Jumat, 20 April 2012

Mengenal Hukum wadh’i Dalam Ushul Fiqih


A. Mukadimah
Islam adalah agama yang sempurna, yang hukum dan aturannya mencakup segala bidang dan aspek kehidupan manusia. Dalam bidang politik, Islam telah mengajarkan kepada para politisi bagaimana cara berpolitik, berfikir, dan berasumsi yang baik dan benar yang pada akhirnya dapat memberi kemaslahatan terhadap kelangsungan hidup umat manusia. Hal ini tercermin pada peran Rasulullah Saw. saat menjadi presiden, pemimpin, dan khalifah umat Islam semasa berdirinya Daulah Islamiyah. Dalam bidang ekonomi, Rasulullah Saw. yang disebutkan dalam Al-Qur’an sebagai Uswah Hasanah, telah memberi contoh kepada para bisnismen tentang bagaimana cara berniaga yang diperbolehkan dalam Islam. Dalam bidang pendidikan, Rasulullah Saw. telah memberikan metode kepada para dosen, mentor, dan da’i tentang bagaimana cara menyampaikan ilmu yang baik sesuai dengan keadaan penerima, sehingga ilmu yang disampaikan dapat diterima dengan jelas. Dalam bidang sosial, Islam telah mengajarkan tentang bagaimana cara bertetangga dan bermasyarakat yang baik sehingga bisa terjalin hubungan yang harmonis antar sesama, Rasulullah Saw. bersabda : Demi Dzat yang jiwaku barada di tangan-Nya, seorang hamba tidak dikatakan beriman sehingga ia mencintai tetangganya sebagaimana ia mencintai dirinya. (HR. Bukhari dan Muslim).
Itulah sebagian bukti akan kesempurnaan dan perhatian Islam terhadap kemaslahatan hidup umat manusia. Permasalahan muncul setelah Nabi Saw. wafat. Beliau yang tidak lain adalah mediator antara Syar’i dan mukallaf, telah menjadi rujukan para sahabat untuk menanyakan segala hukum yang terjadi pada masanya. Maka pada zaman sekarang, para ulama dituntut untuk bisa menentukan hukum permasalahan-permasalahan yang belum dijelaskan dalam al-Nushush al-Syar’iyyah dengan menggalinya dari sumber hukum utama yaitu Al-Qur’an dan Al-Sunnah dengan metode yang telah disepakati oleh para ulama maupun yang ada ikhtilaf, seperti ijma’, qiyas, istihsan, dan lain-lain.

Hukum oleh para ushuliyyin didefinisikan sebagai khithab Allah Swt. yang mempunyai kaitan dan hubungan dengan pekerjaan dan tingkah laku mukallaf yang di dalamnya terkandung kehendak atau permintaan (iqtidha`), kebebasan memilih (takhyir), dan ketetapan (wadh’i). Dalam ilmu ushul fiqh, secara global hukum terbagi menjadi dua macam. Yang pertama, hukum taklîfîe, yaitu hukum yang berhubungan dengan beban (kulfah) bagi seorang mukallaf. Yang kedua, hukum wadh’i, yaitu hukum yang berhubungan dengan hal-hal ditetapkannya suatu hukum syariat. Kedua macam hukum ini mempunyai macam dan bagian masing-masing. Pada makalah yang sederhana ini –atas izin dan ridha-Nya- penulis akan memaparkan tentang definisi hukum wadh’i beserta macam dan bagiannya.


B. Definisi Hukum Wadh’i

Hukum wadh’i adalah hukum yang menetapkan dan menjadikan sesuatu sebagai sebab (al-sabab), syarat (al-syarthu), atau pencegah (al-mani’). Hukum ini dinamakan hukum wadh’i karena dalam hukum tersebut terdapat dua hal yang saling berhubungan dan berkaitan. Seperti hubungan sebab akibat, syarat, dan lain-lain. Tapi pendapat lain mengatakan bahwa definisi hukum wadh’i adalah hukum yang menghendaki dan menjadikan sesuatu sebagai sebab (al-sabab), syarat (al-syarthu), pencegah (al-mani’), atau menganggapnya sebagai sesuatu yang sah (shahih), rusak atau batal (fasid), azimah atau rukhshah. Definisi ini adalah menurut Imam Amidi, Ghazali, dan Syathibi.
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa ada ikhtilaf di kalangan para ulama tentang al-shihhah, al-buthlan atau al-fasid, al-‘azamah, dan al-rukhshah. Sebagian ulama menganggap hukum-hukum tersebut tidak termasuk dalam lingkup hukum wadh’i. Akan tetapi sebaliknya, sebagian ulama lain menganggap bahwa hukum-hukum tersebut termasuk bagian dari hukum wadh’i.

Adapun alasan mengapa rukhshah dan azimah bukan termasuk dalam hukum wadh’i akan tetapi masuk dalam hukum taklifi adalah karena kedua hukum tersebut mengandung kehendak atau permintaan (iqtidha) dalam hukum azimah dan kebebasan memilih (takhyir) dalam hukum rukhshah. Sebaliknya pendapat yang menganggap bahwa azimah dan rukhshah merupakan bagian dari hukum wadh’i dan bukan termasuk dalam hukum taklifi mengatakan bahwa rukhshah pada hakikatnya adalah sifat yang dijadikan Syari’ sebagai sebab peringanan suatu hukum syariat, sedangkan azimah adalah kelangsungan adat dan kebiasaan yang menjadi sebab berlakunya hukum asli, seperti hukum kewajiban salat, zakat, dan lain sebagainya.

Sedangkan alasan mengapa al-shihhah dan al-buthlan atau al-fasid tidak termasuk dalam hukum wadh’i akan tetapi bagian dari hukum taklifi, yaitu karena pada hakikatnya al-shihhah adalah pembo1ehan dari Syari’ untuk memanfaatkan sesuatu, seperti pembolehan memanfaatkan mabi’ (barang yang dijual) oleh pihak pembeli. Sebaliknya al-buthlan adalah keharaman memanfaatkan sesuatu, seperti larangan memanfaatkan mabi’ jika akad jual beli batal atau tidak sah.

C. Pembahasan
Pembagian Hukum Wadh’i

I. Sebab :

Ø  Ushul Fiqh 1 (Drs. Chaerul Uman, dkk.  Penerbit Pustaka Setia Bandung)
Yaitu sifat yang nyata dan dapat diukur yang dijelaskan oleh nash ( Al-Qur'an dan As-Sunnah) bahwa keberadaanya menjadi petunjuk bagi hukum syara'. artinya keberadaan sebab merupakan pertanda keberadaan suatu hukum dan hilangnya sebab menyebabkan hilangya hukum. Misalnya, perbuatan zina meyebabkan seorang dikenai hukuman dera 100 kali, tergelincirnya matahari menjadi sebab wajibnya shalat dzuhur, dan terbenamnya matahari menjadi sebab wajibnya shalat maghrib. Apabila perzinaan tidak dilakukan, maka hukuman denda tidak di kenakan, apabila matahari belum terbenam, maka shalat maghrib belum wajib dilakukan. Dengan demikian, terlihat keterkaitan antara hukum wadh'i, dalam hal ini adalah sebab, dengan hukum taklifi. sekalipun keberadaan hukum wadh'i itu tidak menyentuh esensi hukum taklifi. Hukum wadh'i hanya sebagai petunjuk atau indikator untuk pelaksanaan hukum taklifi. Akan tetapi, para ulama ushul fiqh menetapkan bahwa sebab harus muncul dari nash, bukan buatan manusia. (Uman Chaerul dkk, 1998 : 142)
Ø  Ilmu ushul fiqh prof. Abdul Wahab Khallaf terbitan Dina Utama Semarang
a. Definisi Sebab:
Ialah sesuatu yang dijadikan oleh syar’i sebagai tanda atas musababnya dan mengkaitkan keberadaan musabab dengan keberadaanya dan ketiadaan musabab dengan ketiadaanya. Jadi, dari keberadaan sebab maka ditetapkan adanya musabab dan dari ketiadaan sebab itu ditetapkan ketiadaannya. Dengan demikian sebab merupakan hal yang zhahir (nyata) dan pasti, yang dijadikan oleh syar'i sebagai alamat (pertanda) atas hukum syara' yaitu musababnya. Dari keberadaan sebab itulah diperoleh ketetapan keberadaan musabab dan dari ketiadaannya maka diperoleh ketetapan mengetahui ketiadan musabab itu.
Dalam pembahasan tentang illat pada qiyas kami telah mengemukakan bahwasanya setiap illat bagi hukum disebut juga sebab hukum, namun tidak setiap sebab hukum disebut sebagai illat hukum.  Kami juga telah menjelaskan perbedaan antara keduanya berikut contoh-contohnya.
b. Macam-macam Sebab
            Sebab terkadang menjadi sebab bagi hukum taklifi , seperti waktu yang dijadikan oleh syar'i sebagai sebab untuk mewajibkan mendirikan shalat, karena firman Allah SWT:
اقم الصلاة لدلوك الشمس(QS. Al-Isra' : 78)
Kadangkala sebab bagi penetapan kepemilikan, atau penghalalan, atau menghilangkan keduanya, sebagaimana jual beli untuk menetapkan pemilikan dan menghilangkannya, pemerdekaan dan wakaf untuk menggugurkannya, akad perkawinan untuk menetapkan kehalalan, talaq untuk menghilangkan kehalalan.
Terkadang pula sebab merupakan suatu perbuatan mukallaf yang dikuasainya, seperti pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja menjadi sebab bagi adanya pengqiyasan terhadapnya, akad jual belinya, atau perkawinannya, sewa-menyewanya, atau lainnya merupakan sebab bagi hukum-hukum hal-hal tersebut, dan pemiliknnya terhadap ukuran nishab bagi wajibnya zakat atasnya. Namun kadang pula sebab merupakan hal yang diluar kemampuan mukallaf dan tidak termasuk perbuata-perbuatannya, sebagaimana masuknya waktu adalah sebab bagi wajibnya shalat, kekerabatan adalah sebab bagi adanya pewarisan dan kewalian, dan keadaan masih kecil menjadi  sebab tetapnya kewajiban seorang anak kecil.
Apabila sebab telah ditemukan baik ia adalah perbuatan mukallaf maupun tidak, syarat-syaratnya telah terpenuhi, dan penghalang-penghalangnya tidak ada, maka timbullah musabab sebagai konsekuensinya secara pasti. Baik musababnya itu adalah hukum taklifi, penetapan milik atau kehalalan ataupun menghilangkan kedua-duanya.karena musabab tidak akan tertinggal dari sebabnya menurut syara'. Baik apakah orang yang melakukan sebab itu bermaksud akan timbulya musabab maupun tidak. Bagkan musabab itu otomatis timbul, sekalipun ia menghendaki ketidak timbulan musabab itu. Barang siapa yang bepergian pada bulan romadhon, maka dia diperbolehkan berbuka puasa, baik ia menghendaki kebolehan itu ataupun tidak menghendakinya. Barang siapa yang mentalaq istrinya secara raj'i maka ia masih tetap berhak untuk merujukinya, kendatipun ia berkata: “aku tidak berhak rujuk". Barang siapa yang menikah, maka ia wajib memberikan mas kawin dan nafkah istrtinya, kendatipun ia mengawininya dengan persyaratan bahwa ia tidak berkewajiban menyerahkan mas kawin dan nafkah. Karena sesungguhnya syar'i, apabila telah menetapkan suatu akad atau tindakan menjadi sebab bagi suatu hukum, maka timbullah konsekuensi hukum atas akad itu berdasarkan hukum syara'. Konsekuansi hukum tersebut tidak tergantung pada tujuan mukallaf. Mukallaf tersebut tidak berhak untuk melepaskan ikatan yang telah dikaitkan oleh syar'i terhadap musabab dengan sebab-sebabnya. .(Khalaf Abdullah wahab,1994 : 170 - 172)
Ø  USHUL FIQH Prof. Dr. H. Satria Effendi,M.Zein,M.A. Prenada Media 2005

a.    Pengertian Sebab

Sebab menurut bahasa berarti sesuatu yang bisa menyampaikan seseorang kepada sesuatu yang lain. Menurut ishtilah ushul fiqh, seperti dikemukakan Abdul  Karim Zaidani, sebab berarti:

Yaitu sesuatu yang diijadikan oleh syari'at sebagai tanda bagi adanya hukum, dan tidak adanya sebab sebagai tanda bagi tidak adanya hukum. Misalnya, tindakan perzinahan menjadi sebab, atau alasan bagi wajib dilaksanakan hukuman atas pelakunya, keadaan gila menjadi sebab (alasan) bagi keharusan ada pembimbingnya, dan tindakan perampokan menjadi sebab bagi adanya kewajiban mengembalikan harta yang dirampok kepada pemiliknya.

b. Pembagian sebab

            Para ulama ushul fiqh membagi sebab kepada dua macam:
1)      Sebab yang bukan merupakan perbuatan mukallaf dan berada diluar kemampuannya. Namun demikian sebab itu mempunyai hubungan dengan hukum taklifi, karena syari'at telah menjadikannya sebagai alasan bagi adanya suatu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh seorang mukallaf. Misalnya, tergelincirnya matahari menjadi sebab (alasan) datangnya shalat zuhur.

2)      Sebab yang merupakan perbuatan mukallaf dan dalam batas kemampuannya. Misalnya perjalanan menjadi sebab bagi bolehnya berbuka puasa disiang hari romadhon. Sebab yang merupakan perbuatan mukallaf ini berlaku kepadanya ketentuan-ketentuan taklifi. Oleh sebab itu, diantaranya ada yang diperintahkan untuk dilakukan, seperti perintah melakukan akad nikah ketika khawatir akan terjadi perzinahan, diantaranya seperti larangan berzina yang merupakan sebab bagi ancaman hukuman, dan ada pula yang mubah, seperti boleh melakukan akad jual beli sebagai sebab bagi perpindahan milik dari penjual kepada pihak pembeli.

c.    Perbedaan antara sebab dan illat

Abdul Karim Zaidani menjelaskan perbedaan antara sebab dan illat. Sesuatu yang dijadikan oleh syariat sebagai tanda bagi adanya hukum terdiri dari dua bentuk. Bentuk pertama antara tanda (sebab) dengan sesuatu yang ditandai yaitu musabab mempunyai hubungan logis, dalam pengertian bisa ditelusuri akal pikiran hubungan antara keduanya, dan bentuk kedua, hubungan antara keduanya tidak bisa ditelusuri oleh akal pikiran.

Bentuk pertama diatas, disamping disebut sebagai sebab, juga disebut illat. Sedangkan bentuk kedua hanya disebut sebab. Contoh bentuk pertama perjalanan adalah sebab dan juga illat bagi bolehnya berbuka puasa disiang hari bulan romadhon, dan keadaan memabukkan menjadi sebab atau illat bagi haramnya minuman khamr. Sedangkan contoh bentuk kedua yaitu sebab yang bukan illat seperti terbenamnya matahari menjadi sebab bagi wajibnya melaksanakan shalat maghrib dan terbit fajar bagi masuk shalat shubuh.

  Pada sebab semacam ini Allah menjadikan terbenamnya matahari sebagai sebab bagi wajibnya melaksanakan shalat maghrib, dan terbit fajar menjadi tanda masuknya shalat subuh, tanpa adanya hubungan logis antara peristiwa terbenamnya matahari dan terbit fajar itu dengan kewajiban melaksanakan shalat. (Efendi Satria,2005 : 62 - 64)


السبب وهو ما يلزم من وجوده وجودالحكم و من عدمه عدم الحكم. بيان أنّ الله عزّ وجلّ جعل في الزنى مثلا حكمين أحدهما تكليفيىّ وهو وجوب الحد عليه و الثانى وضعىّ وهو جعل الزنا سببا لوجوب الحدّ


II. Syarat:
Ø  Ushul Fiqhi 1 (Drs. Chaerul Uman, dkk.  Penerbit Pustaka Setia Bandung)

a.  Pengertian Syarat
            Yaitu sesuatu yang menyebabkan adanya hukum dengan adanya syarat dan bila tidak ada syarat maka hukum pun tidak ada. Syarat letaknya diluar hakikat sesuatu maka apabila ia tidak ada maka masyrut pun tidak akan ada, tetapi tidak mesti dengan adanya syarat ada juga masyrut. Perceraian oleh syara' disyaratkan jatuh talaq maka kalau perceraian belum dilaksanakan maka tidak akan jatuh talaq. Wudhu sebagai syarat sah shalat apabila ada wudhu shalat  sah, namun tidak mesti adanya wudhu berarti adanya shalat. Akad nikah menurut syara' menjadi sah apabila dihadiri oleh dua orang saksi pada saat diucapkan ijab dan qabul. Adanya barang yang diperjualbelikan dan jumlah harga menjadi syarat sah jual-beli.
            Syarat yang ditetapkan syara' mungkin sebagai pelengkap sebab hukum, seperti pembunuhan yang dapat dijatuhi hukuman, qishash di syaratkan bahwa pembunuhan itu dilakukan dengan berencana. Akad nikah dijadikan syarat halalnya pergaulan suami istri, namun agar akad nikah itu sah disyaratkan dihadiri oleh dua orang saksi. Demikianlah dalam semua perjanjian dan tindakan baru dianggap sah dan mengikat kedua belah pihak apabila terpenuhi syarat-syaratnya.
            Kendatipun syarat dan rukun yang menentukan sahnya suatu perbuatan, namun rukun menjadi satu dengan perbuatan atau dengan kata lain menjadi bagian dari perbuatan, sedang syarat berada di luar perbuatan dan bukan menjadi bagiannya. Wudhu sebagai syarat sah shalat yang letaknya di luar shalat. Ijab dan qabul menuntut adanya dua orang yang mengikat perjanjian dan prestasi perjanjian. Kehadiran dua orang saksi dalam akad nikah, penentuan barang yang diperjualbelikan, penyerahan barang yang dihibahkan menjadi syarat sahnya perjanjian kerena tidak termasuk bagian dari perjanjian. Kerena itu, kalau rukun perjanjian tidak lengkap maka perjanjian itu cacat dan kalau syaratnya yang tidak lengkap maka cacatnya hanya pada sifat perjanjian.
            Syarat-syarat dalam perbuatan hukum kadang-kadang ditetapkan syara' yang dinamakan syarat syar'i dan kadang-kadang ditetapkan oleh mukallaf sendiri yang dinamakan syara ja'li. Contoh syarat syar'i, seperti syarat yang ditetapkan sahnya akad nikah yang dihadiri oleh dua orang saksi dan contoh sarat ja'li, seperti jatuhnya talak apabila kedua belah pihak mempunyai ikatan perkawinan.  
            Sebab lahirnya hukum tidak dapat berfungsi bila syarat lahirnya hukum tidak terpenuhi. Umpamanya sebab wajib mengerjakan shalat Zhuhur adalah berwudhu. Kalau belum berwudhu tidak sah melakukan shalat Zhuhur sekalipun waktu Zhuhur telah tiba.
            Ada satu masalah yang cukup rumit ialah sebab lahirnya hukum telah tercapai, namun perbuatan hukum bergantung pada suatu syarat. Apakah boleh dikerjakan sekalipun syaratnya belum tercapai? Contoh masalah ini adalah ibadah zakat yang menjadi sebabnya adalah cukup nisab dan yang menjadi syarat wajib adalah haul. Kalau dikatakan boleh mengeluarkan zakat sebelum cukup haul, dapat dikatakan haul bukan menjadi syarat wajib zakat, tetapi hanya sebagai syarat tidak boleh ditundanya nisab ini. Sama halnya dengan waktu shalat zhuhur, shalat zhuhur dapat dikerjakan pada awal, pertengahan atau pada akhir waktu. Namun, kalau waktunya hampir habis maka shalat Zuhur  tidak boleh lagi ditunda. Demikian juga apabila sudah sampai nisab sebagai syarat wajib mengeluarkan zakat boleh ditunda mengeluarkannya sampai akhir haul dan kalau sampai pada akhir haul tidak boleh ditunda lagi.
b.   Pembagian syarat

Ø  Syarat syar'i dapat dibagi menjadi dua macam:
1. Syarat yang terkandung dalam kitab taklifi yang kadang-kadang dalam bentuk tuntutan untuk melakukannya, seperti wudhu dalam shalat. Dan kadang-kadang dalam bentuk tuntutan untuk tidak melakukan, seperti akad nikah tahlil ialah nikah yang dilakukan sebagai syarat untuk memperolehkan suami pertama menikahi kembali mantan isterinya yang ditalak tiga.
2. Syarat yang terkandung dalam khitab wadh'i. contohnya haul bagi yang memiliki harta kekayaan yang cukup nisab menjadi syarat wajib mengeluarkan zakat.
Khusus mengenai jenis kedua ini tidak diperintahkan untuk memenuhinya, namun tidak dilarang untuk memenuhinya. Kalau harta kekayaan sudah cukup nisabnya, pemilik tidak dilarang mempergunakan harta itu sekalipun akibat dari penggunaannya itu dapat mengurangi jumlah hartanya dan juga tidak diperintahkan agar harta yang cukup nisab itu tidak dipergunakan dan disimpan terus sampai akhir nisab sehingga wajib mengeluarkan zakat. Namun dalam mempergunakan harta tadi tidak boleh berniat untuk menguranginya agar terlepas dari kewajiban zakat atau mengelak dari kewajiban mengeluarkan zakat kepada yang berhak menerima, yaitu fakir dan miskin. Dan kewajiban mengeluarkan zakat tetap menjadi beban baginya karena adanya kesengajaan diri dari tuntutan agama.


Ø  Syarat ja'li dapat dibagi menjadi tiga macam:
1. Syarat yang ditetapkan untuk menyempurnakan hikmah suatu perbuatan hukum dan tidak bertentanggan dengan hikmah perbuatan hukum itu. Umpamanya dalam perjanjian jual-beli boleh ditetapkan syarat bahwa dalam jual-beli secara tunai maka barang yang diperjualbelikan itu diantar ke rumah pembeli.
2. Syarat yang ditetapkan tidak cocok dengan maksud perbuatan hukum yang dimaksud bahkan bertentangan dengan hikmah perbuatan hukum itu. Syarat yang seperti ini tidak berlaku, seperti dalam perjanjian untuk pernikahan yang disyaratkan bahwa suami tidak berkewajiban memberi nafkah kepada isterinya atau suami tidak boleh mencampuri isterinya.
3. Syarat yang tidak jelas bertentangan atau sesuai dengan hikmah perbuatan hukum. Syarat ini tidak berlaku dalam bidang ibadah karena tidak ada seorang pun yang berhak menetapkan syarat dalam ibadah. Namun kalau terjadi dalam bidang muamalah dapat diterima.
Para Ulama' dalam kalangan mazdhab Maliki membagi syarat perjanjian jual-beli menjadi empat:
1. Syarat yang mendatangkan kemaslahatan dalam penjualan, syarat yang seperti ini sah dan jual-belinya juga sah, contohnya dalam jual-beli itu ditetapkan syarat bahwa penjual mendiami rumah yang di jual selama sebulan.
2. Syarat yang bertentangan dengan perjanjian jual-beli. Syarat yang seperti ini tidak sah dan jual-belinya juga tidak sah seperti syarat yang menetapkan bahwa pembeli tidak boleh menikmati barang yang dibelinya.
3. Syarat yang tidak mendatangkan kemaslahatan dan tidak menambah atau mengurangi kemaslahatan. Syarat ini dianggap tida ada sehingga jual-beli sah. Namun, kalau yang menetapkan syarat itu tidak mau menarik syaratnya maka jual-beli itu menjadi batal.
4. Syarat yang ditetapkan dalam memberikan hak walau (kekuasaan terhadap budak yang dijual) apabila dimerdekakan oleh pembeli walau kembali kepada penjual maka syarat itu batal dan pembelinya sah. (Uman Chaerul dkk, 1998 : 242-246)

Ø  Ilmu Ushul Fiqh prof. Abdul Wahab Khallaf terbitan Dina Utama Semarang
a. Pengertian Syarat:
Syarat adalah sesuatu yang keberadaan suatu hukum tergantung pada keberadaan sesuatu itu, dan dari ketiadaan sesuatu itu diperoleh ketetapan ketiadaan hukum tersebut. Yang dimaksudkan adalah keberadaannya secara syara' yang menimbulkan efeknya.
            Syarat merupakan hal yang diluar hakekat sesuatu yang disyaratkan. Ketiadaan syarat menetapkan ketiadaan yang disyaratkan, namun adanya syarat tersebut tidak memastikan adanya yang disyaratkan. Misalnya, perkara perkawinan merupakan syarat bagi penjatuhan talaq. Apabila perkawinan itu tidak ditemukan, maka talaq tidak akan ada dan tidak pula dari keberadaan perkawinan, keberadaan talaq dipastikan. Apabila tidak ada wudhu maka mendirikan shalat tidak sah, namun keberadaan wudhu tidak memastikan pendirian shalat.
            Keberadaan perkawinan secara syara' yang dapat menimbulkan berbagai konsekuensi hukumnya tergantung pada kehadiran dua orang saksi pada waktu akad perkawinannya. Keberadaan jual beli menurut syara' yang dapat menimbulkan berbagai konsekuensi hukumnya tergantung pada pengetahuan tergantung pada pengetahuan terhadap dua benda yang dipertukarkan. Demikianlah, segala sesuatu yang disyaratkan oleh syari' untuk menjadi syarat baginya tidak akan dapat terbukti keberadaannya menurut syara' kecuali apabila telah ditemukan syarat-syaratnya, dan ia dianggap menurut syara' sebagai sesuatu yang tidak ada, apabila syarat-syaratnya tidak ada. Akan tetapi harus pula adanya syarat menentukan keberadaan masyrutnya.
            Syarat-syarat syari'iyyah adalah yang menyempurnakan sebab dan menjadikan efeknya timbul padanya. Misalnya, pembunuhan merupakan sebab bagi pewajiban qishash, akan tetapi dengan syarat, bahwa ia merupakan pembunuhan secara sengaja dan kezhaliman. Misalnya lagi, akad perkawinan merupakan sebab bagi pemilikan hak menikmati, akan tetapi dengan syarat perkawinan itu dihadiri oleh dua orang saksi. Demikianlah, setiap akad atau tindakan hukum tidak akan menimbulkan efeknya kecuali apabila syarat-syaratnya telah terpenuhi.
            Perbedaan antara rukun dan syarat sesuatu, padahal masing-masing dari   keduanya menjadi tempat tergantungnya keberadaan hukum : bahwasanya rukun merupakan bagiannya dari hakekat sesuatu. Adapun syarat merupakan hal yang berada di luar hakekatnya dan bukan termasuk bagian-bagiannya. Misalnya, ruku' adalah rukun shalat, karena ia adalah bagian dari hakekat shalat, sedangkan bersuci adalah syarat shalat, karena ia adalah hal yang berada di luar hakekat. Misalnya lagi, shighat akad dan dua orang yang berakad serta tempat akad merupakan beberapa rukun akad karena ia adalah bagian-bagian akad; sedangkan kehadiran dua orang saksi dalam perkawinan dan penentuan dua barang dipertukarkan dalam jual beli, serta penyerahan sesuatu yang dihibahkan dalam suatu hibah merupakan syarat, bukan rukun, karena ia tidak termasuk dari bagian-bagian akad. Oleh karena inilah, maka wakaf mempunyai beberapa rukun dan syarat. Demikian pula jual beli dan seluruh akad dan tindakan hukum juga mempunyai syarat dan rukun. Apabila terjadi kerusakan pada salah satu rukunnya, maka hal itu merupakan pada akad atau tindakan hukum itu sendiri. Apabila terjadi kerusakan pada salah satu syarat, maka ia merupakan kerusakan pada sifatnya, artinya pada suatu hal yang berada di luar hakekatnya.
Persyaratan suatu syarat terkadang melalui hukum syari', dan ia di sebut dengan syarat syar'i.
Tekadang pula, persyaratan suatu syarat terjadinya dengan tasharut (tindakan hukum) mukallaf, dan ia disebut dengan syarat ja'li.
Misal yang pertama adalah semua syarat yang disyaratkan oleh syari' dalam perkawinan, jual beli, hibah, wasiat, syarat yang dipersyaratkan untuk mewajibkan shalat lima waktu, zakat, puasa, dan haji, dan syarat yang disyaratkannya untuk melaksanakan hukuman had dan lain sebagainya.
Misal yang kedua adalah syarat-syarat yang ditetapkan oleh suami untuk menjatuhkan thalaq terhadap istrinya, yang di syariatkan oleh majikan untuk memerdekakan budaknya.  Karena sesungguhnya penggantungan thalaq pemerdekaan atas keberadaan syarat, konotasinya adalah:  bahwasanya keberadaan thalaq atau pemerdekaan tergantung kepada adanya syarat tersebut, dan ketiadaan syaratnya memastikan ketiadaan yang disyariatkan. Misalnya, shigat thalaq merupakan sebab bagi timbulnya thalaq, akan tetapi apabila beberapa syarat terpenuhi.
Seorang mukallaf tidak boleh menggantunkan akad apapun atau suatu tindakan hukum atas persyaratan yang dikehendakinya. Akan tetapi syaratnya haruslah tidak menafikan hukum akad atau tindakan hukum. Adapun apabila syarat tersebut menafikan hukum akad, maka akad tersebut batal, karena sesungguhnya syarat menyempurnakan sebab. Maka apabila syarat itu menafikan hukumnya, maka ia membatalkan kesebabannya.
Misalnya hal itu ialah: akad-akad yang menunjukkan pemilikan yang sempurna atau kehalalan yang sempurna, seperti akad jual beli dan akad perkawinan. Hukum syar'inya adalah bahwasanya pengaruh yang timbul pada masing-masing dari keduanya tidak tertunda dari shigatnya. Apabila seorang mukallaf mengadakan jual beli atau perkawinan dan menggantungkan salah satu dari keduanya bahwa di masa  mendatang harus ada syarat yang disyariatkannya, kemudian bahwasanya konotasi persyaratan ini ialah bahwa efek akad tidak di temukan kecuali apabila syarat itu ada. Ini menafikan tuntutan dari akad, yaitu bahwasanya hukumnya tidak tertunda daripadanya. Oleh karena inilah, maka jual beli yang digantungkan atas suatu syarat adalah batal. Demikin pula perkawinan yang digantungkan pada suatu syarat. Dengan demkian, syarat ja'li (buatan), apabila ia diakui oleh syar'i, maka ia menjadi syarat syar'i. .(Khalaf Abdullah Wahab,1994 : 173 - 175)




Ø  Ushul Fiqh Prof. Dr. H. Satria Effendi,M.Zein,M.A. Prenada media 2005

a.    Pengertian syarat

Menurut bahasa kata syarat berarti "sesuatu yang menghendaki adanya sesuatu yang lain" atau "sebagai tanda". Menurut istilah ushul fiqh, seperti dikemukakan Abdul Karim Zaidani, syarat adalah:
Sesuatu yang tergantung kepadanya ada Sesutu yang lain, dan berada diluar dari hakikat sesuatu itu.
Misalnya, wudhu adalah sebagai syarat bagi sahnya shalat dalam arti adanya shalat tergantung kepada adanya wudhu, namun pelaksanaan wudhu itu sendiri bukan merupakan bagian dari pelaksanaan shalat. sementara kehadiran dua orang saksi menjadi syarat bagi sahnya akad nikah, namun kedua orang saksi itu merupakan rukun dari akad nikah. Yang disebut terakhir ini adalah rukun. Disinilah perbedaan antara syarat dan rukun. Rukun sama dengan syarat dari segi ketergantungan sesuatu yang lain kepadanya, namun antara keduanya terdapat perbedaan dimana syarat bagi suatu ibadah misalnya, seperti dikemukakan diatas, bukan merupakan bagian dari hakikat suatu ibadah. Berdiri dalam shalat misalnya, adalah salah satu dari rukun shalat, dan keadaan berdiri itu adalah bagian dari hakikat pelaksanaan shalat.

b.   Pembagian syarat
Para ulama ushul fiqh membagi syarat kepada dua macam:
1. Syarat syar'i, yaitu syarat yang datang langsung dari syari'at itu sendiri. Misalnya, keadaaan rusyd (kemampuan untuk mengatur pembalanjaan sehingga tidak jadi mubazir) bagi seorang anak yatim dijadikan oleh syari'at sebagai syarat bagi wajib menyerahkan harta miliknya kepadanya sebagaimana firman-Nya:

وبتلوااليتمى حتّى إذا بلغوا النكاح فإن ءانستم منهم رشدا فادفعوا إليهم أموالهم ولا تأكلوها إسرافا وبدارا أن يكباروا ومن كان غنيا فليستعفف ومن كان فقيرا فليأكل با لمعروف فإذا دفعتم إليهم أموالهم فأشهدوا عليهم و كفى با لله حسيبا

6. Dan ujilah[269] anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), Maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. dan janganlah kamu Makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, Maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan Barangsiapa yang miskin, Maka bolehlah ia Makan harta itu menurut yang patut. kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, Maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu).

[269] Yakni: Mengadakan penyelidikan terhadap mereka tentang keagamaan, usaha-usaha mereka, kelakuan dan lain-lain sampai diketahui bahwa anak itu dapat dipercayai.

2.   Syarat ja'li, yaitu syarat yang datang dari kemauan orang mukallaf itu sendiri. Misalnya, seorang suami berkata kepada istrinya: "jika engkau memasuki rumah si fulan, maka jatuhlah talaqmu satu", dan seperti pernyataan seorang bahwa ia harus bersedia menjamin untuk membayarkan utang si fulan dengan syarat si fulan itu tidak mampu membayar utangnya itu. ( Efendi Satria,2005 : 64 - 66 )

الشرط وهو م يلزم من عدمه عدم الحكم ولا يلزم من وجوده وجود الحكم. بيان أن الحول شرط فى وجوب الزكاة فعدمه يستلزم عدم وجوبها ولا يلزم من وجود الحول وجوب الزكاة لتوقفها على النصاب وأن الوضوء شرط لصحة الصّلاة فعدمه يستلزم عدم صحتها ولا يلزم من وجوده صحة الصّلاة لتوقفها على شروط أخرى 

III. Penghalang / Mani':

Ø  Ushul Fiqh 1 (Drs. Chaerul Uman, dkk.  Penerbit Pustaka Setia Bandung)

a.  Pengertian Mani’
            Mani' yaitu sifat yang nyata yang keberadaannya menyebabkan ada hukum atau tidak ada sebab. Misalnya, hubungan suami isteri dan hubungan kekerabatan menyebabkan mendapatkan pembagian warisan dari harta suami atau ayah yang wafat, sesuai dengan pembagian masing-masing. Akan tetapi, hak mewarisi ini bisa terhalang apabila anak atau isteri membunuh suami atau ayah yang mewarisi harta tersebut. (HR. Bukhari dan Muslim).
            Perbuatan membunuh itu merupakan mani' (penghalang) untuk mendapatkan pembagian warisan dari orang yang dibunuh. Di sisi lain adanya pembunuhan menyebabkan dilaksanakannya hukuman qishash bagi pelaku pembunuhan. Akan tetapi, dalam hubungan ayah dan anak atau isteri dengan suami dalam kasus pembunuhan di atas, maka hubungan keturunan (perkawinan) menjadi penghalang dilaksanakannya hukuman qishash.
            Keterkaitan antara sebab, syarat, dan mani' sangat erat. Penghalang itu ada bersamaan dengan adanya sebab dan terpenuhinya syarat-syarat. Syar'i menetapkan bahwa suatu hukum yang dikerjakan adalah hukum yang ada sebabnya, memenuhi syarat-syaratnya dan tidak ada penghalang (mani') dalam melaksanakannya. Sebaliknya, hukum tidak ada, apabila sebab dan syarat-syaratnya tidak ada, atau adanya untuk mengerjakannya. Misalnya, shalat zhuhur wajib dikerjakan apabila telah tergelincir  matahari (sebab) dan telah berwudhu (syarat) namun, karena orang yang akan mengerjakan itu sedang haid (mani') maka shalat Zhuhur itu tidak sah dikerjakan. Meskipun telah terpenuhinya sebab dan syarat, tetapi ada mani', yaitu haid, maka Zhuhur pun tidak bisa dikerjakan. Demikian juga halnya apabila syarat terpenuhi (telah berwudhu) tetapi penyebab wajibnya shalat dhuhur belum muncul (matahari belum tergelincir) maka shalat pun belum wajib.
b. Pembagian mani’
Para ulama' dikalangan madzhab Hanafi membagi mani' menjadi lima macam:
1. Mani' yang menghalangi sahnya sebab hukum seperti menjual orang yang merdeka tidak memperjual belikan orang yang merdeka karena orang merdeka bukan termasuk barang yang boleh diperjualbelikan. Padalah membeli menjadi sebab hak milik dan kebolehan menguasai dan mengambil manfaat dari barang yang dibeli.
2. Mani' yang menjadi penghalang kesempurnaan sebab lahirnya hukum bagi orang yang tidak ikut serta melakukan perjanjian dan menjadi penghalang bagi orang yang mengikat perjanjian. Seperti menjual barang yang tidak miliknya, penjualan seperti ini tidak sah karena terdapat mani' ialah barang yang dijual adalah milik orang lain. Namun, apabila pemilik barang yang dijual menyetujui penjualan itu maka perjanjian itu menjadi sah.
3. Mani' yang menjadi penghalang berlaku hukum seperti khiyar syarat dari pihak penjual yang menghalangi pembeli menggunakan haknya terhadap barang yang dibelinya selama masa khiyar syarat berlaku. Umpanya si A berkata si B bahwa barang yang dijualnya kepada si B tidak boleh dipergukan selama tiga hari karena si A masih berpikir-pikir lagi pada masa yang ditetapkan itu dan kalau pendiriannya berubah pada masa itu maka penjualannya di batalkan. Sebelum syarat berakhir pembeli haknya terhalang pada terhadap barang yang dibelinya.
4. Mani' yang menghalangi sempurna hukum seperti khiyar rukyah. Khiyar rukyah tidak menghalangi lahirnya haknya milik namun hak milik itu dianggap belum sempurna sebelum pembeli melihat barang yang dibelinya sekalipun barang itu sudah ada di tangan pembeli. Kalau pembeli sudah melihat barang yang dibelinya ia boleh meneruskan pemblian selama barang yang dibelinya cocok sifatnya dengan apa yang tetapkan, tetapi dalam hal barang yang dijualbelikan tidak cocok dengan persyaratkan ditetapkan maka pembeli dapat membatalkan tanpa menunggu persetuan penjual.
Mani' yang menghalangi berlakunya hukum, seperti cacat, dan sebagainya. Si  A sebagai pembeli suatu barang belum tahu keadaan barang tersebut dia berhak memilih antara meneruskan perjajian atau mengembalikan barang yang dibelinya hanya haknya mengembalikan tidak lebih dari tiga hari. Mani' seperti yang diterangkan di atas bukan dimaksud agar mukallaf berusaha untuk mencapainya atau berusaha menolaknya. Orang yang telah memiliki harta yang cukup nisabnya, tidak diperintahkan mempergunakan hak itu agar tidak bekurang dari jumlah nisab dan tentunya apabila kurang dari jumlah ia tidak wajib mengeluarkan zakatnya. Dan tidak pula di suruh mempergunakan harta itu agar jumlah nisabnya berkurang sehingga tidak mengeluarkan zakat, tetapi mani' ini ditetapkan syarat kalau secara kebetulan terdapat mani' maka terhapuslah hukum atau sebab yang melahirkan hukum. (Uman Chaerul dkk, 1998 : 246-248)
Ø  Ilmu Ushul Fiqh Prof. Abdul Wahab Khallaf terbitan Dina Utama Semarang
a. Defenisi mani'
            Mani' adalah: sesuatu yang keberadaanya menetapkan ketiadaan hukum, atau batalnya sebab.
            Terkadang sebab syar'i telah ada, dan seluruh syarat-syaratnya terepenuhi, akan tetapi ada mani' yang menghalangi timbulnya konsekuansi hukum padanya. Sebagaimana apabila ada perkawinan yang sah atau kekerabatan, akan tetapi konsekuensi pewarisan terhalang pada pada salah satu dari keduanya. Sebagaimana perbedaan agama antara ahli waris dan yang mewariskannya, atau pembunuhan yang dilakukan oleh ahli waris terhadap orang yang mewariskannya, dan sebagaiman ada pembunuhan sengaja yang mengandung kedzaliman, akan tetapi pewajiban pengqishashannya terhalang oleh bahwa si pembunuh adalah ayah si terbunuh.
            Jadi, mani' dalam istilah para ilmu ushul fiqih adalah : suatu hal yang ditemukan bersama keberadaan sebab terpenuhinya syarat-syaratnya, namun ia mencegah timbulnya musabab pada sebabnya. Ketiadaan syarat tidaklah disebut mani' dalam istilah mereka, meskipun ia menghalangi munculnya musabab pada sebabnya.
Suatu penghalang terkadang menjadi mani' terhadap keberadaan sebab syar'i, bukan timbulnya hukumnya, sebagaimana hutang bagi orang yang memilliki senishab harta zakat. Sesungguhnya hutangnya itu menghalangi terhadap keberadaan sebab bagi pewajiban zakat atas dirinya, karena harta kekayaan orang yang berhutang seakan-akan bukanlah miliknya dengan suatu pemilikan yang sempurna, memandang kepada hak-hak orang-orang yang menghutanginya; dan karena sesungguhnya pembebasan tanggunganya dari hutang pembebaninya lebih utama dari penyantunannya terhadap para fakir miskin dengan zakatnnya. Pada hakekatnya, hal ini merusak terhadap sesuatu yang persyaratanya harus terpenui pada sebab syar'i. jadi ia termasuk subbab ketiadaan pemenuhan syarat, bukan dari aspek adanya mani'. (Khalaf Abdullah Wahab,1994 : 175 - 176)



Ø  USHUL FIQH Prof. Dr. H. Satria Effendi,M.Zein,M.A. Prenada Media 2005

a. Defenisi Mani'

Kata mani' secara etimologi berarti "penghalang dari sesuatu". Secara terminologi, seperti dikemukakan oleh Abdul Karim Zaidani, kata mani' berarti: Sesuatu yang ditetapkan sebagai penghalang bagi adanya hukum atau penghalang bagi hukum atau penghalang bagi berfungsinya suatu sebab. Sebuah akad missalnya, dianggap sah bilamana telah mencukupi syarat-syaratnya dan akad yang sah itu mempunyai akibat hukum selama tidak terdapat padanya suatu penghalang (mani'). Misalnya akad perkawinan yang sah karena telah mencukupi syarat dan rukunnya adalah sebagai sebab waris mewarisi. Tetapi masalah waris mewarisi itu bisa jadi terhalang disebabkan suami misalnya telah membunuh istrinya. Tindakan pembunuhan dalam contoh tersebut adalah mani' (penghalang) bagi hak suami untuk mewarisi istrnya.

c.  Pembagian mani'
1. Mani' al-hukm, yaitu sesuatu yang ditetapkan syariat sebagai penghalang bagi adanya hukum. Misalnya, keadaan haidh bagi wanita ditetapkan Allah sebagai mani' (penghalang) bagi kecakapan wanita itu untuk melakukan shalat, dan oleh karena itu shalat tidak wajib dilakukannya waktu haidh.
Dari Aisyah sesungguhnya ada seorang wanita yang bertanya mengqodho shalat, Aisyah berkata: "anda terbebas, sebab dulu dimasa  Nabi SAW kami pernah haidh dan setelah suci beliau tidak menyuruh mengqodho shalat". (HR. ibnu Majah)
2. Mani' al-sabab, yaitu sesuatu yang ditetapkan syariat sebagai  penghalang bagi berfungsinya suatu sebab sehingga dengan bahwa sampainya harta minimal satu nisab, menjadi sebab bagi wajib mengeluarkan zakat harta itu karena pemiliknya sudah tergolong orang kaya. Namun jika pemilik harta itu dalam keadaan berutang dimana utang itu bila dibayar akan mengurangi hartanya dari satu nishab maka dalam kajian fiqh keadaaan berutang itu manjadi mani' (penghalang) bagi wajib zakat pada harta yang dimilikinya itu. Dalam hal ini keadaan seeorang dalam berutang itu, telah menghilangkan  kewajiban zakat harta. ( Efendi Satria,2005 : 66 - 67)

المانع هو ما يلزم من وجوده عدم الحكم كوجود الحيض مثلا يلزم منه عدم وجوب الصلاة و وجود النجاسة فى ثوب المصلى يلزم منه عدم صحة الصّلاة

D  Sah dan batal :             
1) Ushul Fiqh 1 (Drs. Chaerul Uman, dkk.  Penerbit Pustaka Setia Bandung)
            Lafal sah dapat diartikan lepas tagung jawab atau gugur kewajiban didunia serta memperoleh pahala dan ganjaran di akhirat. Shalat dikatakan sah karena telah dilaksanakan sesuai dengan yang diperintah syara' dan akan mendatangkan pahala di akhirat. Sebaliknya lafal batal dapat diartikan tidak melepaskan tanggung jawab, tidak mengugurkan kewajiban di dunia dan di akhirat tidak memperoleh pahala. Setiap perbuatan yang dibebankan kepada mukallaf sudah ditentukan rukun dan syaratnya dan perbuatan itu harus disesuaikan dengan perintah Allah atau sekurang-kurangnya tidak dilarang. Setiap perbuatan yang telah memenuhi rukun dan syarat serta dilaksanakan menurut ketentuan yang ditetapkan syarat dinamakan sah dan sebaliknya perbutan yang kurang rukun dan syarat serta bertentangan dengan ketentuan syarat maka dinamakan batal.
            Kalau perbuatan yang dituntut syara' dikatakan sah maka orang yang melaksanakannya dikatakan telah menunaikan tuntutan, lepaslah dari tanggung jawab, tidak di tuntut hukuman, baik di dunia maupun di akhirat, bahkan ia mendapatkan pahala di akhirat kelak. Sebaliknya perbuatan yang tidak memenuhi persyaratan dan rukun serta bertentangan dengan ketentuan syara' tidak dapat menghapuskan kewajiban, yang melakukannya pun dituntut, baik didunia maupun di akhirat.
            Menurut para ulama', setiap perbuatan apakah ibadah maupun muamalat bertujuan untuk mencapai kemaslahatan hidup manusia di dunia dan di akhirat. Dalam hal ini termasuk semua macam perjanjian yang mengandung dua tujuan pokok, yaitu memenuhi tuntutan syara' dan mencapai mewujudkan kemaslahatan hidup.
            Menurut para ulama' dalam kalangan mazhab syafi'i kedua tujuan ini terdapat dalam ibadah maupun dalam muamalah yang diantaranya perjanjian, namun tujuan pertama lebih menonjol. Karena itu, setiap perjanjian yang tidak memenuhi tuntutan syara' maka dianggap batal demikian pula sebaliknya. Jadi, menurut para ulama dalam kalangan mazhab syafi'i, tidak ada perbedaan antara ibadah dan muamalah, dalam keduanya berlaku sah atau batal.
            Namun sebagian ulama dikalangan madzab hanafi mengatakan bahwa tujuan perjanjian, tujuan kedua lebih menonjol karena itu mereka membedakan antara ibadah dan muamalah. Dalam beribadah mereka sependapat dengan para ulama' dalam kalangan madzhab Syafi'i yaitu berlaku dua hal ialah sah atau batal. Ibadah yang batal tidak dapat menghapus kewajiban dan yang bersangkutan wajib mengqadha. Namun, dalam perjanjian terdapat tiga macam perjanjian yang tidak sah di bagi menjadi dua macam, yaitu batal dan fasid. Perjanjian batal ialah yang rukun dan syaratnya kurang, sedangkan perjanjian fasid ialah perjanjian yang tidak sempurna syaratnya. Perjanjian jual beli oleh orang yang gila atau anak yang belum mencapai usia mumayiz atau memperjualbelikan sesuatu yang tidak ada dinamakan perjanjian yang batal. Jual beli dengan harga yang tidak ditentukan jumlahnya maka perjanjian itu dinamakan perjanjian yang fasid. Akad nikah dari orang yang belum mencapai usia mumayiz atau menikah dengan wanita yang haram dinikahi padahal ia telah mengetahuinya, maka perjanjian itu dinamakan perjanjian yang batal. (Uman Chaerul dkk, 1998 : 248-250)
2) Ilmu Ushul Fiqh Prof. Abdul Wahab Khallaf terbitan Dina Utama Semarang
Defenisi sah dan batal
Suatu perbuatan yang di tuntut oleh syari' dari mukallaf, sesuatu yang di syariatkan kepada mereka berupa sebab dan syarat, apabila dilakukan oleh mukallaf maka ia di hukumi dengan kesahannya, dan kadang pula dihukumi dengan ketidak-sahannya.
Apabila ia di dapati sesuai dengan apa yang di tuntut dan di syariatkan oleh syari', sebagaiman rukun-rukunya ada dan syarat-syarat syar'inya terpenuhi, maka syari' memutuskan dengan keshannya. Jika perbuatan mukallaf itu didapati tidak sesuai dengan apa yang di tuntut dan di syariatkannya oleh syari', sebagaimana salah satu rukunya atau salah satu syaratnya rusak, maka syari' menghukum dengan ketidak sahannya.
Pengertian sahnya menurut syar'i ialah : timbulnya berbagai macam kosekuensinya secara syar'iyyah atas perbuatan itu. Jika sesuatu yang dilakukan oleh mukallaf merupakan perbuatan yang wajib, seperti shalat, puasa, zakat, dan haji, sedangkan pelaksanaan mukallaf tersebut memenuhi semua rukun dan syaratnya, maka kewajiban telah gugur darinya, tanggungannya dari kewajiban itu telah lepas, dan ia tidak mendapat hukuman di dunia, serta mendapatkan pahala di akhirat.
Jika sesuatu yang dikerjakannya adalah sebab syar'i seperti perkawinan, talaq, jual beli, hibah, berbagai akad dan pengelolaan lainnya, dan si mukallaf telah memenuhi rukun-rukunnya dan syarat-syaratnya yang bersifat syar'i, maka timbullah konsekuensinya yang bersifat syar'i terhadap setiap sebab, di mana syar'i telah menyusun konsekuensi itu atasnya, baik berupa penetapan kehalalan, atau pemilihan tanpa ganti, atau lainnya yang berupa efek dan hak yang timbul pada sebab-sebab syar'iyyah yang sah.
Selanjutnya jika perbuatan yang dikerjakan si mukallaf adalah syarat seperti bersuci ( thaharoh ) untuk shalat, dan mukallaf itu telah memenuhi persyaratan dan rukunnya, maka memungkinkan membuktikan yang disyaratkan sebagai yang sah.
Sedangkan pengertian ketidak-sahannya ialah tidak timbulnya konsekuensinya yang bersifat syara'. Jika sesuatu yang dikerjakannya adalah wajib, maka ia tidak gugur darinya dan tanggungannya tidak terbebas darinya. Dan jika ia merupakan sebab syar'i, maka hukumnya tidak timbul darinya, dan jika ia adalah syarat, maka yang disyaratkan tidak terwujud. Hal itu disebabkan bahwasanya syar'i hanyalah menimbulkan berbagai konsekuensi terhadap perbuatan, sebeb-sebab, dan syarat-syarat yang terwujud sebagaimana dituntut dan disyariatkan. Apabila tidak demikian, maka ia tidak diakui menurut syara'.
Di penjelasan tersebut dapat diambil kesimpulan, bahwasanya perbutan, sebab, dan syarat yang muncul dari mukallaf dan tidak sesuai dengan apa yang dituntut oleh syar'i atau apa yang disyariatkannya, maka ia tidak sah menurut syara', dan konsekuensi hukumnya tidak timbul padanya, baik ketidak-sahannya tersebut karena rusaknya salah satu rukunnya atau ketiadaan salah satu syaratnya, baik perbuatan tersebut adalah ibadah, akad ataupun tindakan hukum. Berdasarkan hal itu, maka tidak ada perbedaan antara fasid dan batil, baik dalam ibadah maupun dalam muamalah. Shalat yang batil adalah seperti shalat yang fasid (rusak), dimana kewajiban tidak gugur dari mukallaf dan tanggungannya tidak bebas. Perkawinan yang batal adalah seperti perkawinan yang fasid (rusak), tidak bisa memberikan pemilikan kesenangan, dan konsekuensinya tidak dapat timbul padanya. Jual beli yang bathil adalah seperti jual beli yang fasid, yang tidak memberikan faedah pemindahan milik pada dua barang yang dipertukarkan, dan hukum syara' tidak bisa timbul padanya.
Dengan demikian, pembagian hanyalah dua, maksudnya, bahwasanya perbuatan atau akad atau tasharruf (pengelolaan) itu ada kalanya : shahih yang konsekuensinya timbul padanya, dan adakalanya tidak shahih, yang konsekuensi syara'nya tidak timbul padanya. Dan ini adalah pendapat jumhur ulama.
Ulama Harfiyah berkata : "sesungguhnya pembagian hanyalah dua dalam ibadah, yaitu: ada kalanya shahih dan ada kalanya tidak shahih. Tidak ada perbedaan antara puasa yang batal, misalnya dengan puasa yang fasid dalam hal konsekuensinya tidak timbul padanya dan kewajiban tidak gugur, serta orang mukallaf wajib mengqodho'nya. Adapun berbagai akad dan tasharruf (pengelolaan), maka pembagiannya adalah tiga,karena akad yang tidak shahih terbagi kepada dua, yaitu :
1.      Bathil
2.      Shahih
Jika kerusakan pada esensi akad, maksudnya pada salah satu rukunnya, sebagaimana kerusakan itu terjadi pada shighot akad, atau pada kedua belah pihak yang mengadakan akad, atau pada barang yang diakadkan, maka akad tersebut batil, yang konsekuensi syara'nya tidak timbul padanya. Dan jika kerusakan tersebut terjadi pada salah satu sifat akad, sebagaimana kerusakan itu terjadi pada syarat yang berada diluar esensi akad dan rukun-rukunnya, maka akad tersebut adalah fasid, dan sebagian dari konsekuensinya timbul pada akad itu.
Berdasarkan uraian tersebut, mereka berkata: sesungguhnya jual beli orang gila, atau orang yang belum mumayyiz (orang yang belum baligh namun telah cukup pandai), atau jual beli sesuatu yang tidak ada adalah batil. Adapun jual beli yang tidak maklum, maka ia adalah fasid. Sesungguhnya perkawinan orang yang belum mumayyiz atau perkawinan dengan salah satu wanita yang diharamkan padahal disertai pengetahuan akan keharamannya adalah batil. Adapun perkawinan tanpa disertai akad, maka ia fasid. Dan mereka menmbulkan sebagian konsekuensi hukumnya pada akad yang fasid.
            Oleh karena inilah, mereka mewajibkan mas kawin, masa tunggu (iddah) dan menetapkan hubungan nasab pada hubungan sebadan dalam akad perkawinan yang fasid, sedangkan pada jual beli yang fasid, apabila sebab kefasidan dalam majelis telah hilang, sebagaimana hartanya atau tempo waktunya telah ditentukan, maka konsekuensi hukumnya timbul pada akad itu, yaitu, ia dapat menunjukan pemilikan dengan serah terimanya.
            Dari penjelasan yang telah kami kemukakan pada pengertian yang sah dan pengertian batal, maka jelaslah aspek pemasukannya pada hukum wadh'i, karena sah ialah timbulnya berbagai konsekuensi yang bersifat syara' pada berbagai perbuatan, sebab-sebab, atau syarat-syarat yang dikerjakan oleh mukallaf. Sedangkan batal adalah ketidakadaan timbulnya suatu konsekuensi tersebut. Menghukumi dengan keabsahan jual beli merupakan hukum terhadap kesebabannya menurut syarat terhadap hukum-hukumnya.(Khalaf Abdullah Wahab,1994 : 183 - 186 )



           



           

0 komentar: