Kamis, 21 Juni 2012

PESONA ORANG YANG BERIMAN



Dalam sebuah kesempatan, Rasulullah S.a.w pernah berkata kepada sahabat Abu Dzarr al-Ghifari r.a:

عن أَبِي ذَرٍ قالَ ،: قالَ لي رَسُولُ الله: «اتَّقِ الله حَيْثُ مَا كُنْتَ ، وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا، وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ (رواه الترمذي) 
 
Bertakwalah kepada Allah di manapun engkau berada, dan ikutilah perbuatan burukmu itu dengan perbuatan yang baik yang dapat menghapusnya, dan pergaulilah orang-orang dengan akhlak yang baik. (HR. Tirmidzi)

Pertama, bertakwa kepada Allah di manapun berada. Seseorang yang mengaku bertakwa kepada Allah, maka ketakwaan itu selamanya harus senantiasa melekat pada dirinya. Setiap mukmin harus terus berusaha agar dirinya selalu dalam keadaan bertakwa. Takwa secara harfiah artinya takut. Orang yang bertakwa adalah orang yang takut akan murka dan adzab Allah. Oleh karenanya, ia akan selalu menjalankan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Dengan kata lain, perasaan takut kepada Allah itu merupakan motif utama takwa dalam diri seseorang. Maka, orang yang berbuat maksiat adalah orang-orang yang di dalam dirinya tidak ada perasaan takut kepada Allah.      

Hadits Nabi S.a.w di atas, اتَّقِ الله حَيْثُ مَا كُنْتَ (bertakwalah kepada Allah di manapun kamu berada), artinya seorang mukmin harus selalu menjaga dirinya dari kemungkinan terjerumus kepada hal-hal dan tindakan-tindakan maksiat. Di rumah ia bertakwa, di luar rumah pun tetap bertakwa. Ada orang yang ketika di rumah --apalagi ketika di masjid--, nampak sekali ketakwaannya paling tidak bisa dilihat dari pakaian dan sikapnya, tetapi begitu sampai di kantor takwanya mulai goyah karena ada godaan jabatan. Seorang pedagang ketika di pasar takwanya melemah karena setan menggodanya untuk berbuat curang. Padahal Nabi S.a.w menganjurkan agar ketakwaan kita senantiasa bersama kita: di rumah, kantor, pasar, mall, sekolah, dan lain sebagainya.

Kedua, وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا (ikutilah perbuatan burukmu itu dengan perbuatan yang baik yang dapat menghapusnya). Setiap orang pasti pernah berbuat kesalahan, baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja, karena manusia itu tempatnya lupa dan salah (الإنسان مكان الخطأ والنسيان). Nabi mengajarkan kepada kita bahwa setiap perbuatan salah harus segera diikuti oleh perbuatan baik. Seseorang tanpa sengaja mungkin saja bersikap yang menimbulkan efek merendahkan orang lain, atau karena emosi, memukul temannya sendiri. Maka segeralah meminta maaf yang diikuti dengan perbuatan baik. Sebagai seorang karyawan, suatu ketika mungkin ia melakukan kekeliruan dalam pekerjaannya, tetapi Islam melarang seseorang terpuruk dengan kesalahannya apalagi sampai menimbulkan sikap putus asa. Kesalahan dan kekeliruannya di masa lalu harus ia tebus dengan prestasi kerja yang dapat dibanggakan di masa-masa yang akan datang. Itulah diantara maksud petikan hadits Nabi tadi.

Hal ini mengajarkan kepada kita bahwa seseorang tidak dibenarkan memelihara kesalahan pada dirinya, apalagi melestarikannya. Bahwa seseorang akan sangat mungkin melakukan kesalahan, adalah benar dan merupakan sesuatu yang bersifat manusiawi, tetapi ia tidak boleh berhenti hingga di situ saja: ia harus berusaha sekuat tenaga dengan sungguh-sungguh untuk memperbaikinya. Kesalahan pertama mungkin masih bisa dimaafkan, tetapi kesalahan yang sama pada kali kedua, ketiga dan seterusnya menunjukkan bahwa pelakunya tidak berusaha untuk sadar dan menyadari kekeliruannya itu. Ini masalah komitmen, yaitu tekad dan niat yang kuat dalam dirinya untuk secara terus-menerus melakukan perbaikan-perbaikan.

وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُواْ فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُواْ أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُواْ اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُواْ لِذُنُوبِهِمْ وَمَن يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلاَّ اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّواْ عَلَى مَا فَعَلُواْ وَهُمْ يَعْلَمُونَ (آل عمران : 135)

Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui. (Q, s. Alu Imran / 3:135)

Ketiga, وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ (Pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik). Setiap mukmin dituntut untuk menunjukkan akhlak yang baik dan budi pekerti yang luhur. Misalnya, orang-orang mukmin apabila mereka bertemu akan saling bertegur sapa, mengucapkan salam dan berjabat-tangan sambil menebarkan senyuman masing-masing. Meskipun nampak sepele, tetapi hal ini tidak gampang dilakukan oleh orang-orang yang di dalam hatinya ada perasaan sombong atau merasa dirinya lebih dari yang lain. Misalnya, seseorang karena merasa dirinya sebagai pejabat tidak mau bersalaman dengan pegawai rendahan. Seorang majikan karena merasa dirinyalah yang menggaji pembantu, ia tidak mau mengucapkan salam kepadanya. Bahkan seorang ulama sekalipun karena ingin kelihatan berwibawa ia enggan menebar senyum kepada jamaahnya. Tegur sapa, jabat-tangan, ucapan salam dan senyum manis adalah pesona seorang mukmin. Apabila orang-orang mukmin mau melakukannya, maka berbagai masalah berat dan perselisihan diantara kaum muslimin akan mudah diselesaikan.

Itulah karakteristik seorang mukmin. Pesonanya terletak pada keluhuran akhlak dan kebaikan budi pekertinya, yang tersimpul pada tiga hal sebagaimana diwasiatkan Nabi S.a.w: bertakwa di manapun berada, memperbaiki kesalahan yang telah diperbuatnya dengan perbuatan baik, dan menampilkan akhlak yang baik dalam bergaul dengan orang lain.

مَا مِنْ شَيْئٍ فِي المِيْزَانِ أَثْقَلَ مِنْ حُسْنِ الخُلُقِ (أخرجه أبو داود والترمذي)

Tidak ada sesuatu dalam timbangan Allah pada Hari Kiamat nanti yang lebih berat daripada budi pekerti yang baik (HR. Abu Dawud & Tirmidzi)

0 komentar: