Jumat, 22 Juni 2012

SEKILAS TENTANG PERANG HUNAIN



Ketika Hawazin mengetahui kesuksesan kaum muslimin dalam penaklukan Makkah, mereka khawatir pasukan Muhammad akan menyerang mereka dan menghancurkan rumah-rumah mereka. Maka sebelum terjadi, mereka berpikir untuk menyerang kaum muslimin lebih dulu dan menyiapkan segala yang dibutuhkannya.

Malik bin 'Auf al-Nashriy mengumpulkan orang-orang Hawazin dan Tsaqif. Dia berjalan membawa pasukannya hingga tiba di Wadi Authas (lembah Authas). Berita ini telah sampai ke telinga kaum muslimin setelah 15 hari dari penaklukan Makkah dan mereka segera bersiap-siap menghadapi kabilah Hawazin dan Tsaqif.  Malik rupanya cukup cerdik. Dia memutuskan untuk memerintahkan pasukannya meninggalkan Wadi Authas dan menyingkir ke puncak Hunain di lorong sempit sebuah lembah. Wadi Authas dibiarkan tanpa pertahanan. Di tempat itu, Malik mengatur dan memberikan perintah-perintahnya. Di antara perintahnya adalah jika kaum muslimin tiba di lembah, maka pasukannya harus segera menyerang mereka secara serentak dan memberi pukulan yang mematikan sehingga barisan mereka bubar. Serangan ini diharapkan  akan mengacaukan barisan pasukan pemburu dan pemanah Muhammad sehingga sebagian mereka dengan sebagian yang lain campur aduk dan saling memukul. Di tengah suasana itu, pasukan Malik akan melancarkan serangan gencar dan  keras. Malik akhirnya menetapkan strategi ini  dan menunggu kedatangan pasukan Islam.

Tidak berapa lama pasukan kaum muslimin tiba. Rasululah bergerak dengan membawa 10.000 pasukan yang baru menaklukkan Makkah ditambah 2.000 pasukan dari orang Quraisy yang baru masuk Islam di Makkah. Pasukan besar ini dan sejumlah para pengikutnya bergerak untuk berperang. Mereka tiba di lembah Hunain sore hari, kemudian berencana istirahat di sana hingga menjelang fajar. Akan tetapi, di ujung akhir malam,  pasukan bergerak, sementara Rasul yang menunggang bagal putihnya berada di barisan akhir pasukan. Pasukan bergerak menuruni lembah dan tidak merasakan adanya ancaman. Namun, di tengah keheningan itu, tiba-tiba kabilah-kabilah musuh menyerang mereka.  Malik bin 'Auf  telah memberi komando kaum prianya untuk menyerang kaum muslimin secara mendadak. Serangan dilancarkan dengan sangat kejam. Kaum muslimin dihujani anak panah. Mereka dalam kegelapan waktu fajar  tidak merasakan apa-apa kecuali hujan anak panah yang menimpa mereka dari semua arah. Mereka panik dan bingung karena serangan yang munculnya secara tiba-tiba. Keadaan mereka kacau dan menjadi tumpang. Pasukan Muhammad mengalami   goncangan yang sangat berat. Mereka mundur dalam posisi terus  terserang dan meninggalkan medan tanpa menunggu komando apa pun. Ketakutan telah menguasai mereka dan kecemasan menerkam hati mereka. Setiap orang dari mereka takut terhadap musuh. Mereka terpaksa lari meninggalkan Rasul tanpa menunggu perintah. Beliau  dibiarkan tertinggal di ujung belakang pasukan. Mereka benar-benar dalam keadaan terserang yang memaksa mereka berlomba-lomba  melarikan diri. Tidak ada yang tersisa dan tetap bertahan di medan kecuali Rasulullah dan 'Abbas serta sekelompok kecil pasukan. Sisa-sisa pasukan yang masih bertahan untuk menemani Rasul terus melakukan perlawanan. Mereka tetap bertahan di tengah kepungan serangan musuh. Rasul berdiri di tengah lingkaran kecil para sahabatnya dari kalangan Muhajirin dan Ansor serta Ahlu Bait (keluarga Rasul). Di tengah penjagaan ketat di tengah  segelintir para sahabatnya yang masih memberikan perlawanan sambil bertahan, beliau memanggil-manggil kaum muslimin yang lari.

"Di mana orang-orang itu!?" seru Rasul.

Akan tetapi, kaum muslimin tidak mendengar panggilan ini. Mereka juga tidak menoleh kepada Nabi karena takut, goncang, dan ngeri akan hantaman maut, apalagi melihat gabungan pasukan Hawazim dan Tsaqif yang masih terus melempari mereka dengan lemparan maut yang amat dahsyat, menikam setiap pasukan yang ditemukan, dan menghujani mereka dengan anak panah. Mereka  terus  lari dan mundur meninggalkan induk pasukan. Karena itu, wajar jika mereka tidak mendengar panggilan Rasul dan tidak bisa memenuhinya. Rasulullah pada waktu itu yang berdiri dan bertahan sendiri (dengan segelintir sahabatnya) dalam keadaan terkucil merupakan posisi yang paling agung sekaligus mengkhawatirkan. Masa dan detik yang dijalaninya adalah masa yang paling mengkhawatirkan dan sulit. Hampir semua pasukannya meninggalkan beliau. Mereka semua lari meninggalkan Rasul dan tidak ada bedanya apakah yang dari kalangan para sahabat yang lama (kecuali beberapa sahabatnya yang militan) ataukah para sahabat yang baru (baru masuk Islam). Akan tetapi, Rasul tidak berputus asa. Beliau terus-menerus memanggil dan  mengajak para sahabatnya yang lari agar segera kembali dan turun ke medan laga, namun mereka tidak mendengarkannya. Akan tetapi, pada sisi lain, orang-orang yang baru masuk Islam yang mendengar Muhammad dirajam kepungan bahaya, justru membicarakannya dengan komentar-komentar sinis dan bergembira atas bencana yang menimpa beliau.

"Hari ini sihir [Muhammad] telah batal!" kata Kaldah bin Hambal dengan sinis.

"Hari ini aku menyaksikan pembalasan dendamku pada Muhammad," ucap Syaibah bin 'Utsman bin Thalhah, "hari ini aku benar-benar telah membunuh Muhammad!"

"Kekalahan mereka tidak sampai hanya berhenti di bawah laut ini," kata Abu Sufyan.
Mereka ini dan orang-orang yang segolongannya yang mengatakan perkataan-perkataan kejam adalah orang-orang yang berada dalam pasukan kaum muslimin. Mereka berasal dari kalangan orang-orang yang baru masuk Islam di Makkah. Mereka datang berperang bersama Rasulullah, akan tetapi kekalahan (keterdesakan pasukan Islam) menampakkan apa yang disembunyikan jiwa mereka. Berbeda dengan niat ikhlas para sahabat Rasul yang juga sama-sama ikut  lari. Demikian itu karena  tidak ada cita-cita apapun dalam jiwa mereka untuk kerja mencari sesuatu dalam peperangan.

Posisi Rasul benar-benar sulit. Waktu itu adalah waktu yang amat sulit dan dahsyat. Dalam situasi yang begitu sulit dan berat, Rasul memutuskan untuk tetap di medan peperangan dan bahkan terus maju ke medan sambil bertahan dari serangan musuh dengan bagal putihnya. Orang yang bersama beliau adalah pamannya, 'Abbas bin 'Abd al-Muththalib, dan Abu Sufyan bin Harits bin 'Abd al-Muththalib. Abu Sufyan memegang tali kendali bagalnya dan berusaha bertahan. Sedangkan pamannya, 'Abbas, ikut pula memanggil-manggil dengan suaranya yang lantang yang sekiranya didengar orang dari semua lorong. 'Abbas meneriakkan suara lantangnya agar mereka segera kembali ke induk pasukan.

"Hai kaum Ansor!" teriak 'Abbas, "Hai orang-orang yang ngobrol!"

'Abbas mengulang-ulang seruannya hingga gema suaranya dari dinding ke dinding lembah memantul dan mengirimkan gelombang suara yang sahut-menyahut. Sayup-sayup, gema suara itu akhirnya terdengar oleh kaum muslimin yang sedang terpojok kena gempuran musuh.  Mereka menjadi ingat Rasulullah. Ingat pada jihad mereka. Terlintas di benak mereka suatu gambaran tentang akibat kekalahan karena serangan kaum musyrik dan akibat kemenangan syirik atas mereka. Akhirnya, mereka menyadari bahwa kekalahan perang ini akan membawa akibat kehancuran agama dan kaum muslimin. Karena itu, mereka berteriak sahut-menyahut dari semua arah untuk menyambut panggilan 'Abbas. Mereka segera kembali ke induk pasukan dan terjun ke lautan peperangan dan menghangatkan diri dengan apinya dalam keberanian yang tinggi dan jarang ditemui. Mereka berkumpul di seputar Rasul. Jumlah pasukan lambat laun semakin bertambah. Mereka memasuki medan laga dan meladeni perang tanding,  melawan musuh, dan  memanggang diri di tungku api peperangan. Melihat sambutan ini, Rasul bertambah tenang. Beliau mengambil segenggam pasir, lalu melemparkannya ke wajah musuh seraya mengucapkan, "Syaahatil Wujuuh/Amat buruklah wajah-wajah (kalian)!"

Kaum muslimin terus merangsek  ke tengah medan  dengan menganggap kematian di jalan Allah adalah kenikmatan. Peperangan semakin dahsyat sehingga Hawazin dan Tsaqif yakin bahwa mereka berada di tengah-tengah kebinasaan. Maka, mereka pun melarikan diri dalam keadaan kalah tanpa menunggu waktu. Harta benda dan wanita-wanita mereka ditinggalkan di belakang menjadi harta rampasan perang (ghanimah) kaum muslimin. Pasukan kaum muslimin berusaha memburu mereka dan berhasil menawan mereka dalam jumlah yang cukup besar. Korban terbunuh  dari pihak musuh  juga besar. Pengejaran dihentikan ketika mereka sampai di Wadi Authas (lembah Authas). Di tempat itu, kaum muslimin masih sempat  menewaskan beberapa musuh  dan menyerang sisa-sisanya dengan  keras. Akan tetapi, komandan mereka, Malik bin 'Auf, berhasil melarikan diri ke Thaif dan berlindung di sana. Dengan demikian, Allah memenangkan kaum  muslimin dengan kemenangan yang semakin menguatkan posisi mereka. Dalam hal ini, Allah menurunkan firman-Nya (yang artinya):

"Sesungguhnya Alah telah menolong kamu (hai para mukiminin di medan peperangan yang banyak, dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu di waktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlahmu, maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikitpun, dan bumi yang luas itu terasa sempit olehmu, kemudian kamu lari ke belakang dengan bercerai-berai. Kemudian Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya dan kepada orang-orang yang beriman. Dan, Allah menurunkan bala tentara yang kamu tidak melihatnya dan Allah menimpakan bencana kepada orang-orang kafir. Dan, demikianlah pembalasan kepada orang-orang kafir"(QS. At-Taubah 25-26). 

Kaum muslimin memperolah harta ghanimahyang banyak. Jika dihitung menurut ukuran saat ini,  jumlahnya 22.000 unta, 40.000 kambing, dan 4.000 ons perak. Orang-orang musyrik yang terbunuh banyak. Gadis-gadis dan wanita-wanita Hawazin yang tertawan ada 6.000 orang. Mereka diboyong ke Wadi Ji'ranah (lembah Ji'ranah) sebagai tawanan. Sementara korban di pihak kaum muslimin jumlahnya juga tak terhitung karena banyaknya. Kitab-kitab sirah menyebutkan ada dua kabilah kaum muslimin yang musnah. Nabi saw. kemudian melakukan shalat ghaib untuk mereka. Rasulullah saw. meninggalkan ghanimah dan para tawanan ini di Ji'ranah, kemudian dilanjutkan untuk mengepung Thaif, tempat perlindungan Malik bin 'Auf setelah kekalahannya di Hunaian. Rasul memerintahkan agar kepungan semakin diperketat, namun Thaif bagi Bani Tsaqif adalah kota yang memiliki benteng yang kuat. Penduduknya mempunyai pengetahuan perang untuk menghadapi kepungan. Mereka juga memiliki kekayaan alam yang melimpah. Di samping itu, Tsaqif menguasai teknik melempar tanah dan tombak dengan baik. Dalam peperangan ini, mereka melempari kaum muslimin dengan lembing dan anak panah. Di antara kaum muslimin banyak yang terbunuh. Tidak mudah bagi kaum muslimin untuk menembus pertahanan musuh. Karena itu, mereka mendirikan kemah yang jaraknya cukup jauh dari benteng musuh. Kaum muslimin tinggal di perkemahan itu sambil menunggu apa yang akan diperbuat Allah terhadap mereka. Dan, tidak lama kemudian bantuan datang. Nabi saw. meminta bantuan pada Bani Daus untuk melempari Thaif dengan manjanik. Mereka datang kepada Nabi saw. setelah empat hari dari pengepunangan dengan membawa peralatan senjata. Kaum muslimin menyerang pasukan Thaif dan melemparinya dengan manjanik. Mereka juga mengirimkan senjata sejenis "tank" yang dibawa masuk dari bawah pertahanan musuh. Dengan senjata itu,  mereka merangkak, lalu  merayap tembok benteng Thaif untuk membakarnya. Sayang, mereka tidak merasa ada potongan-potongan besi yang dipanaskan dengan api dan siap menjebak mereka. Potongan-potongan besi itu benar-benar berhasil menghalau mereka dan membakar dababah (sejenis tank untuk alat merangkak dan merayap tembok) mereka. Mereka lari. Tha'if memanaskan potongan-potongan besi sampai  meleleh, kemudian  melemparkannya ke dababah sehingga membakarnya. Potongan-potongan besi itulah yang membahayakan kaum muslimin sehingga mereka lari. Ketika mereka lari, Tsaqif masih melempari mereka dengan panah dan banyak di antara mereka yang terbunuh. Dengan demikian, kaum muslimin gagal memasuki Tha'if.

Kegagalan ini memaksa kaum muslimin menggunakan taktik baru. Mereka menggunduli kebun-kebun Bani Tsaqif dan membakarnya dengan harapan mereka akan menyerah. Namun, mereka tidak menyerah. Akan tetapi, sebelum serangan berikutnya dilancarkan, bulan haram (bulan-bulan yang dimuliakan suku-suku Arab dan haram di dalamnya  melakukan peperangan) telah mulai tiba karena Dzulqa'dah telah tampak. Rasulullah saw. memutuskan kembali dari Tha'if menuju Makkah dan singgah di Ji'ranah, tempat penyimpanan harta ghanimah dan tawanan mereka. Kemudian Malik bin 'Auf datang menyusul  tempat persinggahan Rasul karena beliau telah berjanji kepadanya bahwa jika Malik datang kepada Rasul dalam keadaan muslim, maka beliau mengembalikan harta dan keluarganya serta menambahnya 1.000 unta. Malik datang dengan menyatakan keislamannya. Dia mengambil apa yang dijanjikan Rasul. Hal itu menyebabkan para sahabat khawatir bagian ghanimah mereka akan berkurang jika Rasul tetap memberikannya kepada orang  Hawazin itu. Karena itu, mereka menuntut ghanimah segera dibagikan di antara mereka dan masing-masing memaksa untuk mengambil tiap harta fai'-nya (rampasan perang). Mereka saling berbisik-bisik membicarakan persoalan harta ghanimah sehingga bisik-bisik itu sampai terdengar Rasul. Beliau berdiri di samping seekor unta, lalu  mengambil selembar bulunya dari bagian punuk dan meletakkannya di antara kedua jarinya, kemudian menariknya seraya bersabda, "Hai manusia! Demi Allah, tidaklah aku menguasai (memonopoli)  sebagian dari harta jarahan (fai') kalian dan tidak juga selembar bulu unta ini kecuali seperlimanya. Yang seperlima dikembalikan kepada kalian. Maka,  penuhilah penjahit dan yang dijahit. Sesungguhnya khianat pada keluarga amat memalukan. Dia pasti akan terkena api dan air neraka pada hari kiamat."

Beliau memerintahkan tiap sahabat mengembalikan apa yang telah diambilnya dari harta ghanimah sehingga harta tersebut terbagi dengan adil. Kemudian beliau membaginya menjadi lima bagian. Seperlimanya dipisahkan untuk dirinya sendiri dan sisanya (empat per lima) dibagikan kepada  para sahabatnya. Tiap-tiap bagian, beliau berikan kepada Abu Sufyan dan anaknya, Mu'awiyah, Harits bin Harits, Harits bin  Hisyam, Suhail bin  'Amru, Huwaithab bin 'Abd al-'Uzza, Hakim bin Hizam, al-'Alla bin Jariyah (lima orang yang terakhir ini adalah dari bani  Tsaqif), 'Uyayyinah bin Hashan, Aqra' bin Habis, Malik bin 'Auf an-Nashariy, dan Shafwan bin Umayyah. Masing-masing orang diberi 100 unta sebagai tambahan atas bagian mereka sekaligus sebagai pengikat dan penyejuk hati mereka (sebagai bagian dari mu'allaf). Beliau juga memberikan 50 ekor   unta kepada orang-orang selain mereka (mu'allaf) sebagai tambahan bagian mereka. Beliau telah memenuhi semua kebutuhan orang-orang mu'allaf. Dalam pembagian harta ghanimah ini, beliau berada dalam puncak kedermawanan dan kemuliaan serta kearifan dan kegeniusan sikap politisnya.

Akan tetapi, sebagian kaum muslimin masih ada yang tidak mengetahui hikmah kemuliaan dan pembagian Rasul ini. Perbuatan beliau sempat membuat kaum Ansor saling membicarakannya di antara sesama mereka. Mereka berkata kepada sesama kaum mereka, "Demi  Allah, Rasulullah telah menemui (bergabung dengan) kaumnya!" Perkataan itu berpengaruh pada jiwa mereka. Sa'ad bin Ubadah yang juga ikut menggunjingkan kebijakan Rasul ini, perkataannya sampai terdengar beliau, Lalu beliau bertanya, "Di manakah posisimu mengenai hal itu, hai Sa'ad?!"

"Tidak lain saya menjadi bagian dari kaumku, wahai Rasul," jawab Sa'ad. Dia bahkan mendukung perkataan kaumnya.

"Kalau begitu, kumpulkan kaummu untukku di tempat ini!" pinta Rasul pada Sa'ad.  

Sa'ad kemudian mengumpulkan mereka, lalu Rasul berbicara kepada orang-orang yang tidak puas ini. "Hai orang-orang Ansor," sapa Rasul, "ucapan-ucapan kalian telah sampai kepadaku. Kalian telah menemukan hal yang baru dalam diri kalian karena aku. Bukankah aku telah mendatangi kalian dalam keadaan  tersesat lalu Allah memberi kalian hidayah, dalam keadaan kekurangan lalu Allah mengayakan kalian, dan dalam keadaan saling bermusuhan lalu Allah mempersatukan hati kalian."

"Benar, Allah dan Rasul-Nya lebih memberi keamanan dan lebih utama," jawab mereka serempak.

"Mengapa kalian tidak menjawabku, hai orang-orang Ansor?!" tanya Rasul kemudian.

"Dengan apa kami harus menjawabmu, wahai Rasulullah?" kata mereka. "Hanya milik Allah dan Rasul-Nya segala anugerah dan keutamaan," tambah mereka.

Rasulullah kemudian melanjutkan sabdanya, "Demi Allah, seandainya kalian menghendaki, pasti kalian akan mengatakan, membenarkan, dan membenarkan! Engkau datang kepada kami dalam keadaan dibohongi, lalu kami membernarkanmu, dalam keadaan terlonta-lonta lalu kami menolongmu, dalam keadaan terbuang lalu kami memberi perlinungan kepadamu, dan dalam keadaan kekurangan lalu kami memberi kecukupan kepadamu. Hai kaum Ansor, apakah kalian menemukan dalam diri kalian kelunakan pada dunia yang saya harus menyatukan kalian dengannya menjadi suatu kaum agar selamat dan saya menyerahkan kalian pada Islam kalian. Hai orang-orang Ansor, apakah kalian tidak ridha terhadap orang-orang yang pergi dengan kambing-kambing dan unta, sementara kalian kembali pada kendaraan kalian dengan Rasulullah? Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, seandainya tidak ada hijrah, pasti saya menjadi orang di antara kaum Ansor. Seandainya orang-orang berjalan ke suatu bukit dan oang-oang Ansor ke bukit yang lain, pasti saya berjalan di bukit kaum Ansor. Ya Allah, rahamatilah kaum Ansor, anak-anak kaum Ansor, anak-anak dari anak-anak kaum Ansor ..." Belum habis pidato Rasul ini, kaum Ansor menangis dengan tangis yang keras dan menyayat hati hingga air mata mereka membasahi janggut-janggut mereka.

"Kami lebih ridha dengan Rasulullah sebagai bagian (kami)," jawab mereka dengan air mata yang masih membasah. Kemudian mereka kembali ke kemah-kemah dan kendaraan mereka.

Setelah itu, Rasulullah saw. keluar dari Ji'ranah menuju Makkah dalam keadaan ihram untuk umrah. Beliau berangkat dengan pasukannya. Setelah selesai melakukan umrah, beliau mengangkat 'Utab bin Usaid menjadi Gubernur Makkah, sementara Mu'adz bin Jabal ditunjuk sebagai guru yang akan membina penduduk Makkah dan memberi pemahaman mereka tentang Islam. Kemudian beliau bersama kaum Ansor dan Muhajirin kembali ke Madinah.

Di salin dan diterjemahkan dari buku al-Daulah al-Islaamiyyah karangan Taqiyyuddin al-Nabhani



0 komentar: