Rabu, 18 April 2012

MIN MAFÂTÎH AL-GHAIB



إِنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْأَرْحَامِ وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Artinya: Sesungguhnya, hanya di sisi Allah ilmu tentang kiamat; dan Dia yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan dikerjakannya besok. Dan tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui di  bumi mana ia akan mati. Sungguh, Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal (Q.S. Luqman 31: 34).
Secara eksplisit ayat di atas menerangkan kepada kita tentang beberapa perkara yang hanya diketahui oleh Allah. Bahkan nabi-nabi pun tidak mengetahuinya (ath-Thabariy, 18: 585, Ibnu Katsîr, 6: 353) Mujâhid menyebutnya sebagai mafâtîh al-ghaib (Mujâhid: 318) yang hanya diketahui oleh Allah semata. Sementara itu, Ibnu Katsir menyebutnya dengan fî khamsin lâ ya’lamuhunna illa Allah (Ibnu Katsîr, 6: 354).
Secara rinci, Muqâtil bin Sulaimân memberikan penafsiran terhadap ayat di atas. Maksud dari ‘ilm as-sâ’ah adalah hari kiamat, al-ghaits artinya al-mathar (hujan). Seseorang tidak mengetahui apa yang ada di dalam rahim, apakah laki-laki atau perempuan atau selain keduanya. Yang tak kalah penting manusia tidak mengetahui dimana dan dalam keadaan seperti apa ia meninggal, baik atau buruk (Tafsir Muqâtl bin Sulaimân).

Adapun asbâb an-nuzûl dari ayat ini –sebagaimana yang tercantum dalam beberapa kitab tafsir- adalah adanya seorang Arab Badui (ath-Thabariy, 18: 585) yang datang menemui Rasulallah –dalam tafsir Muqâtil bin Sulaimân disebutkan nama orang Badui tersebut adalah al-Wârits bin ‘Amr bin Hâritsah bin Muhârib. Untuk kisah selengkapnya adalah sebagai berikut:
حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ عَمْرٍو ، قَالَ : حَدَّثَنَا أَبُو عَاصِمٍ ، قَالَ : حَدَّثَنَا عِيسَى ، وَحَدَّثَنِي الْحَارِثُ ، قَالَ : حَدَّثَنَا الْحَسَنُ قَالَ : حَدَّثَنَا وَرْقَاءُ ، جَمِيعًا ، عَنِ ابْنِ أَبِي نَجِيحٍ ، عَنْ مُجَاهِدٍ ، {إِنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ} قَالَ : جَاءَ رَجُلٌ ، قَالَ : قَالَ أَبُو جَعْفَرٍ : أَحْسِبُهُ أَنَا قَالَ : إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَقَالَ : إِنَّ امْرَأَتِي حُبْلَى ، فَأَخْبِرْنِي مَاذَا تَلِدُ ؟ وَبِلاَدُنَا مَحْلٌ جَدْبَةٌ ، فَأَخْبِرْنِي مَتَى يَنْزِلُ الْغَيْثُ ؟ وَقَدْ عَلِمْتُ مَتَى وُلِدْتُ ، فَأَخْبِرْنِي مَتَى أَمُوتُ ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ : {إِنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَ} إِلَى آخِرِ السُّورَةِ ، قَالَ : فَكَانَ مُجَاهِدٌ يَقُولُ : هُنَّ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ الَّتِي قَالَ اللَّهُ {وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لاَ يَعْلَمُهَا إِلاَّ هُوَ: الأنعام: 59}. 
“Bersumber dari Mujâhid –tentang firman Allah إِنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ - ia berkata: seorang laki-laki datang kepada Rasulallah, kemudian ia bertanya: “Sesungguhnya istriku sedang mengandung, kabarkablah kepadaku kapan ia melahirkan ? Negeriku adalah tempat yang tandus, kabarkanlah kepadaku kapan turun hujan ? Aku telah mengetahui kapan aku dilahirkan, beritahukanlah kapan aku akan mati ? kemudian Allah menurunkan ayat إِنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَ sampai akhir surat. Mujâhid berkata: “semuanya itu merupakan mafâtîh al-ghaib sebagaimana firman Allah : وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لاَ يَعْلَمُهَا إِلاَّ هُوَ
Keterangan tentang ­asbâb an-nuzûl –seperti yang tertera di atas terdapat dalam beberapa kitab tafsir, diantaranya tafsir ath-Thabariy (18: 585), tafsir Ibnu Katsir (6: 355), dan tafsir al-Baghawiy (6: 294-295). Namun, dalam tafsir ath-Thabrâniy disebutkan nama laki-laki yang bertanya kepada Rasulallah adalah al-Barâ’ bin Mâlik.
Ayat-ayat al-Qur’an lainnya yang menerangkan tentang hal-hal ghaib antara lain surat al-‘Arâf: 187, Thâha: 15, Maryam: 61, al-Anbiyâ’: 49, Fâthir: 18, Qâf: 33, dan banyak lagi ayat-ayat lainnya.
Di dalam al-Qur’an, masalah keimanan kepada yang ghaib –terutama hari akhir mengambil tempat yang tidak sedikit. Banyak ayat al-Qur’an yang menyandingkan iman kepada Allah dengan iman kepada hari akhir untuk mewakili rukun iman yang lainnya. Misalnya dalam surat al-Baqarah [2]: 8, at-Taubah [9]: 18, dan al-Mâidah [5]: 69 (Syihab: 107-108). Bahkan keimanan kepada yang ghaib menjadi penanda/ciri bagi orang yang bertakwa (Q.S. Al-Baqarah [2]: 3). Melihat begitu pentingnya posisi keimanan kepada hal yang ghaib –termasuk mafâtîh al-ghâib- maka selayaknya umat Islam menaruh perhatian yang sangat terhadap hal ini.

 Do’a-do’a
رَبَّنَا إِنَّكَ جَامِعُ النَّاسِ لِيَوْمٍ لَا رَيْبَ فِيهِ إِنَّ اللَّهَ لَا يُخْلِفُ الْمِيعَادَ
“Ya Tuhan kami, Engkaulah yang mengumpulkan manusia pada hari yang tidak ada keraguan padanya. Sesungguhnya Allah tidak menyalahi janji. (Q.S. Âli ‘Imrân [3]: 9)”
رَبَّنَا اغْفِرْ لِي وَلِوَالِدَيَّ وَلِلْمُؤْمِنِينَ يَوْمَ يَقُومُ الْحِسَابُ (41)
“Ya Tuhan kami, ampunilah dosa-dosaku, dosa kedua orang tuaku, dan dosa orang-orang mukmin pada hari ditegakkannya perhitungan.
رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
“Ya tuhan kami, berikanlah kami kebakan di dunia dan di akhirat. Dan jauhkanlah kami dari siksa api neraka (al-Baqarah: 201)


  
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an Terjemah Tajwid Departemen Agama cetakan tahun 2010
Syihab, M. Quraisy, 2007, Wawasan al-Qur’an, Bandung: PT Mizan Pustaka
Al-Baghawiy, 1997, Ma’âlim at-Tanzîl, edisi Muhammad ‘Abdullah an-Namr, tkt: Dâr Thayyibah
Ibnu Katsîr, 1999, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adzîm, edisi Sâmiy bin Muhammad Salâmah, tkt: Dâr Thayyibah
Ibnu Jarîr ath-Thabariy, tt, Jâmi’ al-Bayân fî Tafsîr al-Qur’ân, edisi Maktabah Tahqîq bi Dâr al-Hijr, tkt: Dâr Hijr
Muqâtil bin Sulaimân, 2003, Tafsîr Muqâtil bin Sulaimân, edisi Ahmad Farîd, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah
Al-Maktabah asy-Syâmilah

Oleh : Riduan Hadi Pranata
NIM: 09060146


0 komentar: