Jumat, 01 Juni 2012

WACANA JILBAB DALAM ISLAM


            Ada dua istilah yang digunakan dalam al-Quran yang digunakan untuk penutup kepala yaitu khumur dan jalabib, keduanya dalam bentuk jamak dan generik. Kata khumur (QS an-Nur: 31) bentuk jamak dari kata khimar dan jalabib (QS al-Ahzab: 59) bentuk jamak dari kata jilbab.

            Al-Qur'an dan al-Hadis\ tidak pernah secara khusus menyinggung bentuk pakaian penutup muka. Bahkan, dalam al-hadis\, muka termasuk dalam pengecualian dan dalam suasana ihram tidak boleh ditutupi. Lagi pula, ayat-ayat yang berbicara tentang penutup kepala tidak satu pun disangkutpautkan dengan unsur mitologi dan strata sosial. Dua ayat tersebut di atas merupakan tanggapan terhadap kejadian khusus yang terjadi pada masa Nabi. Penerapan ayat seperti ini menimbulkan perbedaan pendapat dikalangan ulama usul fiqh, apakah yang dijadikan pengangan, apakah lafaznya yang bersifat umum ataukah sebab turunnya yang bersifat khusus.

            Dua ayat tersebut dalam konteks keamanan dan kenyamanan kaum perempuan. Bandingkan dengan tradisi chador dalam tradisi Sasania-Persia, dianggap sebagai pengganti kemah menstrual (menstrual hut), tempat pengasingan perempuan menstruasi di luar perkampungan. Sedangkan dalam tradisi Yunani, jilbab dianggap sebagai indentitas kelas sosial tertentu.

            Ayat khimar turun untuk menanggapi model pakaian perempuan yang ketika itu menggunakan penutup kepala (muqani'), tetapi tidak menjangkau bagian dada, sehingga bagian dada dan leher tetap kelihatan. Menurut Muhammad Sa'id al-'Asymawi, Surat al-Nur/24:31 turun untuk memberikan pembedaan antara perempuan mukmin dan perempuan selainnya, tidak dimaksudkan untuk menjadi format abadi (uridu fihi wadl' al-tamyiz, wa laisa hukman muabbadan).

            Ayat jilbab juga turun berkenaan seorang perempuan terhormat yang bermaksud membuang hajat di belakang rumah di malam hari tanpa menggunakan jilbab, maka datanglah laki-laki iseng mengganggu karena dikira budak. Peristiwa ini menjadi sebab turunnya surat al-Ahzab/33:33. Menurut Al-'Asymawi dan Muhammad Syahrur, terkait dengan alasan dan motivasi tertentu (illat); karenanya berlaku kaidah: Suatu hukum terkait dengan illat, di mana ada illat di situ ada hukum. Jika illat berubah, maka hukum pun berubah.

            Ayat hijab, sangat terkait dengan keterbatasan tempat tinggal Nabi bersama beberapa istrinya dan semakin besarnya jumlah sahabat yang berkepentingan dengannya. Untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan (perlu diingat, ayat hijab ini turun setelah kejadian tuduhan palsu/hadis al-ifk terhadap 'Aisyah), Umar mengusulkan agar dibuat sekat (Arab: hijab) antara ruang tamu dan ruang privat Nabi. Tetapi, tidak lama kemudian turunlah ayat hijab.

            Sedangkan, hadis yang berhubungan langsung dengan penggunaan jilbab hanya ditemukan dalam dua hadis ahad, hadis yang diriwayatkan perorangan, bukan secara kolektif dan massif (masyhur atau mutawatir). Hadis pertama bersumber dari Aisyah, Rasulullah bersabda, "Tidak diperkenankan seorang perempuan yang beriman kepada Allah dan Rasulnya jika sudah sampai usia balig menampakkan (anggota badannya) selain muka dan kedua tangannya sampai di sini," sambil menunjukkan setengah hasta.

            Hadis kedua dari Abu Daud yang diterima dari Aisyah, yang menceritakan ketika Asma binti Abi Bakr masuk ke rumah kediaman Rasulullah SAW, lalu Rasulullah mengatakan kepadanya, "Wahai Asma, sesungguhnya perempuan jika sampai usia balig, tidak boleh dipandang kecuali yang ini," sambil Rasulullah menunjukkan wajah dan telapak tangannya.


            Menurut al-'Asymawi, kedua hadis tersebut termasuk hadis ahad, bukan mutawatir atau masyhur. Berdasar dengan hadis ahad memang kontroversial di kalangan ulama Usul Fiqh. Salah satu hadis tersebut di-mursal-kan (jaringan penutur terputus sampai pada tabaqat sahabat) oleh Abu Daud, karena bersumber dari Khalid ibn Darik yang bukan hanya tidak berjumpa (mu'asarah) tetapi juga tidak ketemu (liqa') dengan Aisyah.[1] Di samping itu, hadis ini mulai populer pada abad ketiga Hijriah., dipopulerkan oleh Khalid ibn Darik, yang kemudian dimonumentalkan dalam Sunan Abu Daud. Kalau sekiranya hadis ini direpresentasikan pada umat Islam, maka sejak awal jilbab menjadi tradisi kolektif keseharian (sunnah mutawatirah bi al-fi'l), bukannya dengan kualifikasi hadis ahad-mursal. Tradisi jilbab di kalangan sahabat dan tabi'in, menurut al-'Asymawi, lebih merupakan keharusan budaya daripada keharusan agama.

            Muhammad Syahrur dalam bukunya Al-Kitab wa al-Qur'an juga pernah menyatakan hijab hanya termasuk dalam urusan harga diri, bukan urusan halal atau haram.[2]Pada awal abad ke-19 Qasim Amin dalam Tahrir al-Mar'ah sudah mempersoalkan hal ini. Namun perlu ditegaskan, meskipun pemikir itu berpandangan kritis terhadap jilbab, tetapi mereka tetap mengidealkan penggunaan jilbab bagi perempuan. Inti wacana mereka adalah bagaimana jilbab tidak membungkus kreativitas dan produktivitas perempuan, bukannya melarang atau menganjurkan pembukaan jilbab.

Ketika gerakan para mullah mulai marak di Iran pada tahun 1970-an dan mencapai puncaknya ketika Imam Khomeini berhasil menggusur Reza Pahlevi yang dipopulerkan sebagai antek dunia Barat di Timur Tengah, maka Khomeini menjadi lambang kemenangan Islam terhadap boneka Barat. Simbol-simbol kekuatan Khomeini, seperti foto Imam Khomeini dan komunitas Black Veil menjadi tren di kalangan generasi muda Islam seluruh dunia. Semenjak itu jilbab mulai menghiasi kampus dunia Islam, tidak terkecuali Indonesia. Identitas jilbab seolah sebagai lambang kemenangan.

Perkembangan berikutnya, ketika perang dingin blok Timur dan blok Barat usai berbarengan dengan semakin pesatnya kekuatan pengaruh globalisasi, maka timbul kecemasan lebih kompleks dari kalangan umat Islam. Islam dan berbagai pranatanya berhadapan langsung dengan dunia Barat. Apa yang dilukiskan Huntington benturan Barat-Islam akan terjadi pada pasca benturan Timur-Barat, menunjukkan adanya tanda kebenaran, terutama setelah peristiwa 11 September 2001.

Sebagian umat Islam percaya bahwa untuk mengembalikan kekuatan Islam seperti zaman kejayaan dulu, umat Islam harus kembali kepada formalisme keagamaan dan sejarah masa lampaunya. Semangat mengembalikan simbol dan identitas Islam masa lalu terus dipompakan, termasuk di antaranya penggunaan jilbab bagi kaum perempuan dan pemeliharaan kumis dan jenggot bagi laki-laki.

Kadar proteksi dan ideologi di balik fenomena jilbab di Indonesiatidak terlalu menonjol. Fenomena yang lebih menonjol ialah jilbab sebagai tren, mode, dan privacy sebagai akumulasi pembengkakan kualitas pendidikan agama dan dakwah di dalam masyarakat. Lagi pula, bukankah salah satu ciri budaya bangsa dalam potret perempuan masa lalu adalah kerudung? Tidak perlu over estimate atau fobia bahwa fenomena jilbab merupakan bagian dari jaringan ideologi tertentu yang menakutkan. Jilbab tidak perlu dikesankan seperti "imigran gelap" yang selalu dimata-matai, seperti yang pernah terjadi pada masa lalu yaitu fenomena jilbab dicurigai sebagai bagian dari ekspor Revolusi Iran. Sepanjang fenomena jilbab tumbuh di atas kesadaran sebagai sebuah pilihan dan sebagai ekspresi pencarian jati diri seorang perempuan muslimah, tidak ada unsur paksaan dan tekanan, itu sah-sah saja. Tidakkah manusiawi jika seseorang menentukan pilihannya secara sadar?

Pada masa sekarang, jilbab yang dicitrakan sebagai sebuah indentitas muslimah yang baik mengalami semacam distorsi yang bergeser dari aturan yang melingkupinya. Kaidah atau aturan berbusana semakin jauh dari etika islam. Jilbab yang semula merupakan hal yang boleh dikatakan harus, sekarang berubah menjadi semacam aksesoris pelengkap yang mendukung penampilan para wanita islam. Hal ini mengkhawatirkan. Berkaitan dengan latar belakang turunnya ayat jilbab yang meluruskan tradisi jilbab wanita pra-Islam yang melilitkan jilbabnya kepunggungnya, agar dijumbaikan ke depan dadanya, agar tidak memancing laki-laki iseng mengganggu, karena menganggap mereka adalah budak. Namun hal ini kembali terjadi pada masa belakangan ini. Berapa banyak kita menyaksikan para muslimah yang memakai jilbab dengan mencontoh kembali cara berjilbabnya wanita jahiliyyah. Seakan-akan dengan telah memakai jilbab dengan seadanya mereka telah memenuhi kewajiban mereka menutup aurat. Jilbab yang berkembang belakangan disebut dengan kudung gaul atau kudung gaya selebritis. Islam secara spesifik memang tidak menentukan bentuk dari busana muslimah, namun yang jelas menetapkan kaidah yang jelas untuk sebuah busana agar disebut sebagai busana muslimah.

            Syarat-syarat busana muslimah menurut Al Albani adalah: (1) Busana yang meliputi seluruh badan selain yang dikecualikan (muka dan telapak tangan). (2) Busana (jilbab) yang tidak merupakan bentuk perhiasan kecantikan. (3). Merupakan busana rangkap dan tidak tipis. (4) Lebar dan tidak sempit, sehingga tampak bagian dari bentuk tubuh. (5) Tidak berbau wangi-wangian dan tidak tipis. (6) Tidak menyerupai busana laki-laki. (7) Tidak menyerupai busana wanita-wanita kafir. (8) Tidak merupakan pakaian yang menyolok mata atau aneh dan menarik perhatian.[3]

            Sedangkan menurut H. RAy Sitoresmi Prabu Ningrat, jilbab lebih merupakan produk sejarah, karena ajaran Islam sendiri tidak memberikan corak atau model pakaian secara rinci. Karena ia lebih merupakan mode, maka bisa berbeda atara daerah satu dengan daerah lainnya. Dan lagi menurutnya berdasarkan dari ajaran Islam yang terkandung dalam surat al-A'raf ayat 26, al-Ahzab ayat 59 dan an-Nur ayat 31 diketahui bahwa esensi dari pakaian yang bernafaskan taqwa bagi wanita mukminah mengandung unsur sebagai berikut, (a) menjauhkan wanita dari gangguan laki-laki jahat dan nakal, (b) menjadi pembeda antara wanita yang berakhlaq terpuji dengan wanita yang berakhlaq tercela, (c) menghindari timbulnya fitnah seksual bagi kaum laki-laki dan (d) memelihara kesucian agama dari wainta yang bersangkutan. Pakaian yang memenui empat prinsip ini seharusnya memiliki syarat-syarat sebagai berikut, yaitu, menutupi seluruh badan kecuali muka dan telapak tangan, bahan yang digunakan tidak terlalu tipis sehingga tembus pandang atau transparant dan berpotongan tidak ketat hingga dapat menimbulkan semangat erotis bagi yang memandangnya.[4]

            Berkaitan dengan fungsi jilbab yang disyari'atkan dalam Islam ini adalah menutup aurat wanita yang diwajibkan menutupnya. Sampai seberapa ukuran tubuh yang harus ditutup dengan jilbab akan sangat tergantung dengan pemahaman ulama terhadap nas-nas al-Qur'an dan Sunnah yang bersifat zanni (dapat ditafsirkan), dan pendapat para fuqaha' dalam ijtihad mereka tentang batas aurat wanita sebagaimana yang digariskan dalam surat an-Nur ayat 31:"wala yubdina zinatahunna illa ma zahara minha..."

Perbedaan pendapat ulama tentang aurat tersebut adalah sebagai berikut:
  1. Jumhur fuqaha', diantaranya mazhab-mazhab Maliki, Syafi'i, Ibn Hazm, Syi'ah Zaidiah, yang masyhur dari Hambali dan salah satu riwayat dari mazhab Hanafi dan Syi'ah Imamiah yang diriwayatkan dari tingkatan tabi'in seperti Ata' dan Hasan Basri dan tingkatan sahabat seperti 'Ali ibn Abi Talib, A'isyah dan Ibn Abbas berpendapat bahwa:"hanya muka dan kedua telapak tangan saja yang bukan termasuk aurat wanita."
  2. Sufyan as-Sauri, Mazin dan salah satu kalangan dari mazhab Hanafi mengatakan bahwa, muka dan kedua talapak tangan dan telapak kaki tidak termasuk aurat bagi kaum wanita.
  3. Salah satu pendapat dari kalangan mazhab Hambali dan sebagian Syi'ah Zaidah dan Zahiri berpendapat bahwa hanya muka saja dari tubuh wanita yang tidak ternasuk aurat.
  4. Salah satu riwayat dari Imam Ahmad ibn Hambal dan berpendapat Abu Bakar ibn 'Abdu ar-Rahman dari kalangan tabi'in mengatakan bahwa seluruh tubuh wanita tanpa pengecualian adalah aurat.[5]
           
 [1]  Al-'Asymawi, Kritik atas Jilbab, hlm. 66.
[2]  Muhammad Syahrur,  al-Kitab wa al-Qur'an: Qiraah Mu'asirah,(Damaskus: al- Ahalli li at-Tiba'ah wa an-Nasyr wa at-Tawzi', 1990), hlm. 607.
[3]  Lihat al-Albani, Jilbab Wanita Muslimah, cet. ke-10, (Yogyakarta: Media Hidayat, 2002).
[4]. H. RAy Sitoresmi Prabuninggrat, Sosok Wanita Muslimah, cet. ke-2, (Yogyakarta: PT. Duta Wacana, 1997), hlm. 39-40.
[5]. Abdul Aziz Dahlan (ed),  Ensiklopedi Islam, cet. ke-1 (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,1993), III: 318.   

terimah kasih sudah berkunjung... slam kenala dar ane

0 komentar: