Apakah dengan kita tidak berpartisipasi dalam pemilu atau tidak mendukung partai politik (partai berlabel Islam) sama saja kita membiarkan partai atau orang-orang sekuler mengatur dan memimpin negara ini, yang tentunya menyebabkan mereka menerapkan undang-undang sekuler dan menolak dengan tegas syariat Islam?
Ada anggapan bahwa dengan masuk ke partai kita bisa mengubah sistem dan peraturan kenegaraan dari sistem jahiliyah ke sistem syar’iyyah secara bertahap, yakni dengan mengalihkan undang-undang sekuler ke undang-undang Islam. Bagaimanakah seharusnya sikap dan tindakan kita?Apakah dengan alasan darurat demi membendung gerak langkah musuh-musuh Islam, kita boleh masuk ke partai dan parlemen?
Abu Lukman, Wonosobo Ada anggapan bahwa dengan masuk ke partai kita bisa mengubah sistem dan peraturan kenegaraan dari sistem jahiliyah ke sistem syar’iyyah secara bertahap, yakni dengan mengalihkan undang-undang sekuler ke undang-undang Islam. Bagaimanakah seharusnya sikap dan tindakan kita?Apakah dengan alasan darurat demi membendung gerak langkah musuh-musuh Islam, kita boleh masuk ke partai dan parlemen?
Ketidakikutsertaan kita ke parpol berlabel Islam tidak berarti kita membiarkan parpol yang tidak berlabel Islam untuk menetapkan undang-undang sekuler karena pintu nasehat terbuka dengan banyak cara, bisa dengan bicara langsung dengan mereka (pemerintah), melalui surat atau cara lain yang sesuai dengan Islam (Lihat Asy Syariah edisi lalu tentang Cara Menasehati Penguasa). Bukankah orang-orang yang duduk di pemerintahan kebanyakan orang-orang Islam?
Seandainya parpol berlabel Islam ikut di parlemen apakah mereka dapat merubah sistem demokrasi yang bertolak belakang 180 derajat dengan Islam? Tentu tidak. Sehingga masuknya mereka tidak akan merubah sistem tapi justru merubah diri mereka dari orang yang taat menjadi orang yang bermaksiat. Karena sejak mereka masuk (ke dalam parlemen) sudah diambil sumpahnya untuk mengakui sistem yanga ada dan (mengakui) keberadaan partai-partai lain selain Islam. Dan ini awal kekalahan, ditambah maksiat-maksiat lain yang tidak bisa dihindari. Apakah memperbaiki kedaan itu dengan cara bermaksiat kepada Allah atau dengan taat kepadanya?Cara memperbaiki yang benar adalah dengan tashfiyah dan tarbiyah, membersihkan Islam dari segala kotoran dan mendidik umat di atas Islam yang murni. Ingat ucapan Al-Imam Malik:“Umat ini tidak akan baik kecuali dengan sesuatu yang (telah) memperbaiki generasi awal (umat ini).”
- Alasan bahwa dengan masuk parlemen akan bisa mengubah sisitem yang ada tak lebih sekedar dalih untuk membolehkan masuk dalam parlemen, karena sesungguhnya merubah sistem yang ada adalah sesuatu yang mustahil. Apa yang bisa mereka rubah? Kalau misalnya bisa sebagian, berapa persen besarnya? Dan apakah mereka benar-benar bisa merubah sistem ini? Tolong dijawab secara realistis dan jangan dengan khayalan. Yang jelas sistem ini (demokrasi) adalah bathil sejak awalnya.
- Bila alasan darurat yang dipakai maka merupakan alasan yang terlalu jauh. Bagaimana kita masuk ke dalam sistem yang bertolak belakang dengan Islam lalu beralasan dengan darurat? Mana penerapan syariat Islam yang menjadi syiar pergerakan? Bagaimana mereka menerapkan syariat Islam secara kaffah dan memperjuangkannya sedang belum apa-apa sudah melanggar syariat Islam yang agung. Coba renungkan!
Wallahu a’lam.
- Bila alasan darurat yang dipakai maka merupakan alasan yang terlalu jauh. Bagaimana kita masuk ke dalam sistem yang bertolak belakang dengan Islam lalu beralasan dengan darurat? Mana penerapan syariat Islam yang menjadi syiar pergerakan? Bagaimana mereka menerapkan syariat Islam secara kaffah dan memperjuangkannya sedang belum apa-apa sudah melanggar syariat Islam yang agung. Coba renungkan!
Wallahu a’lam.
Jangan Berebut Jabatan Bertameng Al-Qur`an
Penulis : Al-Ustadz Abu Ubaidah Syafruddin
وَقَالَ الْمَلِكُ ائْتُونِي بِهِ أَسْتَخْلِصْهُ لِنَفْسِي فَلَمَّا كَلَّمَهُ قَالَ إِنَّكَ الْيَوْمَ لَدَيْنَا مَكِينٌ أَمِينٌ. قَالَ اجْعَلْنِي عَلَى خَزَائِنِ الْأَرْضِ إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ
Dan raja berkata: “Bawalah Yusuf kepadaku, agar aku memilih dia sebagai orang yang dekat denganku.” Maka tatkala raja telah bercakap-cakap dengannya, dia berkata: “Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi lagi dipercaya pada sisi kami.” Berkatalah Yusuf: “Jadikanlah aku bendahara negara (Mesir). Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan.” (Yusuf: 54-55)
Dan raja berkata: “Bawalah Yusuf kepadaku, agar aku memilih dia sebagai orang yang dekat denganku.” Maka tatkala raja telah bercakap-cakap dengannya, dia berkata: “Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi lagi dipercaya pada sisi kami.” Berkatalah Yusuf: “Jadikanlah aku bendahara negara (Mesir). Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan.” (Yusuf: 54-55)
“Pucuk di cinta ulam tiba”, begitulah sebuah ungkapan yang terucap dari seorang yang merasa senang dan bahagia, atas tercapainya suatu dambaan yang selama ini dicari dan dicitakan, bahkan melebihi dari apa yang diduga dan dikira.
Adalah kesempatan emas, yang disenangi oleh banyak manusia, khususnya bagi para pengembara kursi (jabatan), tahta, dan dunia, tatkala dihadapkan pada sebuah tawaran, untuk duduk di atas kursi (jabatan).
Bisa jadi seseorang akan menanggapi dan berkata: “Ini namanya kejatuhan rezeki, susah dicari, dan untuk mendapatkannya sulit sekali. Belum tentu seumur hidup bisa ketemu sekali. Mengapa ditolak?” Atau mungkin…
“Betul, di dalamnya banyak penyimpangan dan pelanggaran. Akan tetapi, kalau bukan kita yang mengubah, lantas siapa lagi?”
“Kalau kursi jabatan diduduki oleh orang luar, siapa yang akan melakukan perubahan, menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, mewujudkan syariat Islam dan sistem kenegaraan yang bernuansa Islam?”
“Segala sesuatu itu apabila sudah dikuasai dan dipegang kepalanya, yang lain akan mudah dikendalikan dan dikuasai.”
Penjelasan dan Makna Ayat
وَقَالَ الْمَلِكُ
“Dan raja berkata.”
Al-Imam Ath-Thabari, Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir rahimahullahu (224-318 H), dalam tafsirnya Jami’ul Bayan fi Ta’wilil Qur’an (16/147) menerangkan bahwa raja yang dimaksud dalam ayat ini adalah raja yang terbesar (terkemuka). Ia bernama Ar-Rayyan bin Al-Walid, sebagaimana tersebut dalam sebuah riwayat dari jalan Ali bin Hussain, dari Muhammad bin Isa, dari Salamah, dari Muhammad bin Ishaq. (lihat pula Tafsir Ibnu Katsir 4/275, Ibnu Abi Hatim 8/383)
أَسْتَخْلِصْهُ لِنَفْسِي
“Aku memilih dia sebagai orang yang rapat denganku.”
Maknanya adalah: “Aku jadikan dia sebagai orang khusus dan penasihat khusus bagi diriku.” (Lihat Tafsir Ath-Thabari, Ibnu Katsir, dan Al-Baghawi).
Ibnu Abi Hatim, Abu Muhammad Abdurrahman bin Abi Hatim Ar-Razi rahimahullahu (wafat pada th. 327 H), menyebutkan dalam kitab tafsirnya (8/386), riwayat dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Raja mengatakan kepada nabi Yusuf ‘alaihissalam, “Sesungguhnya aku menyukai agar kamu menemaniku dalam setiap keadaan, kecuali dalam urusan keluargaku. Karena aku tidak suka makan bersamamu.”
Mendengar hal itu, Nabi Yusuf ‘alaihissalam marah sambil berkata: “Aku lebih berhak untuk menjauhkan diri, karena orangtuaku adalah Ibrahim Khalilullah, orangtuaku Ishaq dzabihullah.” Pada riwayat lain dengan lafadz: “Yusuf bin Ya’qub, Nabiyullah bin Ishaq dzabihullah bin Ibrahim Khalilullah.”
فَلَمَّا كَلَّمَهُ
“Maka tatkala telah bercakap-cakap dengannya.”
Al-Imam Al-Baghawi, Abu Muhammad Al-Husain bin Mas’ud rahimahullahu wafat th. 516 H, dalam tafsirnya Ma’alimut Tanzil (4/250-251) menyebutkan riwayat dari Wahb (bin Munabbih, pen.). Ketika Nabi Yusuf ‘alaihissalam mendatangi sang raja dan mengucapkan salam kepadanya dengan bahasa Arab. Raja bertanya, “Bahasa apakah ini?” Nabi Yusuf ‘alaihissalam menjawab, “Ini bahasa pamanku, Nabi Ismail.” Kemudian Nabi Yusuf ‘alaihissalam mendoakannya dengan bahasa Ibrani. Raja bertanya, “Bahasa apakah ini?” Dijawab, “Ini bahasa ayah-ayahku dan raja tidak tahu dengan dua bahasa tersebut.”
Wahb juga bercerita bahwa sang raja (Ar-Rayyan bin Al-Walid) ini menguasai 70 bahasa. Setiap kali berbicara dengan suatu bahasa, Nabi Yusuf menjawabnya dengan bahasa yang sesuai, bahkan menambah dengan dua bahasa, yaitu Arab dan Ibrani. Melihat hal ini, sang raja heran dan terkesan, dalam keadaan Nabi Yusuf masih muda. Usia beliau pada waktu itu baru mencapai 30 tahun. Maka raja mendudukkannya, dan berkata, sebagaimana yang Allah Subhanahu wa Ta’ala firmankan:
قَالَ إِنَّكَ الْيَوْمَ لَدَيْنَا مَكِينٌ أَمِينٌ
“Dia berkata: ‘Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi lagi dipercaya pada sisi kami’.”
Sebagian meriwayatkan, bahwa raja ingin mendengarkan secara langsung tentang ta’bir mimpi yang pernah diceritakan sebelumnya (lihat apa yang tersebut dalam surat Yusuf dari ayat 43 sampai 49, pen.).
Setelah mendengar seluruh penuturan Nabi Yusuf ‘alaihissalam, Sang Raja bertanya, “Siapa yang akan mendampingiku dalam hal ini, serta mampu menyelesaikan, mengerjakan, dan mengatur semua urusan ini?”
Nabi Yusuf ‘alaihissalam menjawab, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
قَالَ اجْعَلْنِي عَلَى خَزَائِنِ الْأَرْضِ إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ
Berkatalah Yusuf: “Jadikanlah aku bendahara negara (Mesir). Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan.”
قَالَ إِنَّكَ الْيَوْمَ لَدَيْنَا مَكِينٌ أَمِينٌ
Raja berkata: “Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi lagi dipercaya pada sisi kami.”
Ibnul Jauzi rahimahullahu (588-587 H), menyebutkan dalam tafsirnya riwayat Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, makna مَكِينٌ أَمِينٌ adalah “Aku telah mengokohkan, menguatkan, dan memercayakan urusan kekuasaan (kerajaan/negara) kepadamu.”
Al-Muqatil rahimahullahu berkata, makna الْـمَكِينُ yaitu orang yang punya kedudukan (terkemuka). Sedangkan الْأَمِينُ yaitu yang menjaga, memelihara, dan melindungi. (Lihat Zadul Masir 3/439)
Al-Baghawi rahimahullahu menyebutkan dalam tafsirnya, الْـمَكِينُ yaitu berpangkat, berkedudukan. Sedangkan الْأَمِينُ adalah yang dipercaya.
Al-Alusi rahimahullahu dalam kitabnya Ruhul Ma’ani juga menyebutkan, Al-Makin yaitu berpangkat dan berkedudukan yang tinggi. Al-Amin yaitu dipercaya atas segala sesuatu.
قَالَ اجْعَلْنِي عَلَى خَزَائِنِ الْأَرْضِ
Berkatalah Yusuf: “Jadikanlah aku bendahara negara (Mesir).”
Abu Ja’far Ath-Thabari rahimahullahu berkata dalam tafsirnya, kata خَزَائِنُ adalah bentuk jamak dari خَزَانَةٌ artinya tempat menyimpan, yaitu tempat peyimpanan makanan dan harta. Sedangkan الْأَرْضُ alif-lam di sini berfungsi sebagai pengganti idhafah, maknanya خَزَائِنُ أَرْضِكَ yaitu bendahara negaramu (Mesir).
Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullahu juga menyebutkan sebuah riwayat dari jalan Sa’id bin Manshur rahimahullahu ia berkata, “Saya mendengar dari Malik bin Anas radhiyallahu ‘anhu berkata: ‘Negeri Mesir adalah خَزَائِنِ الْأَرْضِ. Tidakkah kalian mendengar firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
قَالَ اجْعَلْنِي عَلَى خَزَائِنِ الْأَرْضِ
yaitu untuk menjaganya (menjadi bendahara negara), dengan menghilangkan mudhaf.
إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ
“Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan.”
Al-Imam Ath-Thabari rahimahullahu setelah menyebutkan ayat ini, mengatakan bahwa para ulama berselisih dalam menafsirkannya hingga menjadi tiga pendapat:
Pertama, mereka berpendapat, maknanya adalah: “Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga segala yang telah dititipkan kepadaku. Berpengetahuan terhadap apa yang telah diserahkan/dilimpahkan kepadaku.”
Pendapat ini dinisbahkan kepada sebuah riwayat dari Ibnu Humaid, dari Salamah, dari Ibnu Ishaq.
Kedua, pendapat yang mengatakan, maknanya: “Aku adalah orang yang pandai menjaga segala yang telah dilimpahkan kepadaku. Berpengetahuan terhadap perkara (urusannya).”
Pendapat ini dinisbahkan kepada sebuah riwayat dari jalan Bisyr, dari Yazid, dari Sa’id, dari Qatadah.
Ketiga, ada pula yang mengatakan, maknanya: “Aku adalah seorang yang pandai menjaga untuk hisab/perhitungan (perihal pengeluaran dan pemasukan harta milik negara, pen.), mengetahui beberapa bahasa.”
Pendapat ini disandarkan kepada sebuah riwayat, dari jalan Ibnu Waqi’, dari ‘Amr, dari Al-Asyja’i.
Setelah memaparkan tiga pendapat di atas, beliau berkata: “Menurut kami pendapat yang kuat adalah pendapat yang pertama. Karena ucapan ini terjadi setelah Nabi Yusuf ‘alaihissalam mengatakan kepada raja: ”Jadikanlah aku bendahara negara (Mesir).” Bentuk permohonan Nabi Yusuf kepada raja, bahwa ia mampu mengurusi (sebagai bendahara) negara Mesir, menunjukkan, bahkan sekaligus sebagai pemberitaan bahwa beliau memiliki kemampuan dalam hal ini. Makna ini lebih sesuai untuk memaknai kalimat ﭻ ﭼ ketimbang dimaknakan dengan makna sebagaimana yang tersebut pada pendapat ketiga (tersebut di atas).”
Abul Fida Isma’il bin Umar, terkenal dengan sebutan Ibnu Katsir rahimahullahu (700-774 H), berkata setelah menyebutkan dua ayat di atas: “Dalam ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan tentang Raja Mesir (Ar-Rayyan bin Al-Walid), setelah memastikan terbebasnya Nabi Yusuf ‘alaihissalam, bersih dan sucinya kehormatan beliau dari apa yang dituduhkan kepadanya. Raja mengatakan sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
ائْتُونِي بِهِ أَسْتَخْلِصْهُ لِنَفْسِي
“Bawalah Yusuf kepadaku, agar aku memilih dia sebagai orang yang rapat denganku”, yakni jadikanlah dia sebagai orang khusus dan penasihat khusus bagiku.
فَلَمَّا كَلَّمَهُ
“Maka tatkala telah bercakap-cakap dengan dia” yakni raja telah bercakap-cakap dengannya, mengetahui serta melihat keutamaan, kepandaian, kemahiran, dan kecakapan serta keutamaan dan kesempurnaan pada rupa dan perangainya, berkatalah raja kepadanya, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
إِنَّكَ الْيَوْمَ لَدَيْنَا مَكِينٌ أَمِينٌ
“Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi lagi dipercaya pada sisi kami” yakni, sesungguhnya kamu di sisi kami telah menjadi seseorang yang berkedudukan dan dipercaya. Yusuf ‘alaihissalam berkata, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
اجْعَلْنِي عَلَى خَزَائِنِ الْأَرْضِ إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ
”Jadikanlah aku bendahara negara (Mesir). Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan.”
Nabi Yusuf ‘alaihissalam memuji dirinya. Hal ini diperbolehkan bagi seorang yang belum diketahui tentang keadaan dirinya, pada saat yang dibutuhkan. Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan bahwa ia adalah orang yang حَفِيظٌ (pandai menjaga), penjaga/bendahara yang dipercaya, عَلِيمٌ (berpengetahuan), yakni memiliki pengetahuan, ketelitian, dan kejelian terhadap segala perkara yang diurusinya. (lihat Tafsir Ibnu Katsir, 4/275)
Perlu diketahui sekali lagi, bahwa Nabi Yusuf ‘alaihissalam mengucapkan ucapan yang mengandung pujian terhadap dirinya tersebut adalah ketika beliau telah mendapatkan kedudukan dan kepercayaan di sisi raja. Bukan serta merta beliau memuji dirinya untuk meraih kedudukan. Tentu hal ini berbeda dengan keadaan para kontestan pemilu atau para politikus yang berkampanye memuji diri dalam rangka meraih kedudukan dan ambisi politiknya.
وَقَالَ الْمَلِكُ
“Dan raja berkata.”
Al-Imam Ath-Thabari, Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir rahimahullahu (224-318 H), dalam tafsirnya Jami’ul Bayan fi Ta’wilil Qur’an (16/147) menerangkan bahwa raja yang dimaksud dalam ayat ini adalah raja yang terbesar (terkemuka). Ia bernama Ar-Rayyan bin Al-Walid, sebagaimana tersebut dalam sebuah riwayat dari jalan Ali bin Hussain, dari Muhammad bin Isa, dari Salamah, dari Muhammad bin Ishaq. (lihat pula Tafsir Ibnu Katsir 4/275, Ibnu Abi Hatim 8/383)
أَسْتَخْلِصْهُ لِنَفْسِي
“Aku memilih dia sebagai orang yang rapat denganku.”
Maknanya adalah: “Aku jadikan dia sebagai orang khusus dan penasihat khusus bagi diriku.” (Lihat Tafsir Ath-Thabari, Ibnu Katsir, dan Al-Baghawi).
Ibnu Abi Hatim, Abu Muhammad Abdurrahman bin Abi Hatim Ar-Razi rahimahullahu (wafat pada th. 327 H), menyebutkan dalam kitab tafsirnya (8/386), riwayat dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Raja mengatakan kepada nabi Yusuf ‘alaihissalam, “Sesungguhnya aku menyukai agar kamu menemaniku dalam setiap keadaan, kecuali dalam urusan keluargaku. Karena aku tidak suka makan bersamamu.”
Mendengar hal itu, Nabi Yusuf ‘alaihissalam marah sambil berkata: “Aku lebih berhak untuk menjauhkan diri, karena orangtuaku adalah Ibrahim Khalilullah, orangtuaku Ishaq dzabihullah.” Pada riwayat lain dengan lafadz: “Yusuf bin Ya’qub, Nabiyullah bin Ishaq dzabihullah bin Ibrahim Khalilullah.”
فَلَمَّا كَلَّمَهُ
“Maka tatkala telah bercakap-cakap dengannya.”
Al-Imam Al-Baghawi, Abu Muhammad Al-Husain bin Mas’ud rahimahullahu wafat th. 516 H, dalam tafsirnya Ma’alimut Tanzil (4/250-251) menyebutkan riwayat dari Wahb (bin Munabbih, pen.). Ketika Nabi Yusuf ‘alaihissalam mendatangi sang raja dan mengucapkan salam kepadanya dengan bahasa Arab. Raja bertanya, “Bahasa apakah ini?” Nabi Yusuf ‘alaihissalam menjawab, “Ini bahasa pamanku, Nabi Ismail.” Kemudian Nabi Yusuf ‘alaihissalam mendoakannya dengan bahasa Ibrani. Raja bertanya, “Bahasa apakah ini?” Dijawab, “Ini bahasa ayah-ayahku dan raja tidak tahu dengan dua bahasa tersebut.”
Wahb juga bercerita bahwa sang raja (Ar-Rayyan bin Al-Walid) ini menguasai 70 bahasa. Setiap kali berbicara dengan suatu bahasa, Nabi Yusuf menjawabnya dengan bahasa yang sesuai, bahkan menambah dengan dua bahasa, yaitu Arab dan Ibrani. Melihat hal ini, sang raja heran dan terkesan, dalam keadaan Nabi Yusuf masih muda. Usia beliau pada waktu itu baru mencapai 30 tahun. Maka raja mendudukkannya, dan berkata, sebagaimana yang Allah Subhanahu wa Ta’ala firmankan:
قَالَ إِنَّكَ الْيَوْمَ لَدَيْنَا مَكِينٌ أَمِينٌ
“Dia berkata: ‘Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi lagi dipercaya pada sisi kami’.”
Sebagian meriwayatkan, bahwa raja ingin mendengarkan secara langsung tentang ta’bir mimpi yang pernah diceritakan sebelumnya (lihat apa yang tersebut dalam surat Yusuf dari ayat 43 sampai 49, pen.).
Setelah mendengar seluruh penuturan Nabi Yusuf ‘alaihissalam, Sang Raja bertanya, “Siapa yang akan mendampingiku dalam hal ini, serta mampu menyelesaikan, mengerjakan, dan mengatur semua urusan ini?”
Nabi Yusuf ‘alaihissalam menjawab, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
قَالَ اجْعَلْنِي عَلَى خَزَائِنِ الْأَرْضِ إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ
Berkatalah Yusuf: “Jadikanlah aku bendahara negara (Mesir). Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan.”
قَالَ إِنَّكَ الْيَوْمَ لَدَيْنَا مَكِينٌ أَمِينٌ
Raja berkata: “Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi lagi dipercaya pada sisi kami.”
Ibnul Jauzi rahimahullahu (588-587 H), menyebutkan dalam tafsirnya riwayat Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, makna مَكِينٌ أَمِينٌ adalah “Aku telah mengokohkan, menguatkan, dan memercayakan urusan kekuasaan (kerajaan/negara) kepadamu.”
Al-Muqatil rahimahullahu berkata, makna الْـمَكِينُ yaitu orang yang punya kedudukan (terkemuka). Sedangkan الْأَمِينُ yaitu yang menjaga, memelihara, dan melindungi. (Lihat Zadul Masir 3/439)
Al-Baghawi rahimahullahu menyebutkan dalam tafsirnya, الْـمَكِينُ yaitu berpangkat, berkedudukan. Sedangkan الْأَمِينُ adalah yang dipercaya.
Al-Alusi rahimahullahu dalam kitabnya Ruhul Ma’ani juga menyebutkan, Al-Makin yaitu berpangkat dan berkedudukan yang tinggi. Al-Amin yaitu dipercaya atas segala sesuatu.
قَالَ اجْعَلْنِي عَلَى خَزَائِنِ الْأَرْضِ
Berkatalah Yusuf: “Jadikanlah aku bendahara negara (Mesir).”
Abu Ja’far Ath-Thabari rahimahullahu berkata dalam tafsirnya, kata خَزَائِنُ adalah bentuk jamak dari خَزَانَةٌ artinya tempat menyimpan, yaitu tempat peyimpanan makanan dan harta. Sedangkan الْأَرْضُ alif-lam di sini berfungsi sebagai pengganti idhafah, maknanya خَزَائِنُ أَرْضِكَ yaitu bendahara negaramu (Mesir).
Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullahu juga menyebutkan sebuah riwayat dari jalan Sa’id bin Manshur rahimahullahu ia berkata, “Saya mendengar dari Malik bin Anas radhiyallahu ‘anhu berkata: ‘Negeri Mesir adalah خَزَائِنِ الْأَرْضِ. Tidakkah kalian mendengar firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
قَالَ اجْعَلْنِي عَلَى خَزَائِنِ الْأَرْضِ
yaitu untuk menjaganya (menjadi bendahara negara), dengan menghilangkan mudhaf.
إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ
“Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan.”
Al-Imam Ath-Thabari rahimahullahu setelah menyebutkan ayat ini, mengatakan bahwa para ulama berselisih dalam menafsirkannya hingga menjadi tiga pendapat:
Pertama, mereka berpendapat, maknanya adalah: “Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga segala yang telah dititipkan kepadaku. Berpengetahuan terhadap apa yang telah diserahkan/dilimpahkan kepadaku.”
Pendapat ini dinisbahkan kepada sebuah riwayat dari Ibnu Humaid, dari Salamah, dari Ibnu Ishaq.
Kedua, pendapat yang mengatakan, maknanya: “Aku adalah orang yang pandai menjaga segala yang telah dilimpahkan kepadaku. Berpengetahuan terhadap perkara (urusannya).”
Pendapat ini dinisbahkan kepada sebuah riwayat dari jalan Bisyr, dari Yazid, dari Sa’id, dari Qatadah.
Ketiga, ada pula yang mengatakan, maknanya: “Aku adalah seorang yang pandai menjaga untuk hisab/perhitungan (perihal pengeluaran dan pemasukan harta milik negara, pen.), mengetahui beberapa bahasa.”
Pendapat ini disandarkan kepada sebuah riwayat, dari jalan Ibnu Waqi’, dari ‘Amr, dari Al-Asyja’i.
Setelah memaparkan tiga pendapat di atas, beliau berkata: “Menurut kami pendapat yang kuat adalah pendapat yang pertama. Karena ucapan ini terjadi setelah Nabi Yusuf ‘alaihissalam mengatakan kepada raja: ”Jadikanlah aku bendahara negara (Mesir).” Bentuk permohonan Nabi Yusuf kepada raja, bahwa ia mampu mengurusi (sebagai bendahara) negara Mesir, menunjukkan, bahkan sekaligus sebagai pemberitaan bahwa beliau memiliki kemampuan dalam hal ini. Makna ini lebih sesuai untuk memaknai kalimat ﭻ ﭼ ketimbang dimaknakan dengan makna sebagaimana yang tersebut pada pendapat ketiga (tersebut di atas).”
Abul Fida Isma’il bin Umar, terkenal dengan sebutan Ibnu Katsir rahimahullahu (700-774 H), berkata setelah menyebutkan dua ayat di atas: “Dalam ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan tentang Raja Mesir (Ar-Rayyan bin Al-Walid), setelah memastikan terbebasnya Nabi Yusuf ‘alaihissalam, bersih dan sucinya kehormatan beliau dari apa yang dituduhkan kepadanya. Raja mengatakan sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
ائْتُونِي بِهِ أَسْتَخْلِصْهُ لِنَفْسِي
“Bawalah Yusuf kepadaku, agar aku memilih dia sebagai orang yang rapat denganku”, yakni jadikanlah dia sebagai orang khusus dan penasihat khusus bagiku.
فَلَمَّا كَلَّمَهُ
“Maka tatkala telah bercakap-cakap dengan dia” yakni raja telah bercakap-cakap dengannya, mengetahui serta melihat keutamaan, kepandaian, kemahiran, dan kecakapan serta keutamaan dan kesempurnaan pada rupa dan perangainya, berkatalah raja kepadanya, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
إِنَّكَ الْيَوْمَ لَدَيْنَا مَكِينٌ أَمِينٌ
“Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi lagi dipercaya pada sisi kami” yakni, sesungguhnya kamu di sisi kami telah menjadi seseorang yang berkedudukan dan dipercaya. Yusuf ‘alaihissalam berkata, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
اجْعَلْنِي عَلَى خَزَائِنِ الْأَرْضِ إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ
”Jadikanlah aku bendahara negara (Mesir). Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan.”
Nabi Yusuf ‘alaihissalam memuji dirinya. Hal ini diperbolehkan bagi seorang yang belum diketahui tentang keadaan dirinya, pada saat yang dibutuhkan. Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan bahwa ia adalah orang yang حَفِيظٌ (pandai menjaga), penjaga/bendahara yang dipercaya, عَلِيمٌ (berpengetahuan), yakni memiliki pengetahuan, ketelitian, dan kejelian terhadap segala perkara yang diurusinya. (lihat Tafsir Ibnu Katsir, 4/275)
Perlu diketahui sekali lagi, bahwa Nabi Yusuf ‘alaihissalam mengucapkan ucapan yang mengandung pujian terhadap dirinya tersebut adalah ketika beliau telah mendapatkan kedudukan dan kepercayaan di sisi raja. Bukan serta merta beliau memuji dirinya untuk meraih kedudukan. Tentu hal ini berbeda dengan keadaan para kontestan pemilu atau para politikus yang berkampanye memuji diri dalam rangka meraih kedudukan dan ambisi politiknya.
Faedah
Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullahu menyebutkan dalam tafsirnya: “Sebagian ulama berkata, pada ayat ini terdapat dalil tentang diperbolehkannya bagi orang yang baik (shalih), bekerja untuk orang yang buruk (fajir) atau penguasa yang kafir. Dengan syarat, orang tersebut tahu, bahwa segala pekerjaan/tugas diserahkan kepadanya (diberi kekuasaan penuh untuk mengaturnya), dan bukan diatur oleh (orang-orang yang fajir atau penguasa yang kafir tersebut, pen.). Sehingga, ia akan mengatur sesuai dengan apa yang dia kehendaki (untuk hal yang baik dan bermanfaat). Adapun kalau pekerjaan tersebut harus berdasarkan pada kemauan dan kehendak orang yang fajir atau (penguasa yang kafir), menuruti hawa nafsu dan kekufurannya (di bawah aturan mereka), hal yang demikian ini tidak diperbolehkan.
Sebagian mereka berpendapat, perihal ini (bekerja untuk orang buruk/ penguasa yang kafir) khusus hanya untuk Nabi Yusuf ‘alaihissalam saja. Adapun sekarang tidak diperbolehkan. Pendapat yang pertama lebih kuat (boleh dan bukan kekhususan), dengan syarat yang telah disebutkan tadi.
Al-Mawardi rahimahullahu berkata: “Apabila yang berkuasa adalah orang yang zalim, para ulama berbeda pendapat tentang boleh dan tidaknya, seorang untuk bekerja dengannya.
Pendapat pertama, membolehkan. Apabila seorang bekerja dengan baik dan benar (memenuhi hak), pada perkara yang telah diserahkan penuh kepadanya (untuk mengaturnya). Karena dalam ayat ini, Nabi Yusuf ‘alaihissalam bekerja (menerima pekerjaan) dari raja (Fir’aun)1. Pertimbangan ini berdasarkan pekerjaan (kemampuan) beliau dan bukan pada orang lain.
Pendapat kedua, tidak membolehkan. Hal ini berdasarkan adanya bentuk/unsur menolong atas kezaliman yang mereka lakukan. Memuji mereka, dengan meniru (melakukan) perbuatannya.
Para ulama yang berpendapat membolehkan bekerja dengan orang yang zalim, menjawab perihal yang terjadi pada Nabi Yusuf ketika menerima pekerjaan dari Fir’aun, dengan dua jawaban:
Pertama, Fir’aun (raja)-nya Nabi Yusuf waktu itu seorang yang shalih (muslim). Adapun Fir’aun yang membangkang (kafir), adalah Fir’aun (raja)-nya Nabi Musa ‘alaihissalam.
Kedua, hal ini melihat pada kekuasaan dan bukan pada pekerjaannya.”
Al-Mawardi berkata: “Yang benar dalam hal ini adalah merinci masalah menjadi tiga kesimpulan:
1. Boleh bagi orang yang memiliki kemampuan dan keahlian untuk melakukannya. Dengan catatan, tidak ada unsur berijtihad (berpendapat) dalam melaksanakan tugasnya seperti menyalurkan shadaqah dan zakat.
Boleh seseorang menerima pekerjaan dan tugas dari orang yang zalim. Karena, adanya nash/dalil yang menerangkan kepada siapa shadaqah dan zakat itu disalurkan telah mencukupi, sehingga tidak memerlukan lagi adanya ijtihad. (Maka kebebasan bertindak dalam hal ini, telah menjadi cukup baginya [terbebaskan] dari mengikuti perintah [peraturan orang zalim tersebut, pen.]).
2. Keadaan di mana seseorang tidak diperbolehkan untuk bertindak sendiri, adanya keharusan untuk berijtihad (berpendapat, berinisiatif) dalam mengatur urusan, seperti menangani harta rampasan.
Keadaan seperti ini tidak boleh bagi seseorang untuk menerima penugasan dari orang yang zalim. Hal ini dikarenakan ia telah melakukan tindakan yang tidak benar dan berijtihad (berpendapat, mengatur) pada perkara yang tidak berhak untuk melakukannya.
3. Keadaan yang boleh melimpahkan tugas kepada orang yang ahli dan boleh baginya berijtihad, seperti menangani hukum dan pidana. Apabila terjadi kesepakatan dari kedua belah pihak dan tidak ada yang dipaksa, (maka boleh baginya bekerja untuk orang yang zalim, pen.). Namun apabila terjadi pemaksaan, tidak diperbolehkan.
Asy-Syaikh As-Sa’di rahimahullahu dalam Taisir Al-Lathiful Mannan, berkata setelah menyebutkan ayat di atas: “Pada ayat ini terdapat keutamaan ilmu, ilmu syar’i dan hukum, ilmu ta’bir mimpi, ilmu mengatur dan mengurusi negara, serta ilmu kepemerintahannya. Yang menjadi salah satu sebab Nabi Yusuf ‘alaihissalam memperoleh kedudukan yang tinggi di dunia dan di akhirat kelak, yaitu adanya ilmu yang beragam dan banyak (mengetahui berbagai macam ilmu). Hal ini juga menunjukkan bahwa ilmu ta’bir mimpi termasuk bagian dari fatwa. Maka tidak boleh bagi siapapun untuk mena’birkan suatu mimpi dan memastikannya, sebelum mengetahui secara pasti. Sebagaimana halnya (dalam hukum/perkara), tidak boleh bagi siapapun berfatwa dalam hal apapun tanpa ilmu. Karena dalam surat Yusuf ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala menamai kemampuan mena’birkan mimpi, dengan nama ilmu, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَكَذَلِكَ يَجْتَبِيكَ رَبُّكَ وَيُعَلِّمُكَ مِنْ تَأْوِيلِ الْأَحَادِيثِ
“Dan demikianlah Rabbmu, memilih kamu (untuk menjadi nabi) dan diajarkan-Nya kepadamu sebagian dari ta’bir mimpi-mimpi.” (Yusuf: 6)
Ayat ini juga menerangkan, tidak mengapa seseorang memberitakan tentang dirinya, berupa sifat-sifat yang baik dan sempurna, berilmu pengetahuan dan yang lainnya. Hal ini boleh dilakukan selama membawa maslahat, selamat dari berdusta, dan tidak bermaksud untuk memperlihatkan diri (riya’). Seperti yang tersebut dalam ayat: Berkatalah Yusuf: “Jadikanlah aku bendahara negara (Mesir). Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan.” (Yusuf: 55)
Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullahu menyebutkan dalam tafsirnya: “Sebagian ulama berkata, pada ayat ini terdapat dalil tentang diperbolehkannya bagi orang yang baik (shalih), bekerja untuk orang yang buruk (fajir) atau penguasa yang kafir. Dengan syarat, orang tersebut tahu, bahwa segala pekerjaan/tugas diserahkan kepadanya (diberi kekuasaan penuh untuk mengaturnya), dan bukan diatur oleh (orang-orang yang fajir atau penguasa yang kafir tersebut, pen.). Sehingga, ia akan mengatur sesuai dengan apa yang dia kehendaki (untuk hal yang baik dan bermanfaat). Adapun kalau pekerjaan tersebut harus berdasarkan pada kemauan dan kehendak orang yang fajir atau (penguasa yang kafir), menuruti hawa nafsu dan kekufurannya (di bawah aturan mereka), hal yang demikian ini tidak diperbolehkan.
Sebagian mereka berpendapat, perihal ini (bekerja untuk orang buruk/ penguasa yang kafir) khusus hanya untuk Nabi Yusuf ‘alaihissalam saja. Adapun sekarang tidak diperbolehkan. Pendapat yang pertama lebih kuat (boleh dan bukan kekhususan), dengan syarat yang telah disebutkan tadi.
Al-Mawardi rahimahullahu berkata: “Apabila yang berkuasa adalah orang yang zalim, para ulama berbeda pendapat tentang boleh dan tidaknya, seorang untuk bekerja dengannya.
Pendapat pertama, membolehkan. Apabila seorang bekerja dengan baik dan benar (memenuhi hak), pada perkara yang telah diserahkan penuh kepadanya (untuk mengaturnya). Karena dalam ayat ini, Nabi Yusuf ‘alaihissalam bekerja (menerima pekerjaan) dari raja (Fir’aun)1. Pertimbangan ini berdasarkan pekerjaan (kemampuan) beliau dan bukan pada orang lain.
Pendapat kedua, tidak membolehkan. Hal ini berdasarkan adanya bentuk/unsur menolong atas kezaliman yang mereka lakukan. Memuji mereka, dengan meniru (melakukan) perbuatannya.
Para ulama yang berpendapat membolehkan bekerja dengan orang yang zalim, menjawab perihal yang terjadi pada Nabi Yusuf ketika menerima pekerjaan dari Fir’aun, dengan dua jawaban:
Pertama, Fir’aun (raja)-nya Nabi Yusuf waktu itu seorang yang shalih (muslim). Adapun Fir’aun yang membangkang (kafir), adalah Fir’aun (raja)-nya Nabi Musa ‘alaihissalam.
Kedua, hal ini melihat pada kekuasaan dan bukan pada pekerjaannya.”
Al-Mawardi berkata: “Yang benar dalam hal ini adalah merinci masalah menjadi tiga kesimpulan:
1. Boleh bagi orang yang memiliki kemampuan dan keahlian untuk melakukannya. Dengan catatan, tidak ada unsur berijtihad (berpendapat) dalam melaksanakan tugasnya seperti menyalurkan shadaqah dan zakat.
Boleh seseorang menerima pekerjaan dan tugas dari orang yang zalim. Karena, adanya nash/dalil yang menerangkan kepada siapa shadaqah dan zakat itu disalurkan telah mencukupi, sehingga tidak memerlukan lagi adanya ijtihad. (Maka kebebasan bertindak dalam hal ini, telah menjadi cukup baginya [terbebaskan] dari mengikuti perintah [peraturan orang zalim tersebut, pen.]).
2. Keadaan di mana seseorang tidak diperbolehkan untuk bertindak sendiri, adanya keharusan untuk berijtihad (berpendapat, berinisiatif) dalam mengatur urusan, seperti menangani harta rampasan.
Keadaan seperti ini tidak boleh bagi seseorang untuk menerima penugasan dari orang yang zalim. Hal ini dikarenakan ia telah melakukan tindakan yang tidak benar dan berijtihad (berpendapat, mengatur) pada perkara yang tidak berhak untuk melakukannya.
3. Keadaan yang boleh melimpahkan tugas kepada orang yang ahli dan boleh baginya berijtihad, seperti menangani hukum dan pidana. Apabila terjadi kesepakatan dari kedua belah pihak dan tidak ada yang dipaksa, (maka boleh baginya bekerja untuk orang yang zalim, pen.). Namun apabila terjadi pemaksaan, tidak diperbolehkan.
Asy-Syaikh As-Sa’di rahimahullahu dalam Taisir Al-Lathiful Mannan, berkata setelah menyebutkan ayat di atas: “Pada ayat ini terdapat keutamaan ilmu, ilmu syar’i dan hukum, ilmu ta’bir mimpi, ilmu mengatur dan mengurusi negara, serta ilmu kepemerintahannya. Yang menjadi salah satu sebab Nabi Yusuf ‘alaihissalam memperoleh kedudukan yang tinggi di dunia dan di akhirat kelak, yaitu adanya ilmu yang beragam dan banyak (mengetahui berbagai macam ilmu). Hal ini juga menunjukkan bahwa ilmu ta’bir mimpi termasuk bagian dari fatwa. Maka tidak boleh bagi siapapun untuk mena’birkan suatu mimpi dan memastikannya, sebelum mengetahui secara pasti. Sebagaimana halnya (dalam hukum/perkara), tidak boleh bagi siapapun berfatwa dalam hal apapun tanpa ilmu. Karena dalam surat Yusuf ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala menamai kemampuan mena’birkan mimpi, dengan nama ilmu, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَكَذَلِكَ يَجْتَبِيكَ رَبُّكَ وَيُعَلِّمُكَ مِنْ تَأْوِيلِ الْأَحَادِيثِ
“Dan demikianlah Rabbmu, memilih kamu (untuk menjadi nabi) dan diajarkan-Nya kepadamu sebagian dari ta’bir mimpi-mimpi.” (Yusuf: 6)
Ayat ini juga menerangkan, tidak mengapa seseorang memberitakan tentang dirinya, berupa sifat-sifat yang baik dan sempurna, berilmu pengetahuan dan yang lainnya. Hal ini boleh dilakukan selama membawa maslahat, selamat dari berdusta, dan tidak bermaksud untuk memperlihatkan diri (riya’). Seperti yang tersebut dalam ayat: Berkatalah Yusuf: “Jadikanlah aku bendahara negara (Mesir). Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan.” (Yusuf: 55)
Catatan: Beberapa rujukan yang tersebut di atas, keumumannya dinukil dari Al-Maktabah Asy-Syamilah. Mengingat keterbatasan rujukan yang ada pada kami.
Wallahu a’lam bish-shawab, wal ‘ilmu ‘indallah.
Wallahu a’lam bish-shawab, wal ‘ilmu ‘indallah.
1 Al-Imam Ath-Thabari rahimahullahu berkata dalam tafsirnya, fir’aun (pharao) adalah nama yang dipakai untuk penyebutan raja-raja Mesir zaman dahulu. Sebagaimana Qaisar (Kaisar) atau Hiraql (Heraklius) untuk penamaan raja-raja Romawi. Adapun Persia terkenal penyebutannya dengan Al-Akasirah, bentuk jamak dari Kisra. Sedangkan raja-raja Yaman dikenal penamaannya dengan At-Taba’ah, jamak dari Taba’. Kemudian beliau menyebutkan riwayat dari Muhammad bin Ishaq, bahwa fir’aun-nya Nabi Yusuf adalah raja terkemuka bernama Ar-Rayyan bin Al-Walid, dan masuk Islam (mengikuti ajaran Nabi Yusuf ‘alaihissalam). Sedangkan fir’aun-nya Nabi Musa ‘alaihissalam adalah raja yang bernama Al-Walid bin Mush’ab bin Ar-Rayyan (dan menentang ajaran Nabi Musa ‘alaihissalam)
0 komentar:
Posting Komentar