Sabtu, 05 Mei 2012

Hidayah Hanya Milik Allah Subhanahu Wa Ta'ala [Al Qashash/28: 56]


                 
“Sesungguhnya engkau (Muhammad) tidak akan dapat memberi hidayah (petunjuk) kepada orang yang kamu sayangi, tetapi Allah memberi hidayah kepada orang yang Dia kehendaki, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk”[Al Qashash/28: 56]
Sebab turunnya ayat ini berkaitan dengan meninggalnya Abu Thalib dalam keadaan tetap memeluk agama Abdul Muththalib (musyrik). Hal ini sebagaimana ditunjukkan hadits yang diriwayatkan dalam Shahih Al Bukhari dan Shahih Muslim, dari Ibnu Al Musayyab, bahwa bapaknya (Al Musayyab) berkata: ‘Tatkala Abu Thalib akan meninggal, Rasulullah saw. bergegas mendatanginya. Dan saat itu, Abdullah bin Abu Umayyah serta Abu Jahal berada di sisinya. Beliau saw. berkata kepadanya: “Wahai, pamanku. Ucapkanlah laa ilaha illallah; suatu kalimat yang dapat aku jadikan pembelaan untukmu di hadapan Allah. Akan tetapi, Abdullah bin Abu Umayyah dan Abu Jahal menimpali degan ucapan: Apakah engkau (Abu Thalib) membenci agama Abdul Muththalib?. Lalu Nabi saw. mengulangi sabdanya lagi. Namun mereka berdua pun mengulang kata-katanya itu. Maka akhir kata yang diucapkannya, bahwa dia masih tetap di atas agama Abdul Muththalib dan enggan mengucapkan La ilaha illallah. Kemudian Nabi saw. bersabda: “Sungguh, akan aku mintakan ampunan untukmu, selama aku tidak dilarang”. Lalu Allah menurunkan firmanNya:
مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَن يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَىٰ مِن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ ٩:١١٣
“Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat (nya), sesudah jelas bagi mereka bahwa orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka Jahannam”. [At Taubah/9: 113]
Adapun mengenai Abu Thalib, Allah berfirman:
إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَٰكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَن يَشَاءُ
“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi hidayah kepada orang yang kamu sayangi, tetapi Allah memberi hidayah kepada orang yang Dia kehendaki”. [Al Qashash/28: 56].
Dari firman Allah swt. dan hadits Rasulullah saw. di atas, dapat dipetik beberapa manfaat dan pelajaran, sebagaimana akan kami sebutkan berikut ini.

Pertama: Dalam kitab Shahih Tafsir Ibnu Katsir edisi Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Al-bani disebutkan: “Allah swt. berfirman kepada RasulNya, Sesungguhnya engkau, wahai Muhammad, tidak akan dapat memberi hidayah kepada orang yang engkau sayangi, artinya, (memberi hidayah atau petunjuk) itu bukan urusanmu. Akan tetapi, kewajibanmu hanyalah menyampaikan, dan Allah akan memberi hidayah kepada siapa yang Dia kehendaki. Dia-lah yang memiliki hikmah yang mendalam dan hujjah yang mengalahkan. Hal ini sesuai dengan kandungan firman Allah swt. yang artinya: Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat hidayah, akan tetapi Allah-lah yang memberi hidayah (memberi taufiq) kepada siapa yang Dia kehendaki. (Al Baqarah: 272). Begitu juga firmanNya: Dan sebahagian besar manusia tidak akan beriman walaupun kamu sangat menginginkannya. (Yusuf:103). “[1]
Dalam kitab At Tamhid Li Syarh Kitabit Tauhid, Syaikh Shalih bin ‘Abdul ‘Aziz Alu Asy Syaikh berkata: ‘Hidayah yang dinyatkan oleh Allah yang tidak dimiliki oleh Rasulullah Saw. di sini ialah hidayah taufik, ilham dan bantuan yang khusus. Hidayah inilah yang disebut oleh ulama sebagai hidayah at taufiq wal ilham. Yaitu, Allah swt menjadikan dalam hati seorang hamba kemudahan secara khusus untuk menerima petunjuk; sebuah bantuan kemudahan yang tidak diberikan kepada orang selainnya. Jadi, hidayah taufik ini, secara khusus diberikan Allah kepada orang yang Dia kehendaki, dan pengaruhnya orang tersebut akan menerima petunjuk dan berusaha meraihnya. Oleh karena itu, memasukkan hidayah ini ke dalam hati seseorang bukanlah tugas Rasulullah saw. Sebab hati hamba berada di tangan Allah, Dia yang membolak-balikannya sesuai degan kehendakNya. Sehingga orang yang paling Beliau cintai sekalipun, tidak mampu Beliau jadikan menjadi seorang muslim, yang mau menerima petunjuk”.[2]
Adapun jenis hidayah yang kedua, berkaitan degan hamba yang mukallaf, yaitu hidayah ad dilalah wal irsyad (memberi penjelasan dan bimbingan). Allah swt. menetapkan jenis hidayah ini ditetapkan pada Nabi saw. secara khusus, seluruh nabi dan rasul, dan setiap dai yang menyeru manusia kepada Allah swt. Allah swt. berfirman:
إِنَّمَا أَنتَ مُنذِرٌ ۖ وَلِكُلِّ قَوْمٍ هَادٍ
“Sesungguhnya engkau (Muhammad) hanyalah seorang pemberi peringatan; dan bagi tiap-tiap kaum ada orang yang memberi hidayah”. [Ar Ra‘d/13: 7].
Dan Allah berfirman tentang diri Nabi Muhammad saw.,
وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَىٰ صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ صِرَاطِ اللَّهِ
“Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar memberi hidayah kepada jalan yang lurus, (yaitu) jalan Allah”. [Asy Syura/42: 52-53]
Makna “engkau memberi hidayah” di sini ialah, engkau memberi petunjuk dan bimbingan ke jalan yang lurus dengan beragam petunjuk dan bimbingan, dengan didukung oleh sejumlah mukjizat dan bukti yang menunjukkan kejujuran dan kebenaran Beliau sebagai seorang pemberi petunjuk dan bimbingan.[3]
Syaikh Abdul Aziz Abdullah Bin Baz berkata dalam catatan kakinya terhadap kitab Fathul Majid: “Kata hidayah, diberikan kepada penerima petunjuk pada hatinya, degan mengubah dari kesesatan, kekufuran dan kefasikan, menuju petunjuk, keimanan dan ketaatan, dan membuatnya tetap lurus, teguh di atas jalan Allah. Hidayah seperti ini, khusus hanya dimiliki Allah swt., karena Dia-lah yang berkuasa membolak-balikkan hati dan mengubahnya, serta memberi hidayah atau menjadikan tersesat jalan bagi siapa saja yang Dia kehendaki. Barangsiapa yang diberi Allah petunjuk, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya. Dan barangsiapa yang disesatkan Allah, maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk.[4]
Berdasarkan ayat diatas diketahui, bahwa petunjuk semacam ini tidak terdapat pada diri Nabi saw., apalagi orang selain Beliau. Orang-orang yang mengaku memiliki petunjuk ini, misalnya para tokoh, sufi dan semacamnya yang mengaku dapat memasuki hati murid-muridnya, dapat mengetahui isinya, serta dapat mengendalikan sesuai keinginannya, maka semua itu merupakan kedustaan dan penyesatkan. Orang yang mempercayai klaim seperti ini, berarti ia sesat dan menganggap Allah RasulNya dusta.[5]
Adapun petunjuk menuju ilmu, dalil, keterangan Al Qur`an dan lainnya untuk menempuh jalan keselamatan dan kebahagiaan, maka para hamba mampu melakukan petunjuk ini, sebagaimana telah ditetapkan pada diri Nabi saw. dalam firman Allah swt, yang artinya: “Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus”. [Asy Syura: 52].[6]
Kedua: Berkenaan dengan tafsir surat At Taubah ayat 113, Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alu Asy Syaikh berkata: ‘Artinya, memintakan ampunan untuk orang musyrik, tidaklah pantas dilakukan para nabi. Ini adalah kalimat yang bentuknya khabar (berita), yang mengandung pengertian larangan. Ayat ini turun berkaitan dengan peristiwa Abu Thalib, sebagaimana disinyalir dari lafazh hadits yang menyebutkan kalimat fa anzala(lalu Allah menurunkan) setelah kalimat ucapan Rasulullah la astaghfiranna laka ma lam unha ‘anhu' (sungguh, akan aku mintakan ampunan untukmu selama hal itu tidak dilarang) yang mengisyaratkan sebagai kelanjutannya.[7]
Kesimpulan
Diantara hikmah dalam kisah Abu Thalib yang tidak diberi hidayah kepada islam adalah untuk menjelaskan bahwa urusan hidayah adalah urusan Allah swt., sedangkan selainnya tidak akan mampu melakukanya.
Disini juga terkandung pengharaman memohonkan ampunan untuk kaum musyrikin, ber-wala’ kepada kepada mereka dan mencintai mereka. Karena jika permohonan ampun diharamkan untuk mereka. Maka ber-wala’ untuk mereka dan mencintai mereka tentu lebih dari itu.
Do’a tentang Hidayah

رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ
Artinya: "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia)." (QS. Ali Imran: 7)
يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوْبِ، ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِيْنِكَ
Artinya: “Wahai Dzat yang membolak-balikkan hati, teguhkan hati kami di atas agama-Mu." (HR. Ahmad dan at Tirmidzi)
اللَّهُمَّ مُصَرِّفَ الْقُلُوبِ صَرِّفْ قُلُوبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ
Artinya: "Ya Allah yang mengarahkan hati, arahkanlah hati-hati kami untuk taat kepadamu." (HR. Muslim)




[1] Ibnu Katsir, Sahih tafsir ibnu katsir (terjemahan), Bogor:Pustaka Ibnu Katsir, 2008,  jilid 6 hlm. 796.
[2] Syaikh Shalih bin ‘Abdul ‘Aziz Alu Asy Syaikh at-Tamhid lii syarh kitab At-Tauhid, riyad:daar at-Tauhid 2002, hlm.228-229.
[3] Ibid hlm. 229.
[4] Syakh Abdurrahman Hasan Alu Syaikh, Fathul Majid Penjelasan  Kitab Tauhid [edisi revisi] (terjemahan), Jakarta: pustaka azzam, 2008 Hlm  399.
[5] Ibid hlm 399-400
[6] Ibid hlm 400.
[7] Ibidhlm 408.

Makalah diajukan sebagai tugas fiqih dakwah di PUTM

0 komentar: