Kamis, 05 April 2012

SEJARAH KODIFIKASI HADITS



            Pengkodifikasian hadits memiliki jalan panjang.  Ringkasnya, dapat dikatagorikan menjadi dua katagori, yaitu periode periwayatan melalui lisan dan periode pengumpulan hadits dalam bentuk tulisan.

Periode Periwayatan Melalui Lisan

1.   Larangan menulis A1-Hadits
    Dahulu pada awal-awal Islam, Rasulullah saw. melarang kaum muslimin mencatat hadits beliau secara tertulis.  Hal ini dapat dipahami dari hadits beliau yang artinya :

“Jangan kamu tulis sesuatu yang telah kamu terima dariku selain A1-Qur’an. Barangsiapa menuliskan yang ia terima dariku selain Al-Qur’an hendaklah ia hapus. Ceriterakan saja yang kamu terima dariku, tidak mengapa. Barangstapa yang sengaja berdusta atas namaku, maka bersiaplah ia menduduki tempat duduknya di neraka”.    (Riwayat Muslim)
Hadits tersebut di atas di samping menganjurkan agar meriwayat­kan hadits dengan lisan, juga memberi ultimatum kepada seseorang yang membuat riwayat palsu.  Bila diamati lebih jauh, larangan penulisan hadits tersebut ialah untuk menghindarkan adanya kemungkinan sebagian shahabat penulis wahyu memasuk­kan hadits ke dalam lembaran-lembaran tulisan A1-Qur’an, karena dianggapnya segala yang dikatakan Rasulullah s.a.w. adalah Al Quran semuanya. Walaupun, tentu saja, ini sekedar dugaan semata.  Lebih-lebih bagi mereka yang datang belakangan yang tidak menyaksi­kan zaman tanzil (turunnya wahyu), tidak mustahil adanya dugaan bahwa seluruh yang tertulis adalah wahyu semuanya, hingga bercampur aduk antara Al-Qui’an dengan Al-Hadits.  Allah swt. Lebih mengetahui hal ini.  Karenanya, Ia melarang menulis hadits pada awal-awal Islam melalui perantaraan mulut baginda Rasulullah saw.

2.   Perintah menulis A1-Hadits
   Di samping Rasulullah s.a.w. melarang menulis hadits, beliau juga memerintahkan kepada beberapa orang shahabat tertentu untuk menulis hadits. Misalnya, hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a. menerangkan bahwa sesaat ketika kota Mekah telah dikuasai kembali oleh Rasulullah s.a.w., beliau berdiri berpidato di hadapan para manusia. Di waktu beliau berpidato, tiba-tiba seorang laki-laki yang berasal dan Yaman yang bernama Abu Syah berdiri dan bertanya kepada Rasulullah s.a.w., ujarnya:

“Ya Rasulullah! Tulislah untukku!” Jawab Rasul “Tuliskanlah sekalian untuknya!”  

Menurut Abu ‘Abdi’r Rahman bahwa tidak ada satupun riwayat tentang perintah menulis hadits yang lebih shah, selain hadits ini. Sebab Rasulullah dengan tegas memerintahkannya.  Jelaslah, penulisan hadits itu dilarang bagi umumnya sahabat pada awal-awal Islam, namun justru diperintahkan pada orang-orang tertentu.  Untuk kemudian, pada masa-masa berikutnya siapa pun diperbolehkan untuk menuliskannya.

          Nash-nash yang melarang menulis hadits di satu pihak dan yang mengijinkan di pihak lain, bukanlah merupakan nash-nash yang saling bertentangan satu sama lain.  Sebaliknya, seperti kata Al Khathib, nash-nash itu dapat dikompromikan sebagai berikut:

  1. Bahwa larangan menulis hadits itu adalah terjadi di awal-awal Islam untuk memelihara agar hadits itu tidak bercampur dengan Al-Qur’an. Tetapi setelah jumlah kaum Muslimin semakin banyak dan telah banyak yang mengenal Al-Qur’an, maka hukum larangan menulisnya telah dinasakhkan dengan perintah yang memboleh­kannya. Dengan demikian hukum menulisnya adalah boleh.
  2.  Bahwa larangan menulis hadits itu adalah bersifat umum, sedang perijnan menulisnya bersifat khusus bagi orang yang mempunyai keahlian tulis menulis, hingga terjaga dari kekeliruan dalam menulisnya dan tidak dikhawatirkan akan salah, seperti ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash.
  3. Bahwa larangan menulis hadits ditujukan kepada orang yang lebih kuat menghafaLnya daripada menulisnya, sedang perijinan menulisnya diberikan kepada orang yang tidak kuat hafalannya, seperti Abu Syah. (lihat As Sunnah Qablat Tadwin, Muhammad Al ‘Ajjaj Al Khathib, hal. 306 —309).

Sejarah telah mencatat adanya beberapa naskah tulisan A1-Hadits yang bersifat pribadi milik beberapa shahabat dan tabi’in.  Para shahabat yang mempunyai naskah hadits, antara lain:

1.   ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash r.a.
‘Abdillah bin ‘Amr bin ‘Ash r.a. (7 sebelum Hijrah — 65 H), adalah salahseorang shahabat yang selalu menulis apa yang pernah didengarnya dari Nabi Muhammad s.a.w. Tindakan ini pernah ditegur oleh orang-orang Quraisy, ujarnya: “Kau tuliskah semua apa-apa yang telah kaudengar dan Nabi ? Sedang beliau itu sebagai manusia, kadang-kadang berbicara dalam suasana suka dan kadang-­kadang berbicara dalam suasana duka?” Atas teguran tersebut, ia segera menanyakan tentang tindakannya kepada Rasulullah s.a.w. Jawab Rasulullah:
“Tulislah ! Demi Dzat yang nyawaku ada di tanganNya, tidaklah keluar dan padaNya, selain hak”.
(Riwayat Abu Dawud sanad yang shahih)

Jelaslah, Rasu1ullah s.a.w. mengidzinkan kepada ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash untuk menulis hadits yang didengarnya dari beliau.  Dan ia adalah salah seorang penulis yang baik.  Naskah ‘Abdullah bin ‘Amr dinamai dengan “A sh-S hahifah Ash-Shadiqah.  Naskah hadits Ash-Shadiqah berisikan hadits sebanyak 1000 buah dan dihafal serta dipelihara oleh keluarganya sepeninggal penulisnya. Cucunya yang bernama ‘Amr bin Syu’aib menwayat­kan hadits-hadits tersebut sebanyak 500 hadits.  Hadits-hadits dalam naskah tersebut banyak dikutip dalam Kitab Musnad Ahmad, Sunan Abu Dawud, Sunan An-Nasa’iy, Sunan At-Turmudzy dan Sunan Ibnu Majah (ibidem, hal. 349).

2.   Jabir bin ‘Abdullah A1-Anshary r.a. (16 H —   73 H)
          Naskah Hadits Jabir bin ‘Abduliah Al-Anshary dinamai “Shahifah Jabir”. Di antara Tabi’in yang mempunyai naskah hadits ini adalah : Human bin Munabbih (40-131 H).  Ia seorang tabi’in yang rajin berguru kepada shahabat Abu Hurairah r.a. dan mengutip hadits Rasulullah s.a.w. dari­nya bnyak sekali. Hadits-hadits tersebut kemudian dikumpulkan­nya dalam satu naskah yang dinamai “A sh-S hahifah Ash-Shahihah”.  Naskah ini berisi 138 hadits.  Imam Ahmad dan Bukhari dalam itab haditsnya banyak menukil hadits dari Human bin Munabbih ini.

          Inilah beberapa penulisan hadits yang dilakukan oleh sahabat Nabi saw.

3.       Sistim meriwayatkan A1-Hadits
          Periwayatan hadits ada dua macam, pertama ada yang menggunakan kalimat yang persis seperti yang diucapkan oleh Nabi saw, ada pula periwayatan yang didasarkan pada maknanya saja.  Periwayatan hadits dengan maknanya saja seringkali disebabkan karena mereka sudah tidak ingat betul kepada lafadh aslinya, di samping mereka hanya mementingkan dari segi isinya yang benar-benar dibutuhkan di saat itu. Sistim meriwayatkan hadits dengan maknanya saja, tidak dilarang oleh Rasulullah s.a.w. Berlainan dengan meriwayat­kan A1-Qur’an, susunan bahasa dan ma’nanya, sedikitpun tidak boleh dirubah, baik dengan mengganti lafadh muradlif (sinonim)nya yang tidak mempenganuhi isinya, teristimewa kalau sampai mempunyai perbedaan makna. Hal itu disebabkan karena lafadh dan susunan kalimat Al-Quran itu merupakan mu’jizat Allah Ta’ala. Tetapi di dalam meriwayatkan hadits yang dipentingkan ialah isinya. Adapun lafadh dan susunan bahasanya diperbolehkan menggunakan lafadh dan susunan kalimat lain, asalkan kandungan dan maknanya tidak berubah.

          Pada masa kedua khalifah Abu Bakar dan ‘Umar bin Khaththab, perkembangan hadits tidak begitu pesat. Hal itu disebabkan anjuran beliau kepada para shahabat agar mengutamakan penyiaran Al-Quran. Bahkan dalam rangka untuk mensukseskan penyiaran Al-Quran ini, ‘Umar bin Khaththab mengadakan larangan mem­perbanyak riwayat (hadits).

          Kebijaksanaan kedua Khalifah tersebut dapat dimaklumi, mengingat bahwa masih ada masyarakat pada waktu itu belum mengenal Al-Qur’an sebagai dasar syariat yang pertama. Terutama bagi masyarakat yang baru saja menerima Da’wah Islamiyah, Al-Qur’an masih asing baginya. Kebijaksanaan itu bukan berarti menghambat hadits untuk berkembang, melainkan hanya belum menaruh perhatian secara sempurna.  Bagaimana tidak, pada masa mereka pun periwayatan hadits antar sesama sahabat sudah biasa terjadi.

          Saat Utsman bin Affan r.a. memangku jabatan khalifah adalah merupakan sa’at yang penting bagi perkembangan hadits. Pana sababat kecil dan tabi’in, mulai menaruh perhatian serius dalam mencari dan mengumpulkan hadits dari para shahabat besar, yang jumlahnya kian hari kian berkurang, dan tempat tinggalnya sudah mulai bertebaran di pelbagai pelosok.  Padahal, untuk menghadapi berbagai masalah, sangat membutuhkan petunjuk praktis yang pernah dikerjakan oleh Nabi s.a.w., atau memerlukan status hukum yang pernah diciptakannya.  Realitasnya, semua perbendahanaan hadits itu terletak di dalam dada pana shahabat beliau.  Berdasarkan hal ini, tidak sedikit para shahabat kecil dan tabi’in menghabiskan waktu, tenaga dan harta untuk melawat ke timur dan ke barat, merantau ke utara dan ke selatan mengunjungi tempat-­tempat kediaman para shahabat untuk menggali beberapa hadits Nabi saw. Sahabat Abu Ayyub Al-Anshari, misalnya, pergi ke Mesir menemui shahabat ‘Uqbah bin ‘Amir hanya untuk menanyakan sebuah hadits yang berbunyi:

 “Barangsiapa yang menutupi kesulitan seorang muslim di dunia, Allah akan menutupi kesulitannya pada hari qiyamat”. (Lihat Qishatul Haditsi Muhammad, Muhammad Abu Rayyah, hal. 94 — 97).

Sejak upaya sungguh-sungguh mencari dan mengumpul inilah hadits mulai menjadi tumpuan (objek) perhatian para shahabat dan tabi’in. 

          Sejak berakhirnya pemerintahan Khalifah ‘Utsman r.a. (40 H) dan pada awal berdirinya Khalifah Ali bin Abi Thalib r.a., mulai timbul hadits-hadits palsu (maudlu’) yakni ucapan atau buah pikiran seseorang atau diri sendiri yang didakwakannya kepada Nabi Muhammad s.a.w. Tetapi berkat ketekunan dan penyelidikan para muhadditsin yang seksama terhadap tingkah laku para rawi dan keadaan marwinya, serta berkat usaha mereka mengadakan syarat-syarat dalam menerima atau menolak suatu hadits, dapatlah diketahui ciri-ciri ke-maudlu’-an suatu hadits.  Bahkan hal ini semakin mendorong para ulama shalih untuk membukukan hadits lewat penelitian yang akurat dan seksama.

Penulisan dan Pembukuan Hadits Secara Resmi (abad ke-2)
          Setelah Islam tersiar dengan luas di masyarakat, dipeluk dan dianut oleh penduduk yang bertempat tinggal di luar jazirah Arabia, sementara para shahabat mulai terpencar di beberapa wilayah bahkan tidak sedikit jumlahnya yang telah meninggal dunia, maka terasalah perlunya hadits diabadikan dalam bentuk tulisan dan kemudian dibukukan dalam dewan hadits. Urgensi ini menggerak­kan hati Khalifah Umar bin ‘Abdul ‘Aziz — seorang Khalifah Bani ‘Umaiyah yang menjabat Khalifah antara tahun 99 sampai tahun 101 Hijrah — untuk menulis dan membukukan (mendewankan) hadits.

Dorongan utama Khalifah Umar bin ‘Abdul ‘Aziz berinisiatif demikian sebagaimana disebutkan oleh Abdul Hamid adalah :
a.    Kekhawatiran beliau akan hilangnya hadits dari perbendaharaan umat
b.    Kemauan keras beliau untuk membersihkan hadits dari hadits palsu
c.    Kekhawatiran tercampurbaurnya hadits dengan Al Quran seperti pada jaman Rasulullah saw. kini telah tiada
d.   Semakin banyaknya ahli dan penghafal hadits yang meninggal.
    Atas dorongan ini disertai dengan kepahaman tentang wajibnya terikat dengan seluruh yang dibawa Rasulullah saw. (termasuk hadits) maka beliau menginstruksikan kepada seluruh penjabat dan ulama yang memegang kekuasaan di wilayah kekuasaannya untuk mengumpulkan hadits.  Instruksi itu berbunyi:

“Telitilah hadits Rasulullah s.a.w., kem udian kurnpulkan!”  (Riwayat Abu Nu’aim)
          Beliau menginstruksikan kepada Wali kota Madinah, Abu Bakar bin Muhammad bin ‘Amr bin Hazm (117 H), untuk mengumpulkan hadits yang ada padanya dan pada tabi’in wanita, ‘Amrah binti ‘Abdu’r-Rahman. Bunyi instruksi itu ialah:

“Tulislah untukku, hadits Rasulullah saw. yang ada padamu dan hadits ‘Amrah (binti ‘Abdu’r-Rahman). Sebab aku takut akan hilang dan punahnya ilmu”.          (Riwayat Ad-Darimi)

Atas instruksi itu, Ibnu Hazm mengumpulkan hadits-hadits, baik yang ada pada dirinya sendiri maupun pada ‘Amrah, tabi’iy wanita yang banyak meriwayatkan hadits ‘Aisyah r.a.  Juga, beliau menginstruksikan kepada Ibnu Syihab Az-Zubry seorang imam dan Ulama besar di Hijaz dan Syam (124 H). Beliau mengumpulkan hadits-hadits dan kemudian ditulisnya dalam lembaran-lembaran.  Kemudian, dikirimkan kepada masing-masing penguasa di tiap-tiap wilayah satu lembar. Itulah sebabnya para ahli tarikh dan Ulama menganggap bahwa Ibnu Syihab-lah orang yang mula-mula mendewankan hadits secara resmi atas perintah Khalifah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz.

          Setelah periode Abu Bakar bin Hazm dan Ibnu Syihab berlalu, muncullah periode pendewanan hadits yang kedua yang disponsori oleh kha1ifah-khalifah Bani ‘Abbasiyah. Bangunlah ulama-ulama hadits dalam periode ini seperti: Ibnu Juraij (meninggal tahun 150 H) sebagai pendewan hadits di Mekah, Abu Ishaq (meninggal tahun 151 H) dan Imam Malik (meninggal tahun 179 H) sebagai pendewan hadits di Madinah, Ar-Rabi’ bin Shabih (meninggal tahun 160 H) dan Hammad bin Salamah (meninggal tahun 176 H) sebagai pendewan hadits di Basrah, Sufyan As-Saury (meninggal tahun 116 H) sebagai pendewan hadits di Kufah, A1-Auza’iy (meninggal tahun 156 H) sebagai pendewan hadits di Syam, dan lain-Iainnya.

          Satu hal yang penting dicatat adalah kodifikasi hadits Nabi saw. pada abad 2 H ini masih bercampur­aduk fatwa-fatwa shahabat dan tabi’in. Walhasil, kitab-kitab hadits kanya mereka tersebut belum dipisahkan antana hadits-hadits yang marfu’, mauquf dan maqthu’, dan antara hadits yang shahih, hasan dan dla’if.

Salah satu pemuka hadits abad 2 ini adalah Ibnu Hazm.  Selain itu, ulama abad kedua yang sudah mempunyai inisiatif untuk mengklassifikasikan hadits kepada masalah-­masalah yang diklasifikasikan  ialah A1-Imam Asy-Syafi’iy. Beliau berinisiatif mengumpulkan hadits-hadits yang berkaitan dengan masalah thalaq dalam sebuah kitab.

Kitab-kitab Hadits Masyhur
Kltab-kitab Hadits yang masyhur karya Ulama abad kedua antara lain :
1.  A1-Muwaththa’. Kitab itu disusun oleh Imam Malik pada t~hun 144 H, atas anjuran Khalifah A1-Mansur.
b. Musnadu Asy-Syafi’ty. Di dalam kitab Imam Asy-Syafi’iy mencantumkan seluruh hadits yang tersebut dalam kitab beliau yang bernama A1-Umm.
c. Mukhtalifu’I-Haizts Karya Imam Syafi’iy. Beliau menjelaskan dalam kitabnya, cara-cara menerima hadits sebagai hujjah, dan menjelaskan cara-cara untuk mengkompromikan hadits-hadits yang nampaknya kontradiksi satu sama lain.

Periode Penyaringan Hadits Dari Fatwa-Fatwa (Abad Ke-III)
          Di permulaan abad ketiga para ahli hadits berusaha menyisihkan hadits dari fatwa-fatwa shahabat dan tabi’in. Mereka berusaha membukukan hadits Rasulullah semata-mata. Untuk tujuan yang rnulia ini mereka mulai menyusun kitab-kitab musnad yang bersih dari fatwa-fatwa. Muncullah ulama-ulama ahli Hadits seperti Musa A1-’Abbasy, Musaddad A1-Bashry, Asad bin Musa dan Nu’aim bin Hammad A1-Khaza’iy menyusun kitab-kitab Musnad. Kemudian menyusul pula Imam Ahmad bin Hanbal dan lain-lainnya. Kendatipun kitab-kitab hadits permulaan abad ketiga sudah menyisihkan fatwa-fatwa, namun masih mempunyai kelemahan.  Kelemahannya itu tidak atau belum menyisihkan hadits-hadits dla’if, termasuk juga hadits maudlu’ yang diseludupkan oleh golongan-goIongan yang bermaksud hendak menodai Islam.

    Melihat realitas demikian bergeraklah ulama-ulama ahli hadits pertengahan abad ketiga untuk menyelamatkannya. Mereka membuat qa’idah-qa’idah dan syarat-syarat untuk menentukan suatu hadits itu apakah shahih atau dla’if. Para rawi hadits tidak luput rnenjadi sasaran penelitian mereka untuk diselidiki kejujurannya, kehafalannya dan aspek lainnya.

           Setelah itu muncullah ulama-ulama yang mengkodifikasikan hadits yang shahih saja menurut pandangan dan kriteria mereka.  Ulama-ulama tersebut diantaranya adalah :

1.  Muhammad bin Isma’il Al-Bukhary (194—256 H) dengan kitab haditsnya yang terkenal Shahih Bukhary atau Al-Jami’ush ­Shahih. 

2.   Imam Muslim bin Hajjaj bin Muslim Al-Qusyairy (204261 H) dengan kitabnya bernama Shahih Muslim atau Al-Jami’ush Shahih, menurut nama aslinya.

Periode Penghafalan dan Pengisnadan Hadits (Abad IV H)
Setelah periode ini muncul periode mengisnadkan hadits.  Kalau pada abad pertama, kedua dan ketiga, hadits berturut-turut mengalami masa periwayatan, penulisan (pendewanan) dan penyaringan dari fatwa-fatwa para shahabat dan tabi’in, maka hadits yang telah dikodifikasikan oleh ulama Mutaqaddirnin (Ulama abad kesatu sampai ketiga) tersebut mengalami sasaran baru, yakni dihafal dan diselidiki sanadnya oleh ulama Muta-akhirin (ulama abad keempat dan seterusnya).

Mereka berlomba-lomba untuk menghafal sebanyak-banyaknya hadits yang telah terdewan itu, hingga tidak mustahil sebagian dan mereka sanggup menghafal beratus-ratus ribu hadits. Sejak periode inilah timbul bermacam-macam gelar keahlian dalam ilmu hadits, seperti gelar Al-Hakim, Al-Hafidh dan lain sebagalnya seperti telah dibahas.

Abad keempat ini merupakan abad pemisah antara ulama Mutaqaddimin, yang dalam menyusun Kitab Hadits mereka berusaha sendini menemui para shahabat atau tabi’in penghafal hadits dan kemudian menelitinya sendiri, dengan ulama muta­akhkhinin yang dalam usahanya menyusun kitab hadits, mereka hanya menukil dari kitab-kitab yang telah disusun oleh ulama mutaqaddimin.
Kitab-kitab hasil karya ulama abad keempat antara lain ialah:
1.   Mu’jamu’l-Kabir,
2.   Mu’jamu’l-Ausath dan
3.   Mu’jamu ‘sh-Shaghir, ketiga-tiganya adalah kanya Imam Sulaiman bin Ahmad At-Thabarany (meninggal tahun 360 H).
4.   Sunan Ad-Daruquthny, karya Imam Abdul Hasan ‘Ali bin ‘Umar bin Ahmad Ad-Daruquthny (306—385 H).
5.   Shahih Abi ‘Auwanah, karya Abu ‘Auwanah Ya’qub bin Is-haq bin Ibrahim Al-Asfarayiny (meninggal tahun 354 H).
6.   Shahih Ibnu Khuzaimah, karya Ibnu Khuzaimah Muhammad bin Is-haq (meninggal tahun 316 H).

Berikutnya, pada abad ke-5 H melakukan klasifikasi hadits dan sistemisasi hadits denganmenghimpun hadits-hadits yang sejenis kandungannya.

Demikianlah sekilas tentang sejarah kodifikasi hadits Nabi saw.

0 komentar: