Jumat, 06 Juli 2012

PERILAKU IHSAN



Dalam hal beragama seseorang akan digolongkan ke dalam beberapa tingkatan, diantaranya: tingkatan Islam, Iman dan Ihsan. Ihsan adalah tingkatan tertinggi dari keberagamaan seseorang. Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Sahabat Abu Hurairah r.a mengatakan:

عن أبي هُرَيرةَ قال: «كانَ النبيُّ صلى الله عليه وسلم بارِزاً يَوْماً للنَّاسِ، فأتاهُ جِبْرِيلُ فَقَالَ: ما الإِيمانُ؟ قال: «أنْ تُؤْمِنَ باللَّهِ، ومَلاَئِكتِهِ، وبِلقائه، وَرُسُلِهِ، وتُؤْمِنَ بالبَعْثِ». قال: ما الإِسلامُ؟ قال: «الإِسْلامُ: أنْ تَعْبُدَ اللَّهَ ولا تُشْرِكَ بهِ، وَتُقِيمَ الصَّلاةَ، وَتُؤَدِّيَ الزَّكاةَ المَفْروضةَ، وتَصومَ رَمضانَ». قال: ما الإِحسانُ ؟ قال: «أنْ تَعْبُدَ اللَّهِ كأَنَّكَ تَراهُ، فإنْ لم تَكُنْ تَراهُ فإِنَّهُ يراك».
Dari Abu Hurairah r.a ia berkata: Suatu hari Rasulullah S.a.w bersama orang-orang, lalu datanglah Jibril a.s dan bertanya: Apakah iman itu? Rasulullah menjawab: Engkau beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, mengimani hari pertemuan dengan-Nya, beriman kepada para rasul-Nya, dan beriman pula kepada Hari Kebangkitan. Lalu ia tanya lagi: Apakah Islam itu? Nabi menjawab: Islam adalah engkau menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu, menegakkan shalat, menunaikan zakat wajib, dan berpuasa pada bulan Ramadhan. Lalu ia bertanya lagi: Apakah ihsan itu? Nabi menjawabnya lagi: Engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, dan jika tidak melihat-Nya anggap saja Dia yang Melihatmu. (HR. Bukhari)

Hadits Nabi S.a.w di atas, kalau kita simpulkan adalah bahwa Islām itu cenderung pada bentuk-bentuk formal, seperti ibadah mahdlah, dan amalan-amalan dhāhir lainnya. Sedangkan Imān adalah kita mempercayai Allah, malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab yang diturunkan-Nya, rasul-rasul yang diutus-Nya, datangnya Hari Kiamat, dan percaya akan adanya takdir dan qadha Allah. Jadi, Islām itu rumusannya terdapat pada Rukun Islam yang lima: syahadat, shalat, puasa, zakat dan haji. Sedangkan Imān rumusannya terdapat pada Rukun Iman yang enam.
Untuk menjadi muslim, seseorang hanya perlu bersyahadat: bahwa tidak ada tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah. Orang yang mengerjakan shalat meskipun tidak genap 5 waktu sehari, tetap masih dianggap sebagai muslim. Tetapi untuk dianggap mukmin, agak berat sedikit, lebih berat dari sekedar anggapan muslim. Jika seseorang mengaku beriman kepada Allah, maka keimanannya itulah yang akan melarangnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang menyimpang dari ketentuan Allah. Misalnya, seseorang telah berbohong kepada orang lain, tetapi orang tersebut tidak menyadari kalau dirinya telah dibohongi. Meskipun orang lain tidak menyadarinya, tetapi keimanannya akan menyatakan bahwa Allah tidak mungkin bisa dibohongi, karena Allah Maha Melihat, Maha Mendengar dan Maha Mengetahui apa yang nampak dan yang tersembunyi dari diri kita. Oleh karenanya, orang yang berbuat maksiat, ia tidak dapat disebut sebagai mukmin.

لاَ يَزْنِي الزَّانِي حِيْنَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ ، وَلاَ يَسْرِقُ حِيْنَ يَسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ. (رواه البخاري)
Seorang pezina tidak mungkin akan berzina ketika dia sedang beriman, dan seorang pencuri tidak mungkin akan mencuri ketika dia sedang beriman. (HR. Bukhari)  

Orang bisa dengan mudah mengklaim dirinya sebagai muslim, asal pernah kelihatan masuk masjid atau kelihatan pernah shalat. Masalah apakah shalatnya benar-benar lillāhi ta’alā atau karena tujuan-tujuan tertentu, itu soal lain. Orang lain tidak dibenarkan menghukumi seseorang di luar yang nampak secara dhāhir. Artinya, khusyu’ atau ikhlas tidaknya seseorang melaksanakan suatu ibadah, orang lain tidak berwenang untuk mengukurnya, karena hal itu merupakan wilayah Allah. Orang yang berniat mencelakai orang lain tidak bisa dijatuhi sangsi, karena masih sebatas niat, tetapi apabila niatnya itu telah diwujudkan dalam bentuk prilaku maka ia dapat dijerat oleh hukum. Maka dari itu, Al-Qur’an menolak klaim orang-orang Arab Badui ketika mereka mengatakan kepada Rasul bahwa dirinya telah beriman.

قَالَتِ الأَعْرَابُ آمَنَّا قُل لَّمْ تُؤْمِنُواْ وَلَـكِن قُولُواْ أَسْلَمْنَا وَلَمَّا يَدْخُلِ الإِيمَانُ فِي قُلُوبِكُمْ وَإِن تُطِيعُواْ اللَّهَ وَرَسُولَهُ لاَ يَلِتْكُمْ مِّنْ أَعْمَالِكُمْ شَيْئاً إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ  (الحجرات : 14)
Orang-orang Arab Badui itu berkata: "Kami telah beriman." Katakanlah: "Kamu belum beriman, tapi katakanlah 'kami baru berislam, karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala amalanmu; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."  (Q, s. al-Hujurāt / 49:14)

Sedangkan tingkatan Ihsān lebih tinggi daripada keduanya. Ihsān adalah melakukan sesuatu lebih dari sekedar tuntutan keberisalaman dan keberimanan. Jika dalam berislam kita diwajibkan shalat 5 waktu sehari, maka Ihsān akan melakukannya lebih dari itu, yaitu dengan menambahkan shalat-shalat sunnah lainnya, dan kewajiban puasa Ramadhan sebulan penuh oleh ihsan ditambah lagi dengan puasa-puasa sunnah di luar Ramadhan. Jika keimanan kita menuntut untuk tidak berbuat yang dilarang oleh Allah, maka Ihsān melakukannya tidak sekedar menjauhi apa yang dilarang oleh Allah, tetapi lebih dari itu Ihsān mendorong kita untuk melaksanakan apa yang dianjurkan oleh Allah. Jadi, Ihsān itu merangkum Islām dan Imān!
Rumusan Ihsān adalah “engkau beribadah seakan-akan melihat Allah, dan jika engkau tidak melihat-Nya anggap saja Allah sedang melihatmu”. Jadi, Ihsān adalah perasaan akan ke-Maha Hadiran Allah dalam setiap gerak kita. Ihsān adalah perasaan bahwa kita melakukan sesuatu hanya ingin dilihat oleh Allah semata, bukan ingin dilihat orang lain.
Seorang karyawan jika ia bekerja dengan sungguh-sungguh karena sedang dilihat oleh manajernya, tetapi kembali malas dan asal-asalan ketika manajernya pergi, maka ia tidak sedang melakukan Ihsān: bukan seorang muhsin. Seorang pemuda yang kelihatan khusyu’ dan alim di hadapan calon mertuanya, namun kembali urakan dan menunjukkan watak aslinya ketika jauh dari calon mertuanya, maka yang seperti itu jelas bukan tindakan Ihsān.
Dengan kata lain, Ihsān adalah bekerja dengan “pamrih”, tetapi pamrihnya untuk Allah semata. Ihsān mengajarkan kepada kita bahwa yang sedang menyaksikan perbuatan kita adalah Allah, Dzat Yang Maha segalanya. Jadi, Ihsān mendidik orang untuk bertanggungjawab atas apa yang menjadi tugas dan kewajibannya: yaitu sikap tanggungjawab yang dilandasi oleh perasaan ikhlas lillahi ta’ala.
Maka dari itu, ciri orang yang muhsin adalah beribadah dan bekerja dengan sungguh-sungguh, penuh dedikasi, bertanggungjawab, dan tulus. Orang muhsin adalah orang yang ikhlas. Oleh karenanya, diharapkan setiap mukmin menggapai Ihsān ini, karena ia merupakan tingkatan yang tertinggi dalam keberagamaan seseorang.

0 komentar: