Senin, 02 April 2012

UNGGUN API


Ini adalah kisah kehidupan dua insan berlainan negara kisah cinta dua benua. Tiga tahun ketika kontrak perusahaan suaminya beroperasi di negrinya, kehidupan mereka sangat bahagia. Hidup sebagai seorang Islam dengan cara hidup Islam. Kelahiran anak sulung menambah keceriaan hidup mereka suami isteri.
Apabila kontrak perusahaan suaminya tidak disambung, ia berencana untuk pulang ke negaranya. Pada mulanya ia dan keluarganya sangat gembira. Mereka membayangkan dapat berpeluang melihat Amerika! ia menjadi kebanggaan dan sebut-sebutan seluruh keluarga serta sanak saudara.

Keluarga suami tinggal di sebuah rumah ladang yang besar. Jarak antara rumah dengan tetangga berkilometer jauhnya. Masjid tidak kelihatan, apa lagi untuk mendengar adzan. Ia sekeluarga tinggal bersama ibubapa mertua di sisi kanan. Terkadang ibubapa mertua tinggal di sisi kiri dan pembantu-pembantu rumah di sisi belakang.
Tiga tahun pertama, adalah saat yang paling sukar. Sukar untuk mempertahankan aqidah, tauhid dan iman. Suaminya mulai lalai menunaikan sembahyang. Ibadah puasa ditinggalkan. Malah pergaulannya dengan kakak-beradik, sanak-saudara dan rekan-rekan semakin menjauhkan dirinya dengan Allah.
"Sekedar ilmu agama tsanawy tidak menjamin apa-apa. Saya fikir akan dapat membimbing suami dan anak-anak, bahkan mengajak keluarga suami memeluk Islam. Rupa-rupanya tidak."

Setiap kali hari natal, seluruh keluarga
mertua menyambutnya dengan meriah sekali. Ia disisihkan karena dianggap kolot, ketinggalan zaman dan berfahaman sungsang. Suami juga tidak menyebelahinya. Ia sendirian di rantau orang.
"Mereka coba sedaya upaya mempengaruhi pemahaman 3 orang anak-anak kami."
Bertahun-tahun Ia mengajak suami pulang semula ke negrinya, namun suami memekakkan telinga. Selama itulah hatinya gundah gulana, dia merintih kepada Tuhan pencipta alam ini. Alla h yang disembah, tempat memohon pertolongan. Dia memohon jalan yang lurus.

"Saya rindukan gema adzan berkumandang. Saya bimbang jika nanti anak-anak terseret ke neraka jahannam. Saya maukan mereka lahir dan hidup sebagai seorang islam. Mati juga sebagai seorang islam. Biar akhir hayat kami, dapat mengucap syahadah. Di kafan, ditalkinkan dan dikebumikan secara islam di kuburan orang-or¬ang islam."
Setiap kali Ia menerima berita kematian kaum keluarga, dia mencari alasan untuk pulang. Namun, tidak dihiraukan.
Sehinggalah baru-baru ini, beliau menerima berita kematian bapaknya. Ia nekad untuk pulang!
"Saya dan anak-anak hanya membawa sebuah tas saja agar suami tidak menyimpan syak wasangka. Namun, saya sudah bertekad. Kepulangan ini final. Saya pulang dan tidak mau kembali."
Ia pulang dan tinggal di rumah peninggalan bapaknya bersama ibu yang sudah tua. Katanya ia terperanjat dengan segala perubahan yang berlaku di kampung halaman terutamanya tingkah laku sepupu-sepupunya.
"Masing-masing sedang mempersiapkan anak¬anak perempuan mereka menjadi model sampingan. Kata mereka, mana tahu suatu hari nanti dapat berkawin dengan "orang putih" dan tinggal di luar negara!"
la menyambung lagi, "Yang sangat menghe¬rankan, anak-anak perempuan mereka digalakkan memakai pakaian yang menyolok mata sedangkan si ibu menutup aurat ada disamping mereka. Tersenyum si ibu bergambar dengan anak perempuan yang sedang bergaya."

Perkara pertama yang mau la lakukan adalah mendaftar haji dan mengerjakan umrah bersama ibu dan anak-anak. la mau menangis di hadapan ka'bah, di dalam Raudhah.
la tidak mau berhenti mendoakan agar suaminya kembali ke pangkal jalan. Kembali hidup sebagai seorang islam. Insya Allah, katanya dia masih membuka hati, menadahkan tangan jika Allah menunjukkan suaminya jalan pulang. la mengakhiri kata-katanya,
"Syukur Alhamdulillah, Allah melindungi saya dan anak-anak sepanjang kami di Amerika. Sampaikan pesanan ini kepada ibu-ibu, katakan agar jangan sediakan unggun api untuk anak-anak. Mereka ibara tkain putih kita. Kitalah yang membentuk apakah anak-anak itu bisa mendoakan atau tidak selepas kematian kita."

0 komentar: