Kamis, 31 Mei 2012

Ia pura-pura mati, melumuri dirinya dengan darah saudaranya, saat pasukan loyalis Assad membunuh semua keluarganya

Ia hanya anak Muslim berusia 11 tahun, dengan izin Allah, selamat dari pembataian. Ia menggambarkan bagaimana ia melumuri dirinya sendiri dengan darah saudaranya yang dibunuh dan berpura-pura mati karena milisi loyalis Bashar Assad masuk ke rumahnya dan membunuh enam angota keluarganya pada saat pembantaian di Al-Haulah sedang berlangsung pada hari Jum’at (25/5/2012) di provinsi Homs, Suriah.

Bercerita kepada The Guardian, anak laki-laki yang baru beranjak remaja itu mengatakan bahwa pasukan rezim Assad tiba di distrik tempatnya tinggal sekitar pukul 3:00 waktu setempat pada hari Sabtu (26/5), beberapa jam setelah pemboman dan pembantaian dilakukan di Al-Haulah.

"Mereka datang dengan kendaraan lapis baja dan ada beberapa tank," kata anak itu. "Mereka menembak lima peluru melalui pintu rumah kami. Mereka mengatakan, mereka ingin Arif (pamannya) dan Syawqi (kakaknya), ayahku dan ibuku. Kemudian mereka menanyakan tentang pamanku, Abu Haidar. Mereka juga mengetahui namanya."

Dengan menggigil ketakutan, anak itu berdiri dibalik pintu masuk keluarganya, pada saat itu, pasukan Assad menembaki semua anggota keluarganya di depan matanya.

"Ibuku berteriak pada mereka," ujar anak itu.

"Dia bertanya: 'Apa yang kalian inginkan dari suami dan anakku?', seorang pria botak berjanggut menembaknya dengan sebuah senjata mesin dari leher. Kemudian mereka membunuh adik perempuanku, Rasha, dengan senjata yang sama. Dia berusia lima tahun. Kemudian mereka menembak kakakku Nadir di kepala dan di punggungnya. Aku melihat nyawanya meninggalkan jasadnya di depanku," ungkapnya sedih.

Ketika semua anggota keluarganya telah dibunuh, tentara loyalis Assad itu mengarahkan moncong senjatanya ke arahnya. Ketika itu, ia berinisiatif untuk berpura-pura mati dan mengambil darah saudaranya yang berceceran kemudian melumurinya ke tubuhnya dan berpura-pura mati.

"Mereka menembakku, tetapi pelurunya melewatiku dan aku tidak tertembak. Aku sangat gemetar, aku pikir mereka akan memperhatikanku. Aku mengolesi darah ke wajahku untuk membuat mereka berpikir bahwa aku telah mati," katanya.

Ternyata trik anak itu berhasil, dengan izin Allah, mereka yakin telah menyelesaikan misi pembunuhan mereka, kemudian mereka berpindah ke rumah di daerah lain untuk memburu Muslim lainnya.

"Rupanya mereka yakin pekerjaan mereka telah selesai, pria-pria bersenjata itu pindah ke daerah lain, ke rumah dimana mereka akan melanjutkan menjarah harta milik keluarga (di rumah itu yang dijarah)," katanya. "Mereka mencuri tiga televisi, sebuah Vacuum-cleaner dan sebuah komputer," tambahnya. "Dan kemudian mereka bersiap-siap pergi."

Dalam wawancara lain, ia bercerita bahwa kedua pamannya dan saudara laki-lakinya ditangkap dan dibunuh. "Mereka menangkap dan membawa mereka," katanya. Saat ditanya bagiamana ia tahu bahwa mereka telah terbunuh, ia menjawab, "hari berikutnya aku melihat mereka tewas di saluran TV pemerintah Suriah." "Pamanku bercerita bahwa sekelompok pria bersenjata membunuh anaknya."

The Guardian menghubungi anak laki-laki ini melalui seorang tokoh di kota yang merupakan seorang anggota Dewan Revolusi Suriah yang sekarang sedang merawatnya. The Guardian tidak diizinkan untuk memaparkan profil anak ini dan tidak menyebutkan namanya untuk tujuan keamanan.

Anak itu mengatakan bahwa dia menanti hingga para anggota lapis baja itu bergerak menjauh dari jalan rumahnya, kemudian ia berlari ke rumah pamannya yang letaknya tak jauh dari kediamannya, untuk bersembunyi. Ia mengatakan, milisi yang sama mengetuk pintu rumah pamannya beberapa menit kemudian, meminta pamannya apakah dia tahu siapa yang tinggal di dalam rumahnya, para anggota lapis baja itu hanya berteriak-teriak mengamuk.

"Ketika mereka pergi, mereka mengatakan bahwa mereka ingin membakar rumah, aku panik dan kemudian pergi ke rumah pamanku tanpa alas kaki."

"Mereka tidak tahu dia (paman) adalah keluargaku dan ketika mereka berbicara kepadanya, mereka menjelaskan ke-enam orang yang mati di rumahku. Termasuk aku. Mereka pikir aku telah mati."

Selama 15 menit percakapan, anak itu tetap diam hingga ia diminta untuk bercerita bagaimana dia tahu para pria bersenjata itu adalah milisi pro-rezim Assad, yang dikenal sebagai milisi Syi'ah Shabihah. Pasukan yang sering dituduh banyak melakukan pembantaian di Al-Hulah, dengan memasuki rumah-rumah warga Muslim dan membantai anggota keluarga di dalamnya. Pada pembantaian di Al-Hulah terakhir, lebih dari 50 dari lebih dari 100 korban adalah anak-anak, bahkan dari usia batita dan balita.

Anak itu menjawab bahwa mengapa ia yakin pasukan bersenjata itu adalah milisi pro-Assad, "Mereka keluar dari tank dan mereka memiliki senjata dan pisau," dia mengulangi kata-kata itu. "11 orang, beberapa dari mereka berpakaian militer, dan beberapa dari mereka berpakaian biasa, rambut dicukur dan berjanggut (milisi Syi'ah Shabihah)."

"Mengapa kalian bertanya padaku siapa mereka? Aku tahu siapa mereka. Kami semua tahu! Mereka adalah para tentara rezim dan orang-orang yang berperang dengan mereka. Itu adalah benar," tegasnya.

Mengingat Barat (awalnya) dan rezim Assad membantah bahwa pasukan militer Assad dan milisi pro-Assad yang melakukan pembantaian selama ini, dan menyalahkan terhadap kelompok 'pemberontak' atau 'teroris'. Kesaksian anak ini adalah salah satu dari banyak kesaksian bahwa yang melakukan pembantaian adalah pasukan Assad dan milisi-milisi Syi'ah pro-Assad.

Pesannya kepada masyarakat dunia

"Aku meminta kepada masyarakat internasional untuk menghentikan pembunuhan di Suriah dan di Al-Haulah,

Siapa saja yang mendengarku, harus tahu bahwa kami dibunuhi, kami dibunuh di rumah-rumah kami,

Masyarakat internasional duduk diam, hanya bicara dan tidak melakukan apapun,

Orang-orang harus berperang untuk kami, lakukan apa yang mereka katakan, dan lindungi kami,

Aku meninggalkan rumah dalam keadaan bergetar (ketakutan),

Aku melangkahi jasad adikku. Aku lihat kakak dan ibuku tewas di tempat tidur,

Aku melihat mereka semua..."

SUMBER

0 komentar: