Kamis, 05 April 2012

SEPUTAR SHALAT 1


             Dari Abdullah bin Umar r.a., dia berkata : Rasulullah saw. bersabda :

“Islam didirikan di atas lima (asas) : Bersaksi bahwasanya tidak ada Tuhan selain allah dan sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, membayar zakat, berhaji ke Baitullah, dan puasa di bulan Ramadlan.”

            Kelima asas ini adalah merupakan pondasi tempat berdiri tegaknya Islam. Kelima asas di atas dikukuhkan sebagai pondasi bagi berdiri tegaknya Islam mengingat kelima asas tersebut meliputi aspek aqidah dan amalan-amalan yang dilaksanakan dengan motif sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Islam telah menegaskan bahwa shalat -sebagai asas kedua daripadanya-adalah merupakan keharusan yang amat ditekankan, sebagaimana dikemukakan dalam hadits yang diriwayatkan dari jabir r.a., bahwasanya dia berkata:

“Rasulullah saw. telah bersabda: (yang membedakan) antara seseorang dengan kekafiran yaitu meninggalkan shalat”.
 
            Dalam hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. dikemukakan, bahwasanya ia telah berkata:

“Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: Sesungguhnya yang pertama kali diperhitungkan pada seseorang hamba pada hari kiamat adalah (tentang) shalat fardlu”.

            Shalat yang difardlukan ini semuanya ada lima, sebagaimana dikemukakan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Thalhah bin Ubaidillah r.a. dimana ia berkata:

“Telah datang kepada Rasulullah sa. Seorang laki-laki berambut kusut, dia adalah seorang penduduk Nejed. (Dari Jauh) kami telah mendengar teriakannya, namun kami tidak mengerti apa yang dia katakan sampai dia mendekat. Ternyata dia itu bertanya tentang Islam. Maka Rasulullah saw. menjawab: Shalat yang lima dalam sehari semalam. Dia bertanya (lagi): Apakah ada keharusan lain atas diriku? Beliau menjawab: Tidak, kecuali bila kamu mau mendirikan shalat sunnat”.

            Shalat lima waktu adalah merupakan keharusan atas setiap muslin dan muslimah yang telah dewasa dan berakal sehat. Adapun orang kafir asli tidak diwajibkan dan bilamana ia masuk Islam, maka kepadanya tidak diharuskan mengqadlanya.

Firman Allah Ta’ala :

“Katakanlah kepada orang-orang itu; Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang telah lalu”. (QS. Al Anfaal 38)
            Sedangkan bilamana ia orang kafir karena murtad, kepadanya wajib qadla saat ia kembali menjadi muslim sebab murtad tidak menyebabkan yang bersangkutan terbebas dari tuntutan hukum syara’ melainkan ia tetap terikat dengannya, dengan alasan karena sebelumnya ia telah menyatakan diri sebagai muslim. Adapun anak di bawah umur, maka kepadanya tidak wajib mendirikan shalat.

Sabda Rasulullah saw.:

“Pena terangkat (hukum tidak berlaku); dari anak di bawah umur sampai ia dewasa; orang tidur sampai ia bangun; dan dari orang gila sampai ia sembuh”.

            Dan berdasarkan hadits di atas, maka orang hilang akal pun, baik karena gila atau karena sawan celeng (epilepsi) maupun karena sakit, kepadanya tidak diharuskan mengqadla shalat kecuali bila yang bersangkutan kembali ingatannya pada waktu ia masih mendapatkan waktu yang cukup untuk bersuci dan waktu shalat masih ada. Abdurrazaq telah meriwayatkan dari Nafi’: “Sesungguhnya Ibnu Umar mengadu bahwa ia sekali waktu ingatannya hilang, sehingga ia meninggalkan shalat kemudian ia sadar akan tetapi ia tetap tidak mengqadha shalatnya yang tertinggal”. Diriwayatkan pula dari Ibnu Juraij dari Ibnu Thawus dari ayahnya: “Bila seseorang sakit sampai tidak sadar namun kemudian ia sadar, maka ia tidak perlu mengqadha shalatnya”.
            Tidak seorang pun dari orang-orang yang tidak diwajibkan shalat diperintah agar ia mendirikan shalat kecuali anak dibawah umur. Hal ini berdasarkan riwayat yang disampaikan oleh Sirah al Jahmi r.a. dimana ia berkata:

“Rasulullah saw. telah bersabda: Ajarilah oleh kalian anak kecil tentang shalat bila ia telah berusia tujuh tahun, dan pukullah dia oleh kalian ketika dia telah berusia sepuluh tahun bila dia enggan mendirikannya”.

            Dalam hadits yang diriwayatkan dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, ia berkata:

“Rasulullah saw. telah bersabda: Perintahkanlah anak-anak kalian untuk shalat, sedang mereka adalah anak berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka bila enggan mendirikannya, sedang mereka adalah anak berusia sepuluh tahun, dan pisahkanlah di antara mereka pada tempat tidurnya oleh kalian”.

            Barangsiapa terkena kewajiban shalat namun ia menolak untuk mengerjakannya dengan alasan bahwa shalat tidak wajib, maka kafirlah ia dan ia harus dipinta agar bertaubat seperti halnya orang murtad sehingga pada saat ia mengakui bahwa shalat itu wajib, berarti ia kembali menjadi muslim. Akan tetapi bila ia tetap menyatakan bahwa shalat tidak wajib, maka pemerintah melalui badan yang diberi wewenang harus membunuhnya. Sedangkan bila ia menginggalkan shalat karena malas namun tetap meyakini bahwa shalat wajib, maka ia harus dita’zir (dipermalukan), yakni harus dihukum dengan hukuman yang bersifat mempermalukan, seperti dipenjara sampai ia mau shalat. Sekali-kali ia tidak boleh dibunuh sesuai dengan hadits Rasulullah saw. yang berbunyi:

“Tidak halal darah seorang Muslim melainkan karena salah satu dari tiga alasan: Janda yang berzina, membunuh orang, meninggalkan agamanya, yang memisahkan dari jamaah”.

            Orang yang meninggalkan shalat -sedang ia muslim-adalah bukan orang kafir melainkan sebagai orang fasik, bisa saja Allah mengampuninya. Dalam hadits Ubadah bin Ash-Shamit r.a., ia berkata:

“Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: Allah telah menjadikan shalat yang lima sebagai fardlu. Barang siapa membaguskan wudlu untuknya dan ia mengerjakan kelima shalat tersebut pada waktunya, serta ia menyempurnakan ruku’nya dan khusu’nya, maka baginya janji Allah. Ampunan-Nya untuk dia. Barangsiapa tidak mengerjakan (shalat), maka tidak ada baginya janji Allah sehingga bila Dia menghendaki, Dia pun mengampuninya, sehingga bila Dia menghendaki, Dia pun menyiksanya.

1.  Waktu Shalat

            Waktu shalat zhuhur bermula dari sejak matahari tergelincir dari titik tengah langit dan berakhir sampai bayang-bayang menyamai si empunya bayang-bayang tersebut.
            Ibnu Abbas telah meriwayatkan, sesungguhnya Nabi saw. bersabda:

“Jibril a.s. pernah mengimami aku di Baitullah dua kali; pertama kali dia shalat Zhuhur bersamaku ketika matahari telah tergelincir dan bayang-bayang berbalik arah seukuran jejak sandal. Kemudian kedua kalinya dia shalat ketika bayang-bayang seseuatu sama dengan dengannya”.

            Waktu shalat bermula sejak bayang-bayang sesuatu sama seukuran dengan -dan sedikit lebih panjang daripadanya-dan berakhir sampai bayang-bayang sesuatu seukuran dua kali panjangnya.
            Ibnu Abbar r.a. telah meriwayatkan , sesungguhnya Nabi saw. bersabda:

“Dan Jibril a.s. pernah shalat ashar bersamaku ketika bayang-bayang sesuatu sama seukuran dengannya. Kemudian untuk kedua kalinya dia shalat ketika bayang-bayang sesuatu menjadi dua kali panjangnya”.

            Di luar waktu itu hilanglah waktu yang utama untuk mengerjakan shalat ashar dan hanya tinggal waktu yang diperbolehkan sampai matahari terbenam.
            Waktu shalat Maghrib bermula sejak matahari terbenam, sebagaimana dikemukakan dalam sebuah riwayat:

“Sesungguhnya Jibril a.s. shalat maghrib ketika matahari tenggelam, dan dia pun (ketika itu pula) berbuka puasa”.

            Waktu yang diutamakan untuk mengerjakan shalat maghrib hanya saat itu saja. Sedang waktu yang masih diperbolehkan sampai tenggelam awan (mega) merah.
            Waktu shalat Isya’ bermula sejak awan merah tenggelam berdasarkan hadits yang mengemukakan:

“Sesungguhnya Jibril a.s. shalat Isya’ pada kesempatan lain (saat ia memberi tahu tentang waktu shalat) ketika awan tenggelam”.

            Yang dimaksud dengan ‘awan’ di sini adalah awan merah, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash r.a.  yang menyatakan Rasulullah saw. telah bersabda:

“Waktu shalat Maghrib adalah sampai awan merah menghilang”.

            Sedangkan akhir waktu shalat Isya’ yaitu sampai tengah malam, sebagaimana diriwayatkan oleh Abdullah bin ‘Amr r.a. sesungguhnya Nabi saw. telah bersabda:

“Waktu shalat Isya’ adalah sesuatu di antara kamu dengan tengah malam”.

            Yang dimaksud dalam hadits ini adalah waktu shalat Isya’ yang diutamakan. Sedang di luar waktu tersebut adalah waktu yang diperbolehkan sampai fajar terbit.
            Waktu shalat Shubuh bermula sejak fajar yang kedua terbit, yakni fajar shadiq di mana orang berpuasa sejak saat itu tidak diperbolehkan makan dan minum, smapai remang-remang siang.

            Sabda Rasulullah saw.:

“Sesungguhnya Jibril a.s. shalat shubuh ketika fajar terbit, dan dia shalat pagi hari ketiak telah terang”.

            Ini adalah merupakan waktu utama untuk mengerjakan shalat shubuh, lalu sesudah itu hanya tinggal waktu yang diperbolehkan sampai matahari terbit. Seluruh waktu shalat ini telah dijelaskan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, An-Nasai, At-Tirmidzi pada bab tentang Waktu Shalat. Hadits tersebut adalah sebagai berikut:
            Dari Jabir bin Abdullah r.a.:

“Sesungguhnya Jibril a.s. telah datang kepada Nabi saw. lalu dia berkata kepada beliau: Berdirilah (Ya Rasulallah), maka dia pun shalat mengimaminya. Dia shalat zhuhur ketika matahari tergelincir. Kemudian dia datang lagi kepada beliau pada waktu ashar, lalu berkata: Berdirilah (Ya Rasulallah), maka dia pun shalat mengimaminya. Dia shalat Ashar ketika bayang-bayang sesuatu sama seukurannya. Kemudian ia datang lagi pada waktu maghrib, lalu berkata: Berdirilah (Ya Rasulallah), maka dia pun shalat mengimaminya.Dia shalat maghrib ketika matahari terbenam. Kemudian dia datang lagi pada waktu Isya’, lalu berkata:Berdirilah (Ya Rasulallah), maka dia pun shalat mengimaminya.Dia shalat Isya’ ketika awan merah telah menghilang. Kemudian dia datang lagi kepada beliau pada waktu fajar, lalu berkata:Berdirilah (Ya Rasulallah), maka dia pun shalat mengimaminya.Dia shalat fajar ketika fajar telah tersibak atau dia berkata: fajar telah terbit. Kemudian keesokan harinya dia datang lagi kepada Nabi saw. pada waktu zhuhur, lalu berkata: Berdirilah (Ya Rasulallah), maka dia pun shalat mengimaminya. Dia shalat zhuhur ketika bayang-bayang sesuatu sama seukuran dengannya. Kemudian dia datang lagi kepada beliau pada waktu ashar, lalu berkata: Berdirilah (Ya Rasulallah), maka dia pun shalat mengimaminya. Dia shalat Ashar ketika bayang-bayang sesuatu seukuran dua kali panjangnya. Kemudian ia datang lagi pada waktu maghrib, pada waktu yang sama (seperti sebelumnya). Kemudian dia datang lagi pada waktu Isya’ ketika tengah malam telah berlalu, atau dia berkata: sepertiga malam, lalu dia shalat. Kemudian dia datang lagi kepada beliau ketika malam telah terang sekali , lalu berkata: Berdirilah (Ya Rasulallah), maka dia pun shalat mengimaminya.(Ketika itu) dia shalat fajar. Kemudian dia berkata: Di antara kedua waktu ini ada waktu.

            Shalat wajib didirikan pada awal waktunya, yakni pada waktu bagian pertama yang dianggap sebagai waktu yang diutamakan. Bagi yang bersangkutan dipersilahkan mengerjakannya untuk memilih dari bagian pertama, apakah pada bagian awal tengah, atau akhir. Dan diperbolehkan mengerjakannya pada waktu bagian kedua (waktu diperbolehkan) sebagaimana telah dikemukakan dalam hadits di atas dan begitu juga seperti telah diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a. bahwasanya Nabi saw. bersabda:

“Barangsiapa masih mendapatkan satu rakaat dari waktu Shubuh sebelum matahari terbit, maka ia telah menemukan Shubuh. Dan barangsiapa masih mendapatkan satu rakaat dari waktu Ashar sebelum matahari tenggelam, maka ia telah menemukan Ashar.”

Dalam shahih Bukhari dan muslim juga dinyatakan:

“Barangsiapa masih mendapatkan satu rakaat dari shalat, maka berarti ia telah menemukan shalat.”

Shalat ini wajib dilaksanakan pada waktunya.

Firman Allah SWT:

“Peliharalah oleh kalian semua shalat.” (QS. 2 : 238)

Siapa pun tidak dibenarkan melalaikan shalat sehingga baru dilaksanakan… kecuali bagi orang yang ketiduran, atau lupa, atau yang menangguhkannya karena hendak dijama’ saat ia sedang bepergian, atau karena hujan.

Sabda Rasulullah saw.:

“Barangsiapa tidak mengerjakan shalat Ashar, hapuslah amalnya”.

“Umatku akan selalu dalam keadaan baik selama mereka tidak menangguhkan shalat Maghrib”.

            Barangsiapa meninggalkan shalat, maka kepadanya wajib qadha, sebagaimana dikemukakan dalam sebuah hadits :

“Barangsiapa tertidur dari shalat atau lupa, maka shalatlah saat ia teringat”.

            Sebaiknya yang bersangkutan mengqadha saat itu juga, namun andai ditangguhkan pun masih diperbolehkan dan tidak berdosa karenanya, hanya saja dia berdosa karena dia tidak mengerjakannya tepat waktu. Diriwayatkan dari ‘Imran bin Hashin r.a.:

Dia telah berkata :

“Kami pernah suatu ketika bepergian bersama Nabi saw., dan kami saat itu berjalan malam hari hingga larut malam. Karenanya kami pun tertidur nyenyak sekali. Kiranya tidak ada seorang musyafir tidur senyenyak itu, sehingga kami baru terbangun oleh karena panasnya sengatan matahari. Ketika nabi saw. bangun, maka mereka mengadukan apa yang terjadi menimpanya. Bersabdalah beliau: ‘Tidak mengapa dfan tidak membahayakan, berangkatlah kalian. Maka beliau pun berjalan tidak jauh dari sana kemudian beliau berhenti danb mengambil air wudhu dan adzan pun dikumandangkan, lalu shalat bersama-sama beliau”.

            Hadits ini merupakan dalil bahwa Nabi saw. pernah terlambat shalat Shubuh dan beliau tidak mengqadhanya melainkan sesudah beliau keluar dari lembah itu. Seandainya harus seketika, niscaya beliau tidak menangguhkannya.

2.  Syarat Sah Shalat

            Ketika hendak shalat, maka yang bersangkutan harus suci dari hadats dan najis. Suci dari hadats adalah merupakan syarat sahnya shalat.

Sabda Rasulullah saw. :

 “Allah tidak menerima shalat tanpa bersuci”

Uraian tentang maksud hadits ini telah kita ketahui dalam uraian tentang Thaharah. Sedang yang dimaksud dengan suci dari najis, yaitu badan yang suci termasuk pakaian yang dikenakan dan tempat yang dipergunakan. Badan yang suci juga adalah merupakan syarat sah shalat.

            Sabda Rasulullah saw. :

“Bersucilah kalian dari air kencing, karena daripadanya siksa kubur pada umumnya terjadi”

            Adapun perihal pakaian yang dikenakan harus suci dari najis sebagai syarat sah shalat, ini adalah berdasarkan firman Allah SWT. :

“…dan pakaianmu bersihkanlah” (QS. 74:4)

            Dalam hadits yang diriwayatkan dari Jabir bin Samrah r.a., dia berkata:

“Aku mendengar seorang laki-laki bertanya kepada Nabi saw. apakah aku boleh shalat dengan pakaian yang aku kenakan saat aku mendatangi (menggauli) isteriku? Beliau menjawab: Ya, kecuali bila kau dapatkan seseuatu (najis) padanya, maka cucilah.”

            Sedang tentang keharusan tempat yang ditempati untuk shalat suci dari najis sebagai syarat sah shalat,ini adalah berdasarkan hadits yang menggambarkan seorang Arab dari dusun yang kencing di salah satu sudut masjid (Nabawi) dan sebagaimana dikemukakan dalam hadits Nabi s.a.w:

            “ Siramkanlah oleh kalian padanya seember air “.

            Ketika hendak shalat , maka yang bersangkutan selanjutnya harus menutup aurat. Dalam hadits yang diriwayatkan dari Aisyah r.a. dikemukakan,bahwasanya Nabi s.a.w. bersabda:

            “ Allah tidak menerima shalat seorang perempuan yang telah haid kecuali dengan memakai yang menutupi kepala dan lehernya ( khimar )”.

            Bilamana seseorang yang sedang shalat auratnya terbuka sedang ia kuasa untuk menutupinya kembali, maka shalatnya tidak sah (batal). Menutup aurat adalah salah satu syarat sah shalat bagi laki-laki dan perempuan. Hanya saja antara aurat keduanya berbeda, yakni: Bahwasanya aurat laki-laki adalah bagian antara pusar dengan lutut, sedangkan pusar dan lutut sendiri bukan aurat, seperti diriwayatkan oleh Abu Sa’id Al Khudri r.a. , sesungguhnya Nabi s.a.w. telah bersabda:

            “ Aurat laki-laki adalah bagian antara pusar dan lututnya”.

            Dalam hadits yang diriwayatkan dari Muhammad bin Jahasy, dia berkata:

            “ Rasulullah s.a.w. pernah lewat di depan Mu’ammar sedang kedua pahanya terbuka . Maka bersabdalah beliau: Ya Mu’ammar, tutuplah kedua pahamu karena kedua paha itu adalah aurat”.

            Sedang aurat perempuan merdeka adalah seluruh tubuhnya kecuali muka dan kedua telapak tangan.

            Firman Allah Ta’ala:

            “. . . ,  dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya. Kecuali yang (biasa) tampak daripadannya”  ( Q.S. 24:31 ).


            Ibnu Abbas berkata: Yakni kecuali muka dan kedua telapak tangannya.
            Ibnu Umar telah meriwayatkan , sesungguhnya Nabi s.a.w. bersabda:

            “ Perempuan merdeka tidak wajib menutup mukanya dan tidak wajib pula harus mengenakan sarung tangan “.

            Keharusan menutup aurat ini adalah dengan pakaian yang tidak transparan atau sejenisnya, sebab pakaian atau kain yang transparan atau yang ketat masih menggambarkan warna kulit dan bentuk tubuh sehingga dianggap tidak memenuhi kriteria menutup aurat.

            Ketika hendak shalat, maka yang bersangkutan harus menghadap ke kiblat.

            Firman Allah  Ta’ala :

            “ Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kalian berada, palingkanlah muka kalian ke arahnya”  ( Q.S. 2: 144 ).

            Inipun merupakan bagian dari syarat sah shalat. Atas dasar itu, maka ketika seseorang berada di depan Baitullah, ia wajib menghadap langsung ke sana.
            Usamah bin Zaid r.a.  meriwayatkan:

            “ Sesungguhnya Nabi s.a.w telah masuk ke dalam Ka’bah (Baitullah) namun ia tidak shalat, kemudian beliau keluar dari ruku’ dua kali seraya menghadap ke Ka’bah lalu bersabda: Ini adalah kiblat”.

            Akan tetapi bila seseorang masuk ke dalam Ka’bah dan shalat di dalamnya, maka hal itu diperbolehkan karena dia  dianggap telah menghadap ke salah satu bagian daripadanya.
            Jika seseorang tidak berada di depan Ka’bah,  maka hendaklah diperhatikan: Bila ia mengetahui arah kiblat , maka menghadaplah ke arahnya. Bila seseorang yang terpercaya memberitahukan arah kiblat, maka hendaklah diterima, tidak usah berijtihad, sama halnya dengan seorang hakim hendaknya ia menerima nash dari orang tsiqqah ( terpercaya ) sehingga ia tidak usah berijtihad. Bila ternyata mayoritas kaum muslimin di suatu daerah menentukan arah kiblat ke suatu arah, maka shalatlah ke arah itu dan ia tidak perlu berijtihad,  karena arah yang ditunjukkan oleh mereka sama kedudukannya dengan berita yang harus diterima.  Bila seseorang berada di luar Mekkah dan ia sebagai orang yang menguasai cara-cara menentukan arah kiblat, maka ia wajib berijtihad untuk menentukan arah kiblat.  Dalam situasi seperti ini keharusan menghadap ke kiblat adalah mengenai arahnya, sebagaimana firman Allah Ta’ala:

            “ Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kalian berada, palingkanlah muka kalian ke arahnya”  ( Q.S. 2: 144 ).

            Sabda Rasulullah s.a.w.  :

            “ Kiblat itu adalah tempat di antara timur dan barat”.

            Bila seseorang berada di Mekkah,  namun antara dirinya dengan Ka’bah terhalang, maka ia sama  dengan orang yang tidak langsung  berada di depan Ka’bah. Sedangkan bila antara dirinya dengan Ka’bah tanpa penghalang,maka ia sama dengan orang yang berada langsung di depan Ka’bah , yakni dia harus shalat langsung menghadap Ka’bah itu. 
            Bila seseorang bukan sebagai orang yang  menguasai cara-cara  menentukan  arah kiblat, maka ia harus mengikuti pendapat orang yang mengetahui arah kiblat, tidak perlu berijtihad, sebab ia sama dengan orang awwam tentang hukum syara’.
            Disunatkan bagi orang yang shalat mengembangkan tikar ( sajadah )  pada tempat yang dipergunakan untuk shalat sebagai pembatas.

            Sabda Rasulullah s.a.w :

            “ Apabila seseorang di antara kalian shalat, hendaklah ia membuat pembatas tempat yang di pakai untuk shalat ( sutrah ) agar syaitan tidak dapat memutuskan shalatnya “.

            Sahl bin Sa’id As Sa’idi meriwayatkan :

            “ Diantara tempat yang dipergunakan Rasulullah s.a.w. untuk shalat ( mushala ) dengan dinding terdapat tempat lewat orang yang berjalan”.

            Terkadang Rasulullah s.a.w.  mengambil tempat untuk shalat di masjidnya dengan membuat lingkaran.
           
3.  Cara - cara  Shalat :

            Bila hendak shalat, maka yang bersangkutan harus berdiri. Berdiri adalah merupakan fardhu dalam shalat wajib.

            Firman Allah Ta’ala:

            “ Dan berdirilah kalian untuk Allah ( dalam shalat kalian ) dengan khusyu “.   
( Q. S.  2 :

            ‘Imran bin Al Hashim r.a. telah meriwayatkan, bahwasanya Nabi s.a.w. bersabda :

            “ Shalatlah kamu sambil berdiri. Bila kamu tidak kuasa, maka sambil duduk . Bila kamu tidak kuasa, maka sambil berbaring “.

            Diriwayatkan pula :

            “ Sesungguhnya Nabi s.a.w shalat sambil berdiri, baik dalam shalat fardhu maupun dalam shalat sunat “.

            Akan tetapi berdiri dalam shalat sunat bukan suatu keharusan , karena saat Nabi s.a.w. mengerjakan shalat sunat ( nafilah ) di atas hewan tunggangan ternyata beliau mengerjakan sambil duduk.

            Diriwayatkan dari jabir r.a. :

            “ Aku melihat Nabi s.a.w shalat nawafil ( sunat ) sedang beliau berada di atas hewan tunggangannya, dan beliau menghadap ke seluruh penjuru. Tetapi beliau lebih merendah saat sujud daripada ruku’  dan beliau memberi isyarat “.

            Diriwayatkan lagi dari Ibnu Umar r.a. , ia berkata:

            “ Nabi s.a.w. mengerjakan shalat di atas binatang tunggangannya sambil menghadap ke arah mana beliau menuju dan beliau (juga ) shalat witir di atas binatang tunggangannya. Hanya saja beliau tidak mengerjakan shalat fardhu di atasnya”.

            Di syaratkan dalam berdiri ini, hendaknya berdiri dengan tegak sehingga benar- benar yang bersangkutan dikatakan berdiri.
            Kemudian ia niat. Niat adalah salah satu dari beberapa fardhu shalat.

            Sabda Rasulullah s.a.w. :

            “ Sesungguhnya amalan- amalan itu dengan niat”.

            Niat ini harus dilakukan bersamaan dengan takbiratul ikhram, karena niat adalah merupakan fardhu shalat yang pertama. Kemudian niat tersebut harus sesuai dengan shalat yang dikerjakan, dengan kata lain ;  bilamana shalat itu fardhu, maka niat pun harus ditentukan sesuai dengan namanya sehingga bilamana seseorang shalat Zhuhur - umpamanya- maka ia pun harus niat shalat Zhuhur begitu juga niat shalat fardhu yang lainnya agar satu shalat dengan yang lain dapat dibedakan.  Sama halnya dengan shalat fardhu , shalat sunat rawatib juga - seperti witir dan sunat fajar- harus ditentukan niatnya, sebab tanpa menentukan niat ini shalat pun tidak jadi. Hal ini dimaksudkan agar shalat tersebut dapat dibedakan dari shalat sunat yang lainnya. Sedangkan untuk shalat sunat bukan rawatib hanya dengan niat shalat sunat saja sudah dianggap memenuhi syarat.
            Bilamana seseorang ragu setelah takbiratul ihram; apakah ia telah niat atau belum, namun kemudian ia ingat bahwa memang ia telah niat dan ingatnya ini terjadi sebelum melakukan perbuatan shalat yang bersifat jasmaniah maka shalatnya jadi, tidak usah diulang lagi. Adapun bilamana ingatnya itu terjadi sesudah melakukan perbuatan shalat yang bersipat jasmaniah, maka batallah shalat tersebut. Sebab hal itu berarti ia telah melakukan suatu perbuatan sedangkan ia dalam keadaan ragu dalam shalatnya . Begitu juga shalat seseorang batal ketika hendak keluar, atau ia ragu, apakah sebaiknya ia keluar dari shalat atau jangan. Semua ini dapat membatalkan shalat, karena niat adalah sebagai syarat bagi sahnya seluruh shalat. Maka dengan adanya niat keluar atau sikap ragu, apakah keluar dari shalat atau tidak, batallah shalat yang bersangkutan sebab sikap seperti ini berlawanan dengan keharusan niat atau menentang keharusan niat. Akan tetapi kalau  hanya was-was , yakni hanya sekedar timbul dalam benak ( fikiran ) apakah telah niat atau belum, maka shalat tidak batal karenanya. Dan tidak boleh tidak orang yang sedang shalat harus melanggengkan niat shalat yang sedang dikerjakan. Bilamana seseorang yang sedang shalat Zhuhur- umpamanya- kemudian ia mengubah niat shalatnya ini shalat Ashar, maka batallah shalat Zhuhur tersebut, karena dengan sikapnya itu berarti ia telah memutuskan shalat Zhuhur yang sedang dijalani dan begitu juga shalat Asharnya juga tidak sah karena ia tidak niat  untuk shalat Ashar pada waktu ia takbiratul ihram.
            Berniat pada waktu takbiratul ihram secara bersamaan adalah merupakan syarat.  Oleh karenanya maka hendaklah yang bersangkutan melakukan niat dalam hati bersamaan dengan saat mulutnya melafalkan Allahu Akbar ( takbiratul ihram ). Dan takbiratul ihram pun adalah sebagai salah satu fardu shalat ini, sebagaimana telah diriwayatkan dari  Ali Karramallahu Wajhah, yang mengatakan bahwa sesugguhnya Nabi s.a.w. bersabda:

            “ Kunci pembuka shalat adalah wudhu, penghormatannya adalah takbir, dan penutupnya adalah salam”.

            Takbir yaitu mengucapkan “ Allahu Akbar “ yang berarti: Allah Maha Besar. Hal ini sebagaimana dilakukan oleh Nabi pada waktu beliau memulai shalat.

            Sabda Rasulullah s.a.w. :

            “ Shalatlah kalian seperti kalian menyaksikan ( cara ) aku  shalat “.

            Bilamana seseorang berlidah kelu atau gagu, hendaknya ia menggerakkan lidahnya sedapat mungkin.

            Sabda Nabi s.a.w. :

            “ Bilamana  aku telah memerintah kalian dengan sesuatu, maka lakukanlah hal itu oleh kalian sedapat mungkin’.

            Disunatkan mengangkat kedua tangan saat takbiratul ihram sampai sejajar dengan kedua pundak.

            Ibnu Umar r.a.  telah meriwayatkan:

            “ Sesungguhnya Nabi s.a.w.  pada waktu memulai shalat beliau mengangkat kedua tangannya sejajar dengan kedua pundaknya ,  begitu juga ( beliau mengangkat kedua tangannya) bila beliau takbir untuk ruku’  dan bila beliau mengangkat kepalanya dari ruku’ ( I’tidal )”.

            Batasan mengangkat tangan ini diperbolehkan sampai sejajar dengan kedua telinganya. Oleh karenanya dipersilakan memilih salah satunya. Saat memulai mengangkat kedua tangan tersebut adalah bersamaan dengan memulai membaca takbir dan berakhir dengan berakhirnya takbir juga.  Jika tidak memungkinkan untuk mengangkat kedua tangan atau hanya memungkinkan sebelah tangan saja atau hanya memungkinkan mengangkat kedua tangan tidak sampai sejajar dengan kedua pundak, maka diperbolehkan sampai pada bagian yang memungkinkan.
            Bilamana sudah selesai takbir, bagi yang bersangkutan disunatkan meletakkan tangan bagian kanan di atas tanan bagian kiri, yakni tangan kanan memegang sebahagian telapak tangan dan sebahagian pergelangan tangan yang kiri.

            Diriwayatkan dari Halb Ath Thai, dia telah berkata :

            “ Rasulullah s.a.w. telah mengimami kami. (saat itu ) beliau memegang tangan kirinya dengan yang kanan”.

            Diriwayatkan pula dari Wail bin Hujrin, dia berkata :

            “ Aku berkata : Sungguh akan kuperlihatkan shalat Rasulullah s.a.w.  , bagaimana beliau shalat. Pertama-tama Rasulullah s.a.w. berdiri menghadap kiblat, lalu beliau bertakbir sambil mengangkat kedua tanggannya sampai sejajar dengan kedua telinganya, kemudian beliau meletakkan tangan kanannya di atas bagian telapak tangan bagian kiri dan pergelangan tangan serta bagian tangan antara sikut dan pergelangan tangan”.

            Dan disunatkan kedua tangan diletakkan di atas dada.

            Wail telah meriwayatkan:

            “ Aku melihat Rasulullah s.a.w. shalat. Beliau meletakkan kedua tangannya di atas dadanya, sedang salah satunya di atas yang satunya lagi “.

            Abu Daud juga telah meriwayatkan hadits dari Thawus, bahwasanya di berkata:

            “ Rasulullah s.a.w. telah meletakkan tangan kanannya di atas tangan yang kiri, kemudian beliau meletakkan keduanya di atas dada. Saat itu beliau sedang shalat”.

            Adapun meletakkan kedua tangan di atas bagian bawah tulang rusuk, ini adalah suatu yang tidak diperbolehkan. Dalam salah sebuah hadits hal itu telah dikukuhkan , bahwa  sanya Nabi s.a.w. telah melarang meletakkan kedua tangan di atas bagian bawah tulang rusuk saat sedang shalat. Sedangkan perihal menjulurkan tangan, ternyata tidak diperoleh nash yang mutlak, namun bagaimanapun juga cara seperti itu menyalahi apa yang telah dikemukakan dalam beberapa hadits yang menerangkan bahwa meletakkan tangan saat shalat adalah di atas dada.
            Kemudian disunatkan membaca do’a istiftah. Untuk do’a ini yang paling utama adalah do’a seperti yang diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalib r.a. dari Rasulullah s.a.w. , bahwasanya beliau bila berdiri shalat maka beliau membaca:

            Artinya:
            “Aku menghadapkan mukaku kepada Dzat pencipta langit dan bumi dengan lurus dan berserah diri serta Aku ini bukanlah termasuk orang-orang musyrik. Sesungguhnya shalatku dan ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah bagi Allah, Tuhan semesta alam, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan karenanya aku diperintah . Dan aku adalah termasuk orang-orang yang berserah diri. Ya Allah, Engkaulah Maha raja, tidak ada Tuhan kecuali Engkau, Engkaulah Tuhanku, dan aku adalah hamba-Mu , aku adalah seorang ( hamba ) yang telah berbuat zhalim kepada diriku, dan aku mengakui dosaku, maka limpahkanlah ampunan-Mu padaku atas segala dosaku. Sungguh tidak ada yang akan mengampuni dosa-dosa melainkan hanya Engkau. ( Ya Allah ) , tunjukkilah aku pada sebaik-baik akhlak. Sungguh tidak ada yang akan kuasa menunjukkan pada sebaik-baik akhlak tersebut melainkan hanya Engkau, dan palingkanlah daripadaku akhlak yang buruk.  Sungguh tidak ada yang akan kuasa memalingkan dariku akhlak yang buruk itu melainkan hanya Engkau. ( Ya Allah) , kini aku sambut seruan-Mu dan ini aku beranjak datang menuju-Mu . Sungguh kebaikkan itu semuanya berada di atas kedua tangan-Mu, dan kejahatan itu bukan untuk-Mu serta aku bersama dengan ( kehendak ) -Mu dan (akan kembali ) kepada-Mu. Maha Berkat Engkau dan Maha Tinggi Engkau (Ya Allah ), Aku mohon ampun (dari segala dosa) kepada-Mu dan aku bertaubat (dari segala dosa) kepada-Mu”.

            Do’a ini boleh dibaca seutuhnya atau sebagian saja. Begitu juga do’a tersebut boleh ditukar dengan do’a istiftah yang lain.
            Disunatkan kepala dan kedua mata menunduk pada tempat sujud serta makruh menengadahkan kepala dan kedua mata memandang ke atas.

            Diriwayatkan dari Ibnu Sirin:

            “ Sesungguhnya Nabi s.a.w. mengarahkan pandangannya ke atas, maka turunlah ayat ini : (                                               = ( yaitu ) orang-orang yang khusu’ dalam shalatnya) ), lalu beliau pun menundukkan kepalanya”.

            Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a.  bahwasanya Nabi s.a.w. telah bersabda :

            “ Sungguh orang-orang yang mengarahkan pandangannya ke atas dalam shalat hendaknya menahan diri ( untuk tidak berbuat demikian) atau benar-benar penglihatan mereka terampas ( menjadi buta )”.

            Dalam hadits yang lain di kemukakan :

            “ Bilamana kalian sedang shalat, maka janganlah kalian melirik karena Allah mengarahkan muka-Nya kepada muka hamba-Nya yang sedang shalat selama ia tidak melirik “.

            Sesudah itu kemudian membaca “ Ta’ awwudz” ,yakni : ( (                                                           ) ) , berdasarkan firman Allah Ta’ala :

            “ Apabila kamu membaca Al Qur’an hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk “ ( Q.S.  16 :  98 ).

            Selanjutnya membaca surat Al Fatihah. Membaca surah Al Fatihah adalah merupakan salah satu dari beberapa fardhu shalat.  Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh ‘Ubadah bin Ash Shamit r.a. , yang mengatakan sesungguhnya Nabi s.a.w. telah bersabda :

            “ Tidak sah shalat bagi orang yang tidak membaca Fatihatul kitab ( surat Al Fatihah ) di dalam shalat itu “

            Di lain kesempatan beliau juga bersabda :

            “ Barangsiapa mengerjakan shalat tanpa membaca Fatihatul kitab ( surat Al Fatihah ) di dalam shalat tersebut, maka shalatnya itu ‘khaddaj’ , yakni tidak sempurna “.

            Sekalipun membaca surat Al Fatihah tidak dilakukan karena lupa, maka shalat itu tetap batal sebab membaca surat Al Fatihah adalah merupakan rukun. Sedang rukun adalah merupakan sesuatu yang tidak bisa dimaafkan dalam shalat walaupun dengan alasan lupa. Dalam membaca surat Al Fatihah harus di awali dengan “basmalah”, yakni dengan membaca ( (                                             )), karena basmalah merupakan bagian dari surat Al Fatihah.

            Ummu Salamah r.a.  telah meriwayatkan :

            “ Sesungguhnya Nabi s.a.w. telah membaca ((                             )) dan beliau menghitungnya ( sebagai bagian dari surah Al Fatihah “.

            Maka berdasarkan hadits ini basmalah  adalah merupakan bagian daripadanya , sebab beliau pun membaca dan menghitungnya sebagai bagian dari surat Al Fatihah.  Basmalah di baca  nyaring bersama ayat-ayat berikutnya dari surat Al Fatihah dalam shalat jahriah dan surat Al Fatihah wajib di baca dengan tertib ( berurutan ) . Akan tetapi bila bacaan lain terselip di tengahnya karena lupa, maka tidak mengapa. Sedang bila hal itu disengaja, maka bacaan surat Al Fatihah wajib diulang dari pertama. Membaca surat Al Fatihah ini wajib dilakukan di setiap rakaat.

            Rifa’ah bin Abu Rafi’ telah meriwayatkan , dia berkata :

            “ Pada waktu Rasulullah s.a.w. sedang duduk di masjid didapatkan seorang laki-laki sedang shalat. Kemudian ketika dia telah selesai ( dari shalatnya ) , dia pun menghampiri Rasulullah s.a.w. lalu menyampaikan salam kepadanya. Kemudian beliau bersabda kepadanya : ulang kembali shalatmu, karena engkau belum  ( dianggap ) telah shalat. Maka dia pun berkata : Ajarilah aku , ya Rasulullah !  Bersabdalah beliau : Bilamana engkau berdiri untuk shalat, maka bertakbirlah kemudian bacalah Fatihatul kitab ( surat Al Fatihah ) dan apa yang kau anggap mudah ( dari Al Qur’an )….  , kemudian lakukanlah hal yang sama ( yakni membaca surat Al Fatihah ) di setiap rakaat”.

            Keharusan membaca surat Al Fatihah diwajibkan kepada imam dan makmum,  seperti yang telah diriwayatkan oleh ‘Ubadah bin Ash Shamit r.a. , ia berkata :

            “ Rasulullah s.a.w. shalat mengimami kami dan beliau melambatkan bacaanya. Kemudian tatkala usai, beliau bersabda : Sesungguhnya aku mendengar kalian membaca di belakang imam kalian. Kami menjawab : Demi Allah , benar ( demikian ) , ya Rasulullah, kami melakukan hal ini !  Maka bersabdalah beliau  :  Janganlah kalian melakukan ( hal itu ) , melainkan hanya (membaca ) ummul kitab  (surat Al Fatihah ) saja. Sebab, tidak (sah) shalat bagi orang yang tidak membacanya “.

            Seusai membaca surat Al Fatihah adalah membaca : Amin((                    )) yang berarti  : “ Kabulkanlah ya Allah”. Membaca ‘ amin’ hukumnya sunat, berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a.  , bahwasanya Rasulullah s.a.w. telah bersabda:

            “ jika imam membaca “ amin” , maka kalian pun membacanya”.

            Dan dibaca nyaring dalam shalat jahriah berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. dimana ia berkata:

            “ Rasulullah s.a.w. bilamana usai membaca Ummul Qur’an ( surat Al Fatihah ) , maka beliau menyaringkan suaranya, lalu beliau mengucapkan : Amin”.

            Surat Al Fatihah harus dibaca dengan bahasa Arab, sama sekali tidak diperbolehkan dengan bahasa lain. Begitu juga ayat-ayat Al Qur’an yang lain pun tidak boleh dibaca dengan bahasa selain bahasa Arab. Maka dengan demikian , tidak sah shalat orang yang membaca surat Al Fatihahnya  dengan bahasa non Arab sebab hal ini sama dengan belum membaca Al Qur’an , sebagaimana ditagaskan dalam firman Allah Ta’ala bahwa Al Qur’an itu adalah ( (                        ) ) , yakni : “ Al Qur’an dengan bahasa Arab “. Terjemah Al Qur’an bukan Al Qur’an, karena yang di sebut Al Qur’an adalah hanya yang berbahasa Arab dengan susunan kalimatnya yang bersifat mukjizat ( yang tidak bisa ditandingi ) seperti yang kita saksikan sekarang , sehinggga ketika dialih bahasakan maka nilai kemukjizatannya pun tidak ada .Sesudah membaca surat Al Fatihah dan Amin disunatkan membaca surah Al Qur’an yang lain ,  berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Jabir r.a. bahwasanya Nabi s.a.w. pernah bersabda kepada Mu’adz r.a. ketika didapatkan dia mengerjakan shalat Isya dengan lama :

            “ Apabila engkau mengimami orang-orang , maka bacalah ((                      dan                               )), dan bacalah ((                                     dan                               ))”.

            Seorang laki-laki dari Juhainah telah meriwayatkan :

            “ Sesungguhnya ia telah mendengar Nabi s.a.w.  dalam  (shalat ) Shubuh membaca ( (                                           ) )”.

            Ketika seseorang menjadi ma’mum, hendaklah diperhatikan : Jika ia sedang shalat jahriah, maka bacaanya hanya surah Al Fatihah saja.

            Sabda Rasulullah s.a.w. :

            “ Bilamana kalian berada di belakang aku, maka kalian jangan membaca apa-apa kecuali surat Al Fatihah saja, karena tidak sah shalat bagi orang yang tidak membacanya”.

            Jika jumlah rakaat shalat lebih dari dua, maka dalam rakaat sesudahnya, yakni dalam rakaat ketiga atau keempat, sesudah membaca surah Al Fatihah jangan disambung dengan bacaan ( surah ) yang lain.

            Abu Qatadah r.a. telah meriwayatkan :

            “ Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. dalam shalat Zhuhur pada rakaat pertama dan kedua membaca Fatihahul kitab (surah Al Fatihah ) dan surah ( yang lain ) . Dan terkadang beliau memperdengarkan ayat kepada kami, dan beliau membacanya lebih panjang pada rakaat yang pertama daripada bacaan ( yang dibaca ) pada rakaat yang kedua. Sedangkan pada dua rakaat yang akhir beliau  ( hanya ) membaca Fatihatul kitab ( saja ) “.

            Disunatkan bagi imam menyaringkan bacaan surah Al Fatihah pada kedua rakaat Shubuh , dua rakaat ( kesatu dan kedua ) Maghrib, dan dua rakaat bagian pertama Isya. Begitu juga bacaan tersebut sunat dinyaringkan pada rakaat-rakaat di atas bagi yang  shalat menyendiri ( munfarid ). Hal ini berdasarkan konsensus para sahabat Nabi s.a.w.  Akan tetapi untuk shalat Zhuhur dan Ashar tidak diperbolehkan.

            Abu Hurairah telah meriwayatkan , bahwasanya Nabi s.a.w. bersabda:

            “ Bilamana kalian menyaksikan orang yang menyaringkan bacaan ( surah Al Fatihah ) di siang hari (ketika shalat Zhuhur dan Ashar) , maka lemparilah ia dengan isi perut unta “.

            Sesudah membaca surah Al Fatihah (dan surah yang lain untuk rakaat pertama dan kedua ) lalu ruku’. Ruku’ adalah salah satu fardu shalat:

            “. . . . ruku’dan sujudlah kalian. .”. ( Q.S .  22 : 77 ).

            Disunatkan ketika hendak ruku’ membaca “ Takbir “.

            Abu Hurairah r.a. telah meriwayatkan :

            “ Sesungguhnya Nabi s.a.w. bilamana mengerjakan shalat, ketika berdiri dan ruku’ , maka beliau bertakbir, kemudian beliau membaca : ( (                              =Allah mendengar ( perkataan) orang yang memuji-Nya) ), ketika beliau mengangkat kepalanya  ( I’tidal ), kemudian beliau bertakbir ketika sujud, kemudian beliau bertakbir ketika mengangkat kepalanya ( dari sujud ). Beliau melakukan hal itu dalam semua shalat sampai beliau selesai mengerjakannya”.

            Disunatkan pada waktu takbiratul ihram mengangkat kedua tangan sampai sejajar dengan kedua pundak , berdasarkan hadits Ibnu Umar :

            Sesungguhnya Nabi s.a.w. bilamana mengawali shalat, beliau mengangkat kedua tangannya sampai sejajar dengan kedua pundaknya , ( begitu juga kedua tangannya diangkat ) ketika takbir untuk ruku’ dan ketika mengangkat kepalanya dari ruku’ (I’ tidal )”.

            Dalam ruku’ diharuskan membungkuk sehingga kedua telapak tangan sampai ( memegang ) kedua lutut, sebab tanpa seperti itu tidak bisa dikatagorikan ruku’.   Kemudian di sunatkan meletakkan kedua tangan di atas kedua lutut dan menjarangkan ( merenggangkan ) jari jemari.

            Abu Hamid As Sa’idi r.a. telah meriwayatkan :

            “ Sesungguhnya Nabi s.a.w. memegangkan kedua telapak tangannya pada kedua lututnya, seperti halnya orang yang memegang kedua lutut, dan beliau ( pun ) merenggangkan jari jemarinya “.

            Disunatkan juga dalam ruku’ ini yang bersangkutan memanjangkan punggung sejajar dengan tengkuknya dan tidak menengadahkan kepala, melainkan membungkukkannya sehingga sejajar dengan punggung serta tengkuknya.

            Abu Hamid As Sa’idi r.a. telah meriwayatkan hadits yang menggambarkan shalat Rasulullah s.a.w. seraya berkata :

            “ . . . , maka beliau ruku’ dan I’tidal . Beliau tidak menengadahkan kepalanya dan tidak pula memanjangkannya “.

            Yakni bahwa Nabi s.a.w. saat ruku’ dalam shalat, beliau tidak menengadahkan kepala sehingga posisinya lebih tinggi dari punggung. Dan disunatkan kedua sikut berjauhan, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hamid As Sa’idi r.a.  , bahwasanya Nabi s.a.w.   berbuat demikian .  Pada saat ruku’ disunatkan membaca : ( (                          =Maha suci Tuhanku yang maha Agung ) ),  sebanyak tiga kali.

            Diriwayatkan dari Hudzaifah r.a. dimana ia berkata :

            “ Aku shalat bersama Nabi s.a.w. lalu saat ruku’ beliau membaca ( (                                  ) ) dan saat sujud ( beliau membaca )  ( (                                       ) ), kemudian beliau mengangkat kepalanya”.

            Disunatkan ketika mengangkat kepala dari ruku’ (I’tidal ) membaca ( (                              =  Allah mendengar orang yang memuji-Nya ) ), berdasarkan hadits yang dikemukakan oleh Abu Hurairah r.a. :

            “ Sesungguhnya Nabi s.a.w. bilamana telah tegak berdiri untuk shalat, beliau ketika itu bertakbir dan ( begitu pula beliau bertakbir ) ketika ruku’. Kemudian beliau mengucapkan  : ((                                                           )). . .  “  . ( Al Hadits ).   

            Dan disunatkan pula ketika I’tidal mengangkat kedua tangan sampai sejajar dengan kedua pundak, sebagaimana di kemukakan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar r.a.  di atas pada waktu menerangkan tentang “ Takbiratul ihram “.  Kemudian sesudah tegak berdiri dari ruku’ disunatkan lagi mengucapkan :

            Artinya :
            “ Ya Tuhan kami , hanya bagi-Mu puji ( yang meliputi ) seisi langit dan bumi serta ( yang meliputi ) sesuatu yang Engkau kehendaki sesudah itu. ( Engkaulah ) yang berhak atas sanjungan dan kemuliaan dengan sebenar-benar apa ( yang seharusnya ) diucapkan oleh hamba ( Mu ). Kami semua adalah hamba bagi-Mu . Tidak ada yang dapat menahan terhadap apa yang Engkau berikan dan tidak ada ( pula ) yang dapat memberikan apa yang Engkau tahan( untuk diberikan ) serta tidak akan bermanfaat untuk melindungi kekayaan dan kebesaran orang kaya dan besar dari murka dan adzab-Mu “.

            Bacaan di atas sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id Al Khudri r.a. yakni bahwa sesungguhnya Nabi s.a.w. bilamana mengangkat kepalanya dari ruku’, maka beliau membaca do’a tersebut. Pada waktu berdiri dari ruku’ wajib “ thuma’ninah “ dalam keadaan tegak berdiri, begitu pula halnya pada waktu ruku’.

            Rifa’ah bin Malik  telah meriwayatkan :

            “ Sesungguhnya Nabi s.a.w.telah  bersabda: Bilamana seseorang di antara kalian berdiri untuk shalat, maka berwudhulah sebagaimana yang telah diperintahkan oleh Allah Ta’ala . . . , kemudian ruku’lah dengan thama’ninah , kemudian berdirilah (I’tidal ) dengan thuma’ninah sambil berdiri, kemudian sujudlah dengan thuma’ninah”.
           
            Berdasarkan hadits ini , maka thuma’ninah adalah fardu.

            Sabda Rasulullah s.a.w. :

            “ Seburuk-buruk pencuri adalah  orang yang mencuri shalatnya. Mereka ( para sahabat) bertanya : Ya Rasulullah , bagaimana ia mencuri shalatnya?  . Beliau menjawabnya : Yang tidak menyempurnakan ruku’dan sujudnya”.

            Sabda Rasulullah s.a.w. :

            “ Tidak sah shalat seorang laki-laki sehingga dia meluruskan punggungnya dalam ruku’ dan sujud “.

            Kemudian sujud. Sujud adalah termasuk fardu.
           
            Firman Allah Ta’ala :

            “ . . . . ruku dan sujudlah kalian “  ( Q.S.  22: 77 ).

            Disunatkan setiap kali hendak sujud diawali dengan bertakbir, sebagaimana dikemukakan dalam hadits Abu Hurairah r.a. yang telah lalu dalam uraian tentang ruku’. Dalam sujud disunatkan pula; pertama-tama meletakkan kedua lutut, kemudian kedua tangan , selanjutnya kening dan hidung.

            Wail bin Hujrin r.a. telah meriwayatkan:

            “ Nabi s.a.w. bilamana sujud, beliau terlebih dahulu meletakkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya. Bilamana bangun ( dari sujud) , maka beliau terlebih dahulu mengangkat kedua tangannya sebelum kedua lututnya.Dan beliau sujud dengan meletakkan kening, hidung, kedua tangan, kedua lutut, serta kedua kaki bagian bawah”.

            Sujud dengan cara meletakkan kedua kening diatas tempat sujud adalah termasuk fardu shalat. Oleh karena itu , maka meletakkan kening secara langsung di atas tempat sujud adalah wajib sekalipun hanya meletakkan sebahagiannya saja.

            Khabbab bin Al Arutt r.a. telah meriwayatkan :

            “ Kami pernah mengadu kepada Rasulullah s.a.w. tentang panas batu yang kami jadikan tempat meletakkan kening kami ( pada waktu sujud ) ; apakah kami diperbolehkan mengenakan pelapis ?  Namun ternyata beliau tidak menerima pengaduan kami “.

            Seandainya terbuka  ( tanpa pelapis ) tidak wajib, sudah barang tentu kepada mereka dikatakan : Tutuplah ( lapisilah ) kening kalian. Maka ketika beliau tidak mengatakan demikian  , ini berarti bahwa terbukanya kening saat sujud adalah fardu. Sedangkan sujud dengan meletakkan hidung menyentuh tempat sujud, ini hukumnya sunat.

            Abu Hamid telah meriwayatkan :

            “ Sesungguhnya Nabi s.a.w. bersujud dengan meletakkan kening dan hidungnya di atas  tanah”.

            Namun demikian meletakkan hidung sampai menyentuh tempat sujud tidak wajib, sehingga bila  tidak sampai menyentuh tempat sujud pun diperbolehkan , sebagaimana Jabir r.a. telah meriwayatkan :
           
            “ Aku melihat Rasulullah s.a.w. sujud dengan bagian paling atas dari keningnya, yakni dengan meletakkan bagian kepala paling depan yang ditumbuhi rambut”.

            Sujud dengan meletakkan kedua tangan, kedua lutut, dan kedua kaki bagian bawah adalah wajib.

            Ibnu Abbas r.a. telah meriwayatkan :

            “ Sesungguhnya Nabi s.a.w. menyuruh agar sujud di atas tujuh anggauta ( badan )  : Kedua tangan, kedua lutut, kedua ujung jari jemari kaki, dan keningnya “.

            Disunatkan merentangkan kedua sikut, sehingga kedua sisinya saling berjauhan.

            Abu Qatadah r.a. telah meriwayatkan :

            “ Sesungguhnya Nabi s.a.w. bilamana sujud, beliau merenggangkan  ( merentangkan ) kedua sikutnya”.

            Begitu juga pada waktu sujud disunatkan mengangkat perut dari kedua paha.

            Al Barra’ bin ‘Azib r.a. telah meriwayatkan :

            “ Sesungguhnya Nabi s.a.w. bilamana bersujud, beliau mengangkat ( perutnya)”.

            Selanjutnya disunatkan lagi merenggangkan antara kedua kaki.

            Diriwayatkan , bahwasanya Abu Hamid telah menggambarkan shalat Rasulullah s.a.w.  , lalu ia berkata :

            “ Bilamana beliau sujud, maka beliau merenggangkan di antara kedua kakinya”.

            Kemudian  disunatkan menghadapkan ujung jari jemari kaki ke arah kiblat.

            Diriwayatkan dari Abu Hamid r.a. :

            “ Sesungguhnya Nabi s.a.w. menghadapkan ujung jari jemari kedua kakinya ke arah kiblat “.

            Juga disunatkan merapatkan jari jemari kedua tangan dan meletakkannya sejajar dengan kedua pundak.

            Wail bin Hujrin telah meriwayatkan :

            “ Sesungguhnya Nabi s.a.w bilamana sujud, maka beliau merapatkan jari jemari  ( tangan )nya dan beliau menjadikan kedua tangannya sejajar dengan kedua pundaknya”.   

            Serta disunatkan mengangkat kedua sikut dan bertumpu pada kedua telapak tangan.

            Al Barra’ bin ‘Azib r.a. telah meriwayatkan :

            “ Sesungguhnya Nabi s.a.w. telah bersabda : Bilamana kamu sujud, maka rapatkanlah kedua  ( jari jemari ) tanganmu dan angkatlah kedua sikutmu “.

            Di wajibkan thuma’ninah dalam sujud, sebagaimana diriwayatkan dalam hadits yang dikemukakan  Rifa’ah :

            “. . . , kemudian beliau sujud dengan thuma’ninah “.

            Disunatkan dalam sujud membaca : ( (                           = Maha suci tuhanku yang Maha Tinggi ) ),  berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Hudzaifah di atas ketika membahas tentang ruku’. Kemudian sesudah itu mengangkat kepala dari sujud untuk duduk, sebagaimana diriwayatkan dalam hadits Abu Hurairah di atas ketika membahas tentang ruku’. Selanjutnya duduk iftirasy, yakni kaki kiri dilipat dan diduduki seerta kaki kanan menjulur.

            Abu Hamid As Sa’idi telah meriwayatkan hadits yang menggambarkan shalat Rasulullah s.a.w. seraya berkata :

            “ . . . . , Kemudian beliau melipat kaki kirinya dan duduk di atasnya serta duduk dengan tegak sehingga seluruh anggauta badannya berada pada posisinya”.

            Thuma,ninah dalam sujud hukumnya adalah wajib, berdasarkan sabda Rasulullah s.a.w. :

            “ . . . , kemudian bangkitlah kamu ( dari sujud ) dan duduklah dengan Thuma’ninah”.

            Rasulullah s.a.w. biasa berlama-lama dalam duduk di antara dua sujud sehingga hampir menyamai lama sujudnya, bahkan terkadang beliau duduk lebih lama sampai seseorang lupa apa yang dibacanya. Disunatkan saat duduk di antara dua sujud membaca :

            Artinya :
            “ Ya Allah , ampunilah ( dosa-dosa )ku, limpahkanlah pahala  ( dari-Mu ) kepadaku, limpahkanlah  kesehatan ( dari-Mu ) kepadaku, limpahkanlah rizki ( dari-Mu ) kepadaku, dan limpahkanlah hidayah ( dari- Mu ) kepadaku”.

            Bacaan ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan Abu Daud dan At Tirmidzi yang mengemukakan, bahwasanya Nabi s.a.w. membaca do’a tersebut saat beliau duduk di antara dua sujud.

            Lafazh hadits yang diriwayatkan Abu Daud berbunyi :

            Artinya :
            “ Ya Allah, ampunilah aku, kasihilah aku, sehatkanlah aku, tunjukilah aku, dan berilah aku rizki “.

            Sedang dalam hadits yang diriwayatkan At Tirmidzi ditambah dengan lafazh :

            Artinya :
            “ Berilah aku pahala dan berilah aku kesehatan”.

            Seusai berdo’a, maka sujud untuk kedua kalinya dengan cara seperti sujud yang pertama, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a. :

            “ Sesungguhnya Nabi s.a.w suatu ketika masuk ke masjid, lalu seorang laki-laki pun masuk kemudian dia shalat. . ., kemudian sujudlah kamu dengan thuma’ninah, kemudian bangunlah ( dari sujud ) dan duduklah dengan thuma’ninah, kemudian sujudlah dengan thuma’ninah, kemudian lakukanlah hal itu dalam shalat semuanya”.

            Selanjutnya setelah selesai bertasbih dalam sujud kedua ini kepala diangkat sambil bertakbir, sebagaimana dikemukakan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a. di atas, dan bangkit untuk duduk sejenak baru kemudian berdiri sambil bertumpu pada tempat shalat dengan tangan.

            Malik bin Al Huwairits telah meriwayatkan :

            “ Sesungguhnya Nabi s.a.w. duduk dengan tegak, kemudian beliau berdiri sambil bertumpu pada tanah dengan tangannya.

            Tidak dibenarkan mengangkat kedua tangan sampai sejajar dengan kedua pundak pada waktu bangun dari sujud, karena mengangkat kedua tangan ini hanya disunatkan ketika takbiratul ihram, ketika ruku’ dan ketika bangkit dari ruku’ saja.

            Diriwayatkan oleh Ibnu Umar r.a. :

            “ Aku melihat Rasulullah s.a.w. mengangkat kedua tangannya sampai sejajar dengan kedua pundaknya bilamana beliau memulai shalat dan bilamana hendak ruku’ serta sesudah mengangkat kepalanya dari ruku’.Beliau tidak mengangkat ( kedua tangannya ) di antara dua sujud “.

            Dalam riwayat Bukhari-Muslim dikemukakan :

            “Dan beliau tidak melakukan hal itu ( mengangkat kedua tangannya ) dalam sujud “.

            Dalam riwayat Bukhari dikemukakan lagi :

            “Dan beliau tidak melakukan hal itu ( mengangkat kedua tangan ) ketika beliau sujud dan tidak  ( pula L) ketika beliau bangkit dari sujud”.

            Sampai pada bagian ini berarti rakaat pertama telah selesai, lalu bersambung pada rakaat kedua dengan cara-cara yang sama seperti rakaat pertama kecuali niat dan do’a istiftah.

            Abu Hurairah r.a. telah meriwayatkan :

            “Sesungguhnya Nabi s.a.w. telah bersabda kepada orang yang tidak baik shalatnya :. . . . ,kemudian lakukan hal itu dalam semua shalatmu”.

            Bilamana rakaat shalat hanya dua saja seperti shalat Shubuh, maka pada rakaat keduanya langsung duduk untuk tasyahhud akhir. Sedang bilamana rakaat shalat lebih dari dua seperti shalat Zhuhur dan Maghrib, maka duduk untuk tasyahhud akhir adalah pada rakaat keempat-seperti Zhuhur-dan pada rakaat ketiga untuk Maghrib, karena rakaat ketiga dalam shalat Maghrib adalah rakaat terakhir. Selanjutnya dalam shalat yang lebih dari dua rakaat, maka pada rakaat kedua duduk dahulu untuk tasyahhud awwal, sebagaimana dikutip oleh para ulama kha ,dari para ulama shalaf yang diterima  dari Nabi s.a.w. Duduk untuk tasyahhud awwal dalam rakaat kedua pada shalat yang lebih dari dua rakaat hukumnya adalah sunat, bukan wajib.

            Abdullah bin Juhainah r.a. telah meriwayatkan :

            “Rasulullah s.a.w. shalat Zhuhur mengimami kami dan beliau berdiri langsung pada rakaat kedua, yakni beliau tidak duduk terlebih dahulu ( untuk tasyahhud awwal ). Kemudian ketika beliau telah selesai dari shalatnya , beliau pun sujud dua kali, baru kemudian beliau membaca salam”.
           
Seandainya duduk pada rakaat kedua untuk tasyahhud awwal merupakan wajib, sudah barang tentu beliau pun melakukannya, yakni tidak hanya sebatas sujud (sahwi).  Dalam duduk untuk tasyahhud awwal  disunatkan duduk iftirasy.

            Abu Hamid ra. Telah meriwayatkan:

“Sesungguhnya Nabi saw. ketika duduk pada dua rakaat pertama, beliau duduk di atas bagian bawah kakinya yang kiri.  Sedang kaki bagian bawah yang kanan dilipat menjulur”.

            Disunatkan saat duduk untuk tasyahhud awwal merenggangkan jari jemari tangan dan meletakkannya di atas paha meletakkan dekat ujung lutut sehingga ujung jari jemari tersebut sejajar dengan ujung lutut dan dihadapkan ke kiblat, disamping hendaknya dalam merenggangkan jari jemari itu tidak terlalu renggang agar tampak wajar.  Sedangkan tangan kanan, hendaknya diletakkan di atas paha yang kanan, kemudian kelingking, jari manis, dan jari yang tengah dilipat serta ibu jari dilipat menempel pada jari yang tengah.  Sementara telunjuk diangkat dan menunjuk.

            Ibnu Umar ra. Telah meriwayatkan:

“Sesungguhnya Rasulullah saw. pada waktu duduk untuk tasyahhud, maka beliau meletakkan tangan yang kiri di atas lutut yang kiri, dan beliau meletakkan tangan yang kanan di atas lutut yang kanan sehingga beliau (seolah-olah) membuat (angka) tiga puluh lima, dan beliau memberi isyarat dengan telunjuk”.

            Selanjutnya membaca tasyahhud dengan tasyahhud mana saja, sesuai dengan tasyahhud yang diperbolehkan.  Adapun bacaan tasyahhud yang dianggap paling sempurna, adalah sebagai berikut:

            Artinya:
            “Penghormatan yang diberkati (dan) shalawat yang baik adalah hanya bagi Allah.  Salam sejahtera semoga dilimpahkan kepadamu, wahai Nabi, dan begitu juga rahmat Allah dan berkah-Nya.  Salam sejahtera semoga dilimpahkan kepada kita dan kepada hamba-hamba Allah yang shaleh.  Aku bersaksi, bahwasanya tidak ada Tuhan selain Allah, dan aku bersaksi. Sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah”.

            Bacaan tasyahhud di atas sama seperti yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a.  , yakni bahwasanya ia berkata:

            “Rasulullah s.a.w. telah mengajarkan tasyahhud kepada kami, sebagaimana beliau mengajarkan suatu surat dari Al Qur’an kepada kami. Beliau bersabda : Penghormatan yang diberkati ( dan ) shalawat yang baik adalah hanya bagi Allah. Salam sejahtera semoga dilimpahkan kepadamu,wahai Nabi, dan begitu juga rahmat Allah dan berkah-Nya .Salam sejahtera semoga dilimpahkan kepada kita dan kepada hamba-hamba Allah yang shaleh. Aku bersaksi, bahwasanya tidak ada Tuhan selian Allah, dan aku bersaksi , sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah”.

            Disunatkan saat bacaan sampai “ syahadat “ memberi isyarat dengan telunjuk,sebagaimana dikemukakan dalam hadits Ibnu Umar di atas. Selanjutnya ketika telah usai bertasyahhud bangkit berdiri untuk rakaat yang ketiga dengan cara bertumpu dengan tangan pada lantai, seperti yang dikemukakan dalam hadits Malik bin Huwairits di atas. Ketika berdiri dari tasyahhud awwal disunatkan pula bertakbir dan bermula sejak mulai berdiri serta berlanjut sampai berdiri dengan sempurna. Kemudian shalat untuk menyelesaikan rakaat berikutnya dengan cara yang sama seperti rakaat kedua kecuali dalam membaca surah Al Fatihahadan surah yang lain saja, yakni bacaan surah Al Fatihah tidak dinyaringkan dan tidak disambung dengan membaca surah yang lain melainkan seusai membaca surah Al Fatihah langsung ruku’. Ketika rakaat terakhir bersama ruku’ dan sujudnya telah selesai dijalani, maka duduklah untuk tasyahhud akhir dan tasyahhud akhir ini hukumnya adalah fardu.

            Ibnu Mas’ud telah berkata :

            “ Bilamana kami shalat di belakang Rasulullah s.a.w. kami membaca : ( (                                      = Salam sejahtera semoga dilimpahkan kepada Jibril dan Mikail. Salam sejahtera semoga dilimpahkan kepada di Fulan dan si Fulan ) ). Maka Rasulullah s.a.w. pun melirik kepada kami, lalu beliau bersabda : Allah adalah As Salam. Maka jika seseorang di antara kalian shalat, ucapkanlah : ( (  


= Penghormatan itu adalah hanya bagi Allah,( begitu juga ) shalawat dan kebaikan. Salam sejahtera semoga dilimpahkan kepadamu, wahai Nabi, ( begitu juga) rahmat Allah dan berkah-Nya.Salam sejahtera semoga dilimpahkan kepada kita dan kepada hamba-hamba Allah yang shaleh ) ). Sesungguhnya kalian bila mengucapkannya, maka bacaan itu meliputi setiap hamba yang shaleh yang ada di langit dan bumi. ( Kemudian beliau membaca ) : ( (                                                                                               = Aku bersaksi , bahwasanya tidak ada Tuhan selain Allah, dan aku bersaksi, sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah ) ). Kemudian beliau memilih do’a yang menariknya lalu beliau pun membacanya “.

            Disunatkan pada waktu duduk yang terakhir ini duduk dengan cara “tawarruk”, yakni kaki kiri dilipat dan diletakkan di bawah kaki kanan ( tetapi tidak diduduki oleh pantat seperti pada duduk ketika tasyahhud awwal ) sampai telapaknya keluar berada di samping kaki kanan, lalu (       ?          ) diletakkan di atas tanah.

            Abu Ahmad telah meriwayatkan :

            “ Terbukti bahwa Rasulullah s.a.w. bilamana duduk pada dua rakaat yang pertama, beliau duduk di atas kaki kiri bagian bawah dan melipat luruskan kakinya yang kanan, dan bilamana duduk pada rakaat terakhir, maka beliau duduk di atas (  ?  ) sementara bagian dalam telapak kaki kirinya di bawah lutut kaki kanan dan kaki kanan bagian bawah diluruskan”.

            Bilamana telah usai membaca tasyahhud, lalu membaca shalawat kepada Nabi s.a.w. Hukum membaca shalawat pada waktu duduk yang terakhir sesudah tasyahhud adalah fardu, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah r.a. :

            “ Sesungguhnya Nabi s.a.w. telah bersabda : Allah tidak menerima shalat melainkan bersuci ( terlebih dahulu, yakni berwudhu ) dan membaca shalawat kepadaku”.


            Bacaan shalawat yang paling utama adalah :
            Artinya:
            “Ya Allah, semoga shalawat dilimpahkan kepada Muhammad, Nabi yang ummi, dan kepada keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah limpahkan shalawat kepada Ibrahim dan kepada keluarga Ibrahim. Dan berkatilah Muhammad, Nabi yang ummi, dan (berkatilah ) keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah memberkati Ibrahim dan keluarga Ibrahim.Sesungguhnya Engkau MahaTerpuji dan Maha Mulia”.

            Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud Al Anshari Al Badari r.a. :

            “ Rasulullah s.a.w. pernah mendatangi kami ketika kami sedang berada di majlis ( rumah Sa’ad bin ‘Ubadah, lalu Basyir bin Sa’ad bertanya kepada beliau : Allah ‘Azza wa Jalla telah memerintahkan kepada kami agar menyampaikan shalawat kepadamu, wahai Rasulullah ! Bagaimana (cara )kami menyampaikan shalawat kepadamu,bila kami menyampaikan shalawat kepadamu pada waktu kami sedang shalat ? Beliau menjawab :Bacalah oleh kalian : ( (



= Ya Allah,semoga shalawat dilimpahkan kepada Muhammad, Nabi yang ummi, dan kepada keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah limpahkan shalawat kepada Ibrahim dan kepada keluarga Ibrahim. Dan berkatilah Muhammad , Nabi yang ummi, dan (berkatilah ) keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah memberkati Ibrahim dan keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia”.

            Apabila shalat itu hanya satu rakaat, seperti shalat witir, atu dua rakaat , seperti shalat Shubuh, maka cara duduknya adalah dengan “duduk tawarruk” dan langsung membaca tasyahhud akhir serta membaca shalawat kepada Nabi.
            Dan pada akhirnya membaca salam sebagai fardu shalat yang penghabisan, sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah s.a.w. :

            “Kunci shalat adalah bersuci (wudhu) dan penghormatannya adalah takbir serta penghalalannya (penutupnya) adalah salam”.

            Disunatkan dalam membaca salam ini di lakukan dua kali, pertama membacanya (ini hukumnya fardu) sambil menengok kesebelah kanan dan kedua kesebelah kiri. Bacaan salam berbunyi ( (                                                 =Semoga keselamatan dan rahmat Allah dilimpahkan kepada kamu sekalian ) ).

            Abdullah bin Mas’ud r.a. meriwayatkan :

            “Bahwasanya Nabi s.a.w. membaca salam sambil menengok ke kanan : ( (
                        ) ) dan sambil menengok ke kiri : ( (                                             ) ). Sehingga putih pada pipinya tampak, dari sini dan dari sini”.

            Seorang imam hendaklah pada waktu membaca salam yang pertama niat mengakhiri shalat dan membacanya untuk jammah yang ada disebelah kanan serta untuk para malaikat, lalu pada waktu membaca salam yang kedua niat membacanya untuk jamaah yang ada di sebelah kiri dan untuk para malaikat. Sedang bila seseorang shalat munfarid, hendaklah pada waktu ia  membaca salam yang pertama niat mengakhiri shalat dan membacanya untuk para malaikat, lalu pada waktu membaca salam yang kedua niat membacanya untuk para malaikat. Dengan diakhiri oleh salam , maka berarti seutuhnya shalat telah dikerjakan, baik yang bersifat fardu maupun yang bersifat sunat.
            Disunatkan bagi orang yang telah menyelesaikan shalat menyambungnya dengan dzikir, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Az Zubair r.a. di mana dia setiap usai shalat selalu bertahlil dengan mengucap :
           
            Artinya :
            “tidak ada Tuhan selain Allah. Maha Esa Dia, tidak ada sekutu bagi-Nya. Kepunyaanyalah kerajaan (langit dan bumi) dan kepunyaannyalah segala puji. Dan Dia atas segala sesuatu Maha Kuasa. Tidak ada daya dan kekuatan melainkan berkat pertolongan Allah. Kami tidak menyembah melainkan hanya kepada-Nya. Bagi-Nya (segala) nikmat dan bagi-Nya (semua ) keutamaan serta bagi-Nya (semua ) sanjungan yang baik. Tidak ada Tuhan kecuali hanya Allah dengan memurnikan agama hanya untuk-Nya, meskipun orang-orang kafir tidak menyukai. { Kemudian dia berkata : Bahwasanya Nabi s.a.w. bertahlil dengan ini (bacaandi ataas)dalam setiap usai shalat)}”

            Disunatkan menyaringkan bacaan tersebut, baik dalam shalat sirriyah maupun shalat jahriyah, berdasarkan riwayat dari Ibnu Abbas ra. Bahwasanya dia berkata:

            “Sesungguhnya meninggikan suara ketika membaca dzikir saat orang-orang usai shalat fardlu adalah kebiasaan yang dilakukan pada masa Rasulullah saw.  dan dia berkata : (Aku tahu bila mereka berlalu karenanya, jika aku mendengarnya)”   

            Disunatkan pada waktu shalat Shubuh qunut pada rakaat kedua sesudah ruku’ dan sebelum sujud.

            Anas ra. Meriwayatkan:

            “Sesungguhnya Nabi saw. qunut selama satu bulan. Mengutuk mereka kemudian meninggalkannya.  Akan tetapi dalam shalat Shubuh beliau terus qunut sampai beliau wafat”.

            Diriwayatkan, bahwasanya Anas pernah ditanya:  Apakah Rasulullah saw. qunut ketika shalat Shubuh?  Dia menjawab: Ya.  Ditanyakan (lagi):  Sebelum atau sesudah ruku’?  Dia menjawab: Sesudah ruku’.
            Disunatkan qunut dengan bacaan seperti yang diajarkan oleh Rasulullah saw. kepada Al Hasan bin Ali.
            Diriwayatkan dari Al Hasan bin Ali ra. :

            “Rasulullah saw. telah mengajarkan kepadaku beberapa kalimat yang aku baca dalam shalat witir.  Beliau bersabda:  Katakanlah: ((

Ya Allah, tunjukilah aku seperti orang yang telah Engkau beri petunjuk, sehatkanlah aku seperti orang yang telah Engkau sehatkan, lindungilah aku seperti orang yang telah Engkau lindungi, berkatilah aku pada apa yang telah Engkau berikan (kepadaku), dan peliharalah aku dari buruknya apa yang telah engkau gariskan.  Sesungguhnya Engkau adalah Yang memiliki keputusan dan tidak ada yang kuasa memberi keputusan (siapa pu juga).  Bahwasanya orang yang berlindung kepada-Mu tidak hina.  Maha Berkah Engkau dan Maha Tinggi Engkau))”.

            Baik juga qunut dengan bacaan seperti yang diriwayatkan dari Umar bin Khaththab ra., yaitu sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Rafi’:  Bahwasanya Umar bin Khaththab ra. Qunut sesudah ruku’ dalam shalat Shubuh lalu aku mendengarnya dia membaca:

 

            “Ya Allah, sesungguhnya kami memohon pertolongan kepada-Mu, kami memohon ampunan kepada-Mu, kami tidak kufur kepada-Mu, kami beriman kepda-Mu, dan kami berlepas diri serta meninggalkan orang yang durhaka kepada-Mu.  Ya Allah, hanya kepada-Mu kami berbakti, karena-Mu kami shaat dan sujud, kepada-Mulah kami beranjak dan bergegas seraya memohon rahmat-Mu, dan kami takut atas adzab-Mu.  Sesungguhnya adzab-Mu yang benar-benar dijanjikan kepada orang-orang kafir pasti terjadi.  Ya Allah, adzablah orang-orang kafir, Ahli Kitab, yang senantiasa merintangi jalan-Mu, mereka yang mendustakan para Rasul-Mu dan yang membunuh para auliya-Mu.  Ya Allah, ampunilah (dosa-dosa) kaum mukminin-mukminat dan kaum muslimin-muslimat, damaikanlah diantara mereka yang sedang berselisih, jinakkanlah diantara hati mereka, jadikanlah hati mereka penuh dengan iman dan sikap bijaksana, teguhkanlah mereka dalam memegang agama yang disampaikan Rasul-Mu, tanamkanlah kepada mereka suku menepati janji-Mu yang telah Engkau ikat mereka itu dengannya, dan tolonglah mereka atas musuh-Mu dan musuh mereka.  Ya Allah, Tuhan yang sesungguhnya, jadikanlah kami di antara mereka !”.

            Yang dikategorikan fardlu dalam tata cara shalat seperti yang telah dikemukakan di atas ada tiga belas, yaitu: Niat, takbiratul ihram, berdiri, membaca surat Al Fatihah, ruku’ dengan thuma’ninah, berdiri dari ruku’ (‘itidal) degan thuma’ninah, sujud dengan thuma’ninah, duduk di antara sujud dengan thuma’ninah, duduk pada akhir shalat, membaca tashahhud dalam duduk tersebut, membaca shalawat kepada Rasulullah, membaca salam yang pertama, dan tertib.  Adapun di luar itu, maka semuanya sunat.

4.  Bilangan Rakaat Shalat

            Jumlah bilangan rakaat shalat fardlu seluruhnya ada tujuh belas rakaat, yaitu: Empat rakaat shalat Zhuhur, empat rakaat shalat Ashar, tiga rakaat shalat Maghrib, empat rakaat shalat Isya, dan dua rakaat shalat Shubuh.

            Diriwayatkan dari Aisyah, Ummul Mukminin ra., bahwasanya ia berkata:

            “Allah telah mewajibkan shalat dua rakaat, baik ketika sedang berada di tempat maupun ketika sedang bepergian, lalu shalat pada waktu sedang bepergian dikukuhkan (seperti semula) dan (bilangan rakaat) pada waktu sedang berada di tempat ditambah”.
           
Diriwayatkan dari Az Zuhri dari ‘Urwah dari Aisyah, bahwasanya ia berkata:

“(Sebelum hijrah) shalat difardlukan (hanya) dua rakaat, kemudian Nabi saw. hijrah (ke Madinah) maka shalat difardlukan menjadi empat (rakaat)”.

Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan Al Baihaqi meriwayatkan dari Aisyah, bahwasanya ia berkata:

“(Sebelum hijrah) shalat difardlukan (hanya) dua rakaat.  Ketika Nabi saw. tiba di Madinah dan beliau menetap (di sana) shalat pada waktu sedang berada di tempat ditambah dua rakaat-dua rakaat, namun shalat Fajar (Shubuh) dibiarkan (tetap dua rakaat) mengingat bacaannya panjang dan shalat Maghrib  (hanya tiga) karena Maghrib merupakan persimpangan siang”.
           
            Jumlah bilangan rakaat shalat fardu sebanyak itu diperkuat lagi oleh ijma konsensus para sahabat yang dapat kita telusuri secara mutawatir. Sedangkan jumlah bilangan rakaat shalat jum’at hanya dua saja, sebagaimana dikemukakan oleh Umar r.a. :

            “Dan (rakaat) shalat jum’at itu (hanya) dua rakaat (saja) “.

            Adapun jumlah bilangan rakaat shalat sunat rawatib yang berkaitan dengan shalat fardu, maka menurut pendapat yang paling kuat sedikitnya ada sepuluh rakaat, yaitu : dua rakaat sebelum Zhuhur dan dua rakaat sesudahnya, dua rakaat sesudah Maghrib, dua rakaat sesudah Isya, dan dua rakaat sebelum Shubuh.

            Ibnu Umar r.a. telah meriwatkan :

            “Aku shalat bersama Rasulullah s.a.w. sebelum Zhuhur dua kali sujud (dua rakaat), dua kali sujud sesudahnya , dan dua kali sujud sesudah Maghrib, serta dua kali sujud sesudah Isya”.

            Diriwayatkan dari Hafshah binti Umar r.a. :

            “Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. shalat dengan dua kali sujud (dua rakaat ) yang ringan (tidak lama ) bilamana fajar terbit”.

            Sedang utamanya shalat sunat rawatib ini sebanyak delapan belasrakaat di luar shalat witir, yaitu : Dua rakaat sebelum shalat Fajar, dua rakaat sesudah Maghrib, dan dua rakaat sesudah Isya, sebagaimana telah dikemukakan dalam dua hadits di atas, kemudian empat rakaat sebelum Zhuhur dan empat rakaat lagi sesudahnya.

            Ummu Habibah r.a. telah meriwayatkan :

            “Sesungguhnya Nabi s.a.w. bersabda : Barangsiapa memelihara empat rakaat sebelum Zhuhur dan empat rakaat sesudahnya, maka ia diharamkan masuk ke dalam api neraka”.

            Selanjutnya empat rakaat selebum Ashar, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ali r.a. :

            “Sesungguhnya Nabi s.a.w. mengerjakan shalat sebelum Ashar sebanyak empat rakaat dan beliau memisahkannya setiap dua rakaat dengan membaca salam kepada para malaikat dan kaum mukminin yang ada bersama mereka”.

            Disunatkan dalam shalat sunat empat rakaat sebelum Ashar, sebelum dan sesudah Zhuhur dipisah dengan membaca salam pada setiap dua rakaat, sebagaimana dikemukakan dalam hadits Ali r.a. dan hadits tentang shalat malam serta shalat siang hari yang dilaksanakan dengan dua rakaat -dua rakaat.
            Tentang hukum shalat witir, maka sesungguhnya shalat tersebut adalah sunat, sebagaimana dikemukakan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Ayyub Al Anshari r.a. :

            “Sesungguhnya Nabi s.a.w. telah bersabda : Witir itu  adalah hak, bukan wajib. Maka barangsiapa menghendaki untuk berwitir lima (rakaat) dipersilakan. Barangsiapa menghendaki untuk berwitir sebanyak tiga (rakaat) dipersilakan.Dan barangsiapa menghendaki untuk berwitir hanya dengan satu(rakaat) pun dipersilakan”.

            Minimal bilangan rakaat shalat witir adalah satu rakaat dan maksimal sebelas rakaat, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah r.a:

            “Sesungguhnya Nabi s.a.w. mengerjakan shalat malam sebelas rakaat dan beliau mengganjilkannya dengan satu rakaat”.

            Disunatkan bagi orang yang mengerjakan shalat witir lebih dari satu rakaat membaca salam setiap dua rakaat, yakni mengerjakannya dua rakaat-dua rakaat.
           
            Ibnu Umar r.a. telah meriwayatkan :

            “Sesungguhnya Nabi s.a.w. memisahkan antara genap dengan witir (ganjil )”.

            Aisyah r.a. juga dalam hadits lain meriwayatkan lagi :

            “Bahwasanya Rasulullah s.a.w. shalat antara sesudah beliau selesai mengerjakan shalat Isya sampai fajar sebanyak sebelas rakaat. Beliau membaca salam antara setiap dua rakaat dan beliau mengganjilkannya dengan satu (rakaat )”.

            Disunatkan mengerjakan shalat sunat witir pada separuh kedua dari bulan suci Ramadhan, sebagaimana telah diriwayatkan dari Umar r.a. , bahwasanya ia telah berkata :

            “Disunatkan bila telah sampai pada pertengahan bulan suci Ramadhan mengutuk orang-orang kafir dalam witir sesudah membaca ( (                                                     ) ) dengan bacaan : ( (                                                    = Ya Allah, bunuhlah orang-orang kafir) )”.


            Begitu juga disunatkan mengerjakan shalat malam Ramadhan sebanyak dua puluh rakaat dengan sepuluh kali membaca salam, sebagaimana telah diriwayatkan  :

            “Sesungguhnya Nabi s.a.w. telah shalat bersama orang-orang sebanyak dua puluh rakaat selama dua malam. Kemudian pada malam ketiganya orang-orang pun berkumpul, namun beliau tidak keluar untuk mengimami mereka. Baru pada keesokan harinya beliau bersabda : Aku khawatir shalat tersebut difardukan atas kalian , sehingga kalian tidak kuasa melaksanakannya”.

            Shalat sunat Dhuha bilangan rakaatnya minimal dua rakaat dan maksimal delapan rakaat, sebagaimana telah diriwayatkan oleh Abu Dzar r.a. :

            “Bahwasanya Rasulullah s.a.w. telah bersabda : Benarlah bahwa pada setiap ‘salami’* dari seseorang di antara kalian merupakan sedekah dan ia mendapat pahala karenanya sama dengan dua rakaat shalat Dhuha yang dikerjakannya”.

Diriwayatkan pula oleh Ummu Hani binti Abu Thalib r.a. :

            “Sesungguhnya Nabi s.aw. telah mengerjakan shalat Dhuha delapan rakaat”.

            Disunatkan shalat “Tahiyyatul masjid” dua rakaat, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Qatadah r.a. :

            “Sesungguhnya Nabi s.aw. telah bersabda : Bilamana salah seorang di antara kalian masuk ke masjid, maka shalatlah dua kali sujud (dua rakaat) sebelum ia duduk”.

            Disunatkan shalat sunat dua rakaat sesudah wudhu, sebagaimana diriwayatkan dari Utsman r.a. :

            “Aku telah melihat Rasulullah s.a.w berwudhu, kemudian beliau bersabda : Barangsiapa berwudhu seperti wudhuku ini, kemudian dia shalat dua rakaat sedang ia tidak berbicara pada dirinya dalam keduanya, maka ia diampuni dosanya yang telah lalu”.

            Disunatkan bagi orang yang baru tiba dari bepergian shalat dua rakaat di masjid yang mula pertama ia dapatkan.

            Diriwayatkan oleh Ka’ab bin Malik r.a. :
           
            “Bahwasanya Rasulullah s.a.w. bilamana datang dari suatu perjalanan, maka beliau mengawali ruku’dua rakaat di masjid”.

            Selanjutnya disunatkan shalat tahajjud di malam hari dan shalat sunat yang dikerjakan di siang hari tanpa batasan jumlah rakaatnya, namun dikerjakan dua rakaat-dua rakaat, yakni pada setiap dua rakaat diakhiri terlebih dahulu dengan salam, berdasarkan hadits yang diriwayatakan oleh Ibnu Umar r.a. :

            “Sesungguhnya Nabi s.aw. bersabda: Shalat malam itu dua-dua, lalu jika engkau khawatir (shalat) Shubuh (terlambat)hendaklah (diakhiri) dengan witir satu (rakaat) “.

            Seluruh shalat sunat di atas tidak sunat dikerjakan dengan berjamaah .
            Tetapi di samping itu ada beberapa shalat sunat yang sunat dilaksanakan dengan berjamaah , yaitu :
            Dua rakaat shalat sunat ‘Idul Fitri dan dua rakaat shalat sunat ‘Idul Adh-ha,sebagaimana dikemukakan oleh Umar r.a. :

            “Shalat ‘Idul adh-ha dua rakaat, shalat ‘Idul Fitri itu dua rakaat, shalat safar itu dua rakaat, dan shalat Jum’at itu genap dua rakaat, tanpa diqashar berdasarkan sabda Nabi kalian s.a.w.  Dan sungguh merugi orang yang mengada-ada”.

            Dua rakaat shalat kusuf dan dua rakaat shalat khusuf dengan cara pada tiap-tiap rakaat dua kali berdiri, dua kali membaca surah Al Fatihah, dua kali ruku’,dan dua kali sujud, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abas r.a.  :
           
            “(Suatu ketika terjadi) gerhana matahari, sehingga Rasulullah s.a.w. shalat dan orang-orang pun (ikut)bersamanya, lalu beliau berdiri lama seukuran(membaca ) surah Al Baqarah. Kemudian beliau ruku’ dengan ruku’ yang lama, kemudian beliau berdiri ( lagi ) dengan lama dan berdirinya ini bukan merupakan berdiri yang pertama, kemudian ruku’(lagi) dengan ruku’ yang lama dan ruku’nya ini bukan merupakan ruku’yang pertama, kemudian beliau sujud, kemudian berdiri dengan lama dan berdiri ( kali ini juga ) bukan merupakan berdiri yang pertama, kemudian beliau ruku ‘dengan ruku’yang lama dan ruku’( kali ini juga ) bukan merupakan ruku’ yang pertama, kemudian beliau bangkit( dari ruku’ ) , lalu berdiri lama dan berdiri ( yang ini pun ) bukan sebagai berdiri yang pertama, kemudian beliau ruku’dengan ruku’ yang lama dan ruku’ ( yang ini pun ) bukan ruku’ yang pertama, kemudian sujud. Kemudian ( sesudah itu ) beliau berlalu dan matahari pun telah tampak ( kembali ) , maka beliau pun bersabda : Sesungguhnya matahari dan bulan adalah merupakan dua dari beberapa tanda (kekuasaan) Allah . Keduanya tidaklah tertutup karena kematian seseorang dan bukan (pula) karena hidupnya. Maka jika kalian melihat hal itu , hendaklah kalian berdzikir mengingat Allah”.

            Berikutnya shalat sunat istisqa ( minta turun hujan ) ketika terjadi kemarau panjang. Tata caranya sama dengan shalat sunat ‘Idul Adh-ha atau ‘Idul Fitri, yakni sesudah takbiratul ihram membaca do’a iftitah, kemudian takbir tujuh kali dan pada rakaat kedua sebanyak lima kali setelah berdiri tegak dari sujud pada rakaat pertama.

            Abu Hurairah r.a. telah meriwayatkan :

            “Nabi s.a.w. pernah pada suatu hari keluar untuk memohon agar turun hujan. Maka beliau shalat dua rakaat sambil mengimami kami dengan tidak diawali oleh adzan dan iqamah.Kemudian beliau berkhotbah di hadapan kami dan berdo’a kepada Allah ‘Azza Wa Jalla. Dan beliau menghadapkan mukanya ke arah kiblat sambil mengangkat kedua tangannya. Kemudian beliau membalikkan selendangnya ( sorban ) , sehingga yang (semula) terletak di sebelah kanan berpindah ke sebelah kiri dan yang terletak di sebelah kiri berpindah ke sebelah kanan”.

            Diriwayatkan lagi dari Ibnu Abbas r.a. :

            “Rasulullah s.a.w. pernah keluar sambil berpakaian kusut, dengan khusyu’, dengan merendahkan diri (kepada Allah ) , lalu beliau shalat dua rakaat sama seperti shalat ‘Id. Kemudian beliau khutbah dengan khutbah kalian yang ini”.

5.  Yang Membatalkan Shalat :   

            Dalam shalat ada beberapa syarat sah yang harus selamanya ditepati sampai shalat itu selesai, sehingga bilamana salah satu syarat-syarat tersebut tidak ditepati- umpamanya seperti: suci , menutup aurat, dan sebagainya- maka shalat tersebut batal. Bilamana seseorang yang sedang shalat tertimpa hadats, maka shalatnya itu batal, baik hadats tersebut terjadi dengan sengaja, karena lupa atau atas kehendak sendiri, maupun karena dipaksa. Sebab dalam kasus seperti ini tidak ada perbedaan antara tidak menepati syarat sah shalat atas dasar kehendak peribadi dengan alasan dipaksa, karena berdasarkan kenyataan yang bersangkutan ternyata mengerjakan shalat tanpa wudhu( tidak suci umpamanya ) . Sedang shalat bila tanpa wudhu adalah rusak (tidak sah).

            Sabda Rasulullah s.a.w. :

            “Ulangi shalatmu, karena kamu dianggap belum shalat”.
           
            Begitu juga bila tertinggalnya  karena lupa dan baru teringat setelah shalat itu diakhiri dengan salam, maka shalat tersebut pun tidak sah. Maka shalat itu harus diulangi karena dianggap tidak memenuhi seluruh fardu shalat. Adapun bila tertinggalnya karena lupa dan kemudian teringat sebelum diakhiri dengan salam, maka yang bersangkutan harus kembali mengerjakan rakaat yang tertinggal salah satu fardunya secara utuh dan sebelum salam dia mengerjakan sujud sahwi. Sebab dalam kasus seperti ini dianggap sama dengan orang yang meninggalkan satu rakaat karena lupa, sehingga oleh karenanya dia harus mengerjakan rakaat yang tertinggal dan mengerjakan sujud sahwi.

            Abdurrahman bin Auf r.a.  meriwayatkan :

            “Aku telah mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda : Bila seseorang di antara kalian lupa dalam shalatnya, sehingga dia tidak tahu, apakah dia baru mengerjakan satu rakaat atau sudah dua rakaat? Maka dia harus menetapkannya baru satu rakaat. Kemudian bila dia tidak tahu, apakah dia baru mengerjakan tiga rakaat atau sudah empat rakaat? Maka dia harus menetapkannya baru tiga rakaat dan dia pun harus sujud dua kali sebelum membaca salam”.

            Bilamana seseorang berbicara saat mengerjakan shalat , atau tertawa, atau tersedu-sedu menangis, atau membalas dengan ucapan : (                     ) kepada orang yang berbangkis, sedang dia mengetahui dan sadar bahwa dirinya sedang shalat  serta bahwa hal itu tidak boleh dilakukan, maka batallah shalatnya.

            Zaid bin Arqam telah meriwayatkan :

            “Kami (pada mulanya ) saat sedang shalat diperbolehkan bercakap-cakap, sehingga seseorang di antara kami suka ada yang bercakap-cakap kepada temannya yang berada di sampingnya saat dia sedang shalat, sampai akhirnya turun ayat: (                                        = Dan berdirilah kalian (shalat) karena Allah dengan khusyu’). Maka sesudah itu kami disuruh agar diam dan kami dilarang bercakap-cakap “.
           
            Dalam hadits Muawiyah bin Al Hakam juga dikemukakan :

            “Sesungguhnya dalam shalat ini sedikit pun tidak dibenarkan untuk mengangkat percakapan manusia”.

            Sedangkan apabila hal di atas dilakukan saat sedang shalat dikarenakan lupa, maka shalat tersebut tidak batal, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a. :

            “( Suatu ketika ) Rasulullah s.a.w shalat Zhuhur dan Ashar dengan mengimami kami , kemudian beliau membaca salam. Maka Dzul Yadaini bertanya kepadanya :Apakah shalat (ini) telah diqashar atau engkau ini lupa, ya Rasulullah ? Maka Rasulullah s.a.w. menjawabnya : Shalat tersebut tidak diqashar dan aku juga tidak lupa. Lalu dia berkata : Akan tetapi engkau telah lupa, ya Rasulullah ? Nabi s.a.w. bersabda : Apa yang dia katakan benar ? (para sahabat) menjawab : Ya !    Maka beliau pun shalat (lagi untuk ) dua rakaat yang terakhir, kemudian beliau sujud(sahwi) dua kali”.

            Bilamana hal tersebut dilakukan karena tidak tahu bahwa itu tidak boleh dikerjakan dan tidak boleh berkelanjutan, maka shalat tersebut tidak batal, sebagaimana diriwayatkan oleh Muawiyah bin Al Hakam:

            “Ketika kami sedang berada bersama Rasulullah s.a.w. tiba-tiba seorang laki-laki dari suatu kaum berbangkis, lalu aku menyahutnya dengan membaca : (                                  = Semoga Allah mengasihani kamu) , sehingga kaum itu mengerlingkan matanya kepadaku. Maka aku pun berkomentar : Demi ibuku sebagai tanggunganku ! Mengapa kalian memandang aku seperti itu ? Kemudian kaum itu menepak paha mereka dengan tangannya. Kemudian sesudah Rasulullah s.a.w. usai(shalat) , beliau pun memanggilku : Demi ayah dan ibuku, itu seperti apa yang kulihat sebagai isyarat dan merupakan sebaik-baik pelajaran daripadanya. Demi Allah hal itu tidak menyakiti dan tidak (pula) membuatku benci. Kemudian beliau juga bersabda: Sesungguhnya shalat kita ini tidak dibenarkan, saat sedang dikerjakannya, sedikitpun dicampuri dengan perkataan manusia. Sesungguhnya shalat itu hanya merupakan tasbih, takbir, dan membaca Al Qur’an”.

            Suatu ketidak-tahuan baru dimaafkan dengan catatan bahwa hal tersebut sangat wajar untuk tidak atau belum diketahui. Sedangkan bila tidak demikian , maka ketidak-tahuan tersebut tidak bisa dimaafkan. 

6.  Hal-hal yang Makruh dalam Shalat
           
            Dimakruhkan dalam shalat menoleh ke kanan dan ke kiri, berdasarkan hadits Aisyah r.a. di mana ia pernah berkata:

“Aku telah bertanya kepada Rasulullah saw. tentang menoleh saat sedang sedang shalat. Maka beliau menjawab: Itu merupakan suatu tindakan pencurian yang dilakukan syaitan dari shalat seorang hamba”.

            Namun demikian menoleh ini tidak membatalkan shaat sebagaimana diriwayatkan dari Jabir r.a.:

“Rasulullah saw. suatu (ketika) sakit sehingga kami shalat di belakang, dan beliau (shalat) sambil duduk dan beliau menoleh kepada kami, sehingga beliau melihat kami berdiri maka beliau pun memberi isyarat kepada kami”.

            Dimakruhkan saat shalat mengarahkan pandangan ke atas, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Anas r.a.:

            “Sesungguhnya nabi saw. telah bersabda: Ada apa gerangan kaum yang mengarahkan penglihatan mereka ke atas saat mereka sedang shalat. Kemudian beliau pun begitu keras menyatakan hal itu sehingga beliau bersabda: Sungguh, seharusnya mereka menahan diri dari perbuatan itu atau sungguh-sungguh penglihatan mereka dilenyapkan”.

            Dimakruhkan saat shalat melihat kepada yang ada disekitarnya (di sampingnya), berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah r.a.:

            “Bahwasanya Nabi saw. pernah shalat dengan menggunakan baju woll bergambar, maka tatkala beliau usai bersabda: Gambar-gambar ini telah membuat aku tidak khusu’, maka bawalah pergi oleh kalian baju ini kepada Abu Jahm dan berikanlah kepadaku baju woll yang tidak bergambar* .”

            Dimakruhkan juga saat shalat meletakkan tangan di bawah tulang rusuk berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a.:

            “Sesungguhnya Nabi saw. telah melarang seorang laki-laki shalat dengan meletakkan tangan di bawah tulang rusuk.”

Dimakruhkan saat shalat menguap, berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a.:

            “Sesungguhnya Nabi saw. telah bersabda: Menguap itu adalah dari syaitan. Maka jika seseorang di antara kalian menguap hendaklah dia menahannya sedapat mungkin”.

7.  Waktu yang Makruh untuk Shalat

            Dimakruhkan shalat dalam waktu yang lima, yaitu: Dua waktu karena berdasarkan pelaksanaannya dan tiga waktu karena berdasarkan waktunya. Dua waktu pertama, yaitu shalat sesudah shalat shubuh sampai matahari terbit dan shalat sesudah shalat ashar sampai matahari terbenam, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas r.a.:

            “Orang-orang yang diridhai telah bersaksi di hadapanku dan Umar r.a. pun menyatakan ridha kepada mereka, sesungguhnya Rasulullah saw. telah melarang shalat sesudah shubuh sampai matahari terbit dan (beliau juga telah melarang shalat) sesudah ashar sampai matahari terbenam.”

            Adapun tiga waktu yang dilarang untuk mengerjakan shalat karena berdasarkan waktunya, yaitu shaalat ketika matahari terbit sampai meninggi, ketika matahari pas berada di garis katulistiwa sampai tergelincir, dan ketika langit kekuning-kuningan sampai matahari terbenam.
            Diriwayatkan oleh ‘Uqbah bin ‘Amir r.a.:

            “Tiga waktu Rasulullah saw. telah melarang kita untuk mengerjakan shalat pada waktu itu atau untuk mengubug orang yang wafat di antara kita; ketika matahari tampak terbit sampai meninggi’ ketika pas tengah hari, dan ketika matahari menjelang terbenam.”

            Akan tetapi dikecualikan dari ketentuan di atas bagi shalat qadha, baik qadha shalat fardhu maupun qadha shalat sunat, yakini untuk shalat qadha tidak dimakruhkan berdasarkan beberapa nash yang membolehkannya, antara lain:
            Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah r.a.:

            “Sesungguhnya Umar pada waktu Perang Khandaq datang setelah matahari terbenam dikarenakan dia terlena memaki kaum kuffar Quraisy. Maka dia berkata: Ya Rasulallah, hampir saja aku tidak shalat ashar sampai matahari pun hampir tenggelam. Kemudian Nabi saw. bersabda: Demi Allah, aku pun belum mengerjakannya. Oleh karena itu, maka beliau mengambil wudhu dan begitu pula kami pun berwudhu. Lalu beliau shalat ashar setelah matahari terbenam, kemudian sesudah itu dia shalat maghrib”.

            Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi saw.:

            “Barang siapa lupa mengerjakan shalat, maka hendaklah is shalat pada waktu mengingatnya.”

            Diriwayatkan dari Ummu Salamah r.a.:

            “Sesungguhnya Nabi saw. pernah shalat dua rakaat sesudah ashar, lalu setelah usai beliau bersabda: Wahai puteri Abu Umayah, engkau telah bertanya tentang dua rakaat sesudah ashar. Sesungguhnya orang-orang dari kaum Abdul Qais telah datang kepdaku menanyakan tentang Islam sebagai pesan yang dibawa dari mereka, sehingga mereka itu telah membuat aku sibuk sampai tidak mengerjakan shalat sunat dua rakaat sesudah dzuhur, maka inilah kedua rakaat sesudah ashar ini (sebagai qadhanya).”

            Adapun shalat sunat tahiyatul masjid tetap dimakruhkan mengerjakannya pada waktu-waktu di atas, sama halnya dengan shalat-shalat sunat yang lain karena hadits rasulullah saw. yang berbunyi:

            “Apabila salah seorang di antara kalian masuk ke masjid, maka hendaklah dia jangan duduk sampai ia ruku’ dua rakaat (terlebih dulu).”

Hadits ini bersifat umum untuk seluruh waktu keadaan serta bagi setiap masjid. Sedangkan hadits yang diriwayatkan oleh Uqbah: “Tiga waktu Rasulullah saw. telah melarang kita untuk mengerjakan shalat pada waktu itu…” maka sesungguhnya hadits tersebut bersifat khusus untuk waktu-waktu tertentu.
Begitu juga hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas r.a.

“Sesungguhnya nabi telah melarang shalat sesudah ashar sampai matahari terbenam.”


Hadits ini bersifat khusus dalam keadaan tertentu, yakni sesudah shalat ashar bukan sebelumnya. Bilamana terjadi pertentangan antara yang bersifat khusus dengan yang bersifat umum, maka yang bersifat umum mengikuti yang bersifat khusus. Yaitu jika didapati nash yang bersifat khusus umum dan bersifat khusus berarti nash yang bersifat khusus berfungsi untuk membatasi keumuman nash yang bersifat umum. Tegasnya berfungsi untuk mengecualikan dari nash yang bersifat umum. Dengan demikian, maka anjuran untuk mengerjakan shalat tahiyyatul masjid di sembarang waktu dibatasi agar dikerjakan diluar waktu yang lima yang telah ditetapkan sebagai waktu yang terlarang untuk mengerjakan shalat. Sehingga oleh karenanya shalat tahiyyatul masjid pada waktu yang lima hukumnya makruh sama dengan shalat sunat yang lain. Sebab bentuk larangan dalam hadits tersebut dialamatkan pada seluruh shalat termasuk pada shalat tahiyyatul masjid. Lebih jelasnya lagi ternyata tidak didapatkan nash yang membolehkan shalat (sunat tahiyyatul masjid) pada waktu tersebut, lain halnya dengan shalat fardu dan qadha shalat sunat rawatib yang ternyata ditemukan hadits (nash) yang membolehkannya. Maka dengan demikian , dikukuhkanlah : Sesungguhnya shalat sunat tahiyyatul masjid hukumnya makruh bila dikerjakan pada waktu yang tidak diperbolehkan, yakni pada waktu yang lima tersebut. Begitu juga, ternyata bentuk larangan yang dikemukakan dalam hadits lain yang membicarakan tentang dua waktu yang bersifat umum untuk seluruh shalat, termasuk di dalamnya shalat sunat tahiyyatul masjid, shalat nawafil, dan yang lainnya. Adanya pengecualian yang membolehkan shalat tertentu dalam waktu-waktu tersebut dan dalam keadaan-keadaan di atas menghendaki adanya nash yang membolehkan untuk mengerjakannya. Dan ternyata tidak didapatkan nash yang membolehkan shalat pada ketiga waktu dan dua keadaan tersebut, melainkan hanya untuk fardu dan qadha shalat sunat rawatib saja. Maka dengan demikian, hanya dua jenis shalat itu sajalah yang dikecualikan sehingga tidak makruh bila dikerjakan pada kelima waktu tersebut. Sedangkan selain dari keduanya makruh bila dikerjakan pada kelima waktu di atas, termasuk shalat sunat tahiyyatul masjid.

8.  Shalat Berjamaah :

            Shalat berjamaah hukumnya adalah fardu kifayah yang wajib dinyatakan kepada khalayak ramai. Bilamana mereka menghadang untuk dinyatakannya, maka mereka harus dibunuh. Dalil yang menyatakan bahwa shalat berjamaah hukumnya fardu kifayah adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Darda’ r.a.:

            “Sesunggunya Nabi s.a.w. telah bersabda : Tidaklah dari tiga orang di suatu kampung atau di suatu dusun bilamana shalat tidak di dirikan dengan berjamaah olehnya , melainkan mereka (penduduk kampung itu) telah menjadikan syeitan sebagai pemimpinnya. Kamu hendaklah berjamaah ( bersatu ) , karena sesungguhnya srigala hanya berani menerkam kambing yang memisahkan diri “.

            Adapun yang menjadi landasan bahwa hukum shalat berjamah adalah fardu kifayah bukan fardu ‘ain, karena sebahagian kaum muslimin terkadang suka terlambat shalat berjamaah dengan Rasulullah s.a.w. , tetapi mereka tetap dibiarkan begitu oleh Rasulullah s.a.w.,sekalipun mereka telah diancam dengan di bakar. Bilamana shalat berjamaah hukumnya fardu’ain atas setiap muslim, niscaya beliau tidak akan membiarkan mereka terlambat. Shalat berjamaah lebih utama daripada shalat manfarid (menyendiri ).

            Dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dari Nabi s.a.w. dikemukakan, bahwasanya beliau telah bersabda :

            “ Shalat berjamaah lebih utama daripada shalat menyendiri dengan dua puluh tujuh derajat “.

            Dan shalat dimasjid lebih utama daripada shalat di rumah, sebagaimana diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. , bahwasanya dia berkata : Rasulullah s.a.w. telah bersabda :

            “ Barangsiapa bersuci (wudhu) di rumahnya, kemudian berjalan menuju salah satu dari rumah-rumah Allah untuk menunaikan salah satu dari beberapa yang telah difardukan oleh Allah (shalat fardu), maka langkah-langkahnya itu, salah satunya merupakan penghapus dosa yang lainnya merupakan langkah-langkah yang akan meninggikan derajatnya “.

            Batas minimal shalat berjamaah adalah dua orang, satu imam dan satu makmum, berdasarkan hadits Malik bin Al Huwairits yang mengatakan :

            “ Aku bersama sahabatku datang kepada Nabi s.a.w ,. Maka ketika kami hendak pamit daripadanya, beliau pun bersabda kepada kami : Bilamana waktu shalat tiba, maka  adzanlah dan qamatlah serta jadikan imam orang yang paling tua di antara kamu berdua”.

            Selanjutnya shalat berjamaah di masjid lebih utama daripada shalat berjamaah dirumah, sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud r.a. yang mengatakan :

            “ Barangsiapa yang ingin dibahagiakan dengan dapat menemui Allah besok dalam keadaan muslim, maka peliharalah shalat-shalat itu ketika datang panggilannya. Sebab sesungguhnya Allah Ta’ala telah mensyari’atkan bagi Nabi s.a.w. sunah-sunah yang bermakna sebagai petunjuk dan sesungguhnya shalat-shalat itu merupakan sebahagian dari sunah-sunah yang bermakna sebagai petunjuk tersebut. Dan sekiranya kalian shalatdi rumah-rumah kalian seperti orang yang menyalahi ini yang mengerjakan shalat di rumahnya,sungguh kalian ini berarti telah meninggalkan sunah Nabi kalian s.a.w.  Dan sekiranya kalian berani meninggalkan sunah Nabi kalian , maka itu berarti kalian sungguh telah tersesat. Sungguh kamu telah melihat kami, bahwasanya tidak seorang pun menyalahi sunnah beliau, melainkan hanya orang yang benar-benar munafik. Sungguh seorang laki-laki hendaknya harus didatangkan untuk hadir di antara dua laki-laki sehingga dia ditempatkan pada barisan (shaf )”.

            Diperbolehkan kaum wanita datang  ke masjid untuk shalat di sana dan untuk mengikuti shalat berjamaah, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar r.a. yang mengatakan :

            “Rasulullah s.a.w. telah bersabda: Janganlah kalian melarang isteri-isteri kalian pergi ke masjid sekalipun rumah mereka lebih utama bagi mereka “.

            Keharusan shalat berjamaah baru bisa ditinggalkan bila karena ada halangan yang disa diterima oleh syara’, seperti karena malam yang sangat dingin atau karena hujan, sebagaimana dikemukakan dalam hadtis Ibnu Umar  r.a. :

            “Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. telah menyuruh tukang adzan untuk adzan, kemudian sesudah ia adzan beliau bersabda : Ingat ! shalatlah kalian dirumah-rumah kalian di malam yang sangat dingin atau turun hujan jika berada diperjalanan “.

            Dalam hadits yang  diriwayatkan oleh Imam Muslim dikemukakan :

            “(Beliau) menyuruh muadzin bila malam sangat dingin dan turun hujan agar berkata :Ingat ! hendaklah kalian dirumah-rumah kalian “.

            Begitu juga kepada orang yang lapar atau terdesak ingin buang hajat besar atau hajat kecil, sebagaimana diriwayatkan oleh Aisyah r.a.  :

            “ Aku mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda : Tidak dibenarkan shalat di hadapan hidangan makanan dan tidak pula bagi orang yang terdesak ingin buang hajat besar atau ingin buang air “.

            Bahkan dalam keadaan seperti ini shalat dimakruhkan. Disunatkan bagi orang yang hendak shalat berjamaah berjalan tidak dengan berlari.

            Abu Hurairah r.a. telah meriwayatkan dari Nabi s.a.w. , bahwasanya belia u telah bersabda :

            Bilamana shalat telah didirikan , maka janganlah kalian mendatanginya dengan berlari-lari.  Akan tetapi datangilah oleh kalian dengan berjalan (biasa).  Kalian harus bersikap sakinah (tenang), lalu shalatlah kalian pada bagian yang dapat kalian temukan dan selanjutnya sempurnakanlah bagian yang tidak kalian dapatkan”.

            Bilamana seseorang tiba di masjid untuk mengikuti shalat berjemaah sedang shalt itu telah dimulai, hendaklah ia langsung mengikutinya, tidak perlu mengerjakan shalat sunnah terlebih dahulu.
            Sabda Rasulullah saw. :

            “Bilamana shalat telah dimulai, maka tidak ada shalat kecuali hanya shalat fardlu”.

            Jika seseorang sedang shalat sunat kemudian shalat fardlu dimulai, maka jika tidak dikhawatirkan akan kehilangan berjamaah hendaknya shalat sunat tersebut disempurnakan, baru kemudian menyusul untuk mengikuti shalat berjamaah.  Akan tetapi jika dikhawatirkan akan kehilangan berjamaah hendaknya shalat sunat itu diputuskan, karena shalat berjamaah lebih afdhal.
            Shalat berjamaah tidak sah sampai makmum niat shalat berjamaah, karena dia bermaksud hendak mengikuti imam sehingga oleh karenanya tidak boleh tidak dia harus menyertakan niat mengikuti iman, siat berjamaah, atau niat bermakmum.  Namun jika sampai makmum tidak menyertakan niat berjamaah, maka shalatnya tetap sah tetapi dianggap munfarid dan tidak memperoleh keutamaan berjamaah.  Untuk imam juga diharuskan menyertakan niat berjamaah, yakni di dalam hatinya menyebutkan niat mengimamai atau niat menjadi imam, sekalipun tanpa menyertakan niat mengimamai shalatnya tetap sah, tetapi dia akan memperoleh fadilah berjamah.  Dalam kasus seperti ini bagi makmum tidak menjadi masalah, yakni makmum tetap memperoleh fadilah berjamaah.
            Apabila makmum mendapatkan waktu untuk berdiri bersama imam, namun ia khawatir tidak mendapatkan waktu untuk membaca surat Al Fatihah, hendaklah ia tidak membaca do’a istiftah dan langsung membaca surat Al Fatihah saja karena membaca surat Al Fatihah adalah fardlu yang harus diprioritaskan dari hal-hal yang bersifat sunat.  Apabila makmum baru menyelesaikan sebagian dari  membaca surat Al Fatihah namun imam sudah ruku’, maka dia pun harus ikut ruku’ dan memutuskan bacaan surat Al Fatihah karena mengikuti imam harus lebih diprioritaskan.  Apabila makmum mendapatkan imam sedang ruku’, maka bertakbirlah untuk takbitarul ihram sambil berdiri kemudian bertakbir untuk ruku’ sambil merengkuh ruku’.  Bilamana yang bersangkutan bertakbir dengan satu kali takbir dan dengan niat untuk takbiratul ihram sekaligus untuk takbir ruku’, maka hal itu hukumnya tidak sah karena berarti dia telah menyekutukan niat diantara fardlu dengan niat.  Apabila makmum mendapatkan imam sendang ruku’ dan dia pun masih dapat mengikutinya dengan thuma’ninah, maka berarti dia telah mendapatkans atu rakaat secara utuh, namun bila tidak demikian berarti dia tidak mendapatkan rakaat tersebut.  Barangsiapa masih dapat menemukan satu rakaat bersama imam, berarti dia telah mendapatkan shalat berjamaah.
            Dalam hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah r. a.  Dikemukakan:

            “Rasulullah saw. bersabda: Bilamana kalian datang untuk shalat dan kami sedang sujud, maka kalian pun bersujudlah dan sedikit pun kalaian jangan melampauinya.  Dan barangsiapa masih mendapatkan satu rakaat, maka dia telah menemukan shalat tersebut”.

            Apabila seseorang mendapatkan imam pada rakaat terakhir, maka rakaat tersebut terhitung sebagai rakaat pertama baginya, sebagaimana diriwayatkan dari Ali ra. yang mengatakan:

            “Rakaat yang kamu dapatkan adalah merupakan awal dari shalat kamu”.

            Maka oleh karena itu, ketika imam telah membaca salam dia harus berdiri untuk menyelesaikan shalat yang belum dikerjakan.  Apabila dalam shalat itu ada qunut, maka dia pun ikut qunut bersama imam dan qunut tersebut diulang lagi pada bagian akhir dari shaltnya.  Kepada makmum wajib mengikuti imam dan tidak boleh sedikit pun dalam berbagai perbuatannya mendahuluinya.

            Abu Hurairah ra. telah meriwayatkan:

            “Sesungguhnya Nabi saw. telah bersabda: Hanya saja imam diangkat tidak lain untuk diikuti.  Bilamana dia mengatakan : (                                                  ), maka berkatalah kalian:= Ya Allah, ya Tuhan kami, hanya kepunyaan-Mu segala puji) dan bilamana dia sujud, maka kalian pun bersujudlah”.

            Apabila imam lupa dalam shaltnya dan yang terlupakan itu merupakan bacaan, yakni surat Al Fatihah atau surat lain, maka makmum hendaknya memberi tahu, sebagaimana dikemukakan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Anas  ra. yang mengatakan:

            “Bahwasanya para shahabat Rasulullah saw. sebagian diantara mereka suka membimbing sebahagian yang lainnya lagi ketika mereka sedang shalat”.

            Hendaknya makmum menyaringkan bacaan selain Al Fatihah jika imam lupa dalam bacaan selain AL Fatihah  tersebut sehingga dia mendengarnya.  Dan apabila imam lupa dalam shalat yang berupa pekerjaan fisik, hendaklah makmum mengingatkannya dengan membaca “tasbih” yakni membaca :  (  ), sehingga dia mengatkannya.  Apabila makmum berniat hendak memisahkan diri dari imam karena ingin munfarid, maka hal itu diperbolehkan, baik atas dasar adanya udzur maupun tidak ada udzur.  Hal ini dengan alasan, karena Mu’adz ketika membaca surat yang panjang maka seorang Arab dari dusun akhirnya memisahkan diri karenanya.  Kemudian hal tersebut disampaikan kepada Nabi saw. dan beliau tidak mengingkarinya.  Bagi setiap muslim sah menjadi imam selama ia telah dewasa dan berakal serta ia tergolong ahli (taat) menjalankan shalat sekalipun dia masih di bawah umur.

            Diriwayatkan dari ‘Amr bin salamah ra.:

            “Aku pernah mengimami pada masa Rasuluallah saw. sedangkan aku (saat itu) masih kecil, anak berusia tujuh tahun”.

            Makruh bagi seseorang dalam shalat sambil mengiamami jamaah sedang kebanyakan jamaah di antara mereka tidak menyukainya.

            Ibnu Abbas ra. telah meriwayatkan:

            “Sesungguhnya Nabi saw. bersabda: Tiga kelompok orang shalatnya tidak diangkat ke atas kepala mereka barang sejengkal pun; seorang laki-laki mengimami suatu kaum sedang mereka tidak menyukainya; dan seorang isteri yang sedang tidur sedang suaminya marah kepadanya; serta dua saudara yang bermusuhan”.

            Seorang yang gemar melakukan maksiat makruh diangkat menjadi imam, sekalipun shalatnya tetap sah.
            Dalam hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas ra. dikemukakan, bahwasanya dia berkata:

            “Rasulullah saw. telah bersabda: Jadikanlah oleh kalian sebagai para imam kalian orang-orang terbaik diantara kalian.  Sebab mereka itu adalah duta kalian yang akan membawa misi di antara kalian dengan Tuhan kalian”.

            Diriwayatkan pula dari Makhul dari Abu Hurairah ra., bahwasanya dia berkata:

            “Rasulullah saw. telah bersabda: Jihad adalah merupakan kewajiban atas kalian bersama amir (pemimpin), baik ia seorang amir yang baik maupun seorang amir yang gemar malakukan maksiat, bahkan sekalipun dia itu suka melakukan dosa-dosa besar”.

            Disunatkan yang diangkat menjadi imam itu adalah orang yang paling baik bacaan Al Qur’annya dan yang paling luas ilmu fiqihnya di antara para jamaah, sebagaimana dikemukakan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud ra. :
            “Sesungguhnya Nabi saw. telah bersabda: Yang lebih berhak menjadi imam bagi kaum adalah orang yang paling baik dalam membaca Kitabullahi Ta’ala (Al Qur’an) dan yang paling banyak (rajin) membacanya diantara mereka.  Bilamana bacaan mereka itu sama, maka orang yang paling awal di antara mereka hijrahnya dan bilamana mereka hijrahnya bersamaan, maka orang yang paling tua usianya di antara mereka”.

            Apabila meeka sedang bertamu, maka yang lebih utama menjadi imam adalah tuan rumah, sebagaimana dikemukakan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Mas’ud Al Badari ra. :
           
            “Sesungguhnya Nabi saw. telah bersabda: Tidaklah seseorang mengimami seseorang yang tengah berada di tengah keluarganya dan tidak pula ia mengimami seseorang yang berada pada kekuasaannya serta tidak lah seseorang duduk dalam kursi kehormatannya, kecuali atas seizinnya”.

            Apabila berkumpul antara musafir dengan yang mukim, maka yang lebih utama menjadi imam adalah orang yang mukim.
            Disunatkan dalam tata cara shalat berjamaah, makmum yang pertama berada di bagian kanan imam, sebagaimana dikemukakan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas ra., bahwasanya ia telah berkata:

            “Aku pernah bermalam di rumah bibiku (dari pihak ibu saya).  Maka Rasulullah saw. (didapatkan) bangun hendak shalat, lalu aku pun berdiri sebelah kirinya sehingga beliau menjadikan aku berada di sebelah kanannya”

            Apabila kemudian datang makmum yang kedua, maka hendaklah ia mengambil posisi di sebelah kiri imam dan selanjutnya imam maju ke depan atau makmum  yang pertama mundur ke belakang, sebagaimana dikemukakan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Jabir r.a. yang mengatakan:

            “Aku berdiri di sebelah kiri Rassulullah saw. maka beliau pun mengambil tanganku lalu beliau memutarku, sehingga beliau menempatkan aku berdiri di sebelah kanannya. Kemudian datang Jabbar bin Shakhr sehingga dia berdiri di sebelah kiri Rasulullah saw., lalu beliau mengambil tangan kami semua mendorong kami sampai beliau menempatkan kami berdiri di belakangnya.”

            Apabila dua orang makmum di belakang imam, maka keduanya berbaris di belakangnya, sebagaimana dikemukakan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Jabir r.a. di atas. Kemudian apabila ada seseorang yang telah dewasa dan seorang yang masih di bawah umur sebagai makmum, maka keduanya berbarislah di belakang imam. Selanjutnya apabila di antara para jamaah itu ada perempuan, maka hendaklah ia mengambil posisi di belakang para makmum laki-laki.
            Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Anas r.a. dia telah berkata:

            “Rasulullah saw. berdiri dan aku bersama At-Taim berbaris di belakangnya, sedang seorang perempuan tua berada di belakang kami. Maka beliau pun shalat mengimami kami dua rakaat”.

            Dalam hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. dikemukakan, bahwasanya ia telah berkata:

            “Aku sha;at di samping Nabi saw. dan Aisyah bersama kami, dia shalat di belakang kami sedangkan aku di samping nabi sambil shalat bersamanya.”

            Apabila mereka (para makmum) menyalahi apa yang telah dikemukakan di atas, sehingga seorang makmum laki-laki berada di samping kiri imam atau seorang makmum perempuan berdiri sejajar bersama dengan makmum laki-laki atau imam laki-laki, namun mereka masih berada di belakang imam maka shalatnya dianggap makruh sekalipun tidak sampai batal.
            Ibnu Abbas r.a. telah meriwayatkan:

            “Dia berdiri di samping kiri Nabi saw., maka hal itu tidak membatalkan shalatnya”.

            Berdasarkan hadits-hadits di atas, maka tertib para makmum dalam membuat barisan secara teratur hukumnya adalah sunnat. Begitu pula tertib susunan antara posisi makmum laki-laki dan perempuan. Apabila di belakang imam hanya ada seorang makmum saja, maka takbiratul ikhramnya  tetap dianggap sah sekalipun dia baru masuk ke dalam barisan sesudah takbiratul ikhram dan sekalipun dia baru masuk ke dalam barisan ketika sedang ruku’ atau sesudahnya. Hal ini tidak membatalkan shalat selama dilakukan sebelum bergerak untuk sujud. Diriwayatkan, bahwa Abu Barah takbiratul ikhram di belakang barisan, lalu dia pun ruku’ baru sesudah itu dia maju menuju barisan. Maka bersabdalah nabi saw. kepadanya: ‘Semoga Allah menambah kesungguhan kepadamu dan engkau tidak berlebih-lebihan’. Adapun bila makmum ini tetap hanya dia satu-saunya dan dia tidak masuk ke dalam barisan, maka batallah shalatnya.
            Sabda Rasulullah saw.:

            “(Beliau) pernah melihat seorang laki-laki shalat di belakang barisan. Maka beliau pun berdiri sampai laki-laki itu selesai shalat, lalu belaiu bersabda kepadanya: Ulangilah shalatmu, karena belum dianggap shalat bagi seseorang yang berada di belakang barisan”.

            Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Washibah bin Ma’id dikemukakan:

            “Sesungguhnya nabi saw. melihat seorang laki-laki shalat di belakang barisan menyendiri. Maka beliau pun menyuruhnya agar mengulangi shalatnya”.

            Semua ini dengan catatan bila dalam barisan tersebut masih ada tempat kosong. Adapun bila ternyata barisan itu telah penuh, maka hendaklah seseorang ditarik ke belakang untuk membuat barisan baru bersamanya.
            Ath-Thabari telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. dari Al-Hafizh pun telah meriwayatkannya dengan lafazh:

            “Sesungguhnya Nabi saw. telah menyuruh seorang yang datang --sementara barisan-barisan telah penuh-agar menarik seseorang ke belakang untuk berdiri di sampinya”.

            Makmum wajib mengikuti imam. Dia tidak dibenarkan mendahului gerakan apapun dari imamnya, seperti dikemukakan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a.:

            “Sesungguhnya Nabi saw. telah bersabda: Hanya saja imam diangkat tidak alain untuk diikuti. Maka janganlah kalian menyalahinya. Jika dia bertakbir, kalian pun bertakbir. Bila dia ruku’, kalian pun ruku’. Bila ia mengucapkan sami’allahu liman hamidah (                             ), maka kalian mengucapkan allahum rabbana lakalhamdu (                                   ). Dan bila dia sujud, kalian pun sujudlah”.

            Bilamana makmum bertakbir sebelum imam bertakbir, maka shalatnya tidak jadi karena berarti dia menyembunyikan shalatnya dengan shalat imam yang belum dimulainya sehingga shalat makmum tidak sah karenanya. Bilamana makmum mendahului imam dalam satu rukun, seperti ia mendahului ruku’ atau mendahului sujud, maka batallah shalatnya itu.

            Sabda Rasulullah s.a.w. :

            “ Tidakkah seseorang di antara kalian merasa takut bilamana ia mengangkat kepalanya sebelum imam, lalu Allah menjadikan kepalanya menjadi keledai atau Dia menjadikan bentuknya menjadi bentuk keledai “.

            Oleh karenanya, maka ia wajib mengulang untuk mengikuti imam karena mengikuti imam adalah fardu. Kemudian jika ia tidak mengulangi dan segera pula dapatkan imam mengerjakan apa yang ia lakukan, maka shalatnya tidak batal karena hal itu dianggap hanya terjadi dalam waktu yang tidak lama. Akan tetapi bilamana seorang makmum ruku’sebelum imam dan ketika imam ruku’ ia ‘itidal lalu ketika imam hendak ‘itidal ia pun sujud, maka hal seperti ini hukumnya haram. Selanjutnya jika ia mengetahui bahwa itu hukumnya haram, batallah shalatnya karena hal itu dianggap sebagai perbedaan (penyimpangan ) yang terjadi dalam waktu yang lama. Sedang bilamana ia tidak mengetahui bahwa itu hukumnya haram, maka shalatnya tidak batal namun rakaat tersebut tidak dihitung ke dalam jumlah keseluruhan rakaat shalat yang dikerjakan sebab dalam rakaat tersebut pada kebanyakannya ia tidak mengikuti imam. Dengan demikian , ia harus menambah satu rakaat lagi. Sementara itu jika ia hanya mendahului imam dalam satu rukun saja, maka shalatnya tidak batal.
            Kepada makmum diharuskan sedikit mengakhirkan gerakan dari yang dilakukan imam. Jika ia melakukannya dalam waktu yang sama dengan imam, maka hukumnya makruh dan tidak sampai membatalkan shalatnya. Adapun bilamana imam maju ke depan makmum sehingga makmum posisinya ada di belakang imam;  jika hal ini terjadi sebeluma shalat dimulai, maka shalatnya tidak jadi dan jika hal itu terjadi pada waktu shalat sedang dilaksanakan, maka batallah shalatnya karena dalam keadaan seperti ini makmum berdiri pada posisi bukan sebagai orang yang sedang berjamaah, sehingga dia tidak bisa dianggap sebagai orang yang sedang bermakmum.
           
9.  Setiap Muslim Berhak Menjadi Imam Shalat :

            Tidak disyaratkan apa-apa bagi seorang imam shalat melainkan dia itu seorang muslim. Oleh karena itu, tidak sah seorang Nasrani, Yahudi, Majusi, dan pemeluk agama selain Islam menjadi imam dalam shalat dan karenanya pula maka selain orang kafir keimanannya sah serta shalat di belakangnya juga sah. Sedang tentang keimanan seorang ahli bid’ah, maka hendaknya diperhatikan : Bilamana derajat bid’ahnya dianggap membuat ia kufur, seperti orang yang menyatakan: (                                             = Sesungguhnya Allah bersemayam dalam diri Sayyidina Ali ), maka keimanannya sama dengan keimanan orang kafir -tidak sah- karena orang seperti ini tidak lain adalah orang kafir yang berpura-pura menjadi penganut Islam. Sedangkan seorang ahli bid’ah yang tidak sampai dikatagorikan kafir, seperti orang yang menyatakan Al Qur’an sebagai makhluk , seperti orang Mu’tazilah, atau seperti orang Khawarij, maka keimanan mereka sah karena mereka masih dianggap sebagai orang -orang Islam. Oleh karena itu, mereka boleh dijadikan imam dalam shalat sama seperti kaum muslimin yang laindan sama sekali tidak makruh berjamaah shalat kepada mereka. Ada beberapa kriteria orang yang lebih utama untuk menjadi atau ditunjuk agar menjadi imam shalat, yaitu hendaknya dia itu seorang yang memiliki beberapa sifat seperti yang dikemukakan dalam bebarapa nash syar’i, antara lain :

            Sabda Rasulullah s.a.w. : 

            “Yang menjadi imam pada suatu kaum adalah orang yang paling baik bacaan Al Qur’annya diantara mereka. Bilamana mereka sama dalam bacaannya, maka orang yang paling mengetahui as sunah diantara mereka. Bilamana mereka sama dalam pengetahuan nya tentang as sunnah, maka orang yang lebih awal hijrah ( ke Madinah ) diantara mereka. Bilamana mereka bersamaan dalam hijrah, maka orang yang  paling lanjut usianya di antara mereka. Dan hendaklah seorang laki-laki tidak mengimami seseorang yang berada dalam kekuasaannya”.

            Ada beberapa orang yang makruh diangkat menjadi imam berdasarka hadits yang menetapkannya demikian, mereka itu antara lain seperti yang dikemukakan dalam hadits farfu’ yang diriwayatkan dari Ali r.a. :

            “ Hendaklah orang yang suka menganggap enteng dalam urusan agamanya(Islam) tidak mengimami kalian”.

            Abu Umamah dalam hadits yang diriwayatkan berkata :

            “Rasulullah s.a.w. telah bersabda : Tiga orang yang tidak perlu disambut panggilan shalatnya: Seorang hambda sahaya yang melarikan diri sampai ia kembali(kepada majikannya) , seorang isteri yang tidur sedang suaminya marah kepadanya, dan seorang imam yang memimpin suatu kaum sedang mereka membencinya”.

            Maka makruh diangkat menjadi imam seorang yang suka menganggap enteng dalam urusan agamanya dan seorang imam suatu kaum yang dibenci oleh mereka bukan berarti bahwa shalat tersebut tidak sah dan bukan pula berarti bahwa orang yang makmum kepadanya berdosa , akan tetapi pengertian yang terkandung dalam ungkapan di atas adalah, bahwa berjamaah kepadanya makruh dan mengangkat orang seperti itu hukumnya makruh pula.
            Orang yang haram diangkat menjadi imam dalam shalat dan menyebabkan shalat menjadi batal seperti yang telah dikukuhkan dalam hadits Nabi s.a.w. adalah hanya orang kafir. Sedangkan orang yang makruh diangkat menjadi imam dalam shalat dan shalat bersamanya sah serta diperbolehkannya seperti yang telah dikukuhkan dalam hadits Nabi s.a.w. adalah seperti orang yang suka menganggap enteng dalam urusan agamanya. Maka oleh karena itu shalat shalat berjamaah bersama setiap muslim hukumnya boleh, yakni menjadikan dia sebagai imam hukunya boleh; baik dia itu bermadzhab Syafi’i Hanafi , maupun Ja’fari; baik yang bermadzhab Sunni, maupun yang bermadzhab Syi’ah.

            Dalam hadits yang diriwayatkan oleh  Makhul dari Abu Hurairah r.a. dikemukakan , bahwasanya dia telah berkata :

            “Rasulullah s.a.w. telah bersabda: Berjihad adalah wajib atas kalian bersama-sama dengan setiap amir ( pemimpin ) , baik dia itu seorang amir yang baik maupun tidak baik (suka berbuat maksiat ). Dan shalat adalah wajib bagi kalian di belakang setiap muslim, baik dia itu seorang muslim yang baik maupun yang tidak baik ( suka berbuat maksiat ), bahkan sekalipun dia itu suka mengerjakan dosa-dosa besar”.

            Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a.  dikatakan :

            “Rasulullah s.a.w. telah bersabda : Mereka boleh mengimami shalat kalian. Maka jika mereka benar, kalian dan merekapun mendapat pahala. Sedangkan jika mereka salah, maka kalian tetap mendapat pahala dan atas mereka kesalahannya”.
           
            Berdasarkan petunjuk ini, maka seluruh kaum muslimin, seharusnya satu sama lain menjadi pemimpin ( imam ) atas sesamanya selama mereka beridentitas sebagai penganut agama Islam. Kemudian daripada itu, maka berdasarkan petunjuk di atas hendaknya perbedaan yang terjadi di kalangan kaum muslimin seperti dalam sebahagian pemikiran atau pemahaman yang berkaitan dengan aqidah, seperti antara kaum Syi’ah dan kaum Sunni serta Khawarij, begitu juga perbedaan di antara mereka dalam sebahagian yang berhubungan dengan masalah-masalah hukum syara’, seperti antara madzhab syafi’I, Hanafi, dengan Maliki - umpamanya- maka semua itu jangan dijadikan sarana untuk menikam kepemimpinan sebahagiaan kaum muslimin atas sebahagiannya lagi. Begitu pula hendaknya seorang muslim yang shalat  di belakang seorang muslim yang berbeda aliran aqidahnya yang tidak katagorikan sebagai aqidah kafir atau seorang muslim yang berbeda madzhab fiqhnya, hendaknya dia jangan sampai dinyatakan shalatnya tidak sah dan jangan pula dinyatakan shalatnya makruh.
            Dasar hukum yang membolehkan shalat di belakang seorang imam yang berlainan madzhab aqidahnya dan shalat itu tidak makruh adalah sangat jelas, yakni bahwa yang bersangkutan -sebagai seorang muslim- shalat dengan imam seorang muslim lagi. Adapun dasar hukum yang membolehkan shalat di belakang seorang imam yang berlainan madzhab fiqhnya adalah dikarenakan hukum-hukum yangdi jadikan sandaran oleh imam dan makmum semuanya bersumber dari hukum -hukum syara’ yang sama yang dikukuhkan oleh masing-masing atas dasar dugaan, sehingga hal itu harus menjadi hukum syara’ bagi imam dan orang yang ada disampingnya. Begitu juga hukum syara’, yang menjadi pegangan makmum adalah hukum syara’bagi imam. Sebagai contoh , di sini dapat dikemukakan: Kaum Syi’ah berpendapat, bahwa yang wajib itu adalah menyapu kedua kaki, bukan mencucinya. Sedangkan kaum Sunni berpendapat , bahwa yang wajib itu adalah mencuci kedua kaki sampai dengan kedua mata kakinya, sehingga tidak sah bila hanya sekedar disapu dan oleh karenanya bila sampai ada bagian yang tidak dicuci walau hanya sedikit, maka wudhu tersebut tidak sah. Atas dasar ini, maka  seorang Sunni pada waktu mencuci kedua kakinya bila hanya sekedar di sapu dia beranggapan wudhunya tidak sah, lalu dia pun beranggapan bahwa shalat dengan wudhu seperti itu shalatnya juga tidak sah. Namun demikian sepenuhnya ketentuan atau kepastian hukumnya ada pada Allah. Berbeda dengan pendapat seorang Syi’ah dalam wudhu ini, karena menurut pendapatnya hanya dengan membasuh kedua kaki sudah dianggap sah, oleh karenanya maka sah pula shalat dengan cara wudhu seperti itu. Namun demikian hendaknya bagi seorang Sunni kepastian hukumnya sepenuhnya harus diserahkan kepada Allah. Jelaslah kiranya bagi kita, bahwa kedua pendapat di atas merupakan hukum syara’ sekalipun keduanya berbeda karena satu sama lain bersandar pada hukum syara’. Bilamana seorang Sunni melihat seorang Syi’ah wudhu dengan hanya menyapu kedua kaki, tidak dengan mencucinya, lalu ia shalat mengimami jamaah, maka bagi seorang Sunni boleh shalat makmum kepadanya sekalipun cara wudhunya berbeda. Sebab walaupun demikian, sebagai seorang Syi’ah dia telah menepati hukum syara’ sesuai dengan yang difahami oleh kaum Syi’ah, sehingga dia pun berarti telah menepati syarat sah shalat sebagaimana yang telah digariskannya berdasarkan hasil ijtihad yang dianggap sah menurut kaum Syi’ah walaupun dalam pandangan seorang Sunni pemahaman tersebut salah. Akan tetapi bagaimanapun juga kaum Syi’ah berdalil dari sumber hukum yang sama dengan kaum Sunni,yakni hukum syara’.Kaum Syi’ah dalam wudhu bersandar - ketika menyapu kaki- pada firman Allah : ( (                    ) ) yang dibaca “majrur” atau”kasrah”, karena menurut pemahaman mereka lafadz ( (              ) ) ,yakni ( (                                                                   ) ). Atas dasar pemahaman itu, mereka berkesimpulan : Sesungguhnya Allah s.w.t. telah membagi anggauta wudhu menjadi dua bagian; dua di antaranya dicuci, yaitu muka dan kedua tangan sampai dengan kedua sikutnya; lalu dua di antaranya lagi disapu, yaitu kepala dan kedua kaki sampai dengan kedua matanya. Begitu juga pendapat mereka pun bersandar pada hadits yang diriwayatkan dari Rif’ah, dalam hadits yang mengisahkan orang yang shalatnya tidak baik :

            “Maka Nabi s.a.w. bersabda kepadanya : Bahwasanya shalat seseorang di antara kalian belum sempurna sampai dia menyempurnakan wudhu seperti yang Allah Ta’ala perintahkannya, yakni dia mencuci muka dan kedua tangannya, kemudian dia menyapu kepala dan kedua kakinya”.

            Selanjutnya mereka bersandar pada hadits yang diriwayatkan dari Ali r.a. yang mengemukakan :

            “Bahwasanya dia (Ali ) berwudhu, lalu dia  mengambil air dengan kedua telapak tangannya dan menyiramkannya pada kaki yang kanan serta sandal yang di kenakannya, selanjutnya dia meratakannya. Kemudian dia pun melakukan hal yang sama pada kaki yang kiri”.

            Begitu juga mereka berpendapat demikian itu, karena didukung oleh argumentasi bahwa kaki adalah anggauta wudhu yang dikecualikan dalam tayammum. Maka dengan demikian, keharusannya hanya disapu saja. Nash syar’i yang menjadi sandaran hukum dalam wudhu memang memungkinkan terjadinya pemahaman seperti yang dipegang oleh kaum Syi’ah, baik menurut bahasa maupun menurut syara’. Oleh karenanya , maka penetapan menyapu pada kaki merupakan penetapan syar’i juga dan hukum syara’ yang dikukuhkan berdasarkan hasil ijtihad kaum Syi’ah merupakan hak penganutnya dan merupakan milik setiap muslim. Begitu juga halnya hukum syara’ yang dikukuhkan berdasarkan hasil ijtihad kaum Sunni.
            Kasusnya adalah sama dengan kasus di atas, ketika terjadi silang pendapat mengenai sesuatu di kalangan madzhab-madzhab kaum Sunni itu sendiri. Sebagai contoh : Menurut madzhab Hanafi, sesungguhnya menyentuh perempuan adalah tidak membatalkan wudhu. Sedang menurut madzab Syafi’i hal itu membatalkan wudhu. Maka atas dasar ini, bila seorang laki-laki menyentuh kulit perempuan batallah wudhunya sehingga ia tidak boleh shalat dengan wudhu yang telah batal ini, dan bila ia shalat dengan wudhu tersebut,  maka shalat itu tidak sah.  Sedang menurut madzhab Hanafi, bila seorang laki-laki menyentuh kulit perempuan tidak membatalkan wudhu, dan kaernanya ia boleh shalat dengan wudhu ini, yakni dengan wudhu yang telah menyentuh perempuan, serta shalat tersebut dianggap sah.  Bilamana seorang pengukut madzhab Syafi’I melihat seorang penganut madzhab Hanafi menyentuh perempuan lalu sesudah itu tampil ke depan mengimami shalt, maka sebagai seorang pengikut madzhab Syafi’I ia boleh makmum kepadanya sekalipun sekalipun diketahui bahwa imam tersebut sebelumnya telah batal wudhunya kaerna menyentuh kulit perempuan.  Hal ini dikarenakan sebagai seorang pengikut madzhab Hanafi, ia pun telah mengikuti hukum syara’ sebagaimana yang telah dikukuhkan di lingkungan madzhab Hanafi.  Maka oleh karenanya, berarti dia (sebagai seorang pengikut madzhab Syafi’I) dianggap telah mengikuti orang yang telah menepati syarat sah shalat sebagaimana telah dikukuhkan oleh dirinya dan oleh madzhab yang dianutnya berdasarkan hukum syara’ degnan benar, sekalipun menurut pandangan dia (sebagai seorang pengikut madzhab Syafi’I) tidak benar.  Hal tersebut haruslah dijadikan landasan. Sebab antara keduanya berdalil dari sumber yang sama: Para penganut madzhab Hanafi berdasarkan pada pendapat bahwa yang dimaksud oleh firman Allah : ((                                           )) adalah “bersetubuh”,  sebagaimana telah ditunjukkan oleh firman Allah sebelumnya:


            Dalam ayat ini Allah ta’ala melarang kaum mukminin mengerjakan shalat ketika mereka sendang mabuk dan begitu juga Dia telah melarang mereka mengerjakan shalat ketika mereka junub.  Kemudian Allah ta’ala menyebutkan contoh yang mengharuskan wudhu, yaitu ((                                           ))= “atau kalian datang dari temapat buang air”)).  Begitu juga kemudian Allah Ta’ala menyebutkan contoh yang mengharuskan mandi besar, yaitu: ((                            ))= “atau kalian telah menyetubuhi perempuan”)).  Dan setelah itu Allah Ta’ala menjelaskan, bahwa barang siapa telah melakukan hal tersebut namunt idak mendapatkan air untuk menghilangkan hadats kecil dan hadats besar, maka bertayammumlah.  Atas dasar pemahaman seperti ini, maka menurut madzhab Hanafi yang dimaksud dengan firman Allah: ((                                )) adalah bersetubuh, bukan menyentuh dengan tangan.  Mereka memahami ayat ini demikian didukung pula oleh kedits Habib bin Tsabitdari ‘Urwah:

            “Sesungguhnya Nabi saw. mencium sebahagian para istrinya, kemudian beliau keluar untuk shalat dan beliau tidak wudhu (lagi)”.

            Kemudian diperkuat lagi dengan hadits Aisyah yang mengatakan:

            “Aku pernah kehilangan Rasulullah saw. dari tempat tidur (kasur).  Kamudian aku pun bangun mencarinya, maka (ketika itu) tanganku menyentuh telapak kedua kakinya.  Pada waktu beliau telah usai dari shalatnya, bersabdalah: Syaitanmu (tindakan  tidak baik) telah medatangimu”.

            Berdasarkan hadits ini, niscaya beliau akan memutuskan shalatnya bila kasus tersebut memabatalkan wudhu.  Begitu juga pendapat mereka telah didukung oleh hadits yang dikemukakan dalam Shahih Bukhari-Muslim yang diterima dari Aisyah r. a. :

            “Sesungguhnya Nabi saw. ketika sedang shalat sementara dia (Aisyah) berada di antara beliau dengan kiblat.  Maka bila beliau hendak sujud beliau pun menyibakkan kakinya (Aisyah), lalu Aisyah pun menangkapnya”.

            Begitu juga dalam sebuah riwayat dikemukakan :

            “Maka bilamana beliau hendak witir, beliau pun kenyentuh kakiku”.

            Nash syar’I yang menjadi sandaran hukum tidak batal wudhu karena menyentuh kulit perempuan memang memungkinkan terjadi pemahaman seperti yang dipegang oleh madzhab Hanafi, baik menurut bahasa maupun merupakan penetapan syar’i juga dan hukum syara’ yang dikukuhkan berdasarkan hasil ijtihad madzhab Hanafi merupakan hak bagi pengikutnya serta merupakan milik setiap muslim. Atas dasar ini , maka shalat makmum kepadanya sah dan shalatnya itu sendiri sah juga. Sebagai kesimpulan maka, seorang Sunni boleh makmum kepada seorang Syi’ah sekalipun pemikiran dan ketetapan hukum yang di ambil keduanya berbeda, begitu juga sebaliknya , seorang Syi’ah boleh makmum kepada seorang Sunni, sebagaimana seorang penganut madzhab Syafi’i boleh makmum kepada seorang penganut madzhab Hanafi, atau sebaliknya sekalipun ketetapan hukum yang diambil oleh kedua belah pihak berbeda.

0 komentar: