Selasa, 01 Mei 2012

STUDI ISLAM DALAM PERSPEKTIF FEMINIS


Studi Islam merupakan pengetahuan yang dirumuskan dari ajaran Islam yang dipraktekkan dalam sejarah dan kehidupan manusia.[1] Untuk memahami Islam sendiri, Nasruddin Razak menawarkan beberapa metode, di antaranya adalah; Islam hendaknya dipelajari dari ketentuan normatif teologis yang ada dalam Al Qur'an, baru kemudian dihubungkan dengan kenyataan historis, empiris dan sosiologis yang ada di masyarakat.[2]
            Terkait dengan sebuah metode yang ditawarkan di atas, ada pertanyaan menarik yang perlu dikaji bersama. Apakah posisi dan kondisi kaum perempuan di masyarakat dewasa ini telah merefleksikan inspirasi posisi normatif kaum perempuan menurut ajaran Islam yang tertera dalam Al Qur'an maupun Hadis?
            Para feminis berpandangan bahwa perempuan saat ini berada dalam suatu sistem yang diskriminatif, diperlakukan tidak adil, karenanya tidak sesuai dengan prinsip keadilan dan dasar Islam. Kaum perempuan dianggap sebagai korban ketidakadilan dalam berbagai bentuk dan aspek kehidupan, yang dilegitimasi oleh suatu tafsiran sepihak dan dikonstruksi melalui budaya dan syari'at. Mereka beranggapan bahwa posisi kaum perempuan dalam kenyataannya di masyarakat saat ini, tertindas oleh suatu sistem dan struktur jender, oleh karena itu ketidakadilan tersebut harus dihentikan. Karena proses ketidakadilan tersebut berakar pada teologi yang didasarkan pada keyakinan ajaran Ialam, maka dianggap perlu untuk melakukan sebuah kajian Islam dengan pendekatan feminis.
Pendekatan Feminis
            Pendekatan feminis dalam studi agama merupakan suatu transformasi kritis dari perspektif teoritis yang ada dengan menggunakan jender sebagai kategori analisis utamanya. Feminis religius berkeyakinan bahwa feminisme dan agama keduanya sangat signifikan bagi kehidupan perempuan dan kehidupan kontemporer pada  umumnya. Sebagaimana agama, feminisme memberikan perhatian pada makna identitas dan totalitas manusia pada tingkat yang paling dalam, didasarkan pada banyak pandangan interdisipliner, baik dari antropologi, teologi, sosiologi maupun filsafat. Tujuan utama dari tugas feminis adalah mengidentifikasi sejauh mana terdapat persesuaian antara pandangan feminis dan pandangan keagamaan terhadap kedirian, dan bagaimana menjalin interaksi yang paling menguntungkan antara yang satu dengan yang lain.[3]Berpijak dari uraian ini, untuk mempermudah pembahasan maka tidak ada salahnya jika pendekatan feminis disamakan dengan upaya-upaya dari para feminis untuk mengkaji Islam dari perspektif jender.
            Term "transformasi kritis" mengindikasikan adanya dua aspek pendekatan feminis yang berbeda namun saling terkait. Dimensi kritis menentang pelanggengan historis terhadap ketidakadilan dalam agama dan praktik-praktik eksklusioner yang melegitimasi superioritas laki-laki dalam setiap bidang sosial. Aspek transformatif kemudian meletakkan kembali symbol-simbol sentral, teks dan  ritual-ritual tradisi keagamaan secara lebih tepat untuk memasukkan dan mengokohkan pengalaman perempuan yang terabaikan.
            Adanya kesadaran akan ketertindasan dalam dimensi kritis di atas, menjadikan pendekatan feminis terkesan memihak dan tidak jarang menggugat. Keberpihakan feminis terhadap nasib kaum perempuan dianggap sebagai ancaman bagi kaum laki-laki yang berusaha untuk mempertahankan status quo, sehingga bagi sebagian masyarakat pendekatan feminis dianggap sebagai sesuatu yang kontroversial.
            Perkembangan Historis Pendekatan Feminis
            Terkait dengan judul makalah ini, di mana yang kami bahas adalah pendekatan studi Islam, maka perbincangan kami batasi dengan perkembangan historis dari feminis muslim.
            Paham-paham feminisme di dunia Islam telah berkembang sejak awal abad ke-20, terbukti lewat pemikiran-pemikiran Aisyah Taimuriyah, penulis dan penyair Mesir, Zaynab Fawwas, eseis Libanon, Taj As Salthanah, dari Iran, Fatme Aliye dari Turki, Fatima Mernissi dari Maroko, Dr. Nafis Sadek dari Pakistan, Tasleema Nasreen dari Bangladesh, Amina Wadud Muhsin, Nawal El Saadawi dari Mesir serta beberapa feminis dari Indonesia. Tak bisa dielakkan bahwa perkembangan ini sedikit banyak dipengaruhi oleh feminis Barat yang lebih dahulu muncul.[4]
            Terkait dengan pengertian feminis yang merupakan kesadaran akan ketertindasan salah satu kelompok kemudian dilakukan upaya untuk menghapus ketertindasan tersebut, maka feminis tidak terbatas pada kaum perempuan saja, akan tetapi semua orang baik laki-laki maupun perempuan yang memiliki kesadaran akan ketertindasan dan melakukan upaya untuk menghilangkan ketertindasan itu. Sebaliknya, perempuan yang tidak menyadari ketertindasannya, bahkan menerima nasibnya dengan segala kepasrahan, maka dia bukanlah bagian dari feminis. Dengan demikian, selain para feminis perempuan di atas, di kalangan Islam juga dikenal beberapa feminis laki-laki seperti Ali Asgar Engineer, Didin Syafrudin, Munawir Syazali dan sebagainya.
            Sebagai istilah baru, feminisme sudah dikenal sejak awal tahun 1970-an. Terutama sejak tulisan-tulisan mengenai feminisme muncul di jurnal-jurnal dan surat kabar. Akan tetapi sampai akhir tahun 1980-an, orang masih takut untuk melakukan sesuatu yang terkait dengan feminisme, apalagi menggunakannya sebagai pisau bedah dalam memahami Islam. Baru kemudian pada tahun 1990-an istilah feminisme  yang dikaitkan dengan pemahaman Islam mulai bisa diterima. Khususnya sejak diterbitkannya beberapa buku terjemahan milik Rifat Hasan, Ali Asgar Engineer, Fatima Mernissi dan Amina Wadud Muhsin. Bersamaan dengan itu, dalam pemikiran beberapa kalangan cendikiawan muslim Indonesia pun mulai dirintis usaha ijtihad baru untuk mendapatkan penafsiran yang lebih adil dan sejajar mengenai persoalan isu-isu perempuan, sebagaimana yang dilakukan oleh Dr. Qurasy Shihab, Nurcholish madjid, Djohan Effendi dan Jalaludin Rakhmat.[5]
            Secara umum feminisme Islam merupakan alat analisis maupun gerakan yang bersifat historis dan kontekstual sesuai dengan kesadaran baru yang berkembang dalam menjawab masalah-masalah perempuan yang aktual menyangkut ketidakadilan dan ketidaksejajaran, di mana hal ini ditinjau dari perspektif jender. Para feminis muslim ini menuduh adanya kecenderungan missoginis dan patriarkhi di dalam penafsiran teks-teks keagamaan klasik sehingga menghasilkan tafsir-tafsir keagamaan yang bias dengan kepentingan laki-laki. Mereka mencontohkan tentang hukum kepemimpinan, penguasaan nafkah, stereotip tentang hijab dan sebagainya, yang dianggap menjadikan perempuan tidak mandiri secara ekonomis yang selanjutnya tergantung secara psikologis.
            Apa yang khas dari feminisme Islam ini adalah dialog yang intensif antara prinsip-prinsip keadilan dan kesederajatan yang ada dalam teks-teks keagamaan, dengan realitas perlakuan terhadap perempuan yang ada atau hidup dalam masyarakat muslim. Perubahan cara pandang dan penafsiran teks keagamaan adalah kata kunci yang paling penting dan merupakan tujuan dari feminisme Islam, vis a vis kecenderungan mempertahankan statusquo tafsir-tafsir tradisional yang mensubordinasikan peremuan sebagai manusia kelas dua.
            KARAKTERISTIK  PENDEKATAN FEMINIS
            Patriarkhi yang berpijak dari konsep superioritas laki-laki dewasa atas perempuan dan anak-anak telah menjadi isu sentral dalam wacana feminisme. Laki-laki sebagai patriarch menguasai anggota keluarga, harta dan sumber-sumber ekonomi serta posisi pengambil keputusan. Dalam realitas sosial, superioritas laki-laki juga mengendalikan norma dan hukum kepantasan secara sepihak.
            Dalam catatan sejarah, perempuan dipandang sebagai makhluk inferior, emosional, serta kurang akalnya. Kentalnya dominasi budaya patriarki seringkali tidak mampu direntas secara tuntas oleh agama-agama yang dimaksudkan untuk membebaskan manusia dari segala bentuk penindasan  yang berbasis etnik, ras, agama maupun gender. Setelah para utusan Tuhan sebagai pewarta wahyu wafat maka secara berangsur-angsur penafsiran kitab suci kembali dikendalikan oleh nilai-nilai patriarkis.[6]
            Konstruk budaya patriarki yang mapan secara universal dan berlangsung secara berabad-abad tidak lagi dipandang sebagai ketimpangan, bahkan diklaim sebagai fakta alamiah. Kemunculan agama pada dasarnya merupakan jeda yang secara periodik berusaha mencairkan kekentalan budaya patriarki. Oleh sebab itu, kemunculan setiap agama selalu mendapatkan perlawanan dari mereka yang diuntungkan dari budaya patriarki. Sikap perlawanan tersebut mengalami pasang surut dalam sejarah perkembangan manusia.
            Salah satu aspek fundamental suatu agama adalah kemampuannya untuk membebaskan manusia dari berbagai bentuk penindasan. Dalam Al Qur'an digambarkan bahwa kedatangan Nabi Muhammad bertujuan untuk membebaskan umat manusia dari belenggu penindasan yang menghilangkan integritas kemanusiaan mereka.
            Setelah Nabi wafat, sumber kebenaran lebih banyak bertumpu pada kitab suci sebagai kodifikasi firman Tuhan dan Hadis sebagai sabda Nabi yang berfungsi sebagai penjelas pesan-pesan wahyu yang bersifat general. Dalam merespon masalah-masalah yang berkembang, seiring dengan meluasnya jangkauan geografis dan lintasan kultural umat, kedua sumber tersebut membutuhkan perantara untuk menyampaikan pesan-pesan moral dan kebenaran Ilahi ini dalam satu konteks yang berbeda dengan masa pewahyuan. Proses penafsiran ini lebih lazim disebut penafsiran, di mana terjadi dialektis antara teks dan konteks yang dalam hal ini diwakili oleh perspektif para penafsir. Tanpa menuduh para mufassir yang dengan sengaja merendahkan perempuan, namun perspektif sebagai produk dari sosialisasi kultur secara kolektif, sedikit banyak akan mempengaruhi penafsiran mereka.
            Dalam wacana keagamaan, perspektif para penafsir memiliki andil dalam menerjemahkan kebenaran ilahi. Tidak seperti pewahyuan yang datang begitu saja, perspektif penafsir adalah suatu kondisi mentalitas yang terbentuk dari proses sosialisasi kolektif dari suatu konstruk budaya tertentu dan mengalami proses internalisasi individual. Dengan kata lain, perspektif adalah produk dari suatu kultur yang dalam kadar tertentu berpengaruh pada sikap seseorang, bahkan pada tingkat apapun obyektifitas dipertahankan.
            Di samping itu, proses penafsiran juga melibatkan suatu persaingan untuk menetapkan otoritas dan kompetensi penafsir, baik dari segi strata sosial, etnisitas dan juga jender. Kompetensi tersebut harus didukung oleh suatu mekanisme untuk menetapakan kebenaran resmi yang pada gilirannya dapat mengokohkan otoritas penafsir, baik secara individual maupun kolektif. Kedua aspek inilah yang berpotensi untuk mereduksi semangat emansipasi wahyu dengan lebih banyak melegitimasi kenyataan kultural di mana penafsiran dilakukan.[7]
            Sebelumnya telah dikatakan bahwa yang menjadi kata kunci dan tujuan dari feminis muslim adalah perubahan cara pandang dan penafsiran teks keagamaan, di mana hal ini dipakai untuk menghadapi fenomena yang telah diuraikan  atas. Untuk  itu  perlu  kami  ketengahkan  beberapa  pemikiran  dari Dr. Faisar Ananda Arfa mengenai dasar-dasar pemikiran serta metode pemikiran yang digunakan oleh para feminis dalam mengkaji Islam saat ini, yang kami anggap dapat mewakili kata kunci perubahan cara pandang dan penafsiran teks-teks keagamaan di atas.
            a) Dasar-Dasar Pemikiran Feminis Muslim
            Dalam komentarnya tentang perempuan, para feminis memiliki gagasan baru terkait dengan status dan peran perempuan berdasarkan Al Quran dan Hadis dengan menggunakan prinsip yang berbeda dari pendapat generasi sebelumnya. Gagasan baru ini merupakan landasan filosofis yang menjadi pijakan bagi para feminis sebagai landasan teoritis dalam mengembangkan pemikiran yang baru mengenai perempuan dalam Islam.
            1. Pintu ijtihad tetap terbuka.
            Pada pertengahan abad keempat hijrah, para ulama menyatakan bahwa pintu ijtihad telah ditutup. Dengan terjadinya kontak antara dunia Islam dengan kebudayaan Eropa, timbullah kesadaran baru bahwa dengan ditutupnya pintu ijtihad, ilmu pengetahuan serta kebudayaan umat Islam mengalami stagnasi. Maka sejak saat itu lahirlah para pembaharu yang merekomendasikan terbukanya kembali pintu ijtihad.
            Secara teoritis para ulama sebagian besar mengakui ijtihad sebagai sumber hukum yang ke tiga setelah Al Qur'an dan hadis, akan tetapi pada tataran aplikatif hal ini sama sekali berbeda.[8]  Dengan persyaratan yang ditetapkan bagi seorang mujtahid, maka mustahil akan muncul seorang mujtahid mustaqil yang memenuhi kriteria yang diterapkan pada kitab-kitab ushul klasik.
            Di samping itu ruang gerak dan jangkauan ijtihad juga dipersempit. Ijtihad hanya boleh dilakukan pada ayat-ayat zanni dan tidak dapat diterapkan pada ayat-ayat yang bersifat qad'i. Yang menjadi persoalan adalah mengenai penetapan antara ayat-ayat yang bersifat qad'i dan  yang zanni itu sendiri. Terkait dengan ayat-ayat jender, kaum tradisionalis mengklaimnya sebagai ayat yang qad'i, sehingga tidak dapat dilakukan reinterpretasi terhadapnya. Dalam hal ini para feminis muslim berusaha untuk melakukan reinterpretasi dan reaktualisasi terhadap pemahaman ajaran Islam yang dianggap tidak relevan dengan perubahan tempat dan zaman.[9]
            2. Melepaskan diri dari keterikatan masa lalu
            Bagi kalangan tradisionalis maupun neo konservatif, ajaran Islam tentang kedudukan perempuan, hak dan kedudukan mereka telah ditata rapi dan lengkap oleh Al Qur'an, sunnah dan ijtihad para ulama masa lalu sehingga menjadi blue printmasyarakat muslim yang harus diterapkan sepanjang zaman. Ketika ada yang mempertanyakan hal tersebut dan berusaha untuk melakukan modifikasi maka mereka mencurigainya sebagai suatu tindakan perusakan terhadap sendi-sendi ajaran-ajaran Islam.
            Harun Nasution mengisyaratkan agar umat Islam berpikir liberal yang berarti melepaskan diri dari tradisi dan penafsiran pada abad pertengahan. Menurutnya pemikiran dan penafsiran tidak bersifat mutlak karena penafsiran terikat pada zamannya. Senada dengan pendapat itu, Munawir Sadzali mengutip kata-kata Muhammad Abduh bahwa kita wajib membebaskan diri dari belenggu taqlid. Dia menekankan perlunya reaktualisasi ajaran-ajaran Islam yang berkaitan dengan kemasyarakatan, termasuk di dalamnya persoalan perempuan yang menurutnya tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman.[10]
            3. Perubahan zaman dapat melahirkan perubahan ajaran
            Menurut Harun Nasution, agama dan masyarakat memiliki pengaruh timbale balik. Kebudayaan yang berkembang dalam masyarakat mempengaruhi pemahaman terhadap agama. Dalam kehidupan keluarga misalnya, ajaran dasar Al Qur'an mempengaruhi perkawinan, perceraian dan poligami. Ketiganya mempengaruhi sistem keluarga umat Islam, namun penerapannya berbeda-beda sesuai dengan perbedaan tempat dan waktu.
            Masih menurut Harun, kebudayaan masa lampau mengenai perempuan mempengaruhi ajaran agama mengenai cara pelaksanaan pernikahan, perceraian dan poligami. Dengan perubahan kebudayaan di masa kini menyebabkan perubahan dalam  ketiga hal di atas. Dia menyatakan bahwa kitab-kitab fiqh yang kini beredar adalah produk dari ulama klasik yang berijtihad untuk zamannya. Sementara zaman ketika kitab-kitab fiqh tersebut ditulis dengan zaman sekarang sudah terjadi perubahan pesat, sehingga perlu diadakan reinterpretasi terhadap kitab-kitab tersebut.[11]
            4. Superioritas akal atas wahyu
            Harun mengklaim bahwa manusia dengan akalnya telah dapat menjalankan hidupnya di dunia, sebab akal dapat membedakan antara perbuatan jahat dan baik. Oleh karena itu manusia dapat menciptakan peraturan, hukum dan sanksi-sanksinya. Dengan kemampuan akal membedakan budi pekerti, manusia dapat membuat norma-norma yang hars dipatuhi sesame manusia, sehungga mereka tidak perlu menunggu wahyu untuk mengatur hidup kemasyarakatannya. Wahyu turun untuk menyempurnakan peraturan yang dibuat oleh akal manusia.
            Munawir Sadzali menjelaskan bahwa dalam rangka menentukan hukum dan perubahan serta dasar pertimbangan kea rah tersebut, Allah telah memberikan kewenangan untuk mempertimbangkannya melalui akal budi manusia. dia mendasarkan mendasaran pendapatnya pada Muhammad Abduh yang menyatakan bahwa untuk memperbaharui pemahaman agama yang harus dilakukan adalah membebaskan diri dari belenggu taqlid dan kembali kepada metode pemahaman sebelum terjadinya ikhtilaf.
            Untuk menghindari bahaya anarki berpikir, Munawir mengusulkan hendaknya pemanfaatan akal itu dilakukan ecara kolektif, dengan melibatkan para ulama di berbagai ilmu terkait. Dalam memahami ajaran Islam tidak  terikat dengan arti harfiyah dari ayat dan hadis dengan tetap mengacu pada maqasid al tasyri' yang bertalian dengan penegakan dan pemerataan keadilan, kebaikan serta kemaslahatan bagi asyarakat umum.[12]
            5. Maslahat sebagai tujuan syari'at Islam
            Para feminis juga melandasi pemikirannya denga pendapat bahwa kemaslahatan merupakan tujuan dari ditetapkannya syari'at Islam. dalam hal ini Munawir Sadzali merujuk pendapat Al Thufi yang mendahulukan maslahat atas nas dan ijma'. Pendapatini berpangkal pada konsep maqasidu al tasyri' yang menegaskan bahwa hukum Islam disyariatkan dengan tujuan untuk mewujudkan dan melindungi kemaslahatan umat manusia.
            Terkait dengan hal di atas, Ibrahm Husein mendiskripsika 4 poin yang melandasi pemikiran al Thufi tersebut. Pertama, akal semata tanpa harus melalui wahyu dapat mengetahui kebaikan dan keburuka. Akan tetapi ia membatasi kemandirian akal hanya dalam hal muamalah danadat istiadat, dan ia melepas ketergantungan pada nas baik dan buruk dalam kedua bidang tersebut. Kedua, maslahat merupakan dalil syar'imandiri yang kehujjahannya tidak bergantung pada konfirmasi nas, namun pada akal semata.Ketiga, maslahat hanya dijadikan dalil dalam hal muamalat dan adat istiadat saja, sedangkan dalam hal ibadah dan muqaddarat maslahat tidak dapat digunakan sebagai dalil. Keempat, aslahat merupakan dalil syar'i yang terkuat. Ia bukan hanya semata-mata  hujjah ketika tidak ada nas dan ijma', akam tetapi ia harus didahulukan atas nas dan ijma' pada saat terjadi pertentangan antara keduanya.[13]
            6. Keadilan sebagai dasar kemaslahatan
            Islam memiliki misi universal, yaitu menegakkan keadilan demi tercapainya kemaslahatan umat manusia yang juga merupakan tujuan dari diterapkannya syari'at Islam. Pesan universal ini tercantum secara jelas dalam Al Qur'an serta berlaku dalam setiap tempat dan waktu. Sementara ukuran keadilan akan berbeda dari masa ke masa dan antara satu tempat dengan tempat lain. Sebagai contoh, anak perempuan mendapat bagian harta waris setengah dari anak laki-laki pada saat Al qur'an diturunkan merupakan wujud dari suatu keadilan, mengingat sebelumnya perempuan tidak mendapatkan sedikitpun dari bagian harta waris. Dengan perubahan zaman yang disertai dengan perubahan kedudukan perempuan dalam sistem masyarakat, maka nilai dan ukuran keadilan itupun sudah selayaknya turut berubah. Hal ini nampak dalam tindakan kaum muslim yang membagi harta warisan sebelum waktunya, dengan kata lain memberikannya dalam bentuk hibah. Bagi kaum feminis hal ini merupakan indikasi dari ketidakpuasan masyarakat dengan hukum Islam dalam kaitannya dengan mawaris yang selama ini dipahami secara tekstual. Dengan alasan ini maka kaum feminis menawarkan suatu solusi metode kontekstualisasi dan reaktualisasi dalam pemahaman ayat al Qur'an. Menurut mereka pembagian yang tersurat dalam Al Qur'an merupakan cara Al Qur'an untuk mewujudkan keadilan. Jika keadilan dirasa tidak dapat dicapai dengan ketentuan tersebut, maka manusia memiliki wewenang untuk menyamaratakan pembagian.[14]
            b) Metode Pemikiran Para Feminis
            1. Mereduksi Kekuatan Qat'i
            Sebenarnya terdapat titik temu antara para feminis dengan para pengkritik mereka dalam tataran teologis, yaitu dalam menggunakan ayat-ayat Al Qur'an sebagai dasar argumen mereka. Sebagai contoh, mengenai penciptaan manusia mereka sama-sama mengutip surat ali Imran : 195, mengenai amal perbuatan manusia mereka mengutip surat al Mumtahanah : 12 dan tentang keadilan mereka mengutip surat al Baqarah ayat 228. Akan tetapi pada tataran aplikatifnya dan ketika bersentuhan dengan ranah sosial, ayat-ayat al Qur'an seolah-olah banyak yang bertentangan dengan ayat yang mendukung keadilan jender. Misalkan saja ayat tentang jilbab, pambagian mawaris, nilai kesaksian perempuan setengah dari laki-laki, poligami dan masalah yang terkait dengan pernikahan lainnya. Dalam memahami ayat-ayat ini, antara kaum feminis dan pengkritiknya terjadi perbedaan yang sangat tajam.
            Menurut pemahaman tradisional, aturan-aturan di atas merupakan hukum yang wajib untuk ditaati tanpa perlu dipertanyakan lagi, sebab ketentuan tersebut bersifat qat'i al subut dan qat'i ad dilalah. Sedangkan menurut para feminis ayat-ayat tersebut harus dipahami secara kontekstual dan perlu direkonstruksi agar sesuai dengan pesan keadilan yang termuat dalam ayat lain. Selajutnya para feminis berusaha melonggarkan diri dari ikatan fiqh maupun usul fiqh yang telah menetapkan kaidah qat'i dilalah dengan konsekuensi menerima secara total perubahan dengan beberapa metode. Pertama,dengan memperkecil jumlah ayat-ayat qat'i. al Qur'an diakui keqat'iannya dari sudut subutnya, namun dari segi dalalahnya ditimbulkan kesan bahwa jumlah ayat yang qat'i sangat sedikit sehingga tidak banyak ayat Al Qur'an yang bersifat absolut. Kedua,keqat'ian suatu ayat mencakup pengertian di balik teks. Artinya, keqat'ian al Qur'an tetap diakui, namun pemahamannya tidak secara tekstual, melainkan dari sisi pesan universal yang terkandung di dalamnya. Konsep asbabun nuzul pun menurut mereka perlu diperluas, yang semula hanya merupakan sebab turunnya ayat diperluas menjadi kondisi sosial budaya dan ekonomi masyarakat ketika al Qur'an turun. Ketiga,memfiqhkan hukum qat'i. sebuah nas yang dianggap qat'i masih mungkin dipertanyakan apakah qat'inya fi jami' al ahwal atau fi ba'di al ahwal. Jika merupakan fi ba'di al ahwal maka dapat difiqhkan. Jika tidak, maka semua hukum qat'i dari segi penerapan berlaku fi jami' al ahwal. Sebab kalau qat'inya umum pasti ada yang mentakhsisnya, jika qat'inya mutlaq ada yang mentaqyidnya. Oleh karena itu, memfiqhkan qat'i ini dari segi pentatbiqannya, bukan dari lafalnya yang menafikan seluruh bentuk ihtimal.[15]
            2. mengutamakan ayat-ayat kulli daripada  ayat-ayat juz'i
            Ayat-ayat kulli merupakan ayat yang turun di Mekah sedangkan ayat-ayat juz'i turun di Madinah. Metode ini dapat dilihat dari ayat-ayat yang dipergunakan Utuk mendasari argumen mereka. Mereka lebih cenderung memilih ayat-ayat makiyah yang bersifat umum. Ayat-ayat makiyah merupakan pesan Islam yang eternal dan fundamental, menempatkan penghormatan yang inherent bagi semua manusia tanpa membedakan jender, kepercayaan agama, suku dan lainnya. Akan tetapi ketika pesan ini ditolak dan mayoritas masyarakat menunjukkan ketidaksiapan mereka terhadap penerapannya, maka pesan yang lebih realistis dari periode Madinah dipersiapkan dan diterapkan. Dalam hal ini, aspek-aspek dari pesan Makiyyah yang belum sesuai dengan kondisi ditangguhkan dan digantikan oleh prinsip-prinsip yang lebih praktis yang diwahyukan dan diterapkan selama periode Madinah. Sedangkan pesan-pesan Makiyyah itu tidak hilang sebagai sumber hukum, namun ditunda dan dipersiapkan untuk kondisi masa depan yang memungkunkan. Jika tidak, maka aspek-aspek Islam yang eternal dan superior itu akan lenyap. Dengan demikian yang menjadi tesis sentral dalam hal ini adalah untuk merespon ketentuan wahyu.[16]
            3. Naskh sebagai metode antisipasi terhadap perubahan hukum
            Munawir Sadzali mengangkat metode klasik yang disebut naskh, akan tetapi ia menggunakannya dengan cara yang berbedasehingga menunjukkan perubahan yang radikal karena memberikan peran yang luas kepada akal untuk melakukan reinterpretasi kepada ayat dan hadis. Dengan bersandar pada pendapat ulama terdahulu tentang terjadinya naskh dalam al Qur'an maupun hadis, ia juga mengusung metode ini untuk mengklaim bahwa perubahan hukum adalah sesuatu hal yang niscaya dan sesuai dengan perkembangan zaman dan perbedaan tempat. Bedanya dengan metode terdaulu adalah, apabila para ulama membatasi terjadinya naskh dalam lingkaran wahyu akan tetapi ia menjadikan akal budi manusia sebagai alat yang dapat menaskh wahyu, baik yang termaktub dalam ayat maupun hadis nabi. Pemikiran ini bertentangan dengan pemahaman yang telah mapan bahwa akal manusia tidak berwenang menghapus hukum Allah.[17]
            4. Kontekstualisasi ajaran Islam
            Dalam menafsirkan suatu ayat atau istinbat, hukum ulama selalu menjadikanasbabun nuzul sebagai syarat keabsahan sebuah penafsiran. Jumhur ulama sepakat dalam menetapkan sebuah kaidah al ibratu bi umumi lafzi la bi khususi sabab. Jadi focus utama dalam kaidah ini adalah bunyi teks terhadap suatu kasus, bukan proses sebuah kasus itu terjadi.
            Adapun para feminis menggunakan kaidah yang sebaliknya dengan mengkompromikannya. Dilihat dari argumen mereka, metode yang digunakan adalah kombinasi dari kaidah al ibratu bi 'umui al lafz dan al ibratu bi khususi al asbab. Artinya, dengan kaidah ini sebab-sebab turunnya ayat menjadi alat penentu dalam penafsiran suatu ayat. Yang lebih menarik, definisi asbabun nuzul di kalangan feminis meluas dari sekedar turun dalam pengertian sempit kepada konteks sosial masyarakat ketika ayat tersebut turun.
            Berdasarkan argumen ini maka ketika pembicaraan tentang ayat kepemimpinan lali-laki atas perempuan, ayat tersebut tidak ditetapkan secara general, namun secara khusus dalam lingkup rumah tangga. Berbeda dengan penafsiran klasik yang menerapkannya secara general sehingga membatasi seorang perempuan untuk menjadi pemimpin di wilayah publik.[18]
            5. Penerapan metode tafsir maudu'i
            Metode tafsir yang dominan dipergunakan dalam sejarah adalah metode tahlili yang menganalisis secara kronologis dan menjelaskan berbagai aspek yang terkandung dalam ayat-ayat al Qur'an. Dengan metode ini yang menjadi sorotan utama adalah teks. Kelemahan dalam menggunakan metode ini adalah tidak mendapatkan jawaban yang utuh dan tuntas.
            Oleh karena it,metode maudu'i menjadi metode alternatifyang sangat diminati oleh kalangan ahli tafsir modern dan menjadi pilihan bagi para feminis untuk menafsirkan ayat-ayat jender. Quraisy Shihab mendefinisikannya sebagai tafsir yang menetakan topik tertentu dengan jalan menghimpun seluruh atau sebagian ayat dari beberapa surat yang membicarakan masalah tertentu yang kemudian dikaitkan antara yang satu dengan yang lain. Kemudian diambil kesimpulan secara menyeluruh menurut pandangan al Qur'an.
            Dengan metode pendekatan seperti ini terjadi perubahan penafsiran yang cukup radikal. Misalnya, bila menggunakan metode tahlili kesan yang ditimbulkan adalah bahwa Islam memberikan legitimasi terhadap poligami berdasarkan penafsiran terhadap surat an Nisa' : 3. akan tetapi dengan metode maudu'i ditimbulkan kesan selektifitas al Qur'an, bahkan pelarangan terhadap praktik poligami. Kerja metode ini adalah memusatkan perhatian kepada ayat-ayat al Qur'an secara umum tentang suatu tema, termasuk asbabun nuzul, kemudian menetapkan satu kesimpulan. Sehingga meskipun surat an Nisa' : 3 mengesankan kebolehan poligami dengan persyaratan dapat berlaku adil, namun pada ayat 129 dapat diartikan sebagai penolakan terhadap praktik poligami.[19]
 KESIMPULAN
            1. metode pendekatan feminis merupakan cara mengkaji Islam dengan perspektif jender, di mana yang diusung adalah ketidaksetaraan, marginalisasi terhadap perempuan dan sebagainya.
            2. Dengan metode, meskipun mendekati keadilan, namun tidak berarti semua orang setuju dengan metode ini, terutama bagi orang-orang atu golongan tertentu yang merasa diuntungkan dari budaya patriarkhi.
            3. Karena feminis timbul atas dasar sebuah persoalan, maka di dalam metode ini terkesan adany keterpihakan, bahkan tidak jarang ada orang yang menganggapnya sebagai sebuah tindakan yang kebablasan atau terlalu apologis dalam menafsirkan suatu ayat.

 DAFTAR PUSTAKA
*Dr. H. Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, Bandung: Rajawali Press
*Dr. Faisar Ananda Arfa, Wanita Dalam Konsep Islam Modernis, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004,
*Dr. Khoirudin Nasution, Ushul Fiqh: Sebuah Kajian Fiqh Perempuan, Mazhab   Jogja, Menggagas paradigma ushul Fiqh Kontemporer, Yogyakarta:           Fakultas Syariah Sunan Kaijaga, 2002
*Siti Muslikhati, Feminisme dan Pemberdayaan Perempuan dalam Timbangan     Islam, Jakarta: Gema Insani, 2004
*Dra. Siti Ruhaini Dzuhayatin, MA., dkk, Rekonstruksi Metodologis Wacana         Kesetaraan Jender dalamIslam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
*Sue Morgan, Pendekatan Feminis, Aneka Pendekatan Studi Agama, ed. Peter       Connolly, Yogyakarta: LKis, 2002
*Zakiyudin Baydhawy. ed, Wacana Teologi Feminis, Yogyakarta: Pustaka            Pelajar, 1997
           
                         



[1] Dr. H. Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, Bandung: Rajawali Press, hlm. 104
[2] Ibid, hlm. 109
[3] Sue Morgan, Pendekatan Feminis, Aneka Pendekatan Studi Agama, ed. Peter Connolly, Yogyakarta: LKis, 2002, hlm. 63.
[4] Siti Muslikhati, Feminisme dan Pemberdayaan Perempuan dalam Timbangan Islam, Jakarta: Gema Insani, 2004, hlm. 46
[5] Dra. Siti Ruhaini Dzuhayatin, MA., dkk, Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Jender dalamIslam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hlm. 28
[6] Dr. Khoirudin Nasution, Ushul Fiqh: Sebuah Kajian Fiqh Perempuan, Mazhab Jogja, Menggagas paradigma ushul Fiqh Kontemporer, Yogyakarta: Fakultas Syariah Sunan Kaijaga, 2002, hlm. 253
[7] Zakiyudin Baydhawy. ed, Wacana Teologi Feminis, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997, hlm. 11
[8] Dr. Faisar Ananda Arfa, Wanita Dalam Konsep Islam Modernis, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004, hlm. 138
[9] Ibid, hlm. 139
[10] Ibid, hlm. 144
[11]Ibid, hlm. 152
[12] Ibid, hlm. 154
[13] Ibid, hlm. 156
[14] Ibid, hlm. 160
[15] Ibid, hlm. 166
[16] Ibid, hlm. 170
[17] Ibid, hlm. 172
[18] Ibid, hlm. 174

0 komentar: