Al Qur'an merupakan mu'jizat yang kekal dan kemu'jizatannya selalu diperkuat dengan kemajuan ilmu pengetahuan. Muhammad sebagai penerima Al Qur'an menyampaikannya kepada para sahabat yang asli Arab sehingga mereka dapat memahaminya dengan mudah berdasarkan nalurinya. Apabila mereka menemukan ketidakjelasan dalam memahami sebuah ayat, mereka dapat langsung menanyakannya pada Rasulullah.
Ulumul Qur'an merupakan segala informasi dan pembahasan yang berkaitan dengan Al Qur'an. Akan tetapi, ilmu atau informasi tersebut di satu sisi berbeda dengan apa yang dibahas oleh Al Qur'an itu sendiri.
Al Qur'an memiliki beberapa ungkapan tertentu, di mana setiap ungkapan tersebut memiliki tema pembahasan khusus. Ungkapan yang paling penting adalah ungkapan yang menyatakan bahwa Al Qur'an memiliki sifat sebagai ucapan yang memiliki makna tertentu. Tema Al Qur'an yang semacam ini disebut sebagai ilmu tafsir Al Qur'an.[1]
Ilmu tafsir merupakan bagian pengkajian Al Qur'an dilihat dari sisi bahwa ia merupakan kalam yang memiliki makna tertentu. Kemudian ilmu tafsir ini menjelaskan lebih lanjut arti dari makna lafadz serta memberikan rincian akan tanda-tanda dan maksud dari lafadz tersebut. Oleh karena itu, ilmu tafsir merupakan bagian dari Ulumul Quran yang paling penting dan paling dasar dibandingkan dengan Ulumul Qur'an lainnya.[2] Akan tetapi dalam proses penafsiran itu sendiri tidak dapat terlepas dari Ulumul Qur'an yang lain.
Notabene Al Qur'an menurut surat Al Baqarah ayat 2 adalah sebagai petunjuk. Terkait dengan hal ini perlu dipikirkan bahwa jarak antara Al Qur'an turun hingga kini bukanlah waktu yang sangat singkat. Dengan segala keindahan dan kerumitan bahasanya, kalaupun saat itu ia telah ditafsirkan, namun sangat logis jika dilakukan penafsiran-penafsiran baru terhadapnya, mengingat keadaan dunia ketika itu telah berbeda jauh dengan saat ini. Maka dapat dimaklumi jika sampai saat ini telah muncul berbagai macam kitab tafsir dengan metode yang beraneka ragam. Tentunya hal ini tidak terlepas dari Ulumul Qur'an lainnya sebagai alat bantu yang digunakan oleh seorang mufassir dalam menafsirkan sebuah ayat.
ULUMUL QUR'AN
Ulumul Qur'an adalah ilmu yang membahas masalah-masalah yang berhubungan dengan Al Qur'an dari segi asbabun nuzul, pengumpulan dan penertiban Al Qur'an, pengetahuan tentang surah makiyah dan madaniyah, naskh mansukh, muhkam dan mutasyabih dan sebagainya. Nama lain darinya adalah ulumut tafsir, sebab yang dibahas berkaitan dengan beberapa masalah yang harus diketahui oleh mufasir sebagai sandaran dalam menafsirkan Al Qur'an.[3]
Terkait dengan penjelasan mengenai Ulumul Qur'an yang kedua di atas, Imam Al Suyuthiy menyebutkan lima belas macam ilmu yang harus dikuasai oleh seorang mufasir, yaitu: (1) al lughah, (2) nahwu, (3) sharaf, (4) al istiqaq, (5) al ma'any, (6) al bayan, (7) al badi', (8) al qiraah, (9) ushul ad din, (10) ushul fiqh, (11) al fiqh, (12) asbab an nuzul, (13) naskh wa al mansukh, (14) al hadis, (15) mauhabah.[4]
Adapun Hasbi Ashshiddiqey membaginya dalam tujuh hal, antara lain; (1) Lughat Arabiyah, (2) undang-undang bahasa arab, (3) ilmu ma'ani, bayan dan badi', (4) dapat menentukan yang mubham, mujmal, mengetahui naskh mansukh, dan asbabun nuzul, (5) mengetahui ushul fiqh, (6) ilmu kalam (7) ilmu qira'at.[5]
*Sejarah Ulumul Qur'an
Pada masa Rasulullah, umat Islam belum banyak menemui kesulitan mengenai makna Al Qur'an sebab bahasa Al Qur'an belum berbeda jauh dengan bahasa keseharian mereka. Meskipun demikian, jika mereka menemui kesulitan dalam memahami Al Qur,an atau ingin mendapatkan penjelasan yang lebih rinci mengenai Al Qur'an, mereka langsung minta penjelasan kepada Rasulullah.
Ilmu Ulumul Qur'an ketika itu dipelajari dan diriwayatkan secara lisan atau dengan metode pendiktean (talqin) sebagaimana di atas. Tradisi semacam ini berlangsung selama beberapa kurun waktu, yaitu hingga Rasulullah wafat dan setelah Islam menyebar ke beberapa wilayah. Timbulnya suatu kecemasan akan hilangnya ilmu ini menjadi pertimbangan utama munculnya serta dituliskannya Ulumul Qur'an.
Sepeninggal Rasulullah, muncullah ide dari para sahabat untuk mengumpulkan naskah-naskah Al Quran yang masih terpisah-pisah dalam berbagai media tulis. Hal ini merupakan tindak lanjut dari kecemasan akan terjadinya penyimpangan terhadap kemurnian Al Qur'an serta ide akan pentingnya memberikan perhatian khusus terhadapnya. Setelah itu muncullah berbagai aktifitas yang akhirnya tercipta ilmu Ulumul Qur'an dan cabang-cabangnya.demikianlah sejarah munculnya ilmu Ulumul Qur'an yang dipelopori oleh umat Islam generasi pertama.[6]
B. Tafsir
Definisi Tafsir
Secara etimologis, tafsir berarti الإيضاح و التبـيـين yang berarti keterangan dan penjelasan. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
وَلاَ يَأْتـُونَكَ بِمَثـَلٍ إِلاَّ جِئـْنَاكَ بِٱلْحَـقِّ وَأَحْـسـَنَ تـَفْـسِـيراً (الفرقان: 33)
Artinya: “Mereka tidak memberikan suatu contoh (yang buruk) kepada engkau, melainkan Kami berikan pula kebenaran kepada engkau beserta keterangan yang baik”. (QS, Al Furqan: 33)[7]
Adapun secara istilah, tafsir adalah: Ilmu untuk memahami kitab Allah swt, yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. Menjelaskan maknanya serta mengeluarkan hukum-hukum dan hikmahnya.[8]
*Periodisasi Penafsiran Al Qur'an
Menurut Dr. M. Qurash Shihab, M.A., perkembangan penafsiran Al Qur'an dapat dipetakan menjadi tiga periode, yaitu; Periode I, masa Rasul, sahabat, dan permulaan masa tabi'in, di mana tafsir belum tertulis dan secara umum ketika itu tersebar secara lisan. Periode II, bermula dengan kodifikasi Hadis secara resmi pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz (99-101 H). Pada periode ini hadis yang berkembang semakin pesat dan bermunculan hadis palsu serta lemah di tengah masyarakat. Sementara itu perubahan sosial semakin menonjol, maka timbullah beberapa persoalan yang belum pernah terjadi atau dipersoalkan oleh Nabi, para sahabat, maupun para tabi,in. Dan periode III, dimulai dengan penyusunan kitab-kitab tafsir secara khusus dan berdiri sendiri, oleh sementara ahli diduga dimulai oleh Al Farra (w. 207 H) dengan kitabnya yang berjudul Ma'ani Al Qur'an.[9]
Adapun menurut Prof. Dr. Said Agil Husin Al Munawar, M.A., perkambangan tafsir dibagi dalam dua periode, yaitu periode ulama mutaqaddimin, yaitu ulama yang hidup sebelum tahun 300 H. Masa ini dibagi lagi dalam tiga periode;
1. Periode awal Islam (Rasul dan Sahabat) abad I H.
2. Periode tabi'in abad ke-1 H sampai abad ke-2 H.
3. Periode Tabi'in abad ke-2 H sampai abad ke-3 H.
Pada periode ini sumber penafsiran diperoleh dari penafsiran Rasulullah, penafsiran para sahabat dan tabi'in yang dikelompokkan dalam tafsir bi al ma'tsur.
Periode kedua adalah periode ulama mutaakharin, yaitu para ulama yang hidup sesudah tahun 300 H (abad ke-4 H sampai abad ke-12 H). mulai dari masa ini penafsiran tidak hanya menggunakan tafsir bi al ra'yi namun telah berkembang lebih jauh dengan metode kondisional.
Terdapat perbedaan yang sangat mendasar antara tafsir pada masa ulama mutaqaddimin dan tafsir pada abad selanjutnya. Penafsiran pada masa ulama mutaqaddimin senantiasa berpijak dan mengacu pada inti kandungan Al Qur'an itu sendiri. Jika ketika Rasul masih hidup mereka menanyakan tentang makna ayat yang kurang jelas langsung kepada Rasul. Dan setelah Rasul wafat, mereka mengetahuinya dengan cara ijtihad. Pada masa ini mereka belum menaruh perhatian pada segi nahwu dan I'rab. Mengenai lafadz Al Qur'an, susunan kalimat, majaz, I'jaz, ithnab, taqdim, ta'khir, washal dan qatha', serta nida dan istna pun belum mereka kaji secara khusus.
Kondisi di atas berubah pada periode mutaakharin yang disebabkan oleh semakin bertambah meluasnya rasa kebahasaan. Mereka merasa berkewajiban untuk berupaya menjelaskan makna-makna Al Qur'an dengan menggunakan cabang-cabang ilmu tafsir, yaitu nahwu, sharaf, balaghah dan sebagainya. Hal ini menurut mereka disebabkan oleh akibat dari interaksi antara orang Arab dan non –Arab, berubahnya dialek-dialek Arab yang shahih dan melemahnya dzauq Arab untuk menangkap makna-makna Al Qur'an sebagaimana dicapai pada masa mutaqaddimin.[10]
*Metode Tafsir Al Qur'an
Sejarah perkambangan tafsir dapat dilihat pula dari segi metode penafsiran, antara lain;
a. Metode Tahlili.
Metode penafsiran ini dilakukan dengan mengkaji ayat-ayat Al Qur'an dari segala segi dan maknanya, ayat demi ayat dan surat demi surat sesuai dengan urutannya dalam mushaf. Kajian yang dilakukan dalam metode ini adalah mengenai kosakata dan lafadz, menjelaskan arti yang dikehendaki, sasaran yang dituju dan kandungan ayat, menjelaskan apa yang dapat diistinbathkan dari ayat serta mengemukakan kaitan antara ayat-ayat dan relevansinya dengan surat sebelum dan sesudahnya. Oleh karena itu dalam hal ini mufassir merujuk pada asbabun nuzul, hadis Rasul dan riwayat dari sahabat dan para tabi'in.
Para ulama membagi metode tafsir ini dalam lima kategori, yaitu;
1. Tafsir Sufi.
Yaitu penafsiran yang dilakukan oleh para sufi, pada umumnya dipenuhi dengan ungkapan-ungkapan mistik. Kitab-kitab tersebut hanya dipahami oleh golongan mereka ataupun orang yang memang telah mendalami ajaran mereka.
2. Tafsir Fiqh.
Merupakan penafsiran yang dilakukan oleh pemimpin mazhab untuk dijadikan dalil atas kebenaran mazhabnya.
3. Tafsir Falsafi
Penafsiaran yang dilakukan dengan dasar teori-teori filsafat.
4. Tafsir Ilmi.
Merupakan penafsiran ayat-ayat kauniah yang terdapat dalam Al Quran serta mengaitkannya dengan ilmu-ilmu modern.
5. Tafsir Adabi.
Penafsiran yang dilakukan dengan mengungkapakan segi balaghah Al Qur'an dan kemu'jizatannya, menjelaskan makna dan sasaran-sasaran yang dituju Al Qur'an, mengungkapkan hukum-hukum alam, serta tatanan masyarakat yang ada di dalamnya.
b. Metode Ijmali.
Pada metode ini seorang mufassir menerangkan ayat dengan singkat dan global, hanya sebatas makna tanpa menyinggung hal-hal lain selain arti yang dikehendaki. Al Qur'an ditafsirkan dengan lafadz Al Qur'an sehingga memberikan kesan pada pembaca bahwa makna tersebut tidak jauh dari konteksnya. Sesekali dimunculkan asbabun nuzul, hadis yang terkait dengannya maupun pendapat para ulama.
c. Metode Muqaran.
Penafsiran metode ini dilakukan dengan cara mengambil sejumlah ayat Al Qur'an kemudian mengemukakan penafsiran para mufassir, mengungkapakan pendapat mereka, serta membandingkan segi-segi yang berbeda dalam menafsirkan serta kecenderungan ilmu yang mereka kuasai.
d. Metode Maudlu'i.
Meskipun setiap mufassir memiliki metode yang berbeda-beda, akan tetapi secara umum dapat diamati bahwa sejak periode ke tiga dari penulis kitab-kitab tafsir sampai tahun 1960, para mufassir menafsirkan Al qur'an secara ayat demi ayat, sesuai dengan susunannya dalam mushaf. Penafsiran semacam ini dapat menjadikan petunjuk-petujuk Al Qur'an terpisah-pisah serta tidak disuguhkan secara menyeluruh.
Menurut Al Syatibi (w 1388M), setiap surat, meskipun masalah yang dikemukakan berbeda-beda, namun ada satu sentral yang mengikatkan masalah-masalah tersebut. Pada bulan januari 1960, Syaikh Mahmud Syaltut menyusun kitab tafsirnya dalam bentuk penerapan ide yang dikemukakan oleh Al Syatibi di atas. Dia membahas surat-demi surat atau bagian tertentu dalam surat, kemudian mengaitkannya dengan tema sentral dalam surat tersebut. Metode ini kemudian dikenal dengan metode maudlu'i.
Mengingat permasalahan yang sama dalam Al qur'an tidak saja dibahas dalam satu surat saja, maka muncullah ide untuk mengumpulkan semua ayat Al Qur'an yang membicarakan tentang masalah tertentu kemudian dikaitkan antara satu dan yang lainnya kemudian ditafsirkan secara utuh dan menyeluruh.[11]
e. Metode Tafsir Bi Al Ma'tsur.
Merupakan penafsiran Al qur'an terhadap sebagian ayat sebagai penjelasan dan yang diriwayatkan dari Rasul, sahabat, maupun tabi'in untuk menjelaskan maksud-maksud dari Al Qur'an itu sendiri. Dengan demikian metode penafsiran ini muncul sejak zaman Rasulullah.
Banyak kalangan yang berpendapat bahwa tafsir bi al ma'tsur banyak mengikat atau membatasi ayat-ayat. Metode ini tidak membahas kesulitan bahasa dan terminologi serta tidak membahas masalah yang terkait dengan problematika kehidupan. Sebaliknya, hadis-hadis Nabi sangat menentukan di dalamnya. Akan tetapi hal ini tidak menjamin bahwa metode bil ma'sur yang paling dekat dengan pesan Al Qur'an yang sebenarnya, sebab ditemukan pula kitab tafsir bi al ma'tsur yang memuat hadis dhaif, bahkan sangat rendah sekali. Tafsir bi al ma'tsur butuh relavansi dan kajian ulang.[12]
Di samping itu ada beberapa kelemahan lagi dari tafsir bi al ma'tsur ini, antara lain;
1. Banyak riwayat yang disiapkan oleh musuh Islam.
2. Bercampurnya antara riwayat yang sahih dan yang tidak
3.Adanya riwayat-riwayat israiliyyat yang mengandung dongeng dan tidak dapat dibuktikan kebenarannya.
4.Masuknya orang zindik dan agama lain yang tidak dapat meninggalkan budaya aslinya dengan motifasi tertentu.
5.Perpecahan karena politik yang menimbulkan penafsiran ayat-ayat tertentu demi golongan.
6.Fanatik kemazhaban menyebabkan setiap golongan berusaha mendukung mazhabnya dengan memalsukan hadis.[13]
f. Metode Tafsir bi al Ra'yi.
Merupakan tafsir ayat-ayat Al Qur'an yang berdasarkan ijtihad mufassirnya dan menjadikan akal pikirannya sebagai pendekatan utama. Metode ini dipelopori oleh Syaih Rasyid Ridha yang penulis anggap mewakili sebagai perkembangan penafsiran kotemporer.
Yang menjadi persoalan klasik adalah pelarangan terhadap penggunaan metode ini. Hal ini dapat dibenarkan jika terkait dengan masalah ubudiah yang tidak mungkin ada perubahan. Namun hal itu tidak dapat dibenarkan jika terkait dengan persoalan kehidupan yang sifatnya dinamis dan dibutuhkan jawaban untuk masalah-masalah tertentu yang sifatnya baru.[14]
Al Qur'an akan berlaku sepanjang masa, oleh karena itu memerlukan interpretasi dan reinterpretasi secara terus-menerus mengkuti perkembangan zaman. Sebagai hasil karya manusia, keanekaragaman penafsiran adalah hal yang tak terhindarkan. Berbagai faktor yang menyebabkan keanekaragaman itu adalah perbedaan kecenderungan, interes dan motivasi mufassir, perbedaan misi yang diemban, perbedaan kedalaman dan ragam ilmu yang dikuasai, serta situasi dan kondisi yang dihadapi.[15]
KESIMPULAN
Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa perubahan yang mencolok dari perkembangan penafsiran Al Qur'an adalah antara metode penafsiran bi al ma'tsur dengan bi al ra'yi. Meskipun dalam perkambangan tersebut Ulumul Qur'an juga berperan, akan tetapi yang lebih mempengaruhinya adalah perubahan zaman.
Dengan memperhatikan adanya kelemahan-kelemahan dari beberapa metode tersebut dapat diketahui bahwa masih ada celah bagi orang maupun golongan tertentu untuk memanfaatkan penafsiran Al Qur'an sesuai dengan kehendak pribadi atau golongan.
[1] Muhammad Baqir Hakim, Ulumul Qur'an, Jakarta : Al Huda, 2006, hlm. 7
[2] Ibid.
[4]Umar Shihab, Kontekstualitas Al Qur'an: Kajian Tematik Atas Ayat-ayat Hukum dalam Al Qur'an, Jakarta: Penamadani, 2005, hlm. 5
[5] T. M. Hasbi Ash Shiddiqey, Sejarah Dan Pengantar Ilmu Al Qur'an, Jakarta: Bulan bintang, 1990, hlm. 192-193
[6][6] Muhammad Baqir Hakim, ibid, hlm. 9-11
[7] Departemen Agama RI, Al Qur'an dan Terjemahnya, Semarang : CV.Toha Putra, 1985. hlm.
[8] Imam Az Zarkasyi, Al Burhan Fi Ulumil Qur'an, hlm. 13
[9] Dr. M Quraish Shihab M.A., Membumikan Al Qur'an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, 1994, hlm. 73
[10] Prof. Dr. H. Said Agil Husin Al Munawar, M.A., Al Qur'an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, Jakarta: Ciputat Pres, 2002, hlm. 62-64
[11]Dr. M. Quraish Shihab, M.A., ibid., hlm. 73-74
[12] Syaikh Muhammad Al Gazali, Berdialog Dengn Al Qur'an, Bandung: Mizan, 1997, hlm. 247-248
[13] Prof. Dr. H. Said Agil Husin Al Munawar, M.A., ibid. hlm. 70-82
[14] Syaikh Muhammad Al Gazali, ibid, hlm. 245-246
[15] Prof. Dr. H. Said Agil Husin Al Munawar, Ibid. hlm.78- 79
0 komentar:
Posting Komentar