This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Sabtu, 30 Juni 2012

Ebook Satanic Finance - A. Riawan Amin

Ebook Satanic Finance - A. Riawan Amin
Sadar atau tidak sadar, bicara tentang sistem finansial atau ekonomi yang kita kenal saat ini, tidak bisa terlepas dari kaitannya dengan riba. Bagaimana riba dinyatakan dalam Al Quran dan Hadits? Berikut di antaranya:

“Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang-orang yang kemasukan setan karena gila. Yang demikian itu karena mereka berkata bahwa jual beli itu sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Barang siapa mendapat peringatan dari Rabb-nya, lalu ia berhenti, maka apa yang telah diperoleh dahulu menjadi miliknya dan urusannya (terserah) kepada Allah. Barangsiapa mengulangi, maka mereka itu penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” ( QS. Al-Baqarah:275)

“Wahai orang-orang yang beriman! Bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa-sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang beriman. Jika kamu tidak melaksanakannya, maka umumkanlah perang dari Allah dan Rasul-Nya…”(QS.Al-Baqarah:278-279)

"Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa". (Al-Baqarah:276)

“Riba itu mempunyai 73 pintu, yang paling ringan adalah seperti seorang laki-laki yang menzinai ibunya. Dan riba yang paling besar adalah merusak kehormatan seorang muslim.” (HR. Ibnu Majah, al-Hakim)

“Satu dirham hasil riba yang dimakan oleh seseorang sedangkan ia mengetahuinya, itu lebih berat (dosanya) daripada 36 kali berzina.” (HR. Ahmad, ath-Thabrani)

“Rasulullah Saw melaknat orang yang memakan riba, orang yang memberi makan riba (yakni: orang yang meminjam/utang dengan sistem riba), pencatat (transaksi) riba, dan saksi atas transaksi tersebut. Dan beliau bersabda, ‘Dosa mereka adalah sama.’” (HR. Muslim)

Kalimat diatas bukan kutipan Ebook Satanic Finance karya A. Riawan Amin. Anda langsung saja membacanya dengan mendownloadnya di sini


Untuk lebih memahami secara komprehensif Sistem Ekonomi (yang katanya moderen ini), sebaiknya anda tonton juga video dokumenter dalam posting saya sebelumnya Sistem Finansial Dajjal, dan beberapa video kuliah Syeikh Imran Husein yang se-topik, di antaranya: Larangan Riba, Sistem Keuangan Dunia, Islam dan Sistem Keuangan Internasional, dan Islam and IMF.


Semoga Ebook Satanic Finance - A. Riawan Amin bermanfaat untuk saya dan semua.

URGENSI BELAJAR ILMU ISLAMI


Tuntunan zaman dan semakin canggihnya teknologi menuntut generasi muda untuk bisa melek akan hal itu. Sehingga orang tua pun berlomba-lomba bagaimana bisa menjadikan anaknya pintar komputer dan lancar bercuap-cuap ngomong English. Namun sayangnya karena porsi yang berlebih terhadap ilmu dunia sampai-sampai karena mesti anak belajar di tempat les sore hari, kegiatan belajar Al Qur’an pun dilalaikan. Lihatlah tidak sedikit dari generasi muda saat ini yang tidak bisa baca Qur’an, bahkan ada yang sampai buku Iqro’ pun tidak tahu.
Merenungkan Ayat
Ayat ini yang patut jadi renungan yaitu firman Allah Ta’ala,
يَعْلَمُونَ ظَاهِرًا مِنَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ عَنِ الْآَخِرَةِ هُمْ غَافِلُونَ
Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai.” (QS. Ar Ruum: 7)
Ath Thobari rahimahullah menyebutkan sebuah riwayat dari Ibnu ‘Abbas yang menerangkan mengenai maksud ayat di atas. Yang dimaksud dalam ayat itu adalah orang-orang kafir. Mereka benar-benar mengetahui berbagai seluk beluk dunia. Namun terhadap urusan agama, mereka benar-benar jahil (bodoh). (Tafsir Ath Thobari, 18/462)
Fakhruddin Ar Rozi rahimahullah menjelaskan maksud ayat di atas, “Ilmu mereka hanyalah terbatas pada dunia saja. Namun mereka tidak mengetahui dunia dengan sebenarnya. Mereka hanya mengetahui dunia secara lahiriyah saja yaitu mengetahui kesenangan dan permainannya yang ada. Mereka tidak mengetahui dunia secara batin, yaitu mereka tidak tahu bahaya dunia dan tidak tahu kalau dunia itu terlaknat. Mereka memang hanya mengetahui dunia secara lahir, namun tidak mengetahui kalau dunia itu akan fana.” (Mafatihul Ghoib, 12/206)
Penulis Al Jalalain rahimahumallah menafsirkan, “Mereka mengetahui yang zhohir (yang nampak saja dari kehidupan dunia), yaitu mereka mengetahui bagaimana mencari penghidupan mereka melalui perdagangan, pertanian,  pembangunan, bercocok tanam, dan selain itu. Sedangkan mereka terhadap akhirat benar-benar lalai.” (Tafsir Al Jalalain, hal. 416)
Syaikh Abu Bakr Jabir Al Jazairi hafizhohullah menjelaskan ayat di atas, “Mereka mengetahui kehidupan dunia secara lahiriah saja seperti mengetahui bagaimana cara mengais rizki dari pertanian, perindustrian dan perdagangan. Di saat itu, mereka benar-benar lalai dari akhirat. Mereka sungguh lalai terhadap hal yang wajib mereka tunaikan dan harus mereka hindari, di mana penunaian ini akan mengantarkan mereka selamat dari siksa neraka dan akan menetapi surga Ar Rahman.” (Aysarut Tafasir, 4/124-125)
Lalu Syaikh Abu Bakr Al Jazairi mengambil faedah dari ayat tersebut, “Kebanyakan manusia tidak mengetahui hal-hal yang akan membahagiakan mereka di akhirat. Mereka pun tidak mengetahui aqidah yang benar, syari’at yang membawa rahmat. Padahal Islam seseorang tidak akan sempurna dan tidak akan mencapai bahagia kecuali dengan mengetahui hal-hal tersebut. Kebanyakan manusia mengetahui dunia secara lahiriyah seperti mencari penghidupan dari bercocok tanam, industri dan perdagangan. Namun bagaimanakah pengetahuan mereka terhadap dunia yang batin atau tidak tampak, mereka tidak mengetahui. Sebagaimana pula mereka benar-benar lalai dari kehidupan akhirat. Mereka tidak membahas apa saja yang dapat membahagiakan dan mencelakakan mereka kelak di akhirat. Kita berlindung pada Allah dari kelalaian semacam ini yang membuat kita lupa akan negeri yang kekal abadi di mana di sana ditentukan siapakah yang bahagia dan akan sengsara.” (Aysarut Tafasir, 4/125)
Itulah gambaran dalam ayat yang awalnya menerangkan mengenai kondisi orang kafir. Namun keadaan semacam ini pun menjangkiti kaum muslimin. Mereka lebih memberi porsi besar pada ilmu dunia, sedangkan kewajiban menuntut ilmu agama menjadi yang terbelakang. Lihatlah kenyataan di sekitar kita, orang tua lebih senang anaknya pintar komputer daripada pandai membaca Iqro’ dan Al Qur’an. Sebagian anak ada yang tidak tahu wudhu dan shalat karena terlalu diberi porsi lebih pada ilmu dunia sehingga lalai akan agamanya. Sungguh keadaan yang menyedihkan.
Bahaya Jahil akan Ilmu Agama
Kalau seorang dokter salah memberi obat karena kebodohannya, maka tentu saja akan membawa bahaya bagi pasiennya. Begitu pula jika seseorang jahil atau tidak paham akan ilmu agama, tentu itu akan berdampak pada dirinya sendiri dan orang lain yang mencontoh dirinya.
Allah telah memerintahkan kepada kita untuk mengawali amalan dengan mengetahui ilmunya terlebih dahulu. Ingin melaksanakan shalat, harus dengan ilmu. Ingin puasa, harus dengan ilmu. Ingin terjun dalam dunia bisnis, harus tahu betul seluk beluk hukum dagang. Begitu pula jika ingin beraqidah yang benar harus dengan ilmu. Allah Ta’ala berfirman,
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ
“Maka ilmuilah (ketahuilah)! Bahwasanya tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu” (QS. Muhammad: 19). Dalam ayat ini, Allah memulai dengan ‘ilmuilah’ lalu mengatakan ‘mohonlah ampun’. Ilmuilah yang dimaksudkan adalah perintah untuk berilmu terlebih dahulu, sedangkan ‘mohonlah ampun’ adalah amalan. Ini pertanda bahwa ilmu hendaklah lebih dahulu sebelum amal perbuatan.
Sufyan bin ‘Uyainah berdalil dengan ayat ini untuk menunjukkan keutamaan ilmu. Hal ini sebagaimana dikeluarkan oleh Abu Nu’aim dalam Al Hilyah ketika menjelaskan biografi Sufyan dari jalur Ar Robi’ bin Nafi’ darinya, bahwa Sufyan membaca ayat ini, lalu mengatakan, “Tidakkah engkau mendengar bahwa Allah memulai ayat ini dengan mengatakan ‘ilmuilah’, kemudian Allah memerintahkan untuk beramal?” (Fathul Bari, Ibnu Hajar, 1/108)
Al Muhallab rahimahullah mengatakan, “Amalan yang bermanfaat adalah amalan yang terlebih dahulu didahului dengan ilmu. Amalan yang di dalamnya tidak terdapat niat, ingin mengharap-harap ganjaran, dan merasa telah berbuat ikhlas, maka ini bukanlah amalan (karena tidak didahului dengan ilmu, pen). Sesungguhnya yang dilakukan hanyalah seperti amalannya orang gila yang pena diangkat dari dirinya.“ (Syarh Al Bukhari libni Baththol, 1/144)
Gara-gara tidak memiliki ilmu, jadinya seseorang akan membuat-buat ibadah tanpa tuntunan atau amalannya jadi tidak sah. Jika seseorang tidak paham shalat, lalu ia mengarang-ngarang tata cara ibadahnya, tentu ibadahnya jadi sia-sia. Begitu pula mengarang-ngarang bahwa di malam Jumat Kliwon dianjurkan baca surat Yasin, padahal nyatanya tidak ada dasar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka amalan tersebut juga sia-sia belaka. Begitu pula jika seseorang berdagang tanpa mau mempelajari fiqih berdagang terlebih dahulu. Ia pun mengutangkan kepada pembeli lalu utangan tersebut diminta diganti lebih (alias ada bunga). Karena kejahilan dirinya dan malas belajar agama, ia tidak tahu kalau telah terjerumus dalam transaksi riba. Maka berilmulah terlebih dahulu sebelum  beramal. Mu’adz bin Jabal berkata,
العِلْمُ إِمَامُ العَمَلِ وَالعَمَلُ تَابِعُهُ
Ilmu adalah pemimpin amal dan amalan itu berada di belakang setelah adanya ilmu.” (Al Amru bil Ma’ruf wan Nahyu ‘anil Mungkar, hal. 15)
Beramal tanpa ilmu membawa akibat amalan tersebut jauh dari tuntunan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, akhirnya amalan itu jadi sia-sia dan tertolak. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim no. 1718)
Kerusakanlah yang ujung-ujungnya terjadi bukan maslahat yang akan dihasilkan. ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz berkata,
مَنْ عَبَدَ اللهَ بِغَيْرِ عِلْمٍ كَانَ مَا يُفْسِدُ أَكْثَرَ مِمَّا يُصْلِحُ
Barangsiapa yang beribadah kepada Allah tanpa ilmu, maka dia akan membuat banyak kerusakan daripada mendatangkan kebaikan.”  (Al Amru bil Ma’ruf, hal. 15)
Beri Porsi yang Adil
Bukan berarti kita tidak boleh mempelajari ilmu dunia. Dalam satu kondisi mempelajari ilmu dunia bisa menjadi wajib jika memang belum mencukupi orang yang capable dalam ilmu tersebut. Misalnya di suatu desa belum ada dokter padahal sangat urgent sehingga masyarakat bisa mudah berobat. Maka masih ada kewajiban bagi sebagian orang di desa tersebut untuk mempelajari ilmu kedokteran sehingga terpenuhilah kebutuhan masyarakat.
Namun yang perlu diperhatikan di sini bahwa sebagian orang tua hanya memperhatikan sisi dunia saja apalagi jika melihat anaknya memiliki kecerdasan dan kejeniusan. Orang tua lebih senang menyekolahkan anaknya sampai jenjang S2 dan S3, menjadi pakar polimer, dokter, dan bidan, namun sisi agama anaknya tidak ortu perhatikan. Mereka lebih pakar menghitung, namun bagaimanakah mengerti masalah ibadah yang akan mereka jalani sehari-hari, mereka tidak paham. Untuk mengerti bahwa menggantungkan jimat dalam rangka melariskan dagangan atau menghindarkan rumah dari bahaya, mereka tidak tahu kalau itu syirik. Inilah yang sangat disayangkan. Ada porsi wajib yang harus seorang anak tahu karena jika ia tidak mengetahuinya, ia bisa meninggalkan kewajiban atau melakukan yang haram. Inilah yang dinamakan dengan ilmu wajib yang harus dipelajari setiap muslim. Walaupun anak itu menjadi seorang dokter atau seorang insinyur, ia harus paham bagaimanakah mentauhidkan Allah, bagaimana tata cara wudhu, tata cara shalat yang mesti ia jalani dalam kehidupan sehari-hari. Tidak mesti setiap anak kelak menjadi ustadz. Jika memang anak itu cerdas dan tertarik mempelajari seluk beluk fiqih Islam, sangat baik  baik sekali jika ortu mengerahkan si anak ke sana. Karena mempelajari Islam juga butuh orang-orang yang ber-IQ tinggi dan cerdas sebagaimana keadaan ulama dahulu seperti Imam Asy Syafi’i sehingga tidak salah dalam mengeluarkan fatwa untuk umat. Namun jika memang si anak cenderung pada ilmu dunia, jangan sampai ia tidak diajarkan ilmu agama yang wajib ia pelajari.
Dengan paham agama inilah seseorang akan dianugerahi Allah kebaikan, terserah dia adalah dokter, engineer, pakar IT dan lainnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِى الدِّينِ
“Barangsiapa yang Allah kehendaki mendapatkan seluruh kebaikan, maka Allah akan memahamkan dia tentang agama.” (HR. Bukhari no. 71 dan Muslim no. 1037)
Ingatlah pula bahwa yang diwarisi oleh para Nabi bukanlah harta, namun ilmu diin. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلاَ دِرْهَمًا إِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَ بِهِ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
“Sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, mereka hanyalah mewariskan ilmu. Barangsiapa yang mengambilnya, maka dia telah memperoleh keberuntungan yang banyak.” (HR Abu Dawud no. 3641 dan Tirmidzi no. 2682, Shahih)
Semoga tulisan ini semakin mendorong diri kita untuk tidak melalaikan ilmu agama. Begitu pula pada anak-anak kita, jangan lupa didikan ilmu agama yang wajib mereka pahami untuk bekal amalan keseharian  mereka. Wallahu waiyyut taufiq. (*)

Sufi Road : Hadits Arba'in (16)

HADITS KE ENAM BELAS

Terjemah hadits:
Dari Abu Hurairah radhiallahuanhu sesungguhnya seseorang bertanya kepada Rasulullah shallallahu`alaihi wa sallam: (Ya Rasulullah shallallahu`alaihi wa sallam ) nasihatilah saya. Beliau bersabda : Jangan kamu marah. Dia menanyakan hal itu berkali-kali. Maka beliau bersabda: Jangan engkau marah. (Riwayat Bukhari)

Kandungan Hadist:
1. Anjuran bagi setiap muslim untuk memberikan nasihat dan mengenal perbuatan-perbuatan kebajikan, menambah wawasan ilmu yang bermanfaat serta memberikan nasihat yang baik.
2. Larangan marah.
3. Dianjurkan untuk mengulangi pembicaraan hingga pendengar menyadari pentingnya dan kedudukannya.

Benarkah Orang-orang Mulia Semuanya Berjenggot?

 
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

    الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِهِ وَ أَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ وَ بَعْدُ:

Dari dulu hingga sekarang orang-orang mulia suka membiarkan dan memelihara jenggotnya. Berikut pembuktiannya:

Para Nabi dan Rasul 'Alaihimus Salam Berjenggot

[1] Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam Berjenggot

    قَالَ جَابِرُ بْنُ سَمُرَةَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ شَمِطَ مُقَدَّمُ رَأْسِهِ وَلِحْيَتِهِ، وَكَانَ إِذَا ادَّهَنَ لَمْ يَتَبَيَّنْ، وَإِذَا شَعِثَ رَأْسُهُ تَبَيَّنَ، وَكَانَ كَثِيرَ شَعْرِ اللِّحْيَةِ.

Jabir bin Samurah berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah berubah rambut kepala dan jenggotnya. Apabila beliau meminyakinya, ubannya tidak nampak, dan apabila rambut kepalanya kusut, nampaklah uban itu. Rambut jenggot beliau amat lebat." [Shahih: Shahih Muslim (no. 4326)]

Saat menyifati Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu berkata:

    كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا قَصِيرٌ وَلا طَوِيلٌ، عَظِيمَ الرَّأْسِ رَجِلَهُ، عَظِيمَ اللِّحْيَةِ.


"Rasululluh shallallahu 'alaihi wa sallam tidak berpostur pendek, tidak pula tinggi, dan lebat jenggotbeliau."  [Hasan lighairi: Musnad Ahmad (no. 946). Lihat Tahdzibul Kamal (XII/53) dan at-Tarikh al-Kabir (IV/282) oleh al-Bukhari]

    قَالَ أَبُوْ مَعْمَرٍ: قُلْنَا لِخَبَّابٍ أَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ فِى الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ؟ قَالَ: نَعَمْ. قُلْنَا: بِمَ كُنْتُمْ تَعْرِفُونَ ذَاكَ؟ قَالَ: بِاضْطِرَابِ لِحْيَتِهِ.

Abu Ma'mar berkata, "Aku bertanya kepada Khabbab, 'Apakah Rasulullah membaca (surat) dalam shalat Zhuhur dan Ashar?' Dia menjawab, 'Ya.' Aku bertanya, 'Dengan apa Anda mengetahui itu?' Jawabnya, 'Dengan gerakan jenggot beliau.'" [Shahih: Shahih al-Bukhari (no. 746), Sunan Abu Dawud (no. 801), dan Sunan Ibnu Majah (no. 826)]

[2] Nabi Harun 'alaihis salam Berjenggot

Allah Yang Mahatahu mengabarkan:

    (( قَالَ يَا ابْنَ أُمَّ لَا تَأْخُذْ بِلِحْيَتِي وَلَا بِرَأْسِي ))

"Dia (Harun) berkata (kepada Musa), "Hai putra ibuku! Jangalah kamu pegang jenggotku dan jangan pula kepalaku." [QS. Thaha [20]: 94]

Para Shahabat Radhiyallahu 'Anhum Berjenggot

[3] Utsman bin Affan Radhiyallahu 'Anhu Berjenggot

    قَالَ شَقِيقُ بْنُ سَلَمَةَ: رَأَيْتُ عُثْمَانَ تَوَضَّأَ فَخَلَّلَ لِحْيَتَهُ وَقَالَ: هَكَذَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ.

Syaqiq bin Salamah berkata, "Aku melihat Utsman berwudhu lalu menyela-nyela jenggotnya dan berkata, 'Demikian aku melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berwudhu.'" [Hasan: Sunan ad-Darimi (no. 731). Dinilai hasan oleh Syaikh Husain Salim Asad]

[4] Ibnu 'Umar Radhiyallahu 'Anhuma Berjenggot

    قَالَ مَرْوَانُ ابْنُ سَالِمٍ الْمُقَفَّعَ: رَأَيْتُ ابْنَ عُمَرَ يَقْبِضُ عَلَى لِحْيَتِهِ.

Marwan bin Salim al-Muqaffa' berkata, "Aku pernah melihat Ibnu 'Umar memegang jenggotnya." [Hasan: Sunan Abu Dawud (no. 2357). Dinilai hasan oleh Syaikh al-Albani]

[5] Abdullah Ayah Jabir bin Abdillah Radhiyallahu 'Anhuma Berjenggot

    قَالَ جَابِرٌ: دُفِنَ مَعَ أَبِي رَجُلٌ فَكَانَ فِي نَفْسِي مِنْ ذَلِكَ حَاجَةٌ فَأَخْرَجْتُهُ بَعْدَ سِتَّةِ أَشْهُرٍ، فَمَا أَنْكَرْتُ مِنْهُ شَيْئًا إِلَّا شُعَيْرَاتٍ كُنَّ فِي لِحْيَتِهِ مِمَّا يَلِي الْأَرْضَ.

Jabir berkata, "Ayahku dikubur bersama seseorang, sehingga muncul keinginan pada diriku untuk membongkarnya setelah enam bulan lamanya. Aku tidak melihat perubahan padanya selain rambut-rambut jenggotnya menempel tanah." [Shahih: Sunan Abu Dawud (no. 3232). Dinilai shahih oleh Syaikh al-Albani]

[6] Mughits Radhiyallahu 'Anhu Berjenggot

    قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: أَنَّ زَوْجَ بَرِيرَةَ كَانَ عَبْدًا يُقَالُ لَهُ مُغِيثٌ كَأَنِّى أَنْظُرُ إِلَيْهِ يَطُوفُ خَلْفَهَا يَبْكِى، وَدُمُوعُهُ تَسِيلُ عَلَى لِحْيَتِهِ.

Ibnu 'Abbas radhiyallahu 'anhuma berkata, "Suami Bararah adalah seorang budak yang bernama Mughits. Aku pernah melihatnya berjalan di belakang istinya sambil menangis dan air matanya menetes hingga ke jenggotnya." [Shahih: Shahih al-Bukhari (no. 5283)]

Para Ulama dan Orang Shalih Berjenggot

[7] Imam al-Baghawi Berjenggot

Berkata Imam al-Baghawi saat menafsirkan firman Allah, "Sungguh Kami telah memuliakan anak keturunan Adam":

    الرِّجَالُ بِاللِّحَى وَالنِّسَاءُ بِالذَّوَائِبِ.

"Kaum lelaki dengan jenggot dan kaum perempuan dengan rambut kepala yang indah." [Tafsir al-Baghawi (V/108), cet. ke-4 Darut Thayyibah]

[8] Imam an-Nawawi asy-Syafi'i Berjenggot

Imam an-Nawawi berkata:

    وَيَنْبَغِي لِلْمُعَلِّمِ أَنْ يَتَخَلَّقَ بِالْمَحَاسِنِ الَّتِي وَرَدَ الشَّرْعُ بِهَا ... وَمُلَازَمَةُ الْوَظَائِفِ الشَّرْعِيَّةِ كاَلتَّنْظِيْفِ وَتَقْلِيْمٍ بِإِزَالَةِ الْأَوْسَاخِ وَالشُّعُوْرِ الَّتِي وَرَدَ الشَّرْعُ بِإِزَالَتِهَا كَقَصِّ الشَّارِبِ وَتَقْلِيْمِ الظَّفْرِ وَتَسْرِيْحِ اللِّحْيَةِ وَإِزَالَةِ الرَّوَائِحِ الْكَرِيْهَةِ وَالْمَلَابِسِ الْمَكْرُوْهَةِ.

"Dan sepatutnya bagi seorang guru untuk berakhlak mulia sesuai tuntunan syar'i ... dan senantiasa menjalankan agama seperti membersihkan badan dari kotoran-kotoran dan memotong rambut-rambut yang diperintahkan syariat untuk dipotong, seperti memangkas kumis, memotong kuku, memanjangkanjenggot, menghilangkan bau badan yang tidak sedap, dan pakaian yang tidak pantas."  [At-Tibyan fi Adabi Hamalatil Qur`an (hal. 37) oleh Imam an-Nawawi, cet. Dar Ibnu Hazm, tahqiq: Muhammad al-Hijar]

Para ulama yang lurus aqidahnya tidaklah memerintakan sesuatu melainkan mereka adalah orang yang pertama kali mengamalkannya karena meniru Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.

Akhirnya, kita menjadi tahu bahwa di antara kemulian bagi kaum lelaki adalah jenggot. Untuk itulah Allah menjadikan jenggot bagi para nabi dan orang-orang shalih. Dengan jenggot ini pula, Allah memuliakan kaum muslimin dan melarang mereka mengikuti orang rendahan yang memotong jenggotnya layaknya orang-orang musyrik. Tentang mereka, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallambersabda:

    «خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ، وَفِّرُوا اللِّحَى، وَأَحْفُوا الشَّوَارِبَ»

"Berbedalah kalian dengan orang-orang musyrik, biarkan jenggot, dan pangkaslah kumis."[Muttafaqun 'Alaihi: Shahih al-Bukhari (no. 5892) dan Shahih Muslim (no. 259)]

Maka, jalan mana yang Anda pilih? Mengikuti jalannya orang-orang mulia ataukah jalannya orang-orang rendahan???

Semoga Allah Yang Mahamulia memasukkan kita ke dalam golongan orang-orang shalih lagi mulia.

Jumat, 29 Juni 2012

JADIKAN AKU BIDADARIMU

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarokatuh

Jika isteri menangis dihadapanmu….
“hargai lah ia sblm terlewat…”

Jika seorang isteri menangis dihadapanmu,
itu bererti dia tidak dapat menahannya lagi…
Jika kau memegang tangannya saat dia menangis, dia akan tinggal bersamamu sepanjang hidupmu..
Jika kau membiarkannya pergi, dia tidak akan kembali menjadi dirinya yang dulu, selamanya!

Seorang isteri tidak akan menangis dengan mudah, kacuali didepan orang yang sangat dia sayangi, dia akan menjadi lemah!

Seorang isteri tidak akan menangis dengan mudah, hanya jika dia sangat menyayangimu.
Dia akan menurunkan rasa EGOnya.

Wahai suami2,
jika seorang istri pernah menangis karenamu, tolong pegang tangannya dengan penuh pengertian.
Kerana dia adalah orang yang akan tetap bersamamu sepanjang hidupmu disaat kau terpuruk terlalu dalam …
Wahai suami2, jika seorang isteri menangis keranamu, tolong jangan menyia-nyiakannya. Mungkin, kerana keputusanmu, kau merosakkan kehidupannya.

Saat dia menangis didepanmu, saat dia menangis keranamu. Lihatlah jauh kedalam matanya. Dapatkah kau lihat dan kau rasakan SAKIT yang dirasakannya keranamu ?

Apakah keistimewaan perempuan ini ? ”

Dibalik KELEMBUTANYA dia memiliki kekuatan yang begitu dahsyat..

TUTUR katanya merupakan KEBENARAN..

SENYUMAN’nya adalah SEMANGAT bagi orang yang dicintainya. .

PELUKAN & CIUMAN’nya bisa memberi KEHANGATAN bagi anak2nya..

Dia TERSENYUM bila melihat temannya tertawa..

Dia TERHARU Dia MENANGIS bila melihat KESENGSARAAN pd org2 yg dikasihinya. ..

Dia mampu TERSENYUM dibalik KESEDIHAN’nya. .

Dia sangat GEMBIRA melihat KELAHIRAN..

Dia begitu sedih melihat KEMATIAN..

TITISAN air matanya bisa membawa PERDAMAIAN.

Tapi dia sering dilupakan oleh SUAMI krn 1 hal…

Bahawa “Betapa BERHARGAnya dia”…

Sebarkan ini ke SELURUH ISTERI2 yg soleha dan SUAMI2 yang kamu kenal agar mereka tidak lupa bahwa ISTERI mrk

begitu berHARGA… Dan sangat berHARGA.

Silahkan jika ada yang ingin mengcopy tulisan ini dan menyebarkannya, semoga bisa bermanfaat bagi kita semua.



Sumber: (http://www.facebook.com/JemputAkuMenjadiBidadarimu)



Jangan Lupa gabung dipage ini tinggal klik like/suka, insya Allah bermanfaat.

SIFAT ISRAEL DALAM AL-QURAN

Jika melihat karakter Israel belakangan ini terutama tindakan mereka kepada negara-negara islam, sebenarnya kita tidak perlu heran. Sebab, Allah SWT melalui wahyunya dalam Alquran sudah menggambarkan sifat buruk orang-orang Yahudi yang zalim, membuat kerusakan di muka bumi, dan senang mengobarkan api peperangan dengan bangsa lainnya, terutama kaum Muslimin.


Dalam Alquran sedikitnya disebutkan 22 sifat burum bangsa Yahudi, yakni:
1. Keras hati dan dzalim (Al-Baqarah:75,91,93,120,145,170; An-Nisa:160; Al-Maidah:41)
2. Kebanyakan fasik dan sedikit beriman kepada Allah SWT (Ali Imran:110; An-Nisa:55)
3. Musuh yang paling bahaya bagi orang-orang Islam (Al-Maidah:82)
4. Amat mengetahui kekuatan dan kelemahan orang-orang Islam seperti mereka mengenal anak mereka sendiri (Al-An'am:20)
5. Mengubah dan memutarbalikkan kebenaran (Al-Baqarah:75,91,101,140,145,211; Ali Imron:71,78; An-Nisa:46; Al-Maidah:41)
6. Menyembunyikan bukti kebenaran (Al-Baqarah:76,101,120,146; Ali Imron:71)
7. Hanya menerima perkara-perkara atau kebenaran yang dapat memenuhi cita rasa atau nafsu mereka (Al-Baqarah:87,101,120,146; Al-Maidah:41)
8. Ingkar dan tidak dapat menerima keterangan dan kebenaran AlQuran (Al-Baqarah:91,99; Ali Imron:70)
9. *****akkan telinga kepada seruan kebenaran, membisukan diri untuk mengucapkan perkara yang benar, membutakan mata terhadap bukti kebenaran dan tidak menggunakan akal untuk menimbangkan kebenaran (Al-Baqarah:171)
10. Mencampuradukkan yang benar dan yang salah, yang hak dan yang batil (Ali Imran:71)
11. Berpura-pura mendukung orang Islam tetapi apabila ada di belakang orang-orang Islam, mereka mengutuk dengan sekeras-kerasnya (Al-Baqarah:76; Ali Imran:72,119)
12. Hati meraka sudah tertutup akan Islam karena dilaknat oleh Allah SWT yang disebabkan oleh kekufuran mereka sendiri (Al-Baqarah:88,120,145,146)
13. Kuat berpegang pada rasa kebangsaan mereka dan mengatakan bahwa mereka adalah bangsa yang istimewa yang dipilih oleh Tuhan dan menyakini agama yang selain daripada Yahudi adalah salah (Al-Baqarah:94,111,113,120,135,145; Al-Maidah:18)
14. Tidak akan ada kebaikan untuk seluruh manusia jika mereka memimpin (An-Nisa:53)
15. Tidak suka, dengki, iri hati terhadap orang-orang Islam (Al-Baqarah:90,105,109,120)
16. Mencintai kemewahan dan kehidupan dunia, bersifat tamak dan rakus, menginginkan umur yang panjang dan mengejar kesenangan serta takut akan kematian (Al-Baqarah:90,95,96,212)
17. Berkata bohong, mengingkari janji dan melampaui batas (Al-Baqarah:100,246,249 Ali Imran:183,184; An-Nisa:46)
18. Berlindung di balik mulut yang manis dan perkataan yang baik (Al-Baqarah:204,246; Ali Imron:72; An-Nisa:46)
19. Mengada-ada perkara-perkara dusta dan suka kepada perkara-perkara dusta (Ali Imran:24,94,183,184; Al-Maidah:41)
20. Berlaku sombong dan memandang rendah terhadap orang-orang Islam (Al-Baqarah:206,212,247)
21. Tidak amanah dan memakan hak orang lain dengan cara yang salah (Ali Imran:75,76; At-Taubah:34)
22. Selalu melakukan kerusakan dan menganjurkan peperangan (Ali Imran:64)

Saatnya Introspeksi Diri

Dalam perjalanan hidup di dunia, tentunya seorang muslim tidak akan lepas dari kesalahan dan dosa sebagai akibat hawa nafsu yang diperturutkan. Selain itu, buah pemikiran yang dihasilkan manusia, yang dibangga-banggakan oleh pemiliknya, tidak jarang yang menyelisihi kebenaran, tidak sedikit yang bertentangan dengan ajaran yang ditetapkan oleh Allah dan rasul-Nya. Oleh karenanya, seiring waktu yang diberikan Allah kepada manusia di dunia, sepatutnya dipergunakan untuk mengintrospeksi segala perilaku dan pemikiran yang dia miliki, sehingga mendorongnya untuk mengoreksi diri ke arah yang lebih baik.
Introspeksi, Pintu untuk Mengoreksi Diri
Di dalam kitab Shahih-nya, imam Bukhari membuka salah satu bab kitab ash-Shaum dengan perkataan Abu az-Zinad,
إن السنن ووجوه الحق لتأتي كثيرًا على خلاف الرأي
“Sesungguhnya mayoritas sunnah dan kebenaran bertentangan dengan pendapat pribadi” [HR. Bukhari].
Memang benar apa yang dikatakan beliau, betapa seringnya seseorang enggan menerima kebenaran karena bertentangan dengan pendapat dan tendensi pribadi. Bukankah dakwah tauhid yang ditawarkan nabi kepada kaum musyrikin, ditolak karena bertolak belakang dengan keinginan pribadi mereka, terutama tokoh-tokoh terpandang di kalangan kaum musyrikin?
Tidak jarang seseorang tidak mampu selamat dari hawa nafsu dan terbebas dari kekeliruan pendapat karena bersikukuh meyakini sesuatu dan tidak mau menerima koreksi. Hal ini tentu berbeda dengan kasus seorang mujtahid yang keliru dalam berijtihad. Ketika syari’at menerangkan bahwa seorang mujtahid yang keliru memperoleh pahala atas ijtihad yang dilakukannya, hal ini bukan berarti mendukung dirinya untuk menutup mata dari kesalahan ijtihad dan bersikukuh memegang pendapat jika telah nyata akan kekeliruannya. Betapa banyak ahli fikih yang berfatwa kemudian rujuk setelah meneliti ulang fatwanya dan melihat bahwa kebenaran berada pada pendapat pihak lain.
Kita bisa mengambil pelajaran dari penolakan para malaikat terhadap kalangan yang hendak datang ke al-Haudh (telaga rasulullah di hari kiamat). Mereka tidak bisa mendatangi al-Haudh dikarenakan dahulu di dunia, mereka termasuk kalangan yang bersikukuh untuk berpegang pada kekeliruan, kesalahan dan kesesatan, padahal kebenaran telah jelas di hadapan mereka. Hal ini ditunjukkan dalam hadits, ketika para malaikat memberikan alasan kepada nabi,
إِنَّهُمْ قَدْ بَدَّلُوا بَعْدَكَ، وَلَمْ يَزَالُوا يَرْجِعُونَ عَلَى أَعْقَابِهِمْ، فَأَقُولُ: أَلَا سُحْقًا، سُحْقًا
“Mereka telah mengganti-ganti (ajaranmu) sepeninggalmu” maka kataku: “Menjauhlah sana… menjauhlah sana (kalau begitu)” [Shahih. HR. Ibnu Majah].
Kita dapat melihat bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendo’akan kecelakaan kepada mereka, karena enggan untuk melakukan introspeksi, enggan melakukan koreksi dengan menerima kebenaran yang ada di depan mata. Oleh karenanya, evaluasi diri merupakan perantara untuk muhasabah an-nafs, sedangkan koreksi diri merupakan hasil yang pengaruhnya ditandai dengan sikap rujuk dari kemaksiatan dan kekeliruan dalam suatu pendapat dan perbuatan.
Sarana-sarana untuk Mengevaluasi Diri
Diantara sarana yang dapat membantu seseorang untuk mengevaluasi diri adalah sebagai berikut:
Pertama, tidak menutup diri dari saran pihak lain
Seorang dapat terbantu untuk mengevaluasi diri dengan bermusyawarah bersama rekan dengan niat untuk mencari kebenaran. Imam Bukhari mengeluarkan suatu riwayat yang menceritakan usul Umar kepada Abu Bakr radhiallahu anhuma untuk mengumpulkan al-Quran. Tatkala itu Abu Bakr menolak usul tersebut, namun Umar terus mendesak beliau dan mengatakan bahwa hal itu merupakan kebaikan. Pada akhirnya Abu Bakr pun menerima dan mengatakan,
فَلَمْ يَزَلْ عُمَرُ يُرَاجِعُنِي فِيهِ حَتَّى شَرَحَ اللَّهُ لِذَلِكَ صَدْرِي، وَرَأَيْتُ الَّذِي رَأَى عُمَرُ
“Umar senantiasa membujukku untuk mengevaluasi pendapatku dalam permasalahan itu hingga Allah melapangkan hatiku dan akupun berpendapat sebagaimana pendapat Umar” [HR. Bukhari].
Abu Bakr tidak bersikukuh dengan pendapatnya ketika terdapat usulan yang lebih baik. Dan kedudukan beliau yang lebih tinggi tidaklah menghalangi untuk menerima kebenaran dari pihak yang memiliki pendapat berbeda.
Kedua, bersahabat dengan rekan yang shalih
Salah satu sarana bagi seorang muslim untuk tetap berada di jalan yang benar adalah meminta rekan yang shalih untuk menasehati dan mengingatkan kekeliruan kita, meminta masukannya tentang solusi terbaik bagi suatu permasalahan, khususnya ketika orang lain tidak lagi peduli untuk saling mengingatkan. Bukankah selamanya pendapat dan pemikiran kita tidak lebih benar dan terarah daripada rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, padahal beliau bersabda,
إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ، أَنْسَى كَمَا تَنْسَوْنَ، فَإِذَا نَسِيتُ فَذَكِّرُونِي
“Sesungguhnya aku hanyalah manusia seperti kalian. Aku lupa sebagaimana kalian lupa. Oleh karenanya, ingatkanlah aku ketika diriku lupa” [HR. Bukhari].
Ketika budaya saling menasehati dan mengingatkan tertanam dalam perilaku kaum mukminin, maka seakan-akan mereka itu adalah cermin bagi diri kita yang akan mendorong kita berlaku konsisten. Oleh karena itu, dalam menentukan jalan dan pendapat yang tepat, anda harus berteman dengan seorang yang shalih. Anda jangan mengalihkan pandangan kepada maddahin (kalangan penjilat) yang justru tidak akan mengingatkan akan kekeliruan saudaranya.
إِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِالْأَمِيرِ خَيْرًا جَعَلَ لَهُ وَزِيرَ صِدْقٍ، إِنْ نَسِيَ ذَكَّرَهُ، وَإِنْ ذَكَرَ أَعَانَهُ
“Jika Allah menghendaki kebaikan bagi diri seorang pemimpin/pejabat, maka Allah akan memberinya seorang pendamping/pembantu yang jujur yang akan mengingatkan jika dirinya lalai dan akan membantu jika dirinya ingat” [Shahih. HR. Abu Dawud].
Contoh nyata akan hal ini disebutkan dalam kisah al-Hur bin Qais, orang kepercayaan Umar bin al-Khaththab radhiallahu anhu. Pada saat itu, Umar murka dan hendak memukul Uyainah bin Husn karena bertindak kurang ajar kepada beliau, maka al-Hur berkata kepada Umar,
يَا أَمِيرَ المُؤْمِنِينَ، إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَالَ لِنَبِيِّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: {خُذِ العَفْوَ وَأْمُرْ بِالعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الجَاهِلِينَ} [الأعراف: 199] ، وَإِنَّ هَذَا مِنَ الجَاهِلِينَ، «وَاللَّهِ مَا جَاوَزَهَا عُمَرُ حِينَ تَلاَهَا عَلَيْهِ، وَكَانَ وَقَّافًا عِنْدَ كِتَابِ اللَّهِ»
“Wahai amir al-Mukminin, sesungguhnya Allah ta’ala berfirman kepada nabi-Nya, “Berikan maaf, perintahkan yang baik dan berpalinglah dari orang bodoh.” Sesungguhnya orang ini termasuk orang yang bodoh”. Perawi hadits ini mengatakan, “Demi Allah Umar tidak menentang ayat itu saat dibacakan karena ia adalah orang yang senantiasa tunduk terhadap al-Quran.” [HR. Bukhari].
Betapa banyak kezhaliman dapat dihilangkan dan betapa banyak tindakan yang keliru dapat dikoreksi ketika rekan yang shalih menjalankan perannya.
Ketiga, menyendiri untuk melakukan muhasabah
Salah satu bentuk evaluasi diri yang paling berguna adalah menyendiri untuk melakukan muhasabah dan mengoreksi berbagai amalan yang telah dilakukan.
Diriwayatkan dari Umar bin al-Khaththab, beliau mengatakan,
حَاسِبُوا أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُحَاسَبُوا، وَتَزَيَّنُوا لِلْعَرْضِ الأَكْبَرِ
“Koreksilah diri kalian sebelum kalian dihisab dan berhiaslah (dengan amal shalih) untuk pagelaran agung (pada hari kiamat kelak)” [HR. Tirmidzi].
Diriwayatkan dari Maimun bin Mihran, beliau berkata,
لَا يَكُونُ العَبْدُ تَقِيًّا حَتَّى يُحَاسِبَ نَفْسَهُ كَمَا يُحَاسِبُ شَرِيكَهُ
“Hamba tidak dikatakan bertakwa hingga dia mengoreksi dirinya sebagaimana dia mengoreksi rekannya” [HR. Tirmidzi].
Jika hal ini dilakukan, niscaya orang yang melaksanakannya akan beruntung. Bukanlah sebuah aib untuk rujuk kepada kebenaran, karena musibah sebenarnya adalah ketika terus-menerus melakukan kebatilan.
-bersambung insya Allah-
Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim
Artikel www.ikhwanmuslim.com, dipublish ulang oleh www.remajaislam.com

BUKU KARANGAN ULAMA TENTANG KAIDAH USHUL

Sebenarnya banyak sekali buku-buku tentang kaidah-kaidah ushul yang dikarang para ulama sejak dahulu hingga awal abad 20 dan dari awal abad 20 hingga sekarang, tetapi pada bab ini penyusun hanya akan menyebutkan nama-nama buku yang membahas tentang kaidah-kaidah ushul yang merupakan referensi utama dalam masalah ini. Bagi yang ingin mengetahui lebih, bisa membaca buku Nadzoriyah at taq’id al Ushuly karya Dr. Aiman Abdul Hamid Al-Badaroin atau buku-buku lainnya.
Diantara buku-buku itu adalah:
  1. Ta’sis An Nazor karya Ubaidillah bin Umar bin Isa Ad Dabusy (364-430 H)
  2. Takhrijul Al-Furu’ Ala Al-Ushul karya Mahmud bin Ahmad bin Mahmud Abu Al Manqib Al Jinzani (573-656 H)
  3. Miftah Al-Wusul ila takhrij al-furu’ ala al-Ushul karya Syarif At Tilmisany (710-771 H)
  4. At Tamhid fi at-takhrij al-furu’ ala al-ushul karya Al Isnawi (7.4-772 H)
  5. Al-Qowaid wa al-Fawaid Al-Ushuliyah wa ma yata’allaqu biha min al-Ahkam al-far’iyyah karya Ibn Al-Liham Al Hanbaly ( wafat tahun 803 H)
  6. Al-Wusul ila Qowaid al-ushul karya imam Muhammad bin Abdullah bin Ahmad bin Muhammad Al Hanafy ( wafat tahun 1007 H)
  7. At-Tahrir karya Kamal bin Al Hamam (matan)
  8. At-Tanqih karya Ibnu Mas’ud Al-Hanafi (matan)
  9. Mu’tasar al-muntaha al-ushuly karya Ibnu Al-Hajib (matan)
  10. Al-Waroqot fi Ushul Al-Fiqh karya Al-Juwaini
  11. Minhaj Al-Ushul ila ilmi al-ushul karya Al-Baidawy
  12. Raudhatunnazir wa jannatul muanzir karya Ibnu Qudamah
  13. Al-Ihkam fi Ushul al-ahkam karya Al-Amadi
  14. Al-Irsyad wa at-taqrib karya Abu Bakar Al-Baqillani
  15. Ushul Fiqh karya Syekh Al-Hadary (wafat tahun 1927 M)
  16. Ilmu Ushul fiqh karya Syekh Abdul Wahab Khalaf (1888 – 1956 M)
  17. Taqnin Ushul Fiqh karya Dr. Muhammad Zaki Abdul Bar

FAEDAH KAIDAH USHUL FIQH DAN KEDUDUKANNYA DIANTARA ILMU-ILMU SYARA’


1. Faedah Kaidah-Kaidah Ushul Fiqh
Manfaat sesuatu bisa dilihat dari buah atau nilai yang di hasilkannya, begitu juga dengan kaidah-kaidah ushul. Jika kita ingin mengetahui manfaat serta kedudukannya maka hendaklah kita melihat kepada nilai atau buah yang dihasilkan oleh kaidah-kaidah ushul fiqh itu sendiri.. Setiap manusia berbuat sesuai dengan kemaslahatannya, jika tidak ada maslahat (minimal dalam pandangannya), ia tidak akan melaksanakannya. Maslahat dibagi dua, dunia dan akhirat. Sebagai muslim tentu berkeyakinan bahwa maslahat dunia adalah sarana untuk mencapat kebahagiaan utama di akhirat nanti.
Setelah ilmu aqidah, ilmu yang membahas tentang hukum-hukum praktis merupakan ilmu yang paling penting dan harus dikuasai. Hukum-hukum ini bisa di ketahui, baik dengan cara taqlid atau ijtihad. Beribadah atas dasar taqlid tidak sama derajatnya jika dibandingkan dengan beribadah atas dasar ijitihad. Imam Ghazali berkata:” Sebaik-baik ilmu adalah ilmu yang menggabungkan antara akal dan as-sam’ (Al-Qur’an dan Sunnah) dan yang menyertakan pendapat dan syara’”.
Abu Bakar Al-Qoffal As-Syasyi berkata dalam bukunya “al-ushul”:” Ketahuilah bahwa Nash yang mencakup segala kejadian tidak ada, dan hukum-hukum memiliki ushul dan furu’ , dan furu’ tidak bisa diketahui kecuali dengan ushul, dan nilai-nilai itu tidak dapat di ketahui kecuali dengan ilmu fiqh dan ushul fiqh. Ilmu ini diambil dari syara’ dan akal yang suci secara bersamaan. Ia tidak menolak syara’ tidak pula menolak akal. Karena keutamaan ilmu ini lah, banyak orang yang mempelajarinya. Ulama yang faham ushul fiqh dan kaidah-kaidahnya adalah ulama yang tinggi derajatnya, tinggi wibawanya ,memiliki banyak pengikut dan murid. Maka hendaklah memulai dengan ushul untuk mengetahui hukum-hukum furu“.
Diantara faedah kaidah-kaidah ushul fiqh adalah:
  1. Dapat mengangkat derajat seseorang dari taqlid menjadi yaqin. Allah berfirman yang artinya:” niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan“. (QS. Al-Mujadalah: 11)
  2. Kaidah-kaidah ushul merupakan asas dan pondasi seluruh ilmu-ilmu islam lainnya. Maka ilmu fiqh, tafsir, hadits dan ilmu kalam tidak akan sempurna tanpanya. Kaidah-kaidah ushul menjadikan pemahaman terhadap al-quran dan sunnah dan sumber-sumber islam lainnya menjadi akurat.
  3. Dengan memahami kaidah-kaidah ushul, seseorang dapat dengan mudah mengambil kesimpulan-kesimpulan hukum syari’ah al-far’iyyah dari dalil-dalilnya langsung dan terus melaksanakannya. Karena kaidah-kaidah ushul merupakan sarana yang menghantarkan seseorang pada hukum-hukum fiqh.
  4. kaidah-kaidah ushul berusaha membentuk kembali ilmu ushul fiqh dalam bentuk yang baru, lebih singkat dan akurat yang dapat membantu seorang mujtahid dalam pengambilan hukum.
  5. Seorang yang faham ushul fiqh dan kaidah-kaidahnya akan dapat dengan mudah mengcounter pemikiran-pemikiran yang berusaha menyerang hukum-hukum islam yang telah mapan seperti wajibnya rajam, hudud dan lain sebagainya.
  6. Tujuan akhir adalah untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
2. Kedudukan Kaidah-Kaidah Ushul Fiqh
Kedudukan dan keutamaan sebuah ilmu tidak lepas dari tema, objek, tujuan, apa yang di bahas, besar kebutuhan, kekuatan dalilnya serta maslahat yang dihasilkannya. Semakin besar faedahnya semakin tinggi pula kedudukannya. Kaidah-kaidah ushul memiliki kedudukan tinggi, yaitu berada pada urutan pertama setelah ilmu akidah.
Penjelasannya:
  1. Dari segi faedah dan buah yang di hasilkan oleh kaidah-kaidah ushul, penyusun telah jelaskan pada penjelasan faedah-faedah ushul fiqh diatas.
  2. Dari segi objeknya, penyusun telah jelaskan bahwa objek kaidah-kaidah ushul adalah ushul fiqh itu sendiri dari segi keakuratannya. Juga membahas nilai-nilai ushul fiqh untuk di undang-undangkan. Jika ilmu ushul fiqh memiliki kedudukan tinggi dalam islam, bagaimanakah kedudukan sebuah ilmu yang bertugas menambah keakuratan ushul fiqh?
  3. Dari segi tujuannya, tujuannya adalah pengambilan hukum syara’ yang praktis dari dalil-dali syara’ dan memperjuangkannya serta memberikan keakuratan dalam berijtihad dan kondisi mujtahid.  Usaha untuk mengetahui hukum-hukum Allah adalah merupakan kewajiban terpenting dan merupakan tujuan penciptaan kita di dalam kehidupan ini. Ilmu apapun yang memiliki tujuan ini adalah ilmu yang memiliki kedudukan tinggi.
  4. Dari segi kebutuhan. Tidak ada kebahagiaan didunia maupun di akhirat tanpa syari’at Allah. Dan syariat Allah tidak akan dapat diketahui tanpa kaidah-kaidah ushul. Ma la yatimmu al-fadil illa bihi fahuwa faadhil.

PERBEDAAN ANTARA KAIDAH USHULIYYAH DENGAK KAIDAH FIQHIYYAH

Persamaan antara kaidah ushul dan kaidah fiqh terletak pada kesaaman sebagai wasilah pengambilan hukum. Keduanya merupakan prinsip umum yang mencakup masalah-masalah dalam kajian syari’ah. Oleh karena itu, dalam perspetif ini kaidah ushul sangatlah mirip dengan kaidah fiqih.
Namun, kita pun bisa melihat perbedaan yang signifikan dari kedua kaidah tersebut, secara ringkas perbedaan kedua kaidah tersebut adalah sebagai berikut :
  1. Kaidah ushul pada hakikatnya adalah qa’idah istidlaliyah yang menjadi wasilah para mujtahid dalam istinbath(pengambilan) sebuah hukum syar’iyah amaliah. Kaidah ini menjadi alat yang membantu para mujtahid dalam menentukan suatu hukum. Dengan kata lain, kita bisa memahami, bahwa kaidah ushul bukanlah suatu hukum, ia hanyalah sebuah alat atau wasilah kepada kesimpulan suatu hukum syar’i. Sedangkan, kaidah fiqih adalah suatu susunan lafadz yang mengandung makna hukum syar’iyyah aghlabiyyah yang mencakup di bawahnya banyak furu’. Sehingga kita bisa memahami bahwa kaidah fiqih adalah hukum syar’i. Dan kaidah ini digunakan sebagai istihdhar (menghadirkan) hukum bukan istinbath (mengambil) hukum (layaknya kaidah ushul). Misalnya, kaidah ushul “al-aslu fil amri lil wujub” bahwa asal dalam perintah menunjukan wajib. Kaidah ini tidaklah mengandung suatu hukum syar’i. Tetapi dari kaidah ini kita bisa mengambil hukum, bahwa setiap dalil (baik Qur’an maupun Hadits) yang bermakna perintah menunjukan wajib. Berbeda dengan kaidah fiqih “al-dharar yuzal” bahwa kemudharatan mesti dihilangkan. Dalam kaidah ini mengandung hukum syar’i, bahwa kemudharatan wajib dihilangkan.
  2. Kaidah ushul dalam teksnya tidak mengandung asrarus syar’i (rahasia-rahasia syar’i) tidak pula mengandung hikmah syar’i. Sedangkan kaidah fiqih dari teksnya terkandung kedua hal tersebut.
  3. Kaidah ushul kaidah yang menyeluruh (kaidah kulliyah) dan mencakup seluruh furu’ di bawahnya. Sehinggaistitsna’iyyah (pengecualian) hanya ada sedikit sekali atau bahkan tidak ada sama sekali. Berbeda dengan kaidah fiqih yang banyak terdapat istitsna’iyyah, karena itu kaidahnya kaidah aghlabiyyah (kaidah umum).
  4. Perbedaan antara kaidah ushul dan kaidah fiqih pun bisa dilihat dari maudhu’nya (objek). Jika Kaidah ushulmaudhu’nya dalil-dalil sam’iyyah. Sedangkan kaidah fiqih maudhu’nya perbuatan mukallaf, baik itu pekerjaan atau perkataan. Seperti sholat, zakat dan lain-lain
  5. Kaidah-kaidah ushul jauh lebih sedikit dari kaidah-kaidah fiqh.
  6. Kaidah-kaidah ushul lebih kuat dari kaidah-kaidah fiqh. Seluruh ulama sepakat bahwa kaidah-kaidah ushul adalah hujjah dan mayoritas dibangun diatas dalil yang qot’I. Adapun kaidah-kaidah fiqh ulama berbeda pendapat. Sebagian mengatakan bahwa kaidah-kaidah fiqh bukan hujjah secara mutlaq, sebagian mengatakan hujjah bagi mujtahid ‘alim dan bukank hujjah bagi selainnya, sebagian yang lain mengatakan bahwa kaidah-kaidah tersebut hujjah secara mutlak.
  7. Kaidah-kaidah ushul lebih umum dari kaidah-kaidah fiqh

HUBUNGAN ANTARA KAIDAH USHUL DENGAN USHUL FIQH

Ketika kita melihat defenis dari ushul fiqh dan kaidah-kaidah ushul, akan jelas sekali perbedaan atara keduanya. Tetapi meskipun demikian, keduanya tidak akan bisa dipisahkan karena ilmu kaidah-kaidah ushul merupakan bagian dari ilmu ushul fiqh. Hubungan antara keduanya adalah hubungan atara umum dan khusus (ilmu ushul fiqh lebih umum dari ilmu kaidah-kaidah ushul).
Adapun perbedaan atara keduanya adalah sebagai berikut:
  • Mayoritas kaidah-kaidah ushul adalah nilai yang di ambil dari ushul fiqh (ushul fiqh jauh lebih luas pembahasannya daripada kaidah-kaidah ushul).
  • Perbedaan dalam segi maudu’ (tema). Tema kaidah-kaidah ushul adalah ushul fiqh itu sendiri adapun tema ushul fiqh adalah al- adillah al ijmaliayah min hautsu dobthi al fiqh.
  • Dari segi Tujuan. Tujuan dari kaidah-kaidah ushul adalah menyempurnakan ushul fiqh dengan cara menyempurnakan nilai-nilai ushul dengal lafaz yang singkat, dan mengembalikan nilai-nilai tersebut kepada nilai yang lebih umum yang menjadi kaidah buat kaidah tersebut.  Dengan demikian tujuan ilmu kaidah-kaidah ushul adalah ingin memberikan bentuk lain untuk ushul fiqh dalam bentuk kaidah yang lebih singkat dan sistematis. Adapun tujuan ushul fiqh adalah pencapaian nilai-nilai yang dapat menyempurnakan ijtihad dalam fiqh.
  • Dari segi histories (Apakah ushul fiqh muncul terlebih dahulu atau kaidah-kaidah ushul?)
Sahabat-sahabat Rasulullah, tabi’in dan yang mengikuti mereka sejak dahulu telah berijithad dengan memakai kaidah-kaidah ushul.  Kemudian pembahasan semakin luas hingga muncullah ilmu ushul fiqh. Demikian juga ilmu ushul fiqh semakin luas hingga di butuhkan kaidah-kaidah singkat yang dapat dengan mudah diterapkan oleh seorang mujtahid, dan inilah yang menjadi tonggak munculnya ilmu kaidah-kaidah ushul. Dengan demikian kaidah-kaidah ushul lebih dahulu muncul dari ilmu ushul fiqh, dah ilmu ushul fiqh muncul sebelum munculnya ilmu kaidah-kaidah ushul.

RUKUN DAN SYARAT KAIDAH USHUL

Rukun-rukun kaidah Ushuliyyah
Ketika kita melihat sebuah kaidah ushul, النهي للكرار (larangan menunjukkan pengulangan) umpamanya kita akan menemukan 4 rukun didalamnya:
Pertama      : Maudu’ (tema) yaitu النهي
Kedua        : Mahmuul yaitu التكرار
Ketiga        : Penisbatan antara keduanya yaitu kebergantungan rukun kedua dengan rukun pertama
Keempat     : Terjadi atau tidaknya rukun ketiga pada keduanya.. (Apakah perintah menunjukkan pengulangan benar-benar terjadi atau tidak?)
Jika keempat-empatnya adalah tasowwurot dimanakah hukumnya atau at tasdiq ??
Ahli mantiq ketika berusaha menyelesaikan permasalahan ini berbeda pada 2 pendapat:
1. Al Falasifah mengatakan bahwa at tasdiq adalah rukun ke empat saja, dengan kata lain menurut falasifah, kaidah-kaidah ushul cukup dengan satu rukun saja yaitu rukun yang keempat.
2. Imam Ar Razi mengatakan bahwa at tasdiq tidak cukup dengan rukun ke empat saja tetapi gabungan dari keempat rukun tersebut.
Syarat-syarat kaidah Ushuliyyah
  1. Harus dalam bentuk yang singkat
  2. Merupakan perkara yang sempurna
  3. Maudu’nya (temanya) harus kulli bukan juz’I (umum)
  4. Kaidah-kaidah ushul tersebut tidak bertentangan dengan syari’at dan maqosid syari’ah
  5. Tidak bertentangan dengan kaidah lain (baik itu kaidah ushul ataupun kaidah fiqh) yang sebanding dengannya atau lebih kuat darinya.
  6. Kaidah-kadiah ushul tersebut harus tegas dan tidak ragu-ragu

SUMBER-SUMBER PENGAMBILAN KAIDAH USHUL

Secara global, kaidah-kaidah ushul fiqh bersumber dari naql (Al-Qur’an dan Sunnah), ‘Akal (prinsip-prinsip dan nilai-nilai), bahasa (Ushul at tahlil al lughawi), yang secara terperinci kita jelaskan dibawah ini.
Pertama: Al Qur’an.
Al Qur’an merupakan firman Allah SAW yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW, untuk membebaskan manusia dari kegelapan. Kitab ini adalah kitab undang-undang yang mengatur seluruh kehidupan manusia, firman Allah yang Maha mengetahui apa yang bermanfaat bagi manusia dan apa yang berbahaya, dan merupakan obat bagi ummat dari segalah penyakitnya. Allah berfirman :
dan Kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian”. (QS. AL Isra: 82)
Dan firman Allah:
dan Kami turunkan kepadamu Al kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri”. (QS An Nahl: 89) 
Ini adalah kedudukan al Qur’an. Penyusun yakin semua orang tahu itu, maka tidak perlu di perpanjang di sini.
Diantara kaidah-kaidah ushul yang di hasilkan dari Al Qur’an adalah:
1. Sunnah adalah sumber hukum yang di akui, dengan dalil
وما ينطق عن الهوي  إن هو إلا وحي يوحي
2. Al Qur’an bisa difahami dari uslub-uslub bahasa arab, dengan dalil
إنا أنزلناه قرآنا عربيا لعلكم تعقلون
3. Adat atau kebiasaan di akui sebagai hukum pada permasalahan yang tidak memiliki dalil, dengan dalil
حذ العفو وأمر بالعرف وأعرض عن الجاهلين
Kedua: As Sunnah
Allah memberikan kemuliaan kepada nabi Muhammad SAW dengan mengutusnya sebagai nabi dan rasul terakhir untuk umat manusia dengan tujuan menyampaikan pesan-pesan ilahi kepada umat. Maka nilai kemuliaan Rasulullah bukan dari dirinya sendiri tetapi dari Sang Pengutus yaitu Allah SWT, karena siapapun yang menjadi utusan pasti lebih rendah tingkatannya dari yang mengutus. Allah Berfirman yang artinya:” Muhammad tidak lain hanyalah seorang rasul”. (QS. Ali Imran: 144).
Jika seluruh perintah Allah telah disampaian oleh Rasulullah kepada umat, selesailah tugasnya dan wajib bagi umat untuk memperhatikan risalah yang di sampaikan oleh rasulullah. Allah berfirman yang artinya:
Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika Dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, Maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi Balasan kepada orang-orang yang bersyukur”. (QS. Ali Imran: 144)
Banyak sekali ayat Al Qur’an yang menjelaskan bahwa sunnah Rasulullah adalah merupakan salah satu sumber agama islam, diantaranya firman Allah dalam surat Ali Imran ayat: 53,132,144, 172  juga didalam surat An Nisa ayat: 42, 59, 61, 64, 65, dan masih banyak lagi. Bahkan didalam surat Al Hasyr Allah berfirman:
apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya.“ 
Diantara kaidah-kaidah ushul yang di ambil dari hadits adalah:
  1. Perintah yang mutlak hukumnya wajib (الأمر المطلق يفيد الوجوب)
  2. Ijma’ merupakah hujjah yang di akui secara syar’I (الإجماع حجة معتبرة شرعا)
  3. Jika berkumpul perintah dan larangan maka larangan di dahulukan (إذا اجتمع الآمر والمحرم قدم المحرم)
  4. Qiyas merupakan hujjah yang di akui secara syar’I (القياس حجة معتبرة شرعا)
Ketiga: Ijma’
Diantara kaidah-kaidah ushul yang di ambil dari ijma adalah:
  1. Ijma’ Sahabat bahwa “hukum yang di hasilkan dari hadits ahad dapat di terima”.
  2. Ijma’ Sahabat bahwa “hukum terbagi menjadi 5 macam”.
  3. Ijma’ Sahabat bahwa “syariat nabi Muhammad menghapus seluruh syariat yang sebelumnya”.
Keempat: Akal 
Akal memiki kedudukan yang tinggi didalam syariat islam, karena kita tidak akan faham islam tanpa akal. Sebagai contoh, Apa dalil yang menunjukkan bahwa Allah itu ada? Jika dijawab Al Qur’an, Apa dalil yang menunjukkan bahwa Al Qur’an benar-benar dari Allah? Jika dijawab I’jaz, apa dalil yang menunjukkan bahwa I’jazul quran sebagai dalil bahwa alqur’an bersumber dari Allah SWT? Dan seterusnya. Dengan demikian dapat kita fahami bahwa islam tidak akan kita fahami tanpa akal, oleh karena itulah akal merupakan syarat taklif dalam islam.
Meskipun demikian, ada satu hal yang harus di perhatikan dengan seksama, bahwa akal tidak bisa berkerja sendiri tanpasyar’I. Akal hanyalah sarana untuk mengetahui hukum-hukum Allah melalui dalil-dalil al quran dan hadits. Allah lah yang menjadi hakim, dan akal merupakan sarana untuk memahami hukum-hukum Allah tersebut.
Diantara kaidah-kaidah ushul yang di hasilkan dari akal adalah:
  1. Al Qur’an merupakan dalil yang di akui.
  2. Baik dan buruk hanya di ketahui melalui syar’I bukan akal.
  3. Yang lebih kuat didahulukan dari yang lemah.
Kelima: Perkataan Sahabat
Diantara kaidah-kaidah ushul yang diambil dari perkataan-perkataan sahabat Rasulullah adalah:
  1. Hadits-hadits Ahad zonniyah
  2. Qiyas adalah hujjah
  3. Hukum yang terakhir menghapus hukum yang terdahulu (naskh)
  4. Orang awam boleh taqlid
  5. Nash lebih di utamakan dari qiyas maupun ijma’
Diantara kaidah-kaidah ushul yang di ambil dari ilmu-ilmu islam
  1. Ilmu Ushuluddin
  • Baik dan buruk dapat diketahui dengan syar’I bukan dengan akal
  • Rasulullah tidak menetapkan ijtihad yang salah
  • Tidak ada yang ma’sum kecuali nabi
  • Syari’at islam menghapus syari’at sebelumnya
  • Domir goib kadang-kadang kembali pada kalimat yang tidak tertulis, dan itu bisa di ketahui melalui siyaaq kalimat.
  • Kalimat Aina (أين) menunjukkan tempat (syarat ataupun istifham) dan (  متي و أيان) menunjukkan waktu (syaratatupun istifham)
  • Fi’il madi jika menjadi fiil syarat, ia berubah menjadi kaliamat insyaa menurut kesepakatan ahli nahwu. 
  • (إلي) menunjukkan akhir sesuatu (waktu maupun tempat) 
  • Dan sebagainya. 
    • Kaidah  سد الذرائع
    • Kaidah adat dan kebiasaan merupakan dalil yang di akui
    • Kaidah المصالح المرسلة
  2.  Ilmu Bahasa Arab
  • Domir goib kadang-kadang kembali pada kalimat yang tidak tertulis, dan itu bisa di ketahui melalui siyaaq kalimat.
  • Kalimat Aina (أين) menunjukkan tempat (syarat ataupun istifham) dan (  متي و أيان) menunjukkan waktu (syaratatupun istifham)
  • Fi’il madi jika menjadi fiil syarat, ia berubah menjadi kaliamat insyaa menurut kesepakatan ahli nahwu. 
  • (إلي) menunjukkan akhir sesuatu (waktu maupun tempat) 
  • Dan sebagainya.
3. Ilmu Fiqih
  • Kaidah  سد الذرائع
  • Kaidah adat dan kebiasaan merupakan dalil yang di akui
  • Kaidah المصالح المرسلة