Kemajuan kemenangan tentara Muslim di daratan yang menghubungkan antar-Asia, Eropa dan Afrika membawa massa yang besar ke dalam Imperium Islam orang-orang yang sebelumnya Kristen, Zoroaster, Budha atau Hindu. Konversi ke Islam berjalan lambat. Para penakluk Muslim membiarkan sendiri orang-orang dari teritori selama mereka membayar pajak pelindung, jizyah, dan tidak memaksakan kebebasan dalam memilih agama. Konversi besar-besaran ke dalam Islam terjadi pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz (717-719) yang menghapuskan pajak yang tidak adil, mentoleransi perbedaan pendapat dan memperlakukan orang-orang Muslim dan non-Muslim dengan martabat yang sama. Terkesan dengan inisiatifnya, orang-orang di bekas wilayah Sassanid dan Bizantium memeluk Islam secara berbondong-bondong.
Para Muslim baru membawa dengan mereka tidak hanya warisan dan budaya kuno mereka, tetapi juga metode melihat pada pertanyaan-pertanyaan luhur dari kehidupan dengan cara-cara yang secara fundamental berbeda dari orang-orang Arab. Sejarah Islam harus menghadapi rasionalisme Yunani, stratifikasi Zoroastrianisme, gnostisisme Hindu, pengasingan diri Budha dan kode etik yang tinggi tetapi sekuler dari Cina, Tao dan Konfusianisme. Menambahkan ke dalamnya ketegangan internal di dalam dunia Islam yang timbul akibat klaim yang bertentangan antara Bani Umayyah, Bani Hasyim, Ahlul Bait dan partisannya dan fraksi-fraksi dari banyak pihak atas masalah hukum, dan ini merupakan sebuah tantangan ide pemikiran yang baik yang dihadapi oleh ahli-ahli hukum Islam yang paling awal. Fiqh adalah respon doktrinal dari peradaban Islam terhadap tantangan ini.
Kodifikasi Fiqh menguatkan dasar peradaban Islam dan merupakan semen bagi stabilitasnya dalam melewati gejolak selama berabad-abad. Selama proses Fiqh dinamis, kreativitas dan ide-ide mengalir dari Islam ke peradaban lainnya. Ketika proses ini menjadi statis dan stagnan, sejarah Islam semakin berbalik ke dalam dan menjadi terpinggirkan dalam perjuangan global umat manusia.
Syariah adalah dimensi dasar Islam yang konstan, tidak berubah. Ia memiliki dasarnya dalam Al-Qur'an dan ia mendapatkan legitimasinya dari kedaulatan Ilahi. Syariah mendefinisikan tidak hanya hubungan antar manusia, tetapi juga hubungan manusia dengan Tuhan dan manusia dengan alam semesta. Dengan demikian, ia merangkul semuanya dan dimensinya tidak terbatas. Hukum sekuler, di sisi lain, berurusan hanya dengan hubungan manusia dengan sesamanya dan tidak peduli dengan hubungan manusia dengan Ilahi. Ia terbatas, dapat berubah dan tunduk pada lika-liku sejarah dan geografi. Ia mendapatkan legitimasinya dari kedaulatan yang diproklamasikan oleh para raja, para penguasa dan bangsa-bangsa.
Fiqh adalah dimensi historis dari Syariah dan mewakili perjuangan Islam terus menerus dan tak henti-hentinya untuk menghidupkan perintah-perintah ilahi dalam ruang dan waktu. Ia adalah aplikasi ketat dan rinci dari Syariah terhadap isu-isu yang dihadapi umat manusia ketika ia berpartisipasi dalam drama sejarah. Karena itu ia mencakup pendekatan, proses, metodologi serta aplikasi praktis dari Syariah. Ia mendefinisikan antar muka seorang individu dengan dirinya sendiri, keluarganya, masyarakatnya, dan komunitasnya, serta antar muka peradaban antara Islam dengan agama dan ideologi lainnya.
Kami akan mencoba untuk meringkas dalam bab ini asal-usul sejarah dan perkembangan praktis dari lima mazhab utama Fiqh yang saat ini diikuti oleh mayoritas umat Islam. Mereka adalah: Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hanbali dan Ja'afariya. Ada mazhab Fiqh lain seperti Zaidi dan Ismaili, yang dipraktekkan oleh sejumlah relatif kecil dari umat Islam saat ini dan kami akan merujuk kepada mereka hanya dalam konteks sejarah mereka. Kami juga akan meringkas mazhab pemikiran Mu'tazilah dan As'ariyah yang telah jarang dibahas saat ini, tetapi telah meninggalkan jejak yang mendalam, mungkin jejak yang menentukan pada budaya pemikiran dan peradaban.
Al Qur'an diturunkan sebagai Firman Tuhan yang dinamis. Banyak di antara para sahabat yang hafal seluruh isi Al-Qur'an (hafizun atau hufaz). Beberapa orang tahu, mengerti dan membacakan Al Qur'an, tetapi juga melatih dan mengajar orang lain. Mereka disebut sebagai qura'a (jamak dari qari, yang berarti, orang yang membacakan Al Qur'an). Karena banyak dari para sahabat bermigrasi dari Hijaz ke Irak, Persia, Suriah dan Mesir, jubah kepemimpinan lokal jatuh ke qura'a tersebut. Kebanyakan orang Arab buta huruf di era pra-Islam dan siapa pun memiliki kemampuan untuk membaca dan mengajarkan bahasa mendapatkan kehormatan yang tinggi. Peradaban saat itu diperintah oleh Firman Tuhan dan qura'a, kebanyakan dari mereka adalah sahabat Nabi, diterima di negeri-negeri yang jauh dengan penghormatan dan penghargaan yang baik. Mereka adalah orang-orang yang sering dimintai untuk memberikan pendapat hukum (fatwa).
Kebutuhan untuk memproduksi salinan tertulis dari Al Qur'an terasa dibutuhkan setelah Pertempuran Yamama, di mana sejumlah besar hufaz dan qura'a tewas. Mengikuti saran dari Umar ibn Khattab RA dan sahabat lainnya, Khalifah Abu Bakar RA memerintahkan Al-Qur'an untuk ditulis. Salinan ini dikenal sebagai Mushaf as Siddiqi. Untuk melestarikan Alquran sebagaimana Nabi membacakannya, Khalifah ketiga Utsman RA memerintahkan penyusunan salinan standar Al-Quran dengan vokal disertakan dalam teks.
Satu abad setelah Nabi, semua sahabat yang belajar tangan pertama dari Nabi, atau Tabi'in yang belajar dari para sahabat, telah meninggal dunia. Para sahabat telah mengenal Alquran, serta konteks di mana ia diungkapkan, dari contoh kehidupan Nabi. Para sahabat begitu dekat dengan sumber wahyu, sehingga diliputi dengan cahaya Firman Ilahi dan dampak universalnya terhadap sejarah bahwa mereka menanggapi aturan-aturannya dengan semangat yang tak terbatas. Mereka adalah sebuah dunia aksi, bukan kata-kata. Mereka menciptakan sejarah dengan perbuatan mereka, meninggalkan orang lain untuk mengikuti jejaknya. Ia kemudian diwariskan kepada generasi berikutnya untuk dipelajari, dipahami dan berdebat tentang apa yang mereka lakukan. Ketika jarak dari Nabi meningkat, menjadi penting untuk mengumpulkan, memilah dan meneruskan tradisi Nabi. Ini adalah awal dari ilmu Hadis. Meskipun, koleksi Hadis yang dikenal saat ini (Bukhari, Sahih Muslim, dll) muncul beberapa abad kemudian, tradisi mengumpulkan dan menyampaikan Hadis terus menerus dilakukan dan aktif selama periode sementara ini. Di samping ilmu-ilmu Al-Qur'an (Ulum Al Qur'an), tradisi-tradisi Nabi yang dikonfirmasi (Ulum ul Sunnah) menyediakan sumber yang paling penting bagi perkembangan prinsip-prinsip Fiqh (Ushul al Fiqh).
Perkembangan Fiqh merupakan proses sejarah. Selama Nabi masih hidup, contohnya adalah perlu dan cukup untuk sebagai bimbingan masyarakat. Al-Qur'an menyajikan prinsip-prinsip doktrinal dan dasar-dasar etis syariah. Nabi mengklarifikasi, membuktikan dan menerapkan prinsip-prinsip Al Qur'an. Kematiannya menghadirkan sebuah tantangan historis bagi para sahabatnya untuk melanjutkan proses mewujudkan kehendak Tuhan dalam matriks urusan manusia. Generasi pertama dari umat Islam bangkit untuk tantangan ini. Dimana wahyu eksplisit atau di mana Nabi telah memberikan arah yang jelas, mereka mengikuti arah itu. Dimana Al-Qur'an dan Sunnah memberikan prinsip-prinsip umum tetapi tidak ada arahan untuk implementasi eksplisit, mereka menggunakan proses konsultasi dan penalaran untuk menemukan solusi bagi masalah-masalah mendesak pada saat itu. Sesuai berjalannya waktu, metodologi ini dikembangkan menjadi tradisi yang luas yang dipraktekkan oleh empat khalifah pertama. Tradisi ini disebut sebagai Sunnah para sahabat, atau ijma (konsensus) para sahabat. Konsensus tersebut kadang-kadang universal. Di lain waktu, ia adalah konsensus dari hanya beberapa sahabat. Perbedaan pendapat adalah lazim. Perbedaan tersebut tidak hanya ditoleransi, tetapi dihormati. Nuansa halus bahasa Arab dan kekuatan kosmik dari bahasa Alquran, membuat perbedaan dalam penekanan tidak terelakkan. Perbedaan-perbedaan ini memiliki dampaknya pada perkembangan mazhab Fiqh yang berbeda-beda.
Meskipun prinsip-prinsip hukum Islam tidak didokumentasikan sampai abad kemudian, kita melihat implementasi sepenuhnya dan lengkap dari Syariah dalam masyarakat majemuk pertama kali di bawah Umar bin Khattab RA. Adalah Umar RA yang menunjukkan melalui contohnya bahwa keadilan di depan hukum merupakan kewajiban Islam. Beliau mendirikan sebuah departemen peradilan, hakim diangkat dan memberi mereka instruksi spesifik, yang mencakup prinsip-prinsip berikut:
Meskipun prinsip-prinsip hukum Islam tidak didokumentasikan sampai abad kemudian, kita melihat implementasi sepenuhnya dan lengkap dari Syariah dalam masyarakat majemuk pertama kali di bawah Umar bin Khattab RA. Adalah Umar RA yang menunjukkan melalui contohnya bahwa keadilan di depan hukum merupakan kewajiban Islam. Beliau mendirikan sebuah departemen peradilan, hakim diangkat dan memberi mereka instruksi spesifik, yang mencakup prinsip-prinsip berikut:
- Semua manusia sama di depan hukum.
- Keadilan adalah tugas Islam yang diperintahkan oleh Al-Qur'an dan Sunnah Nabi.
- Manusia bertanggung jawab atas tindakan mereka.
- Semua Muslim dewasa adalah orang-orang hukum dan dapat menjawab sesuai dengan syariah.
- Beban pembuktian jatuh pada penggugat.
- Semua pihak harus diizinkan untuk mengajukan bukti untuk posisi mereka.
- Jika bukti bertentangan dengan putusan, maka putusan harus dicabut.
- Ketika Al-Qur'an dan Sunnah Nabi diam mengenai suatu hal, maka dapat digunakan ekstrapolasi dari kasus serupa.
- Keinginan kolektif dari komunitas Muslim menyediakan dasar yang sah bagi hukum.
Prinsip-prinsip ini dimasukkan pada abad-abad kemudian oleh dinasti muslim penerus dalam kitab-kitab yurisprudensi mereka. Khalifah tidak berada di atas hukum. Ada banyak contoh dari kehidupan Khalifah Ali bin Abu Thalib Kwh, yang menggambarkan bagaimana kepala negara diperlakukan dengan cara yang sama seperti warga negara lainnya. Memang, adalah salah satu putusan yang Umar RA berikan dalam kasus yang dibawa oleh seorang Persia non-Muslim yang menyebabkan pembunuhannya.
Tantangan selanjutnya muncul seiring berjalannya waktu. Ketika para sahabat meninggal, kepemimpinan intelektual masyarakat diteruskan kepada Tabi'in (mereka yang telah mengikuti atau belajar dari para sahabat). Mereka adalah generasi kedua umat Islam. Seiring berjalannya waktu, generasi ini juga meninggal. Masuknya darah non-Arab ke dalam lingkungan Islam di abad ke-8 menyajikan tantangan tambahan bagi para ahli hukum Islam. Muncullah Mujtahidin dan Fuqahah yang berhasil mengambil tantangan ini. Dalam proses ini, pilihan harus dibuat dan pilihan-pilihan ini memodulasi dan mengubah sejarah Islam.
Jika seseorang hidup pada tahun 740, ia akan menyaksikan dengan kagum luasnya Kekaisaran Islam. Tentara Muslim telah menyeberang ke Prancis dan mengetuk pintu Swiss. Konstantinopel (Istanbul modern), kursi dari Kekaisaran Bizantium, telah mengalami beberapa serangan. Pedagang Muslim telah bertemu dengan orang-orang Cina di Sinkiang sepanjang Jalan Sutra kuno dan secara aktif melakukan perdagangan di pulau-pulau Indonesia dan Cina timur. Pusat budaya Veda di Sindh (Pakistan sekarang) berada di bawah kekuasaan Islam.
Masyarakat Islam yang luas dan beragam termasuk orang-orang Arab, Persia, Mesir, Afrika, Spanyol, Afghanistan, Turki dan India. Dengan masuknya orang baru datang pula ide-ide baru. Umat Islam berada dalam suatu keadaan perubahan terus-menerus dan ketegangan terpendam yang dibawa oleh orang-orang baru dan ide-ide baru segera meledak seperti gunung berapi dalam revolusi Abbasiyah (750). Adalah dalam periuk gagasan ini bahwa orang-orang menginginkan jawaban-jawaban terhadap masalah-masalah yang dihadapi dunia Islam yang luas dan beragam.
Adalah suatu kebenaran bahwa pria dan wanita besar membuat sejarah. Juga benar bahwa peristiwa bersejarah menghasilkan pria dan wanita besar. Gelombang peristiwa di abad kedua Hijrah melahirkan ulama-ulama yang mensistematisasi ilmu Fiqh. Madinah dan Kufah adalah dua pusat utama dari pembelajaran di tahun-tahun awal Islam. Madinah adalah kota Nabi dan orang-orang Madinah memiliki akses yang dekat ke tradisi-tradisi Nabi. Namun, Madinah sebagai jantung dari Kekaisaran Islam terisolasi dari tantangan ide-ide dari peradaban-peradaban tetangga. Kufah, di sisi lain, terletak di pertemuan Arab dan Persia, merupakan melting pot dan lebih rentan terhadap ide-ide asing. Dari Kufah, Bani Umayyah memerintah Irak-al-Arab (Irak saat ini), Irak-al-Ajam (Persia Barat), Parsi (Persia pusat dan selatan), Khorasan dan India barat (Pakistan saat ini). Orang-orang Kufah kurang memiliki akses ke tradisi Nabi, tetapi mereka berada di ujung depan tantangan ide dari peradaban tetangga Yunani, Persia, India dan Cina. Itulah sebabnya secara alamiah Madinah dan Kufah akan menjadi pusat awal dari mazhab Fiqh (yurisprudensi). Dengan demikian, perkembangan Fiqh paling awal, berpusat di sekitar Madinah dan Kufah, yang terekspos oleh tantangan geografis dan historis yang berbeda. Kedua mazhab tersebut disebut sebagai Mazhab Madinah dan Mazhab Kufah.
Ulama pertama dan terutama dari Mazhab Kufah adalah Imam Abu Hanifah. Ulama pertama dari Mazhab Madinah adalah Imam Malik dan setelahnya Imam Syafi'i. Ada perkembangan yang paralel dan simultan dari Mazhab Ja'afariya, diambil dari nama Imam Ja'afar as Sadiq. Fiqh Imam Ahmad bin Hanbal muncul pada periode kemudian yang merupakan hasil dari kekacauan politik dan intelektual pada abad ke-9.
Imam Abu Hanifah (w. 768) adalah seorang ulama peringkat pertama dan seorang pria aksi. Sangat sedikit orang bijak telah meninggalkan suatu jejak yang dapat terlihat pada sejarah Islam seperti yang dihasilkan oleh orang bijak ini. Dilahirkan dalam keturunan Afghan, ia mengetahui pertama sekali masalah-masalah yang dihadapi oleh para ahli hukum di wilayah-wilayah yang baru ditaklukkan di timur Irak. Dia juga menyadari tantangan intelektual dari peradaban kontemporer Yunani, Persia, India dan Cina. Sebagai seorang pemuda, ia menetap di Kufah dan belajar di bawah bimbingan para ulama besar pada zamannya. Sebagai seorang pemuda, ia menentang penindasan Bani Umayyah dan keangkuhan para bangsawan Arab. Atas penolakannya terhadap pemerintah, ia dipenjara oleh Bani Umayyah maupun Abbasiyah. Sebuah kutipan terkenal yang dikaitkan dengannya adalah, "Iman dari seorang Turki yang baru bertobat adalah sama dengan seorang Muslim dari Hijaz", berbicara banyak tentang temperamen egaliter dari sang Imam. Sebagai seorang ulama yang mencari pengetahuan lebih lanjut, dia sering mengunjungi halaqah (lingkaran studi) Imam Ja'afar as Saadiq. Ibnu Abidin mengutip Imam Abu Hanifah mengatakan: "Jika tidak selama dua tahun (yang dihabiskan dengan Imam Ja'afar as Sadiq), aku akan binasa"
Kejeniusan Imam Abu Hanifah terletak pada visinya tentang Fiqih sebagai kendaraan dinamis yang tersedia untuk semua Muslim di segala jaman. Beliau melihat Islam sebagai ide universal yang dapat diakses oleh semua orang dalam ruang dan waktu. Fiqh tidak menjadi aturan statis yang berlaku untuk satu situasi di satu lokasi, tetapi merupakan mekanisme yang akan memberikan dasar-dasar yang stabil kepada peradaban Islam dan juga akan berfungsi sebagai ujung tombak dalam perdebatannya dengan peradaban lain. Beliau melihat bahwa metodologi yang ketat dan menuntut dari Mazhab Madinah mungkin akan mencekik kemampuan para ahli hukum untuk mengatasi tantangan yang tak terduga yang dimunculkan oleh situasi-situasi baru. Oleh karena itu, ia memperluas basis di mana pendapat hukum yang kuat dapat ditegakkan. Menurut Imam Abu Hanifah, sumber Fiqh adalah:
- Al-Qur'an,
- Sunnah Nabi,
- Ijma (konsensus) dari beberapa, belum tentu semua sahabat,
- Qiyas (deduksi dengan analogi kasus-kasus serupa yang telah diputuskan atas dasar tiga prinsip pertama) dan,
- istihsan (pendapat yuridis kreatif berdasarkan prinsip-prinsip). Dengan penerimaan istihsan sebagai metodologi yang sah, Imam Abu Hanifah menyediakan sebuah proses kreatif untuk evolusi terus-menerus dari Fiqh. Tidak ada ahli hukum Muslim yang akan dibiarkan tanpa alat untuk mengatasi situasi yang baru dan tantangan segar dari peradaban yang belum diketahui di masa depan.
Satu istilah lainnya memerlukan klarifikasi di sini, yaitu ijtihad (akar kata j-h-d, yang berarti perjuangan). Ijtihad adalah kegiatan intelektual yang disiplin dan fokus yang hasil akhirnya adalah ijma atau qiyas atau istihsan. Ijtihad adalah sebuah proses. Mazhab Hanafi dan Ja'afariya memberikan porsi terbesar bagi ijtihad. Namun, ada perbedaan dalam penekanan. Di Mazhab Ja'afariya, penekanan adalah pada ijtihad para Imam. Dalam Mazhab Hanafi, penekanan adalah pada ijtihad para sahabat Nabi, tetapi ijtihad para fukaha yang belajar juga diterima. Ada juga perbedaan antara Mazhab Fiqh Kufah (seperti Imam Abu Hanifah) dan Mazhab Fiqh Madinah (seperti Imam Malik) dalam wilayah yang diperbolehkan untuk ijtihad. Ijma atau konsensus dari Mazhab Madinah terutama melalui bukti-bukti (dari Al Qur'an) atau korelasinya dengan Sunnah Nabi. Persyaratan untuk ijma atau konsensus di Mazhab Kufah agak lebih liberal dan meliputi tidak hanya bukti dari Al-Qur'an dan Sunnah Nabi, tetapi juga ijtihad para sahabat atau ahli hukum yang belajar.
Imam Abu Hanifah tidak mendirikan mazhab Fiqh yang dinamai sesuai namanya, tidak juga ia secara pribadi mendokumentasi metodologinya. Menulis tidak umum pada waktu itu dan kata-kata yang diucapkan masih merupakan ratu dari wacana. Orasi merupakan kendaraan utama untuk instruksi dan pengajaran. Sintaks dan tata bahasa Arab dipelajari dengan hati. Seperti qari-qari dari tahun-tahun sebelumnya, ulama-ulama besar mengajarkan melalui kuliah-kuliah mereka. Dokumentasi ditinggalkan kepada mahasiswa dan murid-murid dari generasi-generasi berikutnya. Secara khusus, Mazhab hanafi tidak dijelaskan sepenuhnya dan didokumentasikan sampai abad ke-11. Yang terbesar di antara para ulama-ulama Hanafi adalah Abdullah Umar al Dabbusi (w. 1038), Ahmad Hussain al Baihaqi (w. 1065), Ali Muhammad al Bazdawi (w. 1089) dan Abu Bakar al Sarakhsi (w. 1096).
Sejak abad ke-10 dan selanjutnya, Mazhab Hanafi menerima dukungan dari Abbasiyah di Baghdad. Orang-orang Turki menyukai disposisi egalitarian dari Imam Abu Hanifah, serta aspek-aspek kreatif dari Fiqh Hanafi. Ketika mereka memeluk Islam, mereka menjadi Hanafi dan menjadi pembelanya. Dinasti Turki Seljuk pada abad ke-11 dan 12 serta Khilafah Utsmani mendukung Fiqh Hanafi. Timurid, Turkoman serta Moghul Raya India menjadi pembelanya juga. Karena alasan historis ini, Mazhab Hanafi adalah merupakan mazhab yang paling luas diterima di antara berbagai mazhab fiqh di dunia Muslim saat ini. Sebagian besar Muslim Pakistan, India, Afghanistan, Republik-republik Asia Tengah, Persia (sampai abad 16), Turki, Irak utara, Bosnia, Albania, Skopje, Rusia dan Chechnya mengikuti Fiqh Hanafi. Sejumlah besar orang Mesir, Sudan, Eritrea dan Suriah juga orang-orang Hanafi, meskipun seperti yang akan kita elaborasi kemudian, karena alasan-alasan yang berakar pada geografi, Mazhab Maliki dan Syafi'i juga mapan di sana.
Mazhab Madinah jauh lebih ortodoks dalam pendekatannya terhadap Fiqh. Hidup di kota Nabi dan tumbuh dalam buaian Islam, orang-orang Madinah terpaut sangat erat dengan Sunnah Nabi. Ulama pertama dan terutama dari Mazhab Madinah adalah Imam Malik bin Anas (w. 795). Beliau menghabiskan sebagian besar hidupnya di Madinah dan seperti Imam Abu Hanifah pada generasi sebelumnya, ia mendapat masalah dengan Abbasiyah yang berkuasa pada hal-hal yuridis, yang menyebabkan beliau dipenjarakan dan dicambuk di depan umum. Kuatir bahwa istihsan dari Imam Abu Hanifah akan membuka pintu gerbang untuk inovasi yang tidak diinginkan, Imam Malik memperketat aturan ijma. Sementara menerima keutamaan Al-Qur'an, beliau bersikeras pada konsensus dari semua sahabat sebagai dasar sunnah yang telah diverifikasi (dibandingkan dengan Imam Abu Hanifah yang mempertahankan bahwa konsensus dari beberapa sahabat adalah dasar yang cukup untuk yurisprudensi) .
Mazhab Maliki menyebar melalui Mesir, Libya, Aljazair dan Maroko melalui haji. Orang-orang Afrika Utara mengunjungi Mekah dan Madinah dan mempelajari Fiqih dari orang-orang Madinah. Mereka memiliki sedikit alasan untuk mengunjungi Kufah dan Irak dan karena itu mereka hanya sesekali kontak dengan Mazhab Hanafi. Menurut Ibnu Khaldun, kedekatan budaya antara orang-orang Berber nomaden Afrika Utara dan suku Badui Arab juga memberikan kontribusi terhadap penerimaan dari Mazhab Maliki di Libya dan Maghrib. Dari Afrika Utara, Mazhab Maliki menyebar ke Spanyol dan merupakan hanya Mazhab resmi yang disetujui oleh dinasti Umayyah di Cordoba. Ketika Islam menyebar dari Maghrib ke dalam sub-Sahara Afrika melalui rute perdagangan, Mazhab Maliki juga menyebar ke Mauritania, Chad, Nigeria dan negara-negara lain di Afrika Barat. Kebanyakan orang-orang Afrika saat ini mengikuti Mazhab Maliki. Jeda singkat pemerintahan Fatimiyah di Mesir pada abad ke-9 dan ke-10 secara material tidak mengubah kontak antara orang-orang Berber Maghrib dan Badui Arab, dan Mazhab Maliki kembali ke Afrika Utara ketika Salahuddin merebut Mesir dari Dinasti Fatimiyah (1170).
Orang pertama yang memantapkan suatu mazhab formal Fiqh adalah Imam Muhammad bin Idris al Syafi'i (w. 820). Melalui "Risalah"-nya (jurnal), beliau merupakan ulama pertama yang mensistematisasi dokumentasi dasar-dasar Fiqih dan secara kritis menguji metodologinya. Seorang Suriah berdasarkan kelahiran, Imam Syafi'i pergi ke Madinah dan Kufah dan belajar dari murid-murid Imam Abu Hanifah dan Imam Malik. Dia mengambil isu pada posisi-posisi tertentu yang diambil oleh Mazhab Hanafi dan Maliki dan mengambil posisi yang independen pada beberapa metodologi. Menurut Imam Syafi'i, sumber Fiqh adalah:
- Al-Qur'an,
- Sunnah Nabi (pada isu Sunnah, Imam asy-Syafi'i melonggarkan aturan-aturan dari Mazhab Maliki dan menyarankan bahwa Sunnah adalah sumber yang valid dari yurisprudensi bahkan jika ia didukung oleh sumber tunggal yang dapat diandalkan. Dengan kata lain, Sunnah Nabi tidak perlu didukung oleh semua ijma sahabat),
- Qiyas, asalkan didukung secara ketat oleh kasus-kasus sebelumnya yang diputuskan berdasarkan Al-Qur'an dan Sunnah. Imam Syafi'i tidak menerima istihsan sebagai sumber yang valid dari Fiqh.
Dengan demikian posisi Imam Syafi'i itu kurang ortodoks daripada Imam Malik, tetapi tidak seliberal Imam Abu Hanifah. Mazhab Syafi'i menyebar ke Mesir, Sudan, Eritrea, Afrika Timur, Malaya dan Kepulauan Indonesia. Seperti Mazhab Hanafi, Mazhab Syafi'i menghasilkan banyak ulama brillian. Salah satunya, Abu Hamid al Gazzali (w. 1111), yang tidak hanya mempengaruhi perkembangan Fiqh, tetapi juga mengubah wacana sejarah Islam melalui dialektika brillian-nya.
Sesuai pada tahap ini untuk merujuk ke Mazhab pemikiran Mu'tazilah dan lawannya, Mazhab Asy'ariah. Ketika Muslim merebut Suriah, Mesir dan Afrika Utara, mereka tidak hanya menjadi wali dari orang-orang dari negara-negara tersebut, tetapi juga ide-ide mereka. Kebanyakan tanah-tanah itu telah berada di bawah kontrol Romawi Timur atau Byzantium di mana pemikiran Yunani adalah dominan. Secara historis, istilah "pemikiran Yunani" diterapkan pada kebijaksanaan kolektif dan pemikiran klasik dari orang-orang Mediterania timur, yang meliputi busur geografis yang luas membentang dari Athena di Yunani melalui Anatolia, Suriah, Mesir dan Libya. Peradaban Yunani memuja kemuliaan manusia dan menempatkan akal manusia pada puncak penciptaan. Plato, Aristoteles, Ptolemy, Euclid dan Archimedes adalah beberapa nama-nama rumah tangga dari galaksi para pemikir yang dihasilkan oleh peradaban ini. Pencapaian abadi dari pemikiran Yunani adalah bahwa ia menyempurnakan proses rasional dan meninggalkan warisan abadinya untuk umat manusia.
Umat Muslim adalah pewaris pertama dari pemikiran Yunani. Adalah melalui Muslim - khususnya Muslim Spanyol - bahwa pemikiran rasional mencapai Barat. Dan hanya setelah abad ke-12 bahwa Barat terbangun dari tidurnya dan mengadopsi peradaban Yunani sebagai miliknya sendiri, sementara pada saat yang sama, umat Muslim berpaling dari pemikiran rasional ke arah pemikiran yang lebih esoteris dan intuitif.
Umat Muslim awal tidak hanya mengadopsi pendekatan rasional, tetapi berangkat dengan semangat untuk menjelaskan keyakinan mereka sendiri dalam istilah rasional. Pertanyaan yang berkaitan dengan sifat manusia, hubungannya dengan penciptaan, kewajiban dan tanggung jawabnya, juga sifat atribut-atribut Ilahi dibahas. Tidak ada ulama Muslim yang memulai suatu upaya intelektual kecuali pendekatannya memiliki dasar di dalam Al Qur'an. Para rasionalis melihat justifikasi untuk pendekatan mereka dalam ayat-ayat Al-Qur'an ("Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi... Ada tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal", Al Qur'an, 2:164) dan dalam Sunnah Nabi. Memang, Al-Qur'an mengajak akal manusia untuk menyaksikan keagungan penciptaan dan merenungkan artinya dan memahami transendensi yang meliputinya. Ilmu-ilmu filosofis yang berkembang sebagai hasil dari upaya ini disebut sebagai Kalam (wacana, biasanya sebuah wacana keagamaan). Kadang-kadang, Kalam samar-samar diterjemahkan sebagai Teologi, namun Teologi sebagai ilmu tidak pernah terjebak dalam pembelajaran Islam seperti yang terjadi dalam agama Kristen, karena umat Islam berjuang dan berhasil dalam melestarikan transendensi Allah. Kristen mengadopsi posisi bahwa Tuhan dapat diketahui secara pribadi dan karenanya dapat diakses oleh persepsi manusia. Kaum Muslim, meskipun menghadapi tantangan filosofis dari Yunani, berhasil mempertahankan posisi bahwa Tuhan hanya dapat diketahui melalui nama dan atribut-Nya, dan melalui keagungan penciptaan-Nya, sedangkan transendensi-Nya tersembunyikan oleh cahaya-Nya.
Ulama Islam pertama yang membahas pertanyaan-pertanyaan keimanan Islam dari perspektif yang rasional adalah Al Juhani (w. 699). Perhatikan bahwa pendekatan rasional menempatkan akal manusia pada puncak penciptaan dan membuat dunia dapat diketahui. Al Juhani menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan tidak hanya memiliki kapasitas untuk mengetahui ciptaan melalui akal mereka, tetapi juga memiliki kapasitas untuk bertindak sebagai agen bebas. Keimanan adalah hasil dari pengetahuan dan pemahaman. Sesungguhnya, manusia memiliki kewajiban moral untuk memahami ciptaan Tuhan. Manusia, sebagai makhluk rasional, diberi mandat tidak hanya untuk memahami dunia, tetapi juga untuk bertindak terhadapnya menggunakan kehendak bebasnya. Dengan demikian pandangan Al Juhani dianugerahkan kepada akal umat manusia dan tanggung jawabnya. Surga dan neraka adalah konsekuensi dari perbuatan manusia. Mazhab filosofi ini dikenal sebagai Mazhab Qadariyah (akar kata Q-D-R, yang berarti kekuasaan atau kehendak bebas. Mazhab filosofi Qadariyah jangan dibingungkan dengan persaudaraan sufi Qadariyah, yang dinamai mengikuti Syaikh Abdul Qadir Jaelani, Baghdad, pada abad ke-12).
Pendekatan Qadariyah, ketika didorong sampai batasnya, mengeluarkan Tuhan dari gambaran urusan manusia sebanyak membuat surga dan neraka menjadi mekanistik dan diperuntukkan khusus untuk membalas perbuatan manusia. Ini tidak bisa diterima oleh pemikiran Muslim. Reaksi muncul ke permukaan dari kelompok yang lebih ortodoks dan ini terjadi dengan munculnya Mazhab Qida (pra-takdir). Pendiri Mazhab ini adalah Ibn Safwan (w. 745). Menurut Ibn Safwan, semua kekuasaan milik Allah, dan manusia sudah ditentukan sebelumnya dalam perbuatannya, baik dan jahat, serta tujuannya menuju surga atau neraka. Seperti Mazhab Qadariyah, Mazhab Qida mencari justifikasi di dalam Al-Qur'an ("Katakanlah aku tidak memiliki kekuasaan atas apapun yang baik atau merugikan diriku sendiri kecuali sesuai kehendak Tuhan!", Al Qur'an, 7:188) dan Sunnah Nabi.
Medan pertempuran sekarang muncul. Seperti peradaban Kristen pada jaman dulu, peradaban Islam baru saja datang untuk mengatasi rasionalisme Yunani. Apa yang akan menjadi hasilnya? Jawabannya tidak jelas dan tersembunyi di rahim masa depan yang tidak diketahui. Imam Ja'afar as Saadiq dan Imam Abu Hanifah sangat menyadari argumen qida dan qadar, namun berusaha untuk tidak tertarik ke dalam kontroversi tersebut.
Washil bin Ata (w. 749) menggabungkan, mengembangkan dan mengartikulasikan Mazhab Qadariyah menjadi filsafat yang koheren, yang kemudian dikenal sebagai Mazhab Mu'tazilah. Kita juga mungkin melihat pada Mazhab Mu'tazilah sebagai respon pertama dari peradaban Islam terhadap tantangan pemikiran Yunani. Mazhab ini berkembang selama hampir dua ratus tahun dan pada waktu itu adalah mazhab pemikiran yang dominan di kalangan umat Islam. Pengaruhnya adalah sebanding dengan Mazhab Imam Abu Hanifah, Imam Ja'afar as Saadiq atau Imam Malik. Mazhab Mu'tazilah ditantang oleh Imam Hanbal (w. 855) dan Hasan al Asy'ari (w. 935) dan akhirnya dikalahkan oleh Al Gazzali (w. 1111). Pertempuran gagasan ini memiliki dampak besar pada sejarah Islam. Ia mempengaruhi pemikiran Muslim bahkan sampai hari ini.
Mazhab Mu'tazilah menempatkan sauhnya pada akal manusia dan kemampuannya untuk memahami hubungan manusia dengan manusia dan manusia dengan Tuhan. Tentu, mereka mendasarkan argumen mereka pada Al Quran dan Sunnah. Prinsip-prinsip Mazhab Mu'tazilah adalah:
- Keunikan Allah atau Tauhid ("Katakanlah: "Dia-lah Allah, Yang Maha Esa; Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu; Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan; dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia", Al-Qur'an, 112:1 -5),
- Kehendak bebas manusia ("Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?", Al Qur'an, 10:99 ),
- Prinsip tanggung jawab manusia dan penghargaan dan hukuman sebagai akibat dari perbuatan manusia ("Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.", Al Qur'an, 2:286),
- Keharusan moral untuk memerintahkan apa yang benar dan melarang apa yang salah ("Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.", Al Qur'an, 3:110 ).
Mu'tazilah menerapkan prinsip-prinsip ini kepada isu-isu hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan dunia yang diciptakan dan manusia dengan Tuhan. Dengan menempatkan manusia pada pusat penciptaan, mereka berusaha untuk membuatnya sebagai arsitek dari nasibnya sendiri dan menekankan keharusan moralnya untuk mendandani dunia sesuai perintah Allah.
Khalifah Mamun mengadopsi Mazhab Mu'tazilah sebagai dogma resmi Kekaisaran. Dari Khalifah Mansur sampai Khalifah Al Mutawakkil (847-861), kaum Mu'tazilah menikmati patronase resmi. Selama periode ini sebuah Darul Hikmah didirikan di Baghdad dan buku-buku filsafat Yunani, astronomi Hindu dan teknologi Cina diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Pembelajaran berkembang dan Baghdad menjadi pusat intelektual dunia.
Kemunduran dari Mu'tazilah disebabkan oleh semangat mereka yang berlebihan dan ketidakmampuan mereka untuk memahami keterbatasan metodologi yang mereka perjuangkan. Dengan sanksi resmi, mereka menghukum ulama-ulama yang tidak setuju dengan mereka dan mencoba untuk membungkam semua oposisi. Mereka juga mengulur metodologi deduktif mereka kepada atribut Tuhan dan Alquran. Dalam Islam, Allah adalah unik dan tidak ada sesuatu pun yang menyerupai-Nya. Oleh karena itu, Mu'tazilah berpendapat, Al Qur'an tidak dapat menjadi keduanya, yaitu menjadi bagian dari-Nya dan sekaligus terpisah dari-Nya (dualisme, seperti ide trinitas dalam Kristen - pen). Untuk melestarikan keunikan Allah (Tauhid), mereka menempatkan Al-Qur'an dalam ruang yang diciptakan (Al Quran adalah makhluk - pen). Dengan kata lain, mereka mengatakan bahwa Allah menciptakan Al Qur'an pada suatu titik tertentu dalam suatu masa. Isu diciptakan menyebabkan banyak perpecahan dan kebingungan di kalangan umat Islam. Selanjutnya, dengan menyatakan bahwa penghargaan dan hukuman mengalir secara mekanistik atas perbuatan manusia, mereka meninggalkan sisi mereka terbuka untuk serangan intelektual. Jika manusia secara otomatis diberi penghargaan atas perbuatan baik mereka dan secara otomatis dihukum atas kejahatan mereka, lalu di mana kebutuhan akan Kemurahan Ilahi? Pendekatan deterministik ini menyerang pemikiran bagi Muslim dan suatu pemberontakan tak terhindarkan.
Tantangan terhadap Mu'tazilah datang dari ulama-ulama usuli (artinya, didasarkan pada prinsip-prinsip), yang paling terkenal di antaranya adalah Imam Hanbal (w. 855). Seorang ulama besar, ia belajar prinsip-prinsip Fiqh dari semua Mazhab-mashab yang lazim pada generasinya, yaitu Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Ja'afariya, serta Kalam (filsafat) pada masanya. Ide-ide Mu'tazilah menyebabkan banyak kebingungan di kalangan massa. Stabilitas diperlukan dan inovasi harus diperangi. Imam Hanbal berpendapat untuk ketaatan yang ketat pada Al-Qur'an dan Sunnah Nabi yang telah diverifikasi. Setiap prinsip, hukum atau filsafat, yang tidak didasarkan pada Al-Qur'an dan Sunnah adalah dianggap Bid'ah (inovasi). Imam Hanbal mengambil isu dengan prinsip ijma (kecuali hal itu disetujui oleh Sunnah) dan secara total menolak istihsan dan qiyas sebagai metodologi untuk fiqih. Posisinya merupakan tantangan langsung terhadap Mu'tazilah yang menikmati patronase resmi dari khalifah. Akibatnya, Imam Hanbal dihukum dan dipenjara selama sebagian besar hidupnya. Oposisinya yang penuh tekad dan berkelanjutan memberi semangat kepada mereka yang melawan Mu'tazilah.
Imam Hanbal dalam perjuangannya melawan kaum Mu'tazilah bergabung dengan para filsuf induktif (sebagai lawan deduktif). Para filsuf induktif memperoleh inspirasi mereka dari ayat-ayat dalam Al Qur'an yang memanggil manusia untuk menggunakan indranya dan penalarannya untuk menyaksikan tanda-tanda dari Allah. Dengan kata lain, pendekatan Al-Qur'an adalah empiris dan rasional yang bertentangan dengan penalaran murni spekulatif yang diperjuangkan oleh kaum Mu'tazilah. Pengabaian Mu'tazilah atas empiris dan ketergantungan mereka semata-mata pada rasional terbukti menjadi sebab kehancuran mereka. Perjuangan Imam Hanbal membuahkan hasil dan Khalifah Al Mutawakkil mengabaikan Mazhab Mu'tazilah pada tahun 847. Pada gilirannya, ketika Asy'ariah berada di atas, Mu'tazilah dihukum, dipenjarakan dan dibungkam. Itulah nasib bahwa berbeda ide telah mengalami penderitaan pada suatu masa dalam sejarah Islam!
Mazhab Hambali berkembang di Saudi dan Irak barat sampai gerakan Wahhabi pada abad ke-18 dan 19 menggantikannya. Karena dianggap sebagai gangguan terhadap praktek-praktek yang telah diterima, Wahhabi masuk ke dalam konflik dengan Kekaisaran Ottoman (Utsmani) di abad ke-18. Dinasti Utsmani menerima tasawuf sebagai sebuah modus untuk mengetahui yang sah dan karena mereka Hanafi, mereka jauh lebih liberal dalam penafsiran mereka. Setelah Wahhabi merebut Hijaz dari Ottoman pada tahun 1917, Fiqh Hanbali menjadi yurisprudensi resmi di Saudi (kemudian dikenal sebagai Arab Saudi). Seperti yang dipraktikkan di Arab, Fiqh Hanbali dikenal karena kebenciannya, sesungguhnya penghukuman, dari segala sesuatu yang bersifat Bid'ah (inovasi, sebuah praktik yang tidak sesuai secara ketat dengan Al-Qur'an dan Sunnah Nabi yang telah diverifikasi).
Keempat mazhab Fiqh Sunnah - Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali - saling diakui dan ada langkah-langkah dalam beberapa tahun terakhir untuk membawa Fiqh Itsna Asy'ari dan Zaidi juga di bawah payung "pengakuan bersama". Namun secara historis, ada peristiwa-peristiwa pada saat kritis ketika gesekan-gesekan di antara mereka memainkan peran penting dalam menghasilkan peristiwa-peristiwa sejarah. Khususnya, tepat sebelum invasi Genghiz Khan (1219), seseorang melihat permusuhan terbuka di antara pengikut-pengikut Fiqih Hanafi, Syafi'i dan Ja'afariya di Khorasan dan Persia, situasi yang memberikan keuntungan kepada Genghiz dalam perangnya terhadap Syah Khorasm.
Mazhab pemikiran yang mungkin memiliki dampak paling luas pada pemikiran Islam adalah Asy'ariyah. Memang, orang dapat mengatakan bahwa ide-ide Asy'ariyah telah menjadi pendorong utama peradaban Islam sejak abad ketiga setelah Hijriah. Sebagian besar umat Islam selama berabad-abad telah mengikuti salah satu dari lima mazhab Fiqh (Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hanbali, Ja'afariya) ditambah filosofi Asy'ariyah. Perbedaannya adalah bahwa lima mazhab Fiqh telah terang-terangan dibahas dan telah menjadi sumber kerja sama dan gesekan, sedangkan ide-ide Asy'ariyah telah diserap ke dalam budaya Islam seperti air dalam sebuah oasis. Arah, prestasi dan kegagalan peradaban Islam telah dipengaruhi tidak dalam ukuran kecil oleh pemikiran Asy'ariah. Dari Al Gazzali di Baghdad (w. 1111) hingga Muhammad Iqbal di Pakistan (w. 1938), ide-ide Asy'ariah telah muncrat pada dataran Islam seperti sebuah air mancur bersemangat dan telah mempengaruhi arah perjuangan Islam kolektif.
Dinamai sesuai arsiteknya, al Asy'ari (w. 935), adalah Mazhab As'ariyah yang akhirnya mengalahkan Mu'tazilah. Al Asy'ari awalnya adalah seorang Mu'tazilah. Mazhab Mu'tazilah telah menempatkan akal di atas wahyu dan telah sampai pada kesimpulan yang salah bahwa Al Quran diciptakan dalam suatu waktu. Pandangan seperti itu tidak diterima oleh umat Islam. Al Asy'ari membalikkan argumen di seputar itu dan menempatkan wahyu berada di atas akal. Akal adalah terkait waktu. Ia membutuhkan asumsi-asumsi apriori tentang sebelum dan sesudah. Wahyu adalah transenden. Sesuai definisi, tidak tunduk pada pemahaman kita tentang waktu dan asumsi kita tentang sebelum dan sesudah. Adalah wahyu, bukan akal, yang memberitahu kita apa yang benar dan salah, membantu kita membedakan antara moral dan amoral, mencerahkan kita tentang sifat-sifat Tuhan dan memberi kita kepastian tentang surga dan neraka. Akal adalah alat yang diberikan oleh Allah kepada manusia sehingga mereka dapat memilah hubungan dalam dunia yang diciptakan dan menguatkan keyakinan mereka.
Dinamai sesuai arsiteknya, al Asy'ari (w. 935), adalah Mazhab As'ariyah yang akhirnya mengalahkan Mu'tazilah. Al Asy'ari awalnya adalah seorang Mu'tazilah. Mazhab Mu'tazilah telah menempatkan akal di atas wahyu dan telah sampai pada kesimpulan yang salah bahwa Al Quran diciptakan dalam suatu waktu. Pandangan seperti itu tidak diterima oleh umat Islam. Al Asy'ari membalikkan argumen di seputar itu dan menempatkan wahyu berada di atas akal. Akal adalah terkait waktu. Ia membutuhkan asumsi-asumsi apriori tentang sebelum dan sesudah. Wahyu adalah transenden. Sesuai definisi, tidak tunduk pada pemahaman kita tentang waktu dan asumsi kita tentang sebelum dan sesudah. Adalah wahyu, bukan akal, yang memberitahu kita apa yang benar dan salah, membantu kita membedakan antara moral dan amoral, mencerahkan kita tentang sifat-sifat Tuhan dan memberi kita kepastian tentang surga dan neraka. Akal adalah alat yang diberikan oleh Allah kepada manusia sehingga mereka dapat memilah hubungan dalam dunia yang diciptakan dan menguatkan keyakinan mereka.
Inti dari argumen Asy'ariah terletak pada definisinya tentang fenomena waktu. Al Asy'ari sangat menyadari pandangan Yunani bahwa materi dapat dibagi-bagi menjadi atom-atom. Ia meluaskan argumen ini terhadap waktu dan mendalilkan bahwa waktu bergerak dalam langkah-langkah diskrit (paket-paket, sangat mirip dengan konsep fisika modern - pen). Pada setiap langkah diskrit dan semua waktu di antaranya, kekuasaan dan Kemurahan Allah mengintervensi untuk menentukan hasil dari peristiwa-peristiwa. Terobosan konseptual ini memungkinkan Asy'ariah untuk melestarikan kemahakuasaan Allah. Sedangkan Mu'tazilah telah gagal pada wilayah ini justru karena mereka mengasumsikan bahwa waktu adalah kontinu (sangat mirip dengan Mekanika Newton, fisika klasik - pen] sehingga suatu tindakan yang diberikan secara otomatis dan mekanis akan menyebabkan suatu reaksi. Jika hasil dari suatu peristiwa benar-benar ditentukan oleh aksi yang menyebabkannya, maka tidak ada ruang untuk intervensi Allah dan dunia menjadi sekuler. Inilah yang terjadi pada peradaban Barat (dan sekarang global) seribu tahun kemudian. Kita dapat meringkas piramida pengetahuan Asy'ariah sebagai berikut: Atom dan dunia fisik adalah berada pada anak tangga terendah dari suatu tangga. Dunia fisik adalah subjek untuk akal. Tetapi akal itu sendiri tunduk dan dikalahkan oleh wahyu. Sebaliknya, model yang disajikan oleh Mu'tazilah (serta orang-orang Yunani dan peradaban sekuler modern) menempatkan dunia fisik dan wahyu sebagai subjek untuk dipahami dengan akal.
Dua elemen penting lainnya dari filosofi Asy'ariyah perlu disebutkan di sini. Asy'ariyah menegaskan bahwa hanya Allah lah pemilik dari semua perbuatan (Al Qur'an, 10:100). Manusia tidak memiliki kapasitas independen untuk berbuat, tetapi hanyalah merupakan agen yang telah memperoleh kapasitas ini sebagai sebuah hadiah dari Allah. Doktrin ini, yang dikenal sebagai doktrin Kasab, disalahpahami dan disalahartikan oleh generasi selanjutnya dari Muslim sebagai pra-takdir (qida). Memang, beberapa Muslim mengangkat pra-takdir menjadi pilar keenam Islam. Seseorang mungkin mengajukan argumen bahwa inilah faktor yang menyebabkan stagnasi (jumud - pen) yang menyelubungi dunia Muslim pada abad-abad kemudian.
Dua elemen penting lainnya dari filosofi Asy'ariyah perlu disebutkan di sini. Asy'ariyah menegaskan bahwa hanya Allah lah pemilik dari semua perbuatan (Al Qur'an, 10:100). Manusia tidak memiliki kapasitas independen untuk berbuat, tetapi hanyalah merupakan agen yang telah memperoleh kapasitas ini sebagai sebuah hadiah dari Allah. Doktrin ini, yang dikenal sebagai doktrin Kasab, disalahpahami dan disalahartikan oleh generasi selanjutnya dari Muslim sebagai pra-takdir (qida). Memang, beberapa Muslim mengangkat pra-takdir menjadi pilar keenam Islam. Seseorang mungkin mengajukan argumen bahwa inilah faktor yang menyebabkan stagnasi (jumud - pen) yang menyelubungi dunia Muslim pada abad-abad kemudian.
Kedua, Asy'ariyah berpendapat bahwa terdapat suatu pola ilahi di alam tetapi tidak ada kausalitas. Penyebab dan efek yang kita rasakan hanya bersifat semu dan hanya sebuah refleksi dari atribut yang melekat di alam. Doktrin ini adalah sebuah argumen sentral dalam risalah Al Ghazali yang tekenal, Tahaffuz al Filasafa (Kerancuan Filsafat, sekitar tahun 1100) yang memberikan lonceng kematian bagi filsafat dalam Islam dan secara fundamental mengubah perjalanan sejarah Islam. Ibnu Rusyd (1198), mungkin adalah seorang filsuf terbesar yang telah dihasilkan dunia sejak Aristoteles, memberikan sebuah counter-argumen terhadap doktrin ini dalam risalahnya yang terkenal, Tahaffuz al Tahaffuz (Kerancuan dari Kerancuan, sekitar tahun 1190). Kaum Muslim mengadopsi Al Gazzali, sedangkan Barat mengadopsi Ibn Rusyd dan dua peradaban berjalan dalam arah yang berbeda. Konsekuensi bagi berlangsungnya sejarah global sangat besar.
Penampilan dan perkembangan doktrin Mu'tazilah dan Asy'ariyah lebih dari seribu tahun yang lalu adalah penting untuk sebuah pemahaman tentang sejarah Islam dan Muslim kontemporer. Mu'tazilah berdiri di atas pundak orang-orang Yunani tetapi membuat kesalahan dalam menerapkan metode mereka terhadap Al Qur'an dan memaksakan pandangan mereka terhadap sesama Muslim. Atas kesalahan ini, ide-ide mereka dibuang dari Islam ke dunia Barat. Asy'ariyah berdiri di atas pundak kaum Mu'tazilah, tetapi menolak metode mereka dan memanggil mereka kafir. Generasi muslim berikutnya salah dalam memahami Asy'ariyah, mengacaukan doktrin mereka dengan pra-takdir dan pergi tidur! Hanya dalam seratus tahun terakhir bahwa pemikir Muslim seperti Muhammad Iqbal dari Lahore telah membuat upaya untuk mendamaikan doktrin pra-takdir dan kehendak bebas manusia.
Mazhab Ja'afariya dikembangkan secara mandiri dan paralel dengan Mazhab Fiqih Sunnah. Dan seperti Mazhab saudaranya, akarnya adalah pada Al-Qur'an dan Sunnah Nabi. Meskipun ia mengikuti suatu jalur otonom atas sumber-sumbernya, pada banyak masalah-masalah praktis posisi Mazhab Sunnah dan Mazhab Ja'afariya adalah identik atau mirip. Bahkan, pada banyak isu, perbedaan dalam posisi-posisi yang diambil oleh Fiqh Ja'afariya dan Mazhab-mazhab Sunnah adalah lebih kecil daripada perbedaan di antara Mazhab Sunnah sendiri.
Seorang mahasiswa sejarah harus menolak posisi polemik yang diambil oleh beberapa Muslim bahwa hanya ada empat mazhab Fiqh yang diakui, yaitu, Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali. Fiqh Ja'afariya adalah sama sahnya dengan Mazhab Fiqih Sunnah berdasarkan fakta sejarah yang telah berkembang sejak zaman Nabi dan diterima oleh bagian cukup besar dari masyarakat Islam. Demikian pula, Mazhab Fiqh Zaidi juga secara historis sah meskipun kami telah membuat sebuah keputusan sadar untuk tidak membahasnya di sini karena ia diikuti oleh sejumlah kecil umat Islam.
Al-Qur'an memberikan sebuah tempat kehormatan khusus bagi keluarga Nabi ("Allah menginginkan untuk menghilangkan dari kalian semua dosa, hai Ahlul Bait dan membuat kalian suci dan tidak tercela", Al Qur'an, 33:33). Para anggota keluarga Nabi disebut dalam Al Qur'an sebagai Ahlul Bait. Hadis Sahih menegaskan bahwa Ahlul Bait merujuk pada Ali kwh, Fatimah RA, Hasan dan Husain, serta Aqil, Ja'afar, Abbas dan keturunan mereka [1]. Beberapa hadits lain hanya mengacu kepada Ali kwh, Fatimah RA, Hasan dan Husain sebagai Ahlul Bait. Setelah kembali dari haji terakhir, Nabi berhenti di suatu tempat bernama Gadeer e Qum dan menyatakan: "Wahai manusia! Aku telah meninggalkan hal-hal tertentu, jika kalian akan mencintai mereka, kalian tidak akan pernah tersesat. Mereka adalah Kitab, yang seperti sebuah tali yang membentang dari langit ke bumi dan keluargaku" [2]. Selain itu, hadis dari sumber Sunni dan Syiah juga mengkonfirmasi posisi ditinggikannya Ali kwh sebagai "pintu gerbang menuju pengetahuan" dan "ahli waris" dari Nabi (Hadis: "Ali kepadaku seperti Harun kepada Musa, kecuali bahwa tidak akan ada Nabi setelahku ").
Pusat bagi Fiqh Ja'afariya adalah doktrin bahwa rantai otoritas untuk Fiqih mengalir dari Al-Qur'an ke Sunnah ke Ahlul Bait dan oleh penarikan kesimpulan, secara eksklusif kepada para imam di antara Ahlul Bait. Sebagai perbandingan, posisi Sunni menerima rantai otoritas dari Al-Quran ke Sunnah ke Ijma para sahabat dan didasarkan pada hadis sahih: "Hai manusia! Aku meninggalkan bagi kalian Kitab Allah dan Sunnahku. Jika Anda mengikuti mereka, Anda tidak akan tersesat" [3].. Dan lagi, "Umatku tidak akan pernah setuju kepada kesalahan". Dua posisi muncul untuk pertama kalinya dengan kejelasan ekstrim dalam pertanyaan yang diajukan kepada Ali bin Abi Thalib kwh dan Utsman bin Affan RA oleh panitia untuk mencalonkan seorang Khalifah setelah pembunuhan Umar bin Al Khattab RA. Pertanyaannya adalah: "Apakah Engkau akan melakukan urusan-urusan masyarakat sesuai dengan Al Qur'an, Sunnah Nabi dan Sunnah dari dua Syaikh (Abu Bakar RA dan Umar RA)?" Ali kwh menjawab bahwa ia akan mengikuti Qur'an dan Sunnah Nabi. Utsman RA berkata bahwa ia sungguh akan mengikuti Al Qur'an, Sunnah Nabi dan dua orang Syaikh dan dinominasikan sebagai khalifah, menunjukkan bahwa mayoritas di antara para sahabat telah menerima posisi ini.
Meskipun perbedaan pada masalah suksesi dan bencana perang saudara, tidak ada mazhab-mazhab Fiqh yang terpisah selama seratus tahun pertama setelah Nabi. Perbedaannya adalah politik; bukan pada Fiqh atau Syariah. Ada banyak contoh ketika Muawiyah bin Abu Sufyan meminta bimbingan dari Ali bin Abu Thalib kwh pada isu-isu spesifik Fiqih, meskipun dua orang tersebut terkunci dalam suatu perang saudara yang pahit. Ahlul Bait, khususnya rumah Abu Ali bin Thalib kwh dan Fatimat uz Zahra RA, putri tercinta Nabi, telah mendengar dan meriwayatkan banyak hadits langsung dari Nabi. Ucapan Ali kwh, Nahjul-Balaga, adalah merupakan sumber etika dan pengajaran Islam yang tak tertandingi.
Kristalisasi Fiqh sebagai sebuah disiplin yang dibudidayakan terjadi pada saat Imam Ja'afar as Saadiq (w. 765). Imam Ja'afar as Saadiq adalah seorang jenius-seorang ulama, guru, pembimbing dan Imam. Beliau memulai dan menyelenggarakan halaqah-halaqah (lingkaran-lingkaran) dimana ulama-ulama terbesar pada zaman itu akan berkumpul, berkonsultasi dan belajar. Imam Abu Hanifah adalah seorang ulama yang sejaman dengan Imam Ja'afar dan menghadiri banyak halaqah di rumah Imam Ja'afar.
Seperti Imam Abu Hanifah, Imam Ja'afar as Saadiq tidak menuliskan Fiqh yang dinamai dirinya. Beliau adalah guru yang mengajar dan menguraikan prinsip-prinsip Fiqh menggunakan metodologi qura'a yang umum berlaku pada masa awal Islam. Hal itu diserahkan kepada murid-muridnya untuk mengkatalogkan dan mendokumentasikan ajaran Imam Ja'afar. Yang paling penting dari penulis-penulis Imamiyah adalah Muhammad bin al Hasan al Qummi (w. 903). Dialah yang mendokumentasikan doktrin-doktrin Wilayat dan Imamah, meskipun kedua doktrin tersebut telah ada sejak jaman Khalifah Ali kwh. Wilayat berasal dari kata wali (pembimbing, guru, kerabat) dan merupakan sebuah pusat doktrin Syiah. Ia menegaskan bahwa perwalian komunitas Islam setelah Nabi harus di tangan seorang wali, yang pertama dari mereka adalah Ali bin Abu Thalib kwh. Umat harus memiliki seorang wali dan perwalian tersebut harus berada secara eksklusif dan unik di tangan Ahlul Bait. Sebagaimana Allah telah mensucikan rumah tangga Nabi, para Imam secara konsekuen adalah suci dan tidak berdosa dan secara unik dan eksklusif memiliki kualitas untuk memberikan wilayat bagi umat. Mazhab Ja'afariya menerima imamah dari dua belas Imam: Imam Ali kwh, Imam Hasan, Imam Husain, Imam Ali Zainul Abidin, Imam Muhammad Baqir, Imam Ja'afar as Saadiq, Imam Musa Kazhim, Imam Ali Ridha, Imam Jawwad Razi, Imam Hadi, Imam Hasan Askari dan Imam Muhammad Mahdi. Karena penerimaan atas dua belas Imam, Mazhab Ja'afariya disebut sebagai Itsna Asy'ari (mereka yang percaya kepada dua belas imam). Mazhab Ja'afariya juga percaya dengan Isma, yang berarti bahwa Tuhan melindungi para imam yang ditunjuk dari dosa, kesalahan agama dan kelupaan.
Adalah dalam masalah-masalah hukum pribadi bahwa Fiqh Ja'afariya memiliki perbedaan-perbedaan tertentu dengan Fiqih Sunni. Dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan masyarakat, Fiqh Ja'afariya adalah ketat, seperti Fiqh Syafi'i. Pada isu-isu yang tidak memiliki contoh sebelumnya, ia memungkinkan untuk ijtihad, sangat mirip dengan Mazhab Hanafi, yang mengakui proses istihsan.
Perkembangan Fiqh Ja'afariya mencerminkan keberuntungan politik dari gerakan Syiah, sangat mirip dengan Fiqih Hambali yang juga mencerminkan keadaan politik pada jamannya. Setelah tragedi Karbala, gerakan Ja'afariya terutama apolitis, menghindari tabrakan frontal dengan Bani Umayyah. Revolusi Abbasiyah tampaknya hadir untuk memberikan beberapa harapan karena Abbasiyah adalah sesama Bani Hasyim. Harapan-harapan ini hilang ketika Abbasiyah hanya mengambil keuntungan dari Syiah dan kemudian menganiaya mereka bahkan lebih keras dari Bani Umayyah. Kehilangan semua harapan untuk memulihkan Ahlul Bait dari otoritas politik yang mereka berhak atasnya, gerakan Syiah menjadi semakin introspektif (kecuali untuk jeda Fatimiyah).
Namun, tidak ada jalan melarikan diri dari kontroversi filosofis yang berkecamuk pada abad ke-8. Sama seperti mazhab Sunnah saudaranya, Fiqh Ja'afariya berkembang menjadi dua aliran besar selama periode ini - rasionalis dan tradisionalis. Mazhab-mazhab rasionalis berkembang menjadi Mazhab Akhbari, yang menekankan keunggulan teks-teks yang relevan sebagai suatu sumber Fiqh. Teks-teks yang dapat diterima termasuk Al Quran, Hadis Nabi dan Hadis para Imam. Mazhab tradisionalis berkoalisi menjadi Mazhab Usuli dan menekankan metodologi dan prinsip atas keaslian tekstual. Dalam pendekatannya, Mazhab Usuli dari Fiqh Ja'afariya sangat mirip dengan Mazhab Usuli Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi'i. Dan, seperti Mazhab Hanafi, ia menerima ijtihad sebagai sebuah metodologi yang dapat diterima untuk Fiqih di mana tidak ada panduan yang jelas dan eksplisit dari Qur'an dan Sunnah Nabi.
Jadi Mazhab-mashab Fiqh Ja'afariya dan Sunnah adalah seperti anak-anak sungai yang berbeda yang berangkat dari danau besar yang sama dan menyirami dataran Islam dari arah yang berbeda-beda. Pengambilan kesimpulan mereka seringkali sama karena mereka didasarkan pada Alquran dan Sunnah Nabi, meskipun sumber-sumber antara mereka mungkin berbeda.
Fiqh membangun sebuah jembatan bagi peradaban Islam ke masa depan. Apa yang mengejutkan seorang mahasiswa sejarah adalah kepercayaan diri dan antusiasme yang dengannya Muslim menghadapi ide-ide yang unggul di dunia pada saat itu. Pada abad ke-11, peradaban Islam telah mengkristalisasi responnya terhadap peradaban saudaranya hari ini. Dan respon ini pada dasarnya berbeda dengan tantangan rasional dari Yunani dan tantangan spiritual dari Timur. Setelah periode singkat godaan dan eksperimentasi, pemikiran Yunani dibuang dan mengirim paket tersebut ke Barat. Tahafuz al Tahafuz-nya Ibnu Rusyd (sekitar tahun 1190) adalah sebuah kata perpisahan sedih dari seorang ulama Muslim yang meninggalkan tanah air Islamnya dan bermigrasi ke Barat. Di sisi lain, Islam merespon tantangan dari Timur dengan menginternalisasi dan meng-Islamisasi banyak dari elemen-elemen spiritualnya.
Pemikiran Sufi berkembang dan setelah kehancuran Mongol, mengambil akar dan menjadi kendaraan utama untuk ekspansi Islam. Model Islam adalah menjadi menjadi seorang Hafiz, Rumi atau Syah Waliullah, bukan Al Kindi atau Abu Ali Sina atau Al Biruni atau Ibn Rusyd. Dengan pengecualian Ibn Khaldun (w. 1407), kaum empirisis dan rasionalis masa lalu perlahan-lahan menghilang. Ilmu pengetahuan dan peradaban dengan demikian memiliki hubungan yang sama sekali berbeda antara di Barat dan di dunia Islam setelah Abad Pertengahan. Barat mengadopsi Abu Ali Sina (Avicenna) dan Ibnu Rusyd (Averoes) dan metode empiris/ rasional mereka dan membuat ilmu pengetahuan (seperti yang kita kenal sekarang) yang merupakan bagian integral dari budaya dan peradaban mereka. Kaum Muslim semakin memalingkan punggung mereka dari pendekatan empiris/rasional dan menjadi tertutup, terperangkap dalam kontemplasi diri. Proses ini dipercepat pada abad ke-19 ketika dunia Muslim dijajah oleh Eropa, dan kesinambungan historis kaum Muslimin dengan masa lalu mereka sendiri terputus.
Mereka kaum Muslim yang menyatakan bahwa tidak ada konflik antara ilmu pengetahuan dan agama dalam Islam harus merenungkan hal ini. Setelah mengambil ilmu pengetahuan dari langkah pembukaan, Anda tidak dapat menempatkannya kembali dalam permainan tengah atau akhir permainan. Anda harus mengubah langkah pembukaan, yaitu asumsi-asumsi fundamental di mana peradaban Muslim telah membangun pandangan dunianya sejak perdebatan antara Mu'tazilah dan Asy'ariyah di abad ke-9, untuk datang dengan suatu filsafat yang koheren dan komprehensif dari ilmu pengetahuan dan peradaban.
Dengan berjalannya waktu, stagnasi berlaku dan apa yang pernah menjadi jembatan ke masa depan menjadi hanya sebuah jembatan ke masa lalu. Mazhab-mazhab Fiqh menjadi mazhab-mazhab dan semakin mengeras. Keturunan, sanksi resmi, peristiwa-peristiwa politik, kesetiaan kepada suku dan nasional semua memainkan peran historis mereka dalam kejumudan ini. Pada abad ke-11, peradaban Islam telah menjadi sebuah peradaban yang berbasis kota. Mu'tazilah dan Asy'ariyah telah saling menjatuhkan. Para qari, yang telah melintasi padang pasir pada tahun-tahun awal Islam mengajarkan Alquran dari dusun ke dusun, telah memberikan cara bagi guru-guru profesional yang pekerjaannya tergantung pada melestarikan status quo. Orang-orang mendambakan istirahat sebentar dari kontroversi. Sebuah konsensus yang luas dikembangkan bahwa mazhab-mazhab Fiqh yang telah ada sudah cukup untuk memenuhi tantangan hari ini. Islam telah berhasil bertahan dari serangan pemikiran Yunani dan telah berhasil mengakomodasi tantangan spiritual dari agama-agama timur. Tampaknya bahwa antarmuka peradaban antara Islam dan peradaban saudaranya hari ini telah didefinisikan dengan baik. Sekarang saatnya untuk mengistirahatkan kasus ini. Pintu ijtihad oleh karena itu ditutup dan orang-orang ditanamkan taqlid (untuk menyalin atau mengikuti). Mereka menjadi Sunni, Syiah, Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hambali, Ja'afari, Zaidi dan Fatimiyah.
Perkembangan politik juga memberikan kontribusi terhadap stagnasi intelektual. Pada abad ke-9, Fatimiyah menaklukkan Mesir dan berkuasa atas mayoritas penduduk Sunni menggunakan Fiqh Fatimiyah. Tantangan Fatimiyah mendapat respon dari Turki sebagai pembela Fiqh Sunni. Otoritas pusat dari kekhalifahan hancur dan di tempatnya muncul kesultanan-kesultanan dan emirat-emirat yang otonom. Abad ke-16 menyaksikan munculnya tiga dinasti besar, mereka adalah Dinasti Utsmani, Dinasti Safawi dan Moghul Raya. Safawi mengadopsi Fiqh Ja'afariya sedangkan Utsmani dan Moghul memperjuangkan Fiqh Hanafi. Perbedaan ideologi tertentu yang tak terelakkan, tetapi mazhab sering digunakan dalam peperangan antar mereka untuk mendapatkan kontrol atas wilayah-wilayah perbatasan. Hanya geografi dan teknologi yang relatif primitif pada saat itu yang mencegah mereka melancarkan perang total terhadap satu sama lain. Meskipun demikian, kebijakan picik masing-masing mereka memastikan bahwa pada abad ke-17, Persia adalah Itsna Asy'ari, sedangkan India, Pakistan, Asia Tengah dan Kekaisaran Ottoman didominasi Hanafi. Upaya besar terakhir oleh penguasa untuk mewujudkan rekonsiliasi antara mazhab Syiah dan Sunni adalah Nadir Syah. Awalnya, seorang penguasa baik hati, ia menjadi kikir setelah ia merebut Delhi dan mendapatkan jarahan yang besar (1739). Kembali ke Persia, ia mengumpulkan Ulama Sunni dan Syiah dalam upaya untuk mendamaikan fragmentasi sejarah mereka. Untuk upaya ini, baik Sunni dan Syiah melecehkannya, yang menjadikannya lebih lalim. Dia meninggal kikir, mencemooh Ulama-ulama Sunni dan Syiah dan pada gilirannya dicemooh oleh sejarah.
Kematian ijtihad terkadang disalahkan kepada invasi Mongol dan Tatar. Ini tidak benar secara historis. Proses stagnasi telah berjalan sebelum invasi Tentara Salib (abad ke-11, 12 dan 13) dan kehancuran Mongol (abad ke-13) mengakhiri kekhalifahan Baghdad. Kejadian-kejadian eksternal, bagaimanapun, membantu mengkonsolidasikan status quo. Dihadapkan dengan kemungkinan kepunahan, peradaban Islam semakin berpaling ke dalam jiwa batinnya sendiri. Dan jubah kepemimpinan intelektual diteruskan dari qura'a dan fuqaha ke sufi.
Mazhab-mazhab utama Fiqh secara jelas melayani kebutuhan Muslim awal, memastikan kohesi sosial, melindungi masyarakat dari ide-ide peradaban asing dan menjaganya sepanjang krisis-krisis sejarah. Namun, isu-isu yang dikemukakan mencerminkan kondisi umat Islam pada waktu itu. Pada abad ke-8, Islam secara politis dan militer dominan di Asia Barat dan Mediterania. Tentu saja, ada interaksi dengan peradaban Yunani, China dan India, tetapi karena teknologi primitif saat itu, setiap peradaban lebih atau kurang otonom di wilayah pengaruhnya sendiri. Tantangan bagi umat Islam adalah pertama kali memilah dan menstabilkan hubungan internal mereka sendiri, lalu menentukan hubungan mereka dengan ide-ide dari peradaban-peradaban lain. Dan ini mereka capai dalam konteks zaman, memisahkan "Darul Islam" dari "Darul Harb". Darul Islam adalah di mana Fiqih diterapkan. Darul Harb adalah dunia lain di mana "orang kafir" hidup dan yang harus ditantang.
Paradigma tersebut membutuhkan pengujian ulang. Hari ini, sepenuhnya sepertiga dari seluruh umat Islam tinggal di negara-negara yang mayoritas non-Muslim. Fiqih bukanlah alat statis. Ia adalah dimensi historis dari Syariah. Dalam dunia yang menyusut, bersama-sama ditarik oleh teknologi, di mana revolusi informasi telah membuat batas-batas nasional berpori, antarmuka peradaban hari ini adalah berbeda dari mereka yang hidup di abad ke-8 dan 9.
Pada abad ke-21, Islam tidak menghadapi rasionalisme dari Yunani, atau pengasingan diri dari Budha, atau politeisme dari Hindu tetapi hegemoni global dari peradaban materialis yang menentang segala bentuk agama. Fokus dari peradaban ini adalah sentralisasi ekonomi. Dalam kehausannya yang tak terhindarkan untuk sentralisasi, peradaban global materialis saat ini telah mengkooptasi ilmu pengetahuan, teknologi, filsafat, etika, politik dan telah meminggirkan agama itu sendiri. Isu-isu besar hari ini terutama ekonomi, bukan spiritual. Hari ini, semua orang agama, Muslim, Kristen, Yahudi, Budha dan Hindu berada di perahu yang sama, dihadapkan dengan mendefinisikan antar muka mereka satu sama lain dan dengan peradaban global materialis ini. Secara jelas, respon yang koheren belum muncul dari para ulama Muslim.
- Ref: Sahih Muslim, Hadith 5920.
- Ref: Tradition number 874 from Sahih Tirmidhi as related by Zaid ibn Arkam, among the traditions taken from Kanz ul Ummal.
- Ref: Hijjatul Wida, Farewell speech at the Mount of Arafat, on the authority of Rabiah ibn Umayyah, who repeated the sermon after him.
Sumbangan dari Prof. Dr. Nazeer Ahmed, Phd.
Temukan artikel lainnya di http://www.lintas-islam.blogspot.com
Untuk bergabung dengan group Lintas Islam, click http://groups.yahoo.com/group/lintas-islam/join; atau kirim email kosong ke alamat: lintas-islam-subscribe@yahoogroups.com
0 komentar:
Posting Komentar