Senin, 04 Juni 2012

METODE ISTIDLAL DAN POLA PEMIKIRAN IMAM SYAFI'I DALAM MENETAPKAN HUKUM ISLAM


                
Dalam mengistinbathkan (mengambil dan menetapkan) suatu hukum, Imām al-Syāfi’i   dalam bukunya al-Risalah menjelaskan. Bahwa ia memakai lima dasar: al-Qur'an, Sunnah, Ijma’, Qiyas dan Istidlal. Kelima dasar ini yang kemudian dikenal sebagai dasar-dasar mazhab Syafi’i. Dasar pertama dan utama dalam menetapkan hukum adalah al-Qur’an, kalau suatu masalah tidak menghendaki makna lafzi barulah ia mengambil makna majazi (kiasan), kalau dalam al-Qur'an tidak ditemukan hukumnya, ia beralih pada Sunnah Nabi s.a.w. Sunnah yang dipakai adalah Sunnah yang nilai kuantitasnya mutawatir (perawinya banyak) maupun ahad (perawinya satu orang), Sunnah yang nilai kualitasnya sahih maupun hasan, bahkan sunnah da`if.
Adapun syarat-syarat untuk semua sunnah da`if adalah: tidak terlalu lemah, dibenarkan oleh kaidah umum atau dasar kulli (umum) dari nas, tidak bertentangan dengan dalil yang kuat atau sahih dan hadis tersebut bukan untuk menetapkan halal dan haram atau masalah keimanan, melainkan sekedar untuk keutamaan amal (fada’il al-‘amal) atau untuk himbauan (targib) dan anjuran (tarhib).[1]
Dalam pandangan Imām al-Syāfi’i hadis mempunyai kedudukan yang begitu tinggi bahkan disebut-sebut salah seorang yang meletakkan  hadis setingkat dengan al-Qur'an dalam kedudukannya sebagai sumber hukum Islam yang harus diamalkan. Karena, menurutnya, hadis itu mempunyai kaitan yang sangat erat  dengan al-Qur'an. Bahkan menurutnya, setiap hukum yang ditetapkan Rasulullah s.a.w. pada hakikatnya merupakan hasil pemahaman yang ia peroleh dari memahami al-Qur'an.[2]
Satu hal yang perlu diketahui bahwa Imām al-Syāfi’i tidak bersikap fanatik terhadap pendapat-pendapatnya, hal ini nampak pada suatu ketika ia pernah berkata: “Demi Allah aku tidak peduli apakah kebenaran itu nampak melalui lidahku atau melalui lidah orang lain.”[3]

Adapun penjelasan dari masing-masing sumber hukum tersebut adalah sebagai berikut:

1.  Al-Qur’an

Sebagaimana imam-imam lainya Imām al-Syāfi’i menempatkan al-Qur’an pada urutan pertama, karena tidak ada sesuatu kekuatan pun yang dapat menolak keontetikan al-Qur’an. Sekalipun sebagian hukumnya harus diakui masih ada yang bersifat zanni, sehingga dalam penafsirannya terdapat perbedaan pendapat.
Dalam pemahaman Imām al-Syāfi’i atas al-Qur’an, ia memperkenalkan konsep al-bayan. Melalui konsep al-bayanini, ia kemudian mengklafikasikan dilalah nas atas ‘amm dan khas. Sehingga ada dilalah `amm dengan maksud `amm, ada pula dilalah ‘ammdengan dua maksud ‘amm dan khas, dan ada pula dilalah ‘ammdengan maksud khas.
Klasifikasi lain adalah dilalah tertentu yang maknanya ditentukan oleh konteksnya, ada juga dilalah yang redaksinya menunjuk arti implisit bukan eksplisit, bahkan ada pernyataan ‘ammyang secara spesifik ditunjukkan oleh sunnah bahwa maksudnya khusus.[4]

2.  Al-Sunnah

Menurut Imam al-Syafi`i yang dimaksud adalah al-Hadis.[5]Al-Sunnah selain sebagai sumber yang kedua setelah al-Qur’an juga sebagai pelengkap yang menginterpretasikan isi kandungan al-Qur’an, sehingga kedudukan al-Sunnah atas al-Qur’an sebagai berikut:
  1. Ta`kid, menguatkan dan mengokohkan al-Qur’an.
  2. Tabyin, menjelaskan maksud nas al-Qur’an.
  3. Tasbit, menetapkan hukum yang tidak ada ketentuan nasnya dalam al-Qur’an.[6]
  4. Dilalah-dilalah al-Sunnah meskipun hukumnya berdiri sendiri tidak ada yang bertentangan dengan dilalah nas al-Qur’an, karena al-Sunnah selain bersumber pada wahyu juga ada faktor lain yang menyebabkan keontetikkan al-Sunnah yaitu terpeliharanya Nabi dari dosa dan kekeliruan sejak kecil.
Dalam implementasinya, Imām al-Syāfi’i memakai metode, apabila di dalam al-Qur’an tidak ditemukan dalil yang dicari maka menggunakan hadis mutawatir. Namun jika tidak ditemukan dalam hadis mutawatir baru ia menggunakan hadis ahad. Meskipun begitu, ia tidak menempatkan hadis ahad sejajar dengan al-Qur’an dan juga hadis mutawatir.
Imām al-Syāfi’i menerima hadis ahad mensyaratkan harus memenuhi beberapa hal sebagai berikut:
a.       Perawi dapat dipercaya keagamaannya dan juga tidak menerima hadis dari orang yang tidak dipercaya.
b.      Perawinya dabit.
c.       Perawinya berakal dalam artinya bisa memahami apa yang diriwayatkan.
d.      Hadis yang diriwayatkan tidak menyalahi ahli hadis yang juga meriwayatkan.
Dalam masalah hadis mursal Imām al-Syāfi’i   menetapkan dua syarat:
a.       Mursal yang disampaikan oleh tabi`in yang berjumpa dengan sahabat.
b.      Adapetunjuk yang menguatkan sanad mursal itu.[7]
Adapun dalam menanggapi pertentangan al-Sunnah dengan al-Sunnah Imam  al-Syafi’i membagi kepada dua bagian:
a.      Ikhtilaf yang dapat diketahui nasikh-mansukhnya, maka diamalkanlah yang nasikh.
b.      Ikhtilaf yang tidak dikeahui nasikh-mansukhnya.
Dalam ikhtilaf yang terakhir di atas, Imam al-Syafi’i membaginya dalam dua kategori:
a.       Ikhtilaf yang dapat dipertemukan.
b.      Ikhtilaf yang tidak dapat dipertemukan.
Adapun jika terjadi suatu pertentangan yang tidak dapat dipertemukan, dalam hal ini, ia menempuh cara berikut ini:
a.       Menentukan mana yang lebih dulu dan mana yang baru kemudian, dan yang  terdahulu dianggap mansukh, sehingga harus dapat diketahui asbab al-wurudnya.
b.      Jika tidak diketemukan maka harus dipilih salah satu yang terkuat berdasarkan sanad-sanadnya.[8]
3.   Ijma’
Ijma’ menurut Imām al-Syāfi’i adalah kesepakatan para ‘ulama’ diseluruh dunia Islam, bukan hanya disuatu negeri tertentu dan bukan pula ijma` kaum tertentu saja. Namun Imam al-Syafi`i tetap berpedoman bahwa ijma` sahabat adalah ijma’ yang paling kuat.
Imām al-Syāfi’i mendefinisikan ijma’ sebagai konsensus ulama dimasa tertentu atas suatu perkara berdasarkan riwayat Rasul. Karena menurutnya mereka tidak mungkin sepakat dalam perkara yang bertentangan dengan al-Sunnah.[9]
Imām al-Syāfi’i membagi ijma’ menjadi dua yaitu ijma’ sarih dan ijma’ sukuti. Namum yang paling diterima olehnya adalah ijma’ sarihsebagai dalil hukum. Hal ini menurutnya, dikarenakan kesepakatan itu disandarkan kepada nas, dan berasal dari secara tegas dan jelas sehingga tidak mengandung keraguan. Sedangkan ijma’ sukuti ditolaknya karena tidak merupakan kesepakatan semua mujtahid. Dan diamnya mujtahid menurutnya, belum tentu mengindikasikan persetujuannya.
Melihat kondisi kehidupan para ulama dimasanya yang telah terjadi ikhtilaf dikalangan mereka, maka menurutnya, ijma` hanya terjadi dalam pokok-pokok fardu dan yang telah mempunyai dasar atau sumber hukum.[10]
4.  Qiyas
Muhammad Abu Zahrah menjelaskan bahwa ulama yang pertama kali mengkaji qiyas (merumuskan kaidah-kaidah dan dasar-dasarnya) adalah Imām al-Syāfi’i.[11] Dengan demikian Imām al-Syāfi’i menjadikan qiyas sebagai hujjah ke empat setelah al-Qur’an, as-Sunnah, dan ijma’ dalam menetapkan hukum Islam.[12]Ia menempatkan qiyas setelah ijma`, karena ijma’ merupakan ijtihad kolektif sedangkan qiyas merupakan ijtihad individual.
Syarat-syarat qiyas yang dapat diamalkan menurut Imām al-Syāfi’i   adalah sebagai berikut:
a.       Orang itu harus mengetahui dan mengusai bahasa arab.
b.      Mengetahui hukum al-Qur’an, faraid, uslub, nasikh-mansukh, ‘amm-khas, dan petunjuk dilalah nas.
c.       Mengetahui Sunnah, qaul sahabat, ijma` dan ikhtilaf dikalangan ulama.
d.      Mempunyai pikiran sehat dan prediksi bagus, sehingga mampu membedakan masalah-masalah yang mirip hukumnya.[13]
5.  Istidlal
Bila Imām al-Syāfi’i tidak mendapatkan keputusan hukum dari ijma` dan tidak ada jalan dari qiyas, maka barulah ia mengambil dengan jalan istidlal, mencari alasan, bersandarkan atas kaidah-kaidah agama, meski itu dari ahli kitab yang terakhir yang disebut “syar`u man qablana” dan tidak sekali-kali mempergunakan pendapat atau buah pikiran manusia, juga ia tidak mau mengambil hukum dengan cara istihsan, seperti yang biasa dikerjakan oleh ulama dari pengikut Imam Abu Hanifah di Bagdad dan lain-lainnya.[14]





[1] Muhammad bin Idris al-Syafi’i, al-Risalah, (Beirut:  Dar al-Fikr, t.t.). hlm. 508.
[2] Ibid., hlm. 508.

[3] Yusuf al-Qardawi, Fiqh Perbedaan Pendapat antar Gerakan Islam, cet. ke-4 (Jakarta: Rabbani Press, 2002), hlm. 190.
[4] M. Idris al-Syafi`i, al-Risalah, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.) hlm.21-23.

[5] Ibid., hlm. 180.

[6] Ibid, hlm. 190.
[7] Huzaimah T.Y., Pengantar Perbandigan Mazhab, (Jakarta: logos Wacana Ilmu,1999), hlm. 130.
[8] Ibid., hlm. 130.

[9] Muhammad bin Idris al-Syafi`i, al-Risalah, hlm.472.
[10] T.M.  Hasbi al-Shidieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab, (Semarang: PT. Pustaka Rizqi Putra), hlm. 28.

[11] Abu Zahrah, al-Syafi`i  Hayatuhu wa Asruhu wa Ara’uhu wa Fiqhuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, 1418 H. / 1997), hlm.298.

[12] Huzaimah T.Y., Pengantar…, hlm. 130.

[13] M. Idris al-Syafi`i, Risalah, hlm.510-511.
[14] Moenawir Chalil, Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), hlm. 245.

0 komentar: