasyqy as-Syafi’i, menyebutkan empat wali yang dapat menikahkan mempelai perempuan, yaitu wali nasab, wali maula, wali tahkim dan wali hakim. Adapun rinciannya sebagai berikut:

a. Wali nasab, wali nasab adalah wali nikah karena ada hubungan darah nasab dengan wanita yang akan melangsungkan pernikahan.[11]
Adapun urutan wali menurut pendapat tokoh akan dijelaskan selanjutnya.

b. Wali maula, Sedangkan yang dimaksud dengan wali Maula adalah pewalian yang digunakan dalam menikahkan budak yang telah dimerdekakan, dengan kata lain wali yang menikahkan budaknya, artinya majikannya sendiri. Laki-laki boleh menikahkan perempuan yang berada dalam perwalian, bilamana perempuan yang berada dalam pewaliannya rela menerimanya. Perempuan yang dimaksudkan disini adalah hamba sahaya yang berada dibawah kekuasaannya. Sedangkan wanita yang wali nasabnya tidak diketahui siapa dan dimana hamba sahaya yang telah dimerdekakan), maka walinya adalah orang yang memerdekakan, selanjutnya adalah famili-famili atau ashabah dari orang yang telah memerdekakannya.

c. Wali tahkim, yaitu wali yang diangkat oleh calon mempelai suami dan atau calon istri. Hal itu diperbolehkan, karena akte tersebut dianggap tahkim. Sedang muhakkamnya bertindak sebagaimana layaknya hakim. Seperti yang telah diriwayatkan olehYunus bin Abdil A’la, bahwa Syafi’i pernah berkata “seandainya ada seorang perempuan dalam suatu perkumpulan, ia memasrahkan wali kepada seorang laki-laki, sedang perempuan tersebut tidak mempunyai wali, maka hal tersebut dianggap boleh dilakukan, ada pula yang mengemukakan, bahwa wali nikah dapat diangkat dari orang yang terpandang, disegani, luas ilmu fiqhnya terutama tentang munakahat, berpandangan luas, adil, islam dan laki-laki; demikian pendapat Hanafi, yang dikutip oleh Moh. Idris Ramulyo.[12] Sejalan dengan pendapat-pendapat tersebut di atas, apayang dikemukakan oleh al- Bikri, pengarrang kitab I’anatuh at-Thalibin “seorang perempuan yang tidak ada walinya, baik wali nasab, wali hakim atau Qhadi, maka perempuan tesebut diperbolehkan mengangkat seorang laki-laki untuk menikahkan dirinya dengan laki-laki yang dicintainya dan sekufu. Bahkan, sekalipun ada wali hakim atau Qhadi yang diangkat oleh penguasa, ketika mereka berbelit-belit dan memungut uang untuk menikahkannya.[13] Bahkan ada pendapat yang mengatakan jika tidak ada orang yang siap menjadi muhakkam, sedang dirinya dikhawatirkan akan berbuat zina, maka perempuan tersebut diperbolehkan menikahkan dirinya sendiri.[14] Sebagaimana juga dikemukakan oleh syaikh Muhammad bin Abdurrahman ad- Damasyqi, bahwa perempuan yang ada disuatu tempat yang tidak ada hakim dan wali, maka ada dua macam hukumnya. Pertama, dia boleh menikahkan dirinya. Kedua, perempuan tersebut menyerahkan pernikahan kepada orang lain yang beragama islam. Bahkan, beliau mengutip sebuah pendapat Abu Ishak Asy-Syirazi yang mengemukakan bahwa masalah yang seperti di atas boleh memilih hukum yang telah ditetapkan oleh seorang faqih diantara ahli ijtihad, berdasarkan suatu prinsip bahwa diperbolehkan mentahkim dalam nikah.

Adapun cara pengangkatannya (cara melakukan tahkim) adalah calon suami mengucapkan tahkim, kepada calon istri dengan kalimat “saya angkat saudara untuk menikahkan saya dengan si…..(calon istri) dengan mahar putusan bapak/saudara, saya terima dengan senang” setelah itu, calon istri juga mengucapkan hal sama. Kemudian calon hakim menjawab “saya terima tahkim ini”[15]

d. Wali Hakim, adapun yang dimaksud dengan wali hakim adalah penguasa atau orang yang ditunjuk oleh penguasa (pemerintah) untuk menangani hal-hal yang berkaitan dengan pernikahan, baik dia itu orang yang curang atau yang adil. Ada juga yang berpendapat bahwa dia termasuk penguasa yang adil, bertanggung jawab mengurusi kemaslahatan umat Allah, bukan para sultan atau penguasa yang curang, karena mereka tidak termasuk orang yang berhak mengurusi hal itu.

Sekiranya pengantin perempuan itu tidak mempunyai wali maka ia akan dinikahkan secara wali hakim. Rasullah SAW bersabda:
Maka Sultanlah yang menjadi wali bagi siapa yang tidak mempunyai wali”. (Riwayat At-Tirmizi dan Abu Daud).

4. Fungsi Wali dalam Pernikahan.
Dari beberapa rukun dalam perkawinan menurut Hukum Islam, wali nikah adalah hal yang sangat penting dan menentukan, bahkan menurut Syafi`i tidak sah nikah tanpa adanya wali bagi pihak perempuan sedangkan untuk pihak laki-laki tidak diperlukan adanya wali nikah. Pendapat lain mengatakan bahwa fungsi wali nikah sebenarnya adalah sebagai wakil dari perempuan, sebenarnya wali tersebut tidak diperlukan apabila yang mengucapkan ikrar ijab adalah laki-laki. Namun dalam praktek selalu pihak perempuan yang mengucapkan ijab (penawaran) sedangkan pengantin laki-laki mengucapkan ikrar qabul (penerimaan), karena pada dasarnya wanita itu pemalu maka pengucapan  ijab tersebut diwakilkan pada walinya, jadi wali di sini hanya sekedar sebagai wakil karena yang paling berhak adalah perempuan tersebut.[16]

Dari pendapat di atas menjelaskan bahwa fungsi wali adalah sebagai pengganti dari perempuan yang akan melangsungkan akad nikah, akan tetapi yang berlaku pada masyarakat di jazirah Arab pada waktu awal Islam, wali dapat menikahkan anak perempuanya tanpa melalui izin anak perempuan yang akan dinikahkan, ketika Islam datang praktek menikahkan tanpa persetujuan dari anak perempuan kemudian dilarang oleh Nabi Muhammad.

5. Hikmah Wali Dalam Pernikahan.
Hikmah disyari`atkanya wali dalam pernikahan disebabkan dalam Islam hubungan anak dengan orang tua harus tetap terjaga jangan sampai terjadi perpecahan sampai anak tersebut memiliki rumah tangga sendiri, penyebab perpecahan tersebut sering terjadi karena calon suami dari anak perempuan tersebut tidak direstui oleh orang tua, oleh sebab itu ketika seorang perempuan mencari calon suami perlu adanya perantara dari wali supaya dikemudian hari tidak terjadi permasalahan dengan walinya.

Hikmah wali dalam pernikahan juga disebabkan karena perempuan jarang berteman dengan laki-laki, jadi wajar kalau perempuan tersebut tidak begitu paham tentang tabiat seorang laki-laki maka agar perempuan tersebut tidak tertipu oleh seorang laki-laki dibutuhkanlah seorang wali, karena wali lebih tahu tentang tabiat seorang laki-laki sebab sering bergaul dengan mereka atau karena sesama lelakinya jadi lebih paham mana laki-laki yang baik dan tidak baik.[17]

Hikmah yang terkandung dibalik keharusan adanya wali dalam pernikahan sebenarnya lebih ditekankan pada permasalahan kecocokan antara calon suami dengan keluarga perempuan, maksudnya adalah jika hubungan antara calon suami mulai awal tidak disetujui oleh wali maka selanjutnya bagi keluarga anak perempuan dengan keluarga orang tua akan mengalami permasalahan, padahal dalam Islam sangat ditekanan masalah silaturrahmi, permasalahan di atas bisa dicegah manakala dalam proses perkawinan wali ikut di dalamnya, apabila dikemudian hari ada permasalahan, wali juga akan membantu menyelesaikan perkara tersebut, karena sejak awal wali dilibatkan dalam perkawinannya.

 6. Wali Fasik
Mengikut pendapat Mazhab Syafi’e dan Hambali, wali fasik tidak boleh atau tidak sah menjadi wali nikah. Ini berdasarkan sebuah hadith dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah SAW bersabda:

“Tidak sah nikah melainkan wali yang adil dan ada saksi yang adil”. (RiwayatAhmad)

Yang dimaksudkan dengan adil ialah seseorang itu berpegang kuat (istiqamah) kepada ajaran Islam, menunaikan kewajiban agama, mencegah dirinya melakukan dosa-dosa besar seperti berzina, minum arak, menderhaka kepada kedua-dua ibu bapak dan sebagainya serta berusaha tidak melakukan dosa-dosa kecil. Wali bersifat adil disyaratkan karena ia dianggap bertanggungjawab dari segi kehendak agama ketika membuat penilaian bakal suami bagi kepentingan dan maslahat perempuan yang hendak berkahwin itu. Manakala wali fasik pula, ia sendiri sudah tidak bertanggungjawab ke atas dirinya apatah lagi hendak bertanggung jawab kepada orang lain. Untuk menentukan seseorang wali itu bersifat adil atau fasik adalah memadai dilihat dari segi zahir atau luaran sahaja ataupun memadai wali itu mastur iaitu kefasikannya tidak diketahui karena untuk menilai kefasikan secara batin adalah susah. Walau bagaimanapun jikalau Sultan atau Raja itu fasik yang menjadi wali bagi perempuan yang tidak mempunyai wali maka kewalian itu tetap sah karena kesahihannya diambilkira dari segi keperluan terhadap wali Raja.

Sebenarnya sebagian besar ulama-ulama Mutaakhirin dalam Mazhab Syafi’e seperti Imam Al-Ghazali, pendapat pilihan Imam Nawawi dan sebagainya, telah mengeluarkan fatwa bahwa sah wali fasik menjadi wali, selepas beristighfar. Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumuddin telah mengingatkan bahwa seseorang wali harus memerhati dan meneliti kelakuan geraklaku calon suami, jangan sampai mengawini saudara perempuan dengan seorang lelaki yang buruk budi pekertinya atau lemah agamanya ataupun yang tidak sekufu dengan kedudukannya. Sekiranya ia mengawinkan puterinya dengan seorang lelaki yang zalim atau fasik atau yang lemah agamanya atau peminum arak, maka ia telah melanggar perintah agamanya dan ketika itu ia akan terdedah kepada kemurkaan Allah swt, karena ia telah mencuaikan persoalan silaturrahim (perhubungan tali kerabat) dan telah memilih jalan yang salah. Selanjutnya Al-Ghazali menceritakan seorang ayah telah datang meminta nasihat kepada Al-Hasan, Katanya: “Telah banyak orang yang datang meminang puteriku, tetapi aku tidak tahu dengan siapa yang harusku kawinkan dia”. Berkata Al-Hasan: “Kawinkan puterimu itu dengan orang yang banyak taqwanya kepada Allah. Andaikata suaminya mencintainya kelak pasti ia akan dimuliakan. Tetapi jika suaminya membencinya maka tiada dianiayainya”.

Konsep Wali Nikah Dalam Perspektif Fiqh

Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum wali dalam pernikahan, apakah semua gadis yang akan melangsungkan pernikahan harus ada wali ataukah tidak? Berikut perinciannya :
1. Jumhur ulama, termasuk di dalamnya Sa’id bin Musayyib, Hasan Al-Bashri, Abdullah bin Abdul Aziz, Ats-Tsauri dan Imam Syafi’i.[18] Mereka semua berpendapat bahwasanya pernikahan tanpa wali tidak sah.

Menurut imam Syafi’i, kehadiran wali menjadi salah satu rukun nikah, yang berarti tanpa kehadiran wali ketika melakukan akad nikah perkawinan tidak sah. Bersamaan dengan ini, Syafi’i juga berpendapat wali dilarang mempersulit perkawinan wanita yang ada di bawah perwaliannya sepanjang wanita mendapat pasangan yang sekufu. Dasar yang digunakan imam Syafi’i adalah Al-Baqarah:232, An-Nisa: 25,34. serta beberapa hadits nabi.

Menurut Syafi’i bapak lebih berhak menentukan perkawinan anak gadisnya. Hal ini didasarkan pada mafhum mukhalafah dari hadits yang menyatakan “janda lebih berhak kepada dirinya”. Sehingga menurut Syafi’i izin gadis bukanlah satu keharusan tetapi hanya sekedar pilihan. Adapun perkawinan seorang janda harus ada izin secara tegas dari yang bersangkutan. Hal ini didasarkan pada kasus al-khansa’a. 

2. Imam Maliki mengharuskan izin dari wali atau wakil terpandang dari keluarga atau hakim untuk akad nikah. Akan tetapi tidak dijelaskan secara tegas apakah wali harus hadir dalam akad nikah atau cukup sekedar izinnya. Meskipun demikian imam malik tidak membolehkan wanita menikahkan diri-sendiri, baik gadis maupun janda.

Mengenai persetujuan dari wanita yang akan menikah, imam malik membedakan antara gadis dengan janda. Untuk janda, harus terlebih dahulu ada persetujuan secra tegas sebelum akad nikah. Sedangkan bagi gadis atau janda yang belum dewasa dan belum dicampuri suami, maka jika bapak sebagai wali ia memiliki hak ijbar. Sedangkan wali diluar bapak, ia tidak memilki hak ijbar. 

Imam Malik berpendapat juga bahwa jika yang akan menikah adalah orang yang biasa-biasa saja, bukan termasuk orang yang mempunyai kedudukan, kerupawanan dan bukan bangsawan tidak apa-apa ia menikah tanpa wali. Akan tetapi ketika ia seorang yang berkedudukan, berwajah rupawan dan banyak harta maka ketika menikah harus memakai wali.

3. Ibnu Qudamah dari Madzhab Hambali menyatakan, wali harus ada dalam perkawinan (rukun nikah), yakni harus hadir ketika melakukan akad nikah. Menurutnya hadits yang mengharuskan adanya wali bersifat umum yang berarti berlaku untuk semua. Sedangkan hadits yang menyebutkan hanya butuh izin adalah hadits yang bersifat khusus. Sehingga yang umum harus didahulukan dari dalil khusus.

Ibnu Qudamah berpendapat adanya hak ijbar wali untuk menikahkan gadis yang belum dewasa, baik wanita tersebut senang atau tidak, dengan syarat sekufu[19]. Sedangkan menurut Ibnu Qayyim, persetujuan wanita harus ada dalam perkawinan.

4. Abu Hanifah membolehkan perkawinan tanpa wali (menikahkan diri sendiri), atau meminta orang lain diluar wali nasab untuk menikahkan gadis atau janda. Hanya saja kalau tidak sekufu, wali berhak membatalkannya.

Dasar yang membolehkan perkawinan tanpa wali, menurut abu hanifah diantaranya Al-Baqarah: 230,232,240. serta mengartikan “al-aima” adalah”wanita yang tidak mempunyai suami” baik gadis maupun janda. Ditambah dengan hadits tentang kasus al-khansa’a yang dinikahkan secara paksa oleh bapaknya dan ternyata tidak diakui oleh Nabi.

Menurut abu hanifah persetujuan dari para calon adalah satu keharusan dalam perkawinan, baik bagi seorang gadis maupun janda. Perbedaannya, persetujuan gadis cukup dengan diamnya, sementara janda harus dinyatakan dengan tegas. Sedangkan pendapat yang rajih dan benar dari tiga pendapat di atas adalah pendapat pertama yang dibawakan oleh jumhur ulama, yaitu seorang gadis ketika melangsungkan pernikahan harus ada wali bersamanya. 

Ulama-ulama yang memperbolehkan wali (bapak dan kakek) menikahkan tanpa izin ini menggantungkan bolehnya dengan syarat-syarat sebagai berikut:

1. Tidak ada permusuhan antara bapak dan anak.
2. Hendaknya dinikahkan dengan orang yang setara sekufu).
3. Maharnya tidak kurang dari mahar misil (sebanding) .
4. Tidak dinihkan dengan orang yang tidak mampu membayar mahar.
5. Tidak dinikahkan dengan laki-laki yan mengecewakan (membahayakan) si anak kelak dalam pergaulannya dengan laki-laki itu, misalnya orang itu buta atau orang yang sudah sangat tua sehingga tidak ada harapan akan mendapat kebahagiaan dalam pergaulannya.

Tetapi sebagian Ulama berpendapat, bapak tidak boleh menikahkan anak perawannya tanpa izin lebih dahulu dari anaknya itu. Sabda rasulullah SAW:

Artinya:Dari Abu Hurairah. Ia berkata:” Rasulullah SAW telah bersabda:” perempuan janda janganlah dinikahkan sebelum diajak bermusyawarah, dan perawan sebelum diminta izinny.” para sahabat lalu bertanya:” bagaimana cara izin perawan itu ya rasulullah?” jawab beliau:” Diamnya tanda izinnya.” (Riwayat Muttfaq ’Alaih)

Oleh pihak pertama, hadits ini dan sebagainya diartikan perintah sunat atau larangan makruh, bukan perintah wajib atu larangan haram. Golongan kedua menjawab, bahwa hadits-hadits yang memperbolehkan si bapak menikahkan anaknya tanpa izin terlebih dahulu terjadi sebelum datang perintah yang yang mewajibkan izin. Kejadian mengenai diri Aisyah ( pernikahannya) dengan Rasulullah SAW adalah Khususiyah (tertentu) bagi Rasulullah SAW sendiri, tidak dapat dijadikan dalil untuk umum.[20]

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwasanya wali dalam pernikahan merupakan satu bagian yang tak mungkin untuk dipisahkan. Namun untuk bisa menjadi wali, seseorang harus memenuhi syarat standar minimal yang juga telah disusun oleh para ulama, berdasarkan pada ayat Al-quran dan sunnah nabawiyah. Adapun syarat-syaratnya adalah sebagaimana berikut :

1. Islam. Seorang ayah yang bukan beragama Islam tidak menikahkan atau menjadi wali bagi pernikahan anak gadisnya yang muslimah. Begitu juga orang yang tidak percaya kepada adanya Allah (atheis). Ini adalah pendapat jumhur ulama di antaranya Malik, Syafi’I, Abu Ubaid. Dalil haramnya seorang kafir menikahkan anaknya yang muslimah adalah ayat Quran berikut ini:
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ
“Dan orang-orang yang beriman laki-laki dan perrempuan, sebagian mereka  menjadi penolong bagi sebagian yang lain.”[21]
 
Khusus dalam syarat ke-Islaman, ada pengecualian tersendiri dalam kasus khusus. Yaitu   pabila wanita yang dinikahkan itu bukan beragama Islam, melainkan seorang wanita pemeluk agama ahli kitab , maka tidak perlu walinya seorang muslim juga.

Titik masalahnya adalah karena seorang muslim atau atau muslimah tidak boleh diwalikan oleh non muslim. Namun bila pengantin wanita belum lagi menjadi muslimah, maka tidak ada masalah dengan agama sang wali, boleh saja walinya itu juga bukan muslim. Jadi keharusan wali beragama Islam lantaran karena dia menjadi wali buat seseorang yang beragama Islam. Di dalam hukum Islam, seorang yang bukan muslim tidak berhak dan juga tidak sah menjadi wali bagi seorang muslim. Namun bila yang diwalikan bukan muslim, maka tidak ada masalah.

2. Berakal, maka seorang yang kurang waras,  idiot atau gila tidak syah bila menjadi wali bagi anak gadisnya. Meskipun gilanya hanya kadang-kadang, terlebih lagi gila yang terus menerus tidak ada perbedaan di antara keduanya menurut pendapat yang paling benar.[22]

3. Bulugh, maka seorang anak kecil yang belum pernah bermimpi atau belum baligh, tidak syah bila menjadi wali bagi saudara wanitanya atau anggota keluarga lainnya.

4. Merdeka, maka seorang budak tidak syah bila menikahkan anaknya atau anggota familinya, meskipun ia beragama Islam, berakal, baligh. Ulama berbeda pendapat dalam menetapkan perwalian budak. Sebagian ulama mengatakan bahwa seorang budak tidak mempunyai hak perwalian, baik atas dirinya sendiri atau orang lain. Sedangkan ulama Hanafiah mengemukakan bahwa seorang wanita boleh dinikahkan oleh seorang budak atas izinnya, dengan alasan bahwa wanita itu dapat menikahkan dirinya sendiri. Meskipun ada sebagian ulama yang membolehkannya, namun menurut pendapat yang paling benar adalah ia tidak boleh menjadi wali.[23]
 
5. Laki-laki, jadi seorang perempuan tidak berhak menjadi wali nikah.
Seorang perempuan tidak boleh menjadi wali dalam pernikahan, berdasarkan hadits Nabi yang berbunyi:
Artinya: Janganlah perempuan menikahkan perempuan yang lain dan jangan pula seorang perempuan menikahkan dirinya sendiri[24]

Dalam hadits tersebut terkandung dalil bahwa wanita tidak mempunyai kekuasaan untuk menikahkan dirinya dan menikahkan orang lain. Namun menurut Imam Abu Hanifah, ia berpendapat bahwa wanita yang berakal dan baligh boleh mengawinkan dirinya sendiri dan mengawinkan anak perempuannya yang di bawah umur serta mewakili orang lain. Namun demikian, jika dia menyerahkan dirinya kepada laki-laki yang tidak sekufu dengannya, maka para wali berhak menentangnya. Berbeda halnya dengan pendapat Imam Malik yang tidak mengeneralkan semua perempuan, akan tetapi hanya terbatas pada golongan rendah saja (bukan bangsawan) karena menurutnya perempuan bangsawan tidak diperbolehkan.[25]

6. Adil, Ulama berbeda pendapat tentang kedudukan adil sebagai persyaratan bagi wali antara lain:

1)  Bagi ulama mensyaratkan wali harus adil, maka berdasarkan pada Hadits Nabi yang artinya: ”tidak ada pernikahan kecuali dengan wali yang memberikan bimbingan dan dua orang saksi yang adil” pendapat yang pertama ini disepakati oleh beberapa ulama fiqh terkemuka seperti Imam Ahmad, Imam Syafi’i, Imam Malik dan orang-orang yang sependapat dengannya.

2)  Bagi ulama yang tidak mensyaratkan wali harus adil, mereka berdasarkan pada suatu riwayat Mutsanna bin Jami’, dia menukil bahwa dia pernah bertanya pada Ahmad, jika orang menikah dengan wali yang fasik dan beberapa saksi yang adil, maka Ahmad berpendapat bahwa hal tersebut tidak membatalkan pernikahan, itu pula yang menjadi pendapat Imam Malik dan Abu Hanifah serta salah satu pendapat Syafi’i.[26]

Sejalan dengan pendapat kedua di atas, apa yang dikemukakan oleh Imam Al-Baijury, bahwa yang disyaratkan adil adalah kedua saksi, bukan persyaratan bagi wali, karena menurutnya marji’u dhamirnya kembali pada lafad syahidain.[27] Hal ini diperkuat oleh pendapat Sayyid Sabiq yang mengemukakan bahwa bahwa seorang wali tidak disyaratkan adil. oleh karna itu, seorang yang durhaka tetap tidak kehilangan haknya untuk menjadi wali dalam perkawinan kecuali kedurhakaannya melampaui batas-batas kesopanan yang berat.[28]

Bahkan dalam KHI diringkas hanya menjadi empat persyaratan bagi wali, sebagaimana tercantum dalam pasal 20 ayat 1 yang berbunyi:

“yang betindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum islam yakni muslim, Aqil dan baligh”.

7. Sebagian ulama ada yang mensyaratkan tidak sedang berihram, haji ataupun umrah, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Seorang yang sedang berihram tidak boleh menikahkan, tidak boleh dinikahkan, dan tidak boleh mengkhitbah.”[29]

8. Sebagian fuqaha juga menambahkan syarat wali yang berikutnya adalah memiliki ‘adalah yaitu dia bukan seorang pendosa, bahkan ia terhindar dari melakukan dosa-dosa besar seperti mencuri, berzina, minum khamr, membunuh, makan harta anak yatim, dan semisalnya. Di samping itu, dia tidak terus-menerus tenggelam dalam dosa-dosa kecil dan tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak sepantasnya.

Pensyaratan ini merupakan salah satu dari dua riwayat dalam mazhab Hanabilah dan merupakan pendapat yang kuat dalam mazhab Syafi’iyyah. Adapun Hanafiyyah memandang seorang yang pendosa (fasik) tidaklah hilang haknya sebagai wali, kecuali bila kefasikannya tersebut sampai pada batasan ia berani terang-terangan berbuat dosa. Demikian pula Malikiyyah berpandangan bahwa seorang yang pendosa (fasik) tidak hilang haknya sebagai wali. Adapun bukan seorang pendosa(tidak fasik) hanyalah syarat penyempurna bagi wali, sehingga bila ada dua wali yang sama derajatnya, yang satu seorang pendosa (fasik) sedangkan yang satu bukan seorang pendosa, seperti seorang wanita yang tidak lagi memiliki ayah dan ia memiliki dua saudara laki-laki, satunya penodsa (fasik) sedangkan yang satunya adil (bukan pendosa), tentunya yang dikedepankan adalah yang memiliki ‘adalah.[30]

Inilah syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang untuk menjadi wali, seandainya seseorang telah memenuhi syarat-syarat di atas dan ia termasuk dari orang yang berhak menjadi wali, maka ia diperbolehkan untuk menjadi wali bagi seorang gadis yang masih saudaranya yang hendak melangsungkan pernikahan.

Perlu diketahui, telah menjadi kesepakatan ulama bahwasanya yang berhak menjadi wali nikah adalah orang-orang yang berstatus asobah. Ini adalah pendapat jumhur ulama di antaranya adalah Tsauri, Laits, Malik dan Syafii, sedangkan perincian yang berhak menjadi wali adalah sebagai berikut.

Dalam Kifayatul Akhyar, sebuah kitab fiqih yang lazim digunakan di dalam mazhab Syafi’iyah, disebutkan bahwa urutan wali nikah adalah sebagai berikut:
  1. Ayah kandung.
  2. Ayah dari ayah (Kakek).[31]
  3. Saudara laki-laki seayah dan seibu (saudara kandung)
  4. Saudara laki-laki seayah.
  5. Anak laki-laki dari saudara sekandung yang laki-laki.
  6. Anak laki-laki dari saudara seayah.
  7. Saudara laki-laki ayah (paman).[32]
  8. Anak laki-laki dari saudara laki-laki ayah (sepupu).[33]
Daftar urutan wali di atas tidak boleh dilangkahi atau diacak-acak. Sehingga jika ayah kandung masih hidup, maka tidak boleh hak kewaliannya itu diambil alih oleh wali pada nomor urut berikutnya. Kecuali bila pihak yang bersangkutan memberi izin kepada urutan yang setelahnya.

Penting untuk diketahui bahwa seorang wali berhak mewakilkan hak perwaliannya itu kepada orang lain,[34] meski tidak termasuk dalam daftar para wali. Hal itu biasa sering dilakukan di tengah masyarakat dengan meminta kepada tokoh ulama setempat untuk menjadi wakil dari wali yang syah. Dan untuk itu harus ada akad antara wali dan orang yang mewakilkan. Akan tetapi sebaliknya apabila pihak wanita mewakilkan kepada orang lain tanpa ijin dari wali maka pernikahannya tidak sah. 

Sebagai contoh, ketika dalam kondisi di mana seorang ayah kandung tidak bisa hadir dalam sebuah akad nikah, maka dia bisa saja mewakilkan hak perwaliannya itu kepada orang lain yang dipercayainya, meski bukan termasuk urutan dalam daftar orang yang berhak menjadi wali. Sehingga bila akad nikah akan dilangsungkan di luar negeri dan semua pihak sudah ada kecuali wali, karena dia tinggal di Indonesia dan kondisinya tidak memungkinkannya untuk ke luar negeri, maka dia boleh mewakilkan hak perwaliannya kepada orang yang sama-sama tinggal di luar negeri itu untuk menikahkan anak gadisnya. Namun hak perwalian itu tidak boleh dirampas atau diambil begitu saja tanpa izin dari wali yang sesungguhnya. Bila hal itu dilakukan, maka pernikahan itu tidak syah dan harus dipisahkan saat itu juga.

Hukum yang telah dijelaskan di atas mengenai kedudukan wali yang sangat urgen dalam pernikahan, apakah hukum tersebut hanya berlaku bagi seorang perempuan yang masih dalam keadaan perawan atau berlaku juga bagi seorang wanita yang berstatus janda ? berikut perinciannya :

Para ulama berbeda pendapat mengenai seorang wanita yang berstatus janda, apakah ia juga harus memakai wali dalam pernikahan atau tidak? Berikut perinciannya :

1. Sebagian ulama membolehkan bagi seorang wanita yang bersatatus janda ketika ia melangsungkan pernikahan kembali tanpa harus memakai wali. Ini adalah pendapat Abu Hanifah dan Dawud. Berdasarkan dalil-dalil sebagai berikut:

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْأَيِّمُ أَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا وَالْبِكْرُ تُسْتَأْذَنُ فِي نَفْسِهَا وَإِذْنُهَا صُمَاتُهَا
Dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Janda `itu lebih berhak atas dirinya daripada walinya, sedangkan seorang gadis harus dimintai izinnya dan izinnya adalah diamnya.”[35]
 
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَيْسَ لِلْوَلِيِّ مَعَ الثَّيِّبِ أَمْرٌ وَالْيَتِيمَةُ تُسْتَأْمَرُ وَصَمْتُهَا إِقْرَارُهَا
Dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Seorang wali tidak memiliki kuasa memaksa terhadap seorang janda, dan seorang wanita yatim dimintai pertimbangannya, dan diamnya adalah persetujuannya.”[36]
 
2. Jumhur ulama berpendapat bahwa wali nikah itu berlaku untuk wanita yang masih perawan ataupun sudah berstatus janda.[37] Dalil-dalil sandaran mereka adalah sebagai berikut,
Firman Allah ta’ala dalam surat al-Baqarah,
فَلَا تَعْضُلُوهُنَّ أَنْ يَنْكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ إِذَا تَرَاضَوْا بَيْنَهُمْ بِالْمَعْرُوفِ
Maka jangan kamu halangi mereka mereka menikah (lagi) dengan calon suaminya, apabila telah terjalin di antara mereka dengan cara yang baik.
Sabda Rasulullah
عن عائشة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: “لا نكاح إلا بولي وشاهدي عدل
Dari Aisyah Radhiyallahu anha bahwasanya Rasulullah r bersabda, “Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil.”[38]
لا تزوّ ج المراة ولا تزوجّ نفسها
“Seorang wanita tidak boleh mengawinkan seorang wanita dan tidk pula mengawinkan dirinya.”[39]
 
Lalu bagaimana ketika semua wali yang telah disebutkan di atas tidak ada, maka siapakah yang berhak menjadi wali setelahnya? Tidak menutup kemungkinan hal ini akan terjadi di kalangan masyarakat kita atau bahkan hal ini sudah pernah terjadi namun kita tidak mengetahuinya? Berikut sedikit penjelasannya :

Seorang wanita tidak boleh menikah kecuali tanpa wali, apabila ia memaksakan diri untuk menikah tanpa wali padahal ia mempunyai wali maka pernikahannya tidak sah, menurut pendapat yang paling benar. namun jika semua urutan wali yang telah disebutkan di atas tidak ada, maka hak perwalian berpindah kepada hakim atau shultan, meskipun ia masih mempunyai saudara laki-laki seibu. Akan tetapi ia tidak bisa menjadi wali bagi saudara perempuannya yang seibu, hal ini sebagaimana sabda Rasulullah: 

أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ … فَإِنِ اشْتَجَرُوا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهُ
Artinya:“Siapa saja wanita yang menikah tanpa izin dari walinya maka pernikahannya batil…, dan jika para wali berselisih untuk menikahkannya maka sulthan adalah wali bagi seorang wanita yang tidak punya wali.”[40]
 
Untuk negeri kita yang dimaksud dengan penguasa dalam hal ini adalah petugas kantor urusan agama (KUA).

Wali Nikah Untuk Anak diluar Nikah

Terjadi perselisihan dikalangan para ulama tentang sah tidaknya pernikahan seorang wanita yang sedang hamil dikarenakan zina: Para ulama Maliki, Hambali dan Abu Yusuf dari madzhab Hanafi tidak memperbolehkan pernikahannya itu sebelum dia melahirkan, tidak dengan lelaki ang menzinahinya atau tidak juga dengan lelaki yang lainnya, berdasarkan sabda Rasulullah saw: ”Seorang wanita yang sedang hamil tidak boleh digauli sehingga dia melahirkan..” (HR. Abu Daud)

dan sebagaimana riwayat dari Said al Musayyib bahwa seorang laki-laki telah menikahi seorang wanita dan ketika diketahui bahwa wanita itu sedang hamil dan diberitahukanlah hal ini kepada Nabi saw maka beliau saw pun memisahkan mereka berdua.” (HR. Baihaqi).

Sedangkan para ulama Syafi’i dan Hanafi membolehkan pernikahannya dikarenakan belum terkukuhkannya nasab, berdasarkan sabda Nabi saw,” Anak itu bagi yang memiliki tempat tidur sedang bagi yang berzina tidak memiliki apa-apa.” (HR. Jama’ah kecuali Abu Daud).

Markaz al Fatwa didalam fatwanya—setelah menyebutkan perbedaan ulama diatas—menyebutkan bahwa adapun anak—dari pernikahan itu—maka dinasabkan kepada ibunya dan keluarga ibunya dengan penasaban sar’iy yang benar yang meneguhkan kemahraman yang berlanjut kepada perwalian secara syar’i, ashobah dan warisan dan selainnya dari hukum-hukum seorang anak karena pada hakikatnya ia adalah anak darinya (ibunya yang mengandungnya itu) dan tidaklah ada perselisihan dalam hal ini.

Adapun penasaban seorang anak kepada ayahnya yang berzina dan menisbatkannya kepadanya maka dibolehkan oleh Ishaq bin Rohuyah, ‘Urwah, Sulaiman bin Yasar dan Abu Hanifah. Abu Hanifah mengatakan,”Aku tidak melihat suatu permasalahan jika seorang lelaki yang berzina dengan seorang wanita lalu wanita itu hamil kemudian lelaki itu menikahinya dan menutupi aibnya itu dan anak ang terlahir adalah anak darinya (lelaki itu).”

Markaz al Fatwa lebih memilih pendapat jumhur ahli ilmu yang menyatakan bahwa apabila seorang lelaki menikah dengan wanita hamil karena perzinahannya maka anak yang terlahir dinasabkan kepada ibu dan keluarga ibunya itu. Adapun suaminya adalah pemelihara bagi anak tersebut. (Markaz al Fatwa no 6045)

Adapun pendapat bahwa jika si ayah biologis dan ibunya yang telah terlanjur hamil ini kemudian menikah. Jika setelah menikah, si ibu masih menjalani kehamilan selama 6 bulan atau lebih sampai kelahirannya, maka si anak bisa mengikuti garis keturunan sang ayah dan bisa menjadi wali nikahnya. tapi jika si ibu menjalani kehamilan kurang dari 6 bulan sampai saat kelahirannya, maka sang anak hanya bisa mengikuti garis keturunan sang ibu.. pernyataan ini bisa ditemukan didalam “al Fatawa al Hindiah” didalam Fiqih Hanafiyah yang menyebutkan : jika seorang lelaki berzina dengan seorang wanita dan wanita itu menjadi hamil kemudian lelaki itu menikahinya dan melahirkan maka jika wanita itu mengandung selama 6 bulan atau lebih maka nasab anak itu terkokohkan dan jika wanita itu mengandung selama kurang dari 6 bulan maka nasab anak itu tidak terkokohkan kecuali hanya sebatas pengakuannya, bahwa anak itu adalah anaknya, selama dia tidak mengatakan,”Sesungguhnya anak itu dari perzinahan.” Adapun jika dia   mengatakan,”Sesungguhnya dia adalah dariku dari perzinahan.” Maka nasabnya tidak terkokohkan dan dia tidaklah mewariskan hartanya.”…

Pendapat yang paling kuat adalah bahwa anak zina tidaklah terkokohkan nasabnya dari seorang lelaki pezina baik dirinya menikahi wanita yang dizinahinya lalu wanita itu mengandung anak itu kurang dari enam bulan sejak waktu akad nikah atau tidak menikahi wanita itu lalu wanita itu melahirkannya. Akan tetapi jika anak itu dinisbatkan kepadanya dengan pengakuannya dan dia tidak mengatakan bahwa anak itu dari hasil perzinahan maka nasabnya terkokohkan didalam hukum-hukum dunia. Demikian pula jika lelaki itu menikahi wanita yang dizinahinya dan dia mengandung anak dari hasil perzinahannya lalu melahirkan seorang anak dalam masa kurang dari waktu minimal suatu kehamilan sementara orang itu terdiam atau mengakuinya dan tidak mengatakan bahwa anak itu adalah dari hasil perzinahan maka nasabnya terkokohkan didalam hukum-hukum dunia.” (Fatawa al Islam Sual wa Jawab juz I hal 591)

Dengan mengambil pendapat jumhur ahli ilmu bahwa seorang anak zina tidaklah dinasabkan kecuali kepada ibunya dan ketika anak zina tersebut kelak ingin menikah maka tidaklah bisa diwalikan oleh ayah yang berzina dengan ibunya akan tetapi perwaliannya dilakukan oleh penguasa atau hakim. Karena hakim adalah wali bagi orang yang tidak memiliki wali, sebagaimana sabda Rasulullah saw: ”Penguasa adalah wali bagi orang yang tidak memiliki wali.” (HR. Ahmad dan Abu Daud)

Dan seandainya seorang anak zina dinikahkan oleh ayah yang menzinahi ibunya maka pernikahan yang dilakukannya itu batal sehingga kedua pasangan tersebut haruslah dipisahkan. Adapun cara pemisahan antara keduanya adalah dengan cara si suami menjatuhkan talak (cerai) terhadapnya jika memang dirina rela untuk melakukannya sendiri namun jika dirinya tidak ingin melakukannya sendiri maka pemisahan itu dilakukan oleh hakim.

Sebagaimana yang ditegaskan oleh Ibnu Qudamah bahwa apabila seorang wanita dinikahkan dengan pernikahan yang rusak (batal) maka tidaklah boleh dirinya denikahkan dengan selain orang yang telah menikahinya sehingga orang yang menikahinya itu menceraikannya atau dipisahkan pernikahannya. Apabila suaminya itu tidak mau menceraikannya maka hakimlah yang harus memisahkan pernikahannya, dan nash ini dari Ahmad. (al Mughni juz IX hal 125)

Setelah suaminya menceraikan istrinya atau keduanya dipisahkan oleh hakim lalu si lelaki ingin kembali menikahinya maka hendaklah dengan akad yang baru dengan diwalikan oleh penguasa atau hakim, yang dalam hal ini adalah KUA.
D. Konsep Wali Nikah dalam Perspektif KHI
Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya
1. Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat Hukum Islam yakni muslim dan akil baligh
2. Wali nikah terdiri dari:
a)      Wali nasab
b)      Wali hakim
3. Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang satu didahulukan dari kelompok yang lain sesuai erattidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai wanita,
Pertama, kelompok kerabat laki-laki garis lurus keatas yakni ayah, kakek dari pihak ayah, dan seterusnya.
Kedua, kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah atau keturunan laki-laki mereka.
Ketiga, kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah, dan keturunan laki-laki mereka.
Keempat, kelompok saudara kandung kakek, saudara laki-laki seayah kakek, dan keturunan laki-laki mereka.

4. Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang yang sama-sama berhak menjadi wali, maka yang paling berhak menjadi wali ialah yang lebih dekat derajat kekerabatannya dengan calon mempelai wanita.

5. Apabila dalam suatu kelompok sama derajat kekerabatannya maka yang paling berhak menjadi wali nikah kerabat kandung dari kerabat yang hanya seayah.

6. Apabila dalam satu kelompok derajat kekerabatannya sama, yakni sama-sama derajat kandung atau sama-sama derajat kerabat seayah, mereka sama-sama berhak menjadi wali nikah, dengan mengutamakan yang lebih tua dan memenuhi syarat-syarat wali. Apabila wali nikah yang paling berhak urutannya tidak memenuhi syarat sebagai wali atau oleh karena wali nikah itu menderita tunawicara, tunarungu, atau sudah udzur, maka hak menjadi wali bergeser kepada wali nikah yang lain menurut derajat berikutnya.

a. Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau ghaib atau adlal atau enggan.
b. Dalam hal wali adlal atau enggan maka wali hakim dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan pengadilan Agama tentang wali tersebut. 

tugas penulis ketika kuliah fiqih munakahat  di PUTM



[1] HR. Ibnu Hibban
[2] HR. Tirnidzi, Abu Dawud dan Ibnu Majah
[3] Porwadarminta, Kamus Besar Bahsa Indonesia ( Jakarta: Balai Pustaka, 1995), 92
[4] Muhammad Bagir al-Habsy, Fiqh Praktis: (Bandung: mizan, 2002), 56.
[5] Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam (Jakarta: Raja Grafindo 2004), 134.
[6] Kamal Muchtar, Asas-asas Hukum Tentang Perkawinan (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), 89.
[7] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah 7 (Bandung: Al-ma’arif, 1997), 11.
[8] Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Fiqih (Jakarta: Kencana, 2003), 90.
[9] Abdur Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat (Jakarta: Kencana, 2003), 165.
[10] Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab (Jakarta: lentera, 2001), 345.
[11] Slamet Abidin Dan Aminuddin, Fiqh Munakahat, Juz 1( Bandung: Pustaka Setia.1999),89.
[12] Moh. Idrris Ramulyo, Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang No 1 Tahun 1974, Dari Segi Hukum Perkawinan Islam ( JakartaInd-Hillco,1985),177.
[13] Sayyid Ai akar Al-Manshur bil Sayyid al-Bikri, I' anatu Al-Thalibin,juz 39( Surabaya: Al- idayah, Tth), 318-319.
[14] Syaikh Muhammad As-sabini al-khathib, Al-aqna' Juz 1,(Semarang: Toha Putra Tth), 126.
[15] Slamet Abidin, Loc. Cit., 93.
[16] Mohd. Idris Ramulyo, Op.Cit.,214.
[17] Mahmud Yunus Hukum Perkawinan Dalam Islam (Jakarta: Hidakarya Agung, 1989), 24.
[18] Ibnu Qudamah Al-Mughni (Kairo, Dar al-Hadits 1425 H/2004 M) juz 9 hal 119.
[19] Ibid Ibnu Qudamah Al-Mughni (Kairo, Dar al-Hadits 1425 H/2004 M) juz 9 hal 119.
[20] Sulaiman Rasjid, , Op.Cit., 386
[21] QS. At-Taubah : 71
[22] Imam Nawawi Al-Majmu’ sarh Al-Muhaddzab (Beirut Dar al-Fikr th. 1425 H/ 2005)  juzl 17 hal 318
[23] Ibid 318, Abu Bakar Jabir Al-Jaza’iri Minhajul Muslim (Kairo, Dar as-Salam th. 2001) hal 336.
[24] (H.R.Ibnu Majah dan Daruquthni dan para perawinya adalah orang-orang yang terpercaya)
[25] Ibid hal 2
[26] Syaikh Hasan Ayyub, Op. Cit.,69
[27] Ibrahim al- Baijury, Al-Baijury, Juz 2 (Semarang: Dina Utama, 1993)101
[28] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah 7 (Bandung: Al-ma’arif, 1997)
[29] (HR. Muslim no. 3432)
[30] (Fiqhun Nisa` fil Khithbah waz Zawaj secara ringkas, hal. 68-70)
[31] Imam Nawawi Al-Majmu’ Sarh al-Muhaddzab juz 17 hal 312.
[32] Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad Al-Husaini Al-Hushaini Kifayah al-Akhyar fi Hilli Ghayah al-Ikhtisar (Damaskus, Dar al-Khair th. 1994 M). Maktabah Syamilah.
[33] Abdullah bin Qudamah Al-Maqdisi Al-Kafi fi Fiqhi Ibnu Hanbal . Maktabah Syamilah.
[34] Al-Majmu’ juz 17 hal 305.
[35] HR. Tirmidzi dan beliau mengatakan, “Ini adalah hadits hasan shahih”
[36] HR. Abu Dawud hadits. No. 2100. dan Nasa’I.
[37] Al-Majmu’ juz 17 hal 307.
[38]  HR. Ibnu Hibban.
[39] HR. Daruqutni.
[40] HR Abu Daud no 2083 dan dinilai shahih oleh al Albani.

0 komentar: