Ketika membaca buku Syarah Arba’in An Nawawiyah, saya mendapatkan beberapa penjelasan menarik dari Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin terhadap hadits yang berbunyi,
“Sesungguhnya salah seorang dari kalian benar-benar beramal dengan amalan ahli surga, sehingga jarak antara dirinya dengan surga hanya satu hasta, lalu dia didahului oleh catatan takdirnya, sehingga dia beramal dengan amalan ahli neraka, sehingga dia memasukinya.
Dan salah seorang di antara kalian benar-benar beramal dengan amalan ahli neraka, hingga jarak antara dirinya dengan neraka hanya sehasta, lalu dia didahului oleh catatan takdirnya, sehingga dia beramal dengan amalan ahli surga hingga dia memasukinya.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)
Dan salah seorang di antara kalian benar-benar beramal dengan amalan ahli neraka, hingga jarak antara dirinya dengan neraka hanya sehasta, lalu dia didahului oleh catatan takdirnya, sehingga dia beramal dengan amalan ahli surga hingga dia memasukinya.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)
Mungkin sebagian kita bertanya,
“Bagaimana mungkin seseorang yang selama ini telah beramal dengan amalan ahli neraka bisa masuk surga?”
“Bagaimana mungkin seseorang yang selama ini telah beramal dengan amalan ahli neraka bisa masuk surga?”
Inilah hikmah dari Allah subhanallah. Syaikh menjelaskan bahwa hadits ini menunjukkan bahwa seorang manusia tidak sepantasnya berputus asa, karena bisa jadi seseorang melakukan kemaksiatan dalam waktu yang lama kemudian Allah memberikan hidayah kepadanya, sehingga ia bisa mendapatkan petunjuk di akhir hayatnya.
Jadi jangan merasa pesimis. Bertaubatlah dan jalankan ketaatan kepada Allah meski sebelumnya kemaksiatan telah menggerogoti hidup Anda. Semoga dengan demikian Allah akan memberikan husnul khatimah (akhir yang baik) bagi kehidupan kita.
Sebaliknya, bagaimana mungkin seseorang yang selama ini telah beramal dengan amalan ahli surga tapi kemudian di masuk neraka?
Syaikh Ibnu Utsaimin menjawab,
“Dia beramal dengan amalan surga dalam hal-hal yang nampak di hadapan manusia, akan tetapi pada hakekatnya ia memiliki maksud yang busuk dan niatan yang rusak. Lalu niatan yang rusak itu mendominasi dirinya, sehingga ia meninggal dalam keadaan su’ul khatimah (kesudahan yang jelek).”
Naudzubillahi mindzalik. Amalan kita yang menilainya adalah Allah, bukan manusia. Sehingga memang diperlukan perjuangan yang cukup berat untuk mengikhlaskan niat bagi amalan kita sehingga amalan yang kita lakukan tidak hanya terlihat sebagai “amalan surga” di hadapan manusia, akan tetapi juga merupakan amalan surga yang hakiki di dalam pandangan Allah subhanahu wata’ala.
Semoga Allah ta’ala membimbing kita untuk senantiasa bertaubat serta mengikhlaskan niat kita hanya untuk-Nya. Semoga Allah ta’ala memberikan husnul khatimah, akhir yang baik bagi kehidupan kita.
Oleh: Wira Mandiri Bachrun
sumber: http://wirabachrun.wordpress.com
0 komentar:
Posting Komentar