Jumat, 06 Juli 2012

IMAN DAN TINDAKAN




Menyangkut topik iman dan tindakan ini, sebuah hadits Rasul S.a.w kiranya dapat memberikan gambaran tentang topik tersebut.

عن أبي هريرة قال: قال رسولُ الله صلى الله عليه وسلم: من كان يُؤمن بالله واليوم الآخرِ فلا يُؤذِ جارَه، ومن كان يُؤمن بالله واليوم الآخِرِ فلْيُكرِم ضَيفَه، ومن كان يؤمن بالله واليوم الآخرِ فلْيَقُلْ خيراً أو ليَصمُت (رواه البخاري)
Dari Abu Hurairah r.a ia berkata, Rasulullah S.a.w bersabda: Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka janganlah ia menyakiti tetangganya. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka hendaknya ia menghormati tamunya. Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka hendaknya ia berkata yang baik-baik saja, atau (kalau tidak bisa berkata baik) lebih baik diam. (HR. Bukhari)

Hadits Nabi S.a.w di atas menunjukkan kepada kita bahwa barangsiapa yang mengaku telah beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka keimanannya itu harus dibuktikan dalam bentuk tindakan nyata. Bukti-bukti keimanan seseorang yang disebutkan dalam hadits tadi, diantaranya adalah: 1) tidak menyakiti tetangga, 2) menghormati tamu, 3) berkata yang baik-baik atau kalau tidak bisa diam saja, karena diam itu lebih baik daripada harus berkata yang buruk. Artinya, pengakuan iman seseorang tidak akan diterima oleh Allah sebelum yang bersangkutan mewujudkan imannya itu dalam bentuk tindakan kongret. Jika terdapat orang yang mengaku beriman kepada Allah, tetapi masih menyakiti tetangga, tidak menghormati tamu dan perkataannya tidak baik, berarti imannya tidak sungguh-sungguh. Sangat mungkin orang seperti ini beriman karena motif-motif tertentu, bukan karena lillahi ta’āla.
Dalam Al-Qur’an, hampir setiap kata “āmanū” (beriman), selalu dirangkai dengan kata “amilū as-shālihāt” (beramal saleh). Jadi, iman saja tidak cukup, karena iman yang benar adalah iman yang diikuti dengan amal saleh. Ini tidak bisa dipisahkan! Dan kita jangan terkecoh apabila melihat orang-orang yang memakai atribut –atribut keimanan lengkap, lihat dahulu apakah prilaku dan akhlaknya mencerminkan prilaku Islam atau tidak. Kalau tidak, maka mereka itu pura-pura, imannya pamrih. Ulama sekalipun, tetapi apabila akhlaknya tidak mencerminkan apa yang dituntunkan oleh Islam, maka harus diragukan keulamaannya. Apalagi kalau ada ulama yang perkataannya buruk, ulama berbohong, ulama ghibah, maka jelas yang seperti itu adalah ulama palsu.
Maka, iman itu harus berwujud pada akhlak, pada prilaku, pada tindakan nyata. Mengaku beriman tapi tidak peduli lingkungan, tidak peka sosial, maka imannya masih diragukan. Dan orang yang seperti ini disebut dengan orang munafik, yaitu orang yang antara perkataan dan perbuatannya tidak sama, antara hati dan tindakannya berbeda. Dalam surat al-Mā’ūn bahkan lebih keras lagi: mereka dijuluki sebagai orang-orang yang mendustakan agama.

أَرَأَيْتَ الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ. فَذَلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ. وَلاَ يَحُضُّ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِينِ.
Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. (Q, s. al-Mā’ūn/107:1-3)

Surat al-Mā’ūn menjelaskan kepada kita bahwa para pendusta agama itu adalah orang yang tidak peka sosial, yaitu orang yang mata dan hatinya telah buta melihat kenyataan yang ada di hadapannya. Maka dari itu, iman yang benar selalu menuntut tindakan kongret. Iman yang benar adalah iman yang berwujud pada al-akhlāk al-karīmah, baik akhlak kepada Allah maupun akhlak kepada sesama manusia.


0 komentar: