Jumat, 25 Mei 2012

Hukum tentang Menikah dalam Keadaan Hamil


Pertanyaan
1. Bagaimana hukum pernikahan dengan wanita hamil?
2. Bila terlanjur menikah, apa yang harus dilakukan? Apakah harus bercerai terlebih dahulu kemudian menikah lagi, atau langsung menikah tanpa harus bercerai terlebih dahulu?
3. Dalam hal ini, apakah mas kawin (mahar) masih diperlukan?
Kami menjawab -dengan meminta pertolongan dari Allah Al-Alim Al-Hakim- sebagai berikut.
Jawaban Pertama
Perempuan yang dinikahi dalam keadaan hamil ada dua macam:
  1. Perempuan yang diceraikan oleh suaminya dalam keadaan hamil.[1]
  2. Perempuan yang hamil karena berzina sebagaimana yang banyak terjadi pada zaman ini -wal iyadzu billah, mudah-mudahan Allah menjaga kita dan seluruh kaum muslimin dari dosa terkutuk ini-.[2]
Adapun perempuan hamil yang diceraikan oleh suaminya, ia tidak boleh dinikahi sampai iddah[3]nya lepas, sedang ‘iddahnya ialah sampai ia melahirkan sebagaimana dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ.
Dan perempuan-perempuan hamil, iddah mereka adalah sampai mereka melahirkan kandungannya. [Ath-Thalaq: 4]
Hukum tentang menikah dengan perempuan hamil seperti ini adalah haram, sedang nikahnya batil, tidak sah, sebagaimana dalam firman Allah Taala,
وَلَا تَعْزِمُوا عُقْدَةَ النِّكَاحِ حَتَّى يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ.
Dan janganlah kalian berazam (bertetap hati) untuk berakad nikah sebelumiddahnya habis. [Al-Baqarah: 235]
Tentang makna ayat ini, Ibnu Katsir, berkata “Yaitu, janganlah kalian melaksanakan akad nikah sampai ‘iddahnya lepas,” kemudian beliau berkata, “Para ulama telah bersepakat bahwa akad tidaklah sah pada masa ‘iddah.”[4]

Adapun perempuan yang hamil karena zina, kami perlu merinci lebih meluas karena pentingnya perkara ini dan banyaknya kasus yang terjadi di seputar masalah ini. Oleh karena itu, dengan mengharap curahan taufik dan hidayah dari AllahAl-Alim Al-Khabir, masalah ini kami uraikan sebagai berikut.
Tentang perempuan yang telah berzina dan menyebabkan dia hamil atau tidak, dalam hal pembolehan menikahinya, terdapat persilangan pendapat di kalangan ulama.
Secara global, para ulama berbeda pendapat dalam pensyaratan dua perkara tentang keabsahan nikah dengan perempuan yang berzina.
Syarat Pertama: Bertaubat dari Perbuatan Zinanya yang Nista
Dalam pensyaratan taubat, ada dua pendapat di kalangan ulama:
  1. Dipersyaratkan bertaubat. Ini merupakan madzhab Imam Ahmad dan pendapat Qatadah, Ishaq, dan Abu ‘Ubaid.
  2. Tidak dipersyaratkan bertaubat. Ini merupakan pendapat Imam Malik, Syafi’iy, dan Abu Hanifah.
Tarjih
Yang lebih benar dalam masalah ini adalah pendapat pertama: dipersyaratkan bertaubat.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Menikahi perempuan pezina adalah haram sampai ia bertaubat, baik yang menikahinya itu adalah orang yang menzinahinya atau orang lain. Inilah (pendapat) yang benar tanpa keraguan.”[5]
Tarjih di atas berdasarkan firman Allah ‘Azza wa Jalla,
الزَّانِي لَا يَنْكِحُ إِلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ.
Lelaki pezina tidaklah menikah, kecuali dengan perempuan pezina atau perempuan musyrik, sedang perempuan pezina tidaklah dinikahi, kecuali oleh lelaki pezina atau lelaki musyrik. Dan hal tersebut telah diharamkan terhadap kaum mukminin. [An-Nur: 3]
Lalu, dalam hadits ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya, dari kakeknya, Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash, beliau berkata,
أَنَّ مَرْثَدَ بْنَ أَبِيْ مَرْثَدٍ الْغَنَوِيَّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ كَانَ يَحْمِلُ الْأَسَارَى بِمَكَّةَ وَكَانَ بِمَكَّةَ امْرَأَةٌ بَغِيٌّ يُقَالُ لَهَا عَنَاقٌ وَكَانَتْ صَدِيْقَتَهُ. قَالَ : فَجِئْتُ إِلىَ النَّبِيِّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ أَنْكِحُ عَنَاقًا ؟ قَالَ : فَسَكَتَ عَنِّيْ فَنَزَلَتْ : ((وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ)) فَدَعَانِيْ فَقَرَأَهَا عَلَيَّ. وَقَالَ : لاَ تَنْكِحْهَا
Sesungguhnya Martsad bin Abi Martsad Al-Ghanawy radhiyallahu ‘anhu membawa tawanan perang dari Makkah, sedang di Makkah ada seorang perempuan pelacur yang disebut dengan (nama) ‘Anaq, dan ia adalah teman (Martsad). (Martsad) berkata, Maka, saya datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu bertanya, Wahai Rasulullah, (apakah) saya (boleh) menikahi Anaq?’.’ Martsad berkata, Namun, beliau diam, lalu turunlah (ayat), Dan perempuan pezina tidaklah dinikahi, kecuali oleh lelaki pezina atau lelaki musyrik.’ Kemudian beliau memanggilku lalu membacakan (ayat) itu kepadaku seraya berkata, Janganlah kamu menikahi dia.’. [6]
Ayat dan hadits ini secara tegas menunjukkan keharaman menikah dengan perempuan pezina. Namun, hukum haram tersebut berlaku bila perempuan tersebut belum bertaubat. Adapun, kalau perempuan tersebut telah bertaubat, terhapuslah hukum haram menikah dengan perempuan pezina tersebut berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
التَّائِبُ مِنَ الذَّنْبِ كَمَنْ لَا ذَنْبَ لَهُ
Orang yang bertaubat dari dosa adalah seperti orang yang tidak berdosa. [7]
Adapun para ulama yang mengatakan bahwa kata nikah dalam ayat 3 surah An-Nurini bermakna jima, atau mengatakan bahwa ayat ini mansukh (hukumnya terhapus), itu adalah pendapat yang jauh dari kebenaran, dan pendapat ini (yaitu tentang bermakna jima’ atau mansukh) telah dibantah secara tuntas oleh Ibnu Taimiyah[8]. Pendapat yang menyatakan keharaman menikah dengan perempuan pezina yang belum bertaubat juga dikuatkan oleh Asy-Syinqithy[9].
Catatan
Sebagian ulama berpendapat bahwa kesungguhan taubat perempuan pezina ini perlu diketahui dengan cara dirayu untuk berzina. Kalau ia menolak, berarti taubatnya telah baik. Pendapat ini disebutkan oleh Al-Mardawy[10], diriwayatkan dari Umar dan Ibnu ‘Abbas, serta merupakan pendapat Imam Ahmad. Ibnu Taimiyah[11]kelihatan condong ke pendapat ini.
Akan tetapi, Ibnu Qudamah berpendapat lain. Beliau berkata, “Seorang muslim tidak pantas mengajak perempuan untuk berzina dan meminta (untuk berzina) karena permintaannya ini (dilakukan) pada saat berkhalwat (berduaan), padahal (seorang muslim) tidak halal berkhalwat dengan ajnabiyah ‘perempuan yang bukan mahram’, walaupun untuk mengajarkan Al-Qur`an kepada (ajnabiyah) tersebut. Oleh karena itu, bagaimana (bisa) hal tersebut dihalalkan dalam merayu (ajnabiyah) tersebut untuk berzina?”[12]
Oleh karena itu, hal yang benar adalah ia bertaubat atas perbuatan zinanya sebagaimana ia bertaubat kalau melakukan dosa besar lain. Taubat yang benar mengandung lima hal:
  1. Ikhlas karena Allah.
  2. Menyesali perbuatannya.
  3. Meninggalkan dosa tersebut.
  4. Berazam dengan sungguh-sungguh untuk tidak mengulangi dosa tersebut.
  5. Dilakukan pada waktu taubat masih bisa diterima, yakni sebelum matahari terbit dari Barat dan sebelum ruh sampai ke tenggorokan.
Namun, di sini bukan tempat untuk menguraikan dalil-dalil tentang lima hal ini.Wallahu A’lam.
 Syarat Kedua: ‘Iddah Telah Lepas
Para ulama berbeda pendapat tentang ‘iddah yang telah berlalu, apakah merupakan syarat yang membolehkan seseorang untuk menikahi perempuan pezina atau tidak? Ada dua pendapat dalam hal ini:
Pertama: wajib ‘iddah. Ini adalah pendapat Hasan Al-Bashry, An-Nakha’iy, Rabi’ah bin Abdurrahman, Malik, Ats-Tsaury, Ahmad, dan Ishaq bin Rahawaih.
Kedua: tidak wajib ‘iddah. Ini adalah pendapat Asy-Syafi’iy dan Abu Hanifah, tetapi keduanya berbeda pendapat tentang menjima’ perempuan tersebut:
  1. Menurut Asy-Syafi’iy, seorang lelaki boleh melakukan akad nikah dengan perempuan pezina dan boleh berjima’ setelah akad, baik lelaki yang menikahinya itu adalah orang yang menzinahinya maupun orang lain.
  2. Sedangkan, Abu Hanifah berpendapat bahwa seorang lelaki boleh melakukan akad nikah dan boleh berjima’ dengan perempuan pezina tersebut apabila dia yang menzinahi perempuan tersebut. Namun kalau bukan dia yang menzinahi perempuan itu, dia boleh melakukan akad nikah, tetapi tidak boleh berjima’sampai istibra‘rahim telah tampak kosong dari janin’ dalam masa sekali haid atau sampai melahirkan (kalau perempuan tersebut dalam keadaan hamil).
Tarjih
Yang lebih benar dalam masalah ini adalah pendapat pertama: wajib ‘iddah, berdasarkan dalil-dalil berikut.
Dalil pertama, hadits Abu Sa’id Al-Khudry radhiyallahu ‘anhu bahwa sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang tawanan perang Authas,
لاَ تُوْطَأُ حَامِلٌ حَتَّى تَضَعُ وَلاَ غَيْرُ حَامِلٍ حَتَّى تَحِيْضَ حَيْضَةً
Janganlah mempergauli perempuan hamil sampai ia melahirkan, jangan pula (mempergauli perempuan) yang tidak hamil sampai ia telah haid sebanyak sekali.[13]
Dalil kedua, hadits Ruwaifi’ bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa (Nabi) bersabda,
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلاَ يَسْقِ مَاءَهُ زَرْعَ غَيْرِهِ
Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhirat, janganlah ia menyiramkan airnya pada tanaman orang lain. [14]
Dalil ketiga, hadits Abu Ad-Darda` riwayat Muslim dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
أَنَّهُ أَتَى بِامْرَأَةٍ مُجِحٍّ عَلَى بَابِ فُسْطَاطٍ فَقَالَ لَعَلَّهُ يُرِيْدُ أَنْ يُلِمَّ بِهَا فَقَالُوْا نَعَمْ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ أَلْعَنَهُ لَعْنًا يَدْخُلُ مَعَهُ قَبْرَهُ كَيْفَ يُوَرِّثُهُ وَهُوَ لاَ يَحِلُّ لَهُ كَيْفَ يَسْتَخْدِمُهُ وَهُوَ لاَ يَحِلُّ لَهُ.
Beliau mendatangi seorang perempuan yang hampir melahirkan di pintu Fusthath. Beliau bersabda, Barangkali lelaki itu ingin menggauli perempuan tersebut? (Para sahabat) menjawab, Benar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda,Sungguh saya telah berkehendak untuk melaknat lelaki itu dengan laknat yang dibawa ke kuburnya. Bagaimana bisa ia mewarisinya, sedangkan itu tidak halal baginya, dan bagaimana bisa ia memperbudakkannya, sedangkan ia tidak halal baginya.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Dalam (hadits) ini ada dalil yang sangat jelas akan keharaman menikahi perempuan hamil, baik kehamilan itu karena suaminya, tuannya (kalau ia seorang budak-pent.), syubhat (yaitu menikahi lelaki yang haram ia nikahi karena tidak tahu atau karena ada kesamaran, -pent.), atau karena zina.”
Dari sini, tampaklah kekuatan pendapat yang mengatakan wajib ‘iddah. Pendapat ini yang dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Asy-Syinqithy, Syaikh Ibnu Baz, dan Al-Lajnah Ad-Da`imah (Lembaga Fatwa Arab Saudi). Wallahu A’lam.
Catatan
Dari dalil-dalil yang disebutkan di atas, tampak bahwa perempuan yang hamil karena zina tidak boleh dinikahi sampai ia melahirkan maka hal ini adalah ‘iddah bagi perempuan yang hamil karena zina tersebut. Hal ini juga ditunjukkan oleh keumuman firman Allah ‘Azza wa Jalla,
وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ.
Dan perempuan-perempuan hamil, ‘iddah mereka adalah sampai mereka melahirkan kandungannya. [Ath-Thalaq: 4]
Adapun perempuan pezina yang kehamilannya belum tampak, ‘iddahnya diperselisihkan oleh para ulama yang mewajibkan ‘iddah bagi perempuan pezina. Sebagian ulama menyatakan bahwa ‘iddahnya adalah istibradalam masa sekali haid, sedangkan sebagian ulama lain berpendapat dengan tiga kali haid, yaitu sama dengan ‘iddah perempuan yang ditalak.
Namun, pendapat yang dikuatkan oleh Imam Malik dan Ahmad -dalam satu riwayat- adalah cukup dengan istibradalam masa sekali haid. Pendapat inilah yang dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah berdasarkan hadits Abu Sa’id Al-Khudry di atas. Adapun ‘iddah dalam masa tiga kali haid hanya disebutkan dalam Al-Qur`an bagi perempuan yang ditalak (diceraikan) oleh suaminya sebagaimana dalam firman Allah Jalla Sya`nuhu,
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ.
Dan wanita-wanita yang ditalak (hendaknya) menahan diri (menunggu) selama tiga kali quru`(haid). [Al-Baqarah: 228]

Simpulan[15]
Pertama: tidak boleh menikah dengan perempuan pezina, kecuali dengan dua syarat: perempuan tersebut telah bertaubat dari perbuatan nistanya dan ‘iddahnya telah berlalu.
Kedua: ketentuan seputar perempuan pezina yang ‘iddahnya dianggap telah berlalu adalah sebagai berikut.
  1. Kalau hamil, ‘iddahnya adalah sampai ia melahirkan.
  2. Kalau belum hamil, ‘iddahnya adalah sampai ia telah haid sekali semenjak berzina tersebut. Wallahu Ta’ala A’lam.

Jawaban Kedua
Telah jelas, dari jawaban di atas, bahwa perempuan hamil, baik hamil karena pernikahan sah, karena syubhat, maupun karena zina, ‘iddahnya adalah sampai ia melahirkan. Para ulama bersepakat bahwa akad nikah pada masa ‘iddah adalah batil lagi tidak sah. Kalau tetap melakukan akad nikah dan melakukan hubungan suami-istri setelah mengetahui keharaman melakukan akad pada masa ‘iddah, keduanya dianggap pezina dan harus diberi had (hukuman) sebagai pezina kalau negara mereka menerapkan hukum Islam. Demikianlah keterangan Ibnu Qudamah[16].
Kalau ada yang bertanya, “Setelah berpisah, apakah keduanya boleh kembali setelah ‘iddah berlalu?”
Jawabannya adalah bahwa ada perbedaan pendapat di kalangan ulama.
Jumhur (kebanyakan) ulama berpendapat, “Perempuan tersebut tidak diharamkan bagi lelaki tersebut, bahkan ia boleh dipinang setelah ‘iddahnya lepas.”
Akan tetapi, pendapat mereka diselisihi oleh Imam Malik. Beliau berpendapat bahwa perempuan tersebut telah menjadi haram bagi lelaki tersebut selama-lamanya. Beliau berdalilkan dengan atsar Umar bin Al-Khaththaradhiyallahu ‘anhuyang menunjukkan hal tersebut. Pendapat Imam Malik ini juga merupakan pendapat Imam Asy-Syafi’iy yang terdahulu, tetapi, belakangan, Imam Syafi’iy berpendapat akan kebolehan menikah kembali setelah dipisahkan. Pendapat terakhir ini merupakan zhahir yang dikuatkan oleh Ibnu Katsir dalam Tafsir-nya, seraya beliau melemahkan atsar Umar yang menjadi dalil bagi Imam Malik, bahkan beliau juga membawakan atsar serupa dari Umar bin Al-Khaththaradhiyallahu ‘anhu yang menunjukkan kebolehan menikah. Oleh karena itu, simpulan pendapat yang kuat dalam masalah ini adalah bahwa keduanya boleh menikah kembali setelah ‘iddah lepas. Wal ilmu indallah.[17]

Jawaban Ketiga
Laki-laki dan perempuan hamil, yang menikah dalam keadaan keduanya mengetahui tentang keharaman menikahi perempuan hamil, kemudian keduanya tetap berjima’, dianggap berzina dan wajib dikenai hukum had -kalau keduanya berada pada negara yang menerapkan hukum Islam- serta tiada mahar bagi perempuan tersebut.
Adapun kalau keduanya tidak mengetahui tentang keharaman menikahi perempuan hamil, hal ini dianggap sebagai nikah syubhat dan keduanya harus dipisahkan karena nikah seperti ini tidaklah sah sebagaimana yang telah diterangkan.
Adapun mahar, perempuan hamil tersebut berhak mendapatkan maharnya kalau ia memang belum mengambil atau mahar tersebut belum dilunasi.
Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَإِنْ دَخَلَ بِهَا فَلَهَا الْمَهْرُ بِمَا اسْتُحِلَّ مِنْ فَرْجِهَا فَإِنْ اشْتَجَرُوْا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهَا
Perempuan mana saja yang menikah tanpa seizin walinya, nikahnya batil, nikahnya batil, dan nikahnya batil. Apabila (lelaki) tersebut telah masuk kepadanya (untuk berjima), baginya mahar dari penghalalan kemaluannya, tetapi, apabila mereka berselisih, penguasa adalah wali bagi yang tidak mempunyai wali. [18]
Nikah tanpa wali hukumnya adalah batil, tidak sah, sebagaimana nikah saat ‘iddah hukumnya batil, tidak sah. Oleh karena itu, kandungan hukum dalam hadits mencakup semuanya.
Demikian rincian Ibnu Qudamah, Ibnu Taimiyah, dan Ibnul Qayyim.
Adapun lelaki yang ingin meminang kembali perempuan hamil ini setelah ia melahirkan, ia kembali diwajibkan membayar mahar berdasarkan keumuman firman Allah Taala,
وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً.
Kepada para perempuan (yang kalian nikahi), berikanlah mahar mereka dengan penuh kerelaan. [An-Nisa`: 4]
Juga firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
فَآتُوْهُنَّ أُجُوْرَهُنَّ فَرِيْضَةً
Berikanlah mahar mereka kepada mereka sebagai suatu kewajiban. [An-Nisa`: 24]
Banyak lagi dalil lain yang semakna dengannya. Wallahu Alam.[19]




[1] Lihatlah Al-Mughny 11/227, Takmilah Al-Majmu 17/347-348, Al-Muhalla 10/263, dan Zad Al-Ma’a5/156.
[2] Lihatlah permasalahan di atas dalam Al-Ifsha8/81-84, Al-Mughny 9/562-563 (cet. Dar ‘Alam Al-Kutub), dan Al-Jami’ Li Al-Ikhtiyarat Al-Fiqhiyyah 2/582-585.
[3] Sebagaimana dalam Nail Al-Authar 4/438, Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “‘Iddahadalah istilah bagi waktu penantian seorang perempuan untuk menikah (lagi) setelah suaminya meninggal atau menceraikannya. (Berakhirnya waktu ini adalah) dengan (sebab dia) melahirkan (jika hamil), quru` (yaitu haid menurut pendapat yang kuat, -pen.), atau dengan (berlalunya) beberapa bulan.”
[4] Dalam Tafsir-nya.
[5] Dalam Al-Fatawa 32/109.
[6] Hadits hasan, diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 2051, At-Tirmidzy no. 3177, An-Nasa`iy 6/66 dan dalam Al-Kubra 3/269, Al-Hakim 2/180, Al-Baihaqy 7/153, Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 1745, serta disebutkan oleh Syaikh Muqbil rahimahullahdalam Ash-Shahih Al-Musnad Min Asbab An-Nuzul.
[7] Dihasankan oleh Syaikh Al-Albany dalam Adh-Dha’ifah 2/83 dari seluruh jalan-jalannya.
[8] Dalam Al-Fatawa 32/112-116.
[9] Dalam Adhwa` Al-Baya6/71-84. Lihat pulalah Zad Al-Ma’a5/114-115.
[10] Dalam Al-Inshaf 8/133.
[11] Dalam Al-Fatawa 32/125.
[12] Dalam Al-Mughny 9/564.
[13] Diriwayatkan oleh Ahmad 3/62, 87, Abu Dawud no. 2157, Ad-Darimy 2/224, Al-Hakim 2/212, Al-Baihaqy 5/329, 7/449, Ath-Thabarany dalam Al-Ausath no. 1973,dan Ibnul Jauzy dalam At-Tahqino. 307. Di dalam sanadnya, ada rawi yang bernama Syarik bin Abdullah An-Nakha’iy, sedang ia lemah karena hafalannya jelek, tetapi hadits ini mempunyai dukungan dari jalan lain dari beberapa orang shahabat sehingga dishahihkan dari seluruh jalan-jalannya oleh Syaikh Al-Albany dalam Al-Irwano. 187.
[14] Diriwayatkan oleh Ahmad 4/108, Abu Dawud no. 2158, At-Tirmidzy no. 1131, Al-Baihaqy 7/449, Ibnu Qani’ dalam Mu’jam Ash-Shahabah 1/217, Ibnu Sa’d dalamAth-Thabaqat 2/114-115, dan Ath-Thabarany 5/no. 4482. Dihasankan oleh Syaikh Al-Albany dalam Al-Irwa` no. 2137.
[15] Lihatlah pembahasan di atas dalam Al-Mughny 9/561-565, 11/196-197, Al-Ifsha8/81-84, Al-Inshaf 8/132-133, Takmilah Al-Majmu’ 17/348-349, Raudhah Ath-Thalibin 8/375, Bidayah Al-Mujtahid 2/40, Al-Fatawa 32/109-134, Zad Al-Ma’ad5/104-105, 154-155, Adhwa` Al-Bayan 6/71-84, dan Jami’ Li Al-Ikhtiyarat Al-Fiqhiyyah Li Syaikhil Islam Ibnu Taimiyah 2/582-585, 847-850.
[16] Dalam Al-Mughny 11/242.
[17] Lihatlah Tafsir Ibnu Katsi1/355 (cet. Dar Al-Fikr).
[18] Diriwayatkan oleh Asy-Syafi’iy sebagaimana dalam Musnad-nya 1/220, 275 dan dalam Al-Umm 5/13, 166, 7/171, 222, Abdurrazzaq dalam Mushannaf-nya 6/195, Ibnu Wahb sebagaimana dalam Al-Mudawwah Al-Kubra` 4/166, Ahmad 6/47, 66, 165, Ishaq bin Rahawaih dalam Musnad-nya 2/no. 698, Ibnu Abi Syaibah 3/454, 7/284, Al-Humaidy dalam Musnad-nya 1/112, Ath-Thayalisy dalam Musnad-nya no. 1463, Abu Dawud no. 2083, At-Tirmidzy no. 1102, Ibnu Majah no. 1879, Ibnu Jarud dalam Al-Muntaqa no. 700, Sa’id bin Manshur dalam Sunan-nya 1/175, Ad-Darimy 2/185, Ath-Thahawy dalam Syarh Ma’ani Al-Atsar 3/7, Abu Ya’la dalam Musnad-nya no. 4682, 4750, 4837, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan no. 4074, Al-Hakim 2/182-183, Ad-Daraquthny 3/221, Al-Baihaqy 7/105, 124, 138, 10/148, Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 6/88, As-Sahmy dalam Tarikh Al-Jurjan hal. 315, Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 1654, serta Ibnu Abdil Barr dalam At-Tamhid 19/85-87. Dishahihkan oleh Al-Albany dalam Al-Irwa` no. 1840.
[19] Lihatlah Al-Mughny 10/186-188, Shahih Al-Bukhary (Fath Al-Bary) 9/494, Al-Fatawa 32/198, 200, dan Zad Al-Ma’a5/104-105.

0 komentar: