HUKUM MEMAKAI TEKNOLOGI
PEMILIHAN JENIS KELAMIN BAGI ANAK
A. Pendahuluan
Manusia adalah makhluk yang unik. Manusia memiliki akal, budi, rasa, karsa, dan daya cipta yang digunakan untuk memahami eksistensinya, dari mana sesungguhnya ia berasal, di mana berada dan ke mana akan pergi. Eksistensi manusia senantiasa diliputi dengan rasa keingintahuannya yang besar. Pertanyaan-pertanyaan selalu muncul, dan jawaban selalu ditemukan, tetapi pertanyaan tersebut belum pernah berhasil dijawab secara tuntas dan memuaskannya. Manusia tetap saja diliputi ketidaktahuan. Demikianlah sesungguhnya manusia, siapa saja, eksis dalam suasana yang diliputi dengan pertanyaan-pertanyaan.
Berdasarkan rasa, karsa, dan daya cipta yang dimilikinya manusia mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi ( IPTEK ). Namun, pada perkembangan tenologi yang luar biasa menyebabkan manusia lupa diri. Manusia menjadi begitu individual, egois dan eksplo
itatif, baik terhadap diri sendiri, sesamanya, masyarakatnya, alam lingkungannya, bahkan terhadap Tuhan Sang Pencipta.
Syari’i Maha Tahu dengan karakter dan keadaan ini. Dengan ke-Rahman Rahimannya Dia menurunkan ajaran dalam bentuk pranata hukum di tengah-tengah akselerasi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi ini. Misi yang dibawanya adalah untuk meluruskan jalan dan menempatkan fungsinya bagi hidup dan keseimbangan kehidupan dunia dan akherat.
Salah satu bidang IPTEK yang berkembang pesat dewasa ini adalah teknologi reproduksi. Cabang ilmu ini mengalami perkembangan pesat dan secara dinamis melahirkan paradigma baru dalam dunia ilmu pengetahuan.
Sejarah telah membuktikan; teknologi telah merubah wajah peradaban, yakni dimulai dari diterapkannya inseminasi buatan, super ovulasi, aplikasi bayi tabung, cloning, bahkan sampai pada dataran pemilihan jenis kelamin yang akhir-akhir ini mengalami perkembangan yang cukup pesat.
B. Faktor Yang Mempengaruhi Munculnya Teknologi Pemilihan Jenis Kelamin
Adanya pemilihan jenis kelamin didasarkan pada beberapa faktor yaitu:
1. Adanya kemungkinan pemilihan jenis kelamin.
Terkait dengan pemilihan jenis kelamin, dalam pandangan Harun Yahya, Al-Quran telah memberikan petunjuk terhadap kemungkinannya. Sebagaimana di sebutkan dalam firman Allah:
وانه خلق الزوجين الذكر والانثي, من نطفة اذا تمني
“Dan bahwasanya dialah yang menciptakan berpasang-pasangan pria dan wanita, Dari air mani, apabila dipancarkan”. (Q.S. An-Najm ( 53 ) : 45-46)
Ayat tersebut memberikan gambaran bahwa pembentukan manusia dalam hal jenis kelamin itu ditentukan oleh sperma laki-laki. Namun, kita baru mengetahui hal tersebut setelah ada perkembangan genetika abad 20 ini. Teknologi pemilihan jenis kelamin ini dimulai dengan ditemukannya sistem kromosom yang terdapat dalam sistem tubuh manusia.
Dalam tubuh manusia mengandung 46 kromosom, 44 autosom (22 pasang) dan 2 kromosom kelamin (satu pasang). Seorang laki-laki memiliki 22 pasang autosom 1 kromosom x dan 1 kromosom y, maka formula kromosomnya adalah 22AAXY. Sedangkan pada wanita memiliki 22 pasang autosom dan satu pasang kromosom x, sehingga formulasi kromosomnya adalah 22AAXX.
Dalam proses pertumbuhan janin, jenis kelamin bayi ditentukan oleh kromosom yang ada pada sperma laki-laki. Jika kromosom x pada laki-laki bertemu dengan kromosom x pada perempuan maka hasilnya adalah anak perempuan. Namun, jika kromosom y pada laki-laki bertemu dengan kromosom x pada perempuan maka anak yang lahir adalah laki-laki. Penelitian inilah yang kemudian menjadi dasar revolusi tekhnologi sistem reproduksi manusia.
2. Faktor Kebutuhan
Ilmu pengetahuan dan teknologi pada dasarnya merupakan produk cipta, rasa dan karsa atau pemikiran manusia. Banyak variabel yang melatar belakangi terciptanya suatu temuan ilmu pengetahuan atau teknologi, diantaranya, secara sosiologis, penciptaan ilmu pengetahuan dan teknologi didorong dalam rangka memfasilitasi dan mendukung segala kebutuhuhan dan keinginan manusia (to comfort of human live), tidak terkecuali pada kasus ditemukanya ilmu pengetahuan dan teknologi pemilihan jenis kelamin anak.
Diantara kebutuhan manusia yang memberikan alasan atau sandaran bagi dilakukannya upaya-upaya penemuan ilmu pengetahuan pemilihan jenis kelamin ini adalah :
a. Adanya kebutuhan ketenangan batin
Salah satu karakteristik manusia adalah tidak adanya rasa puas terhadap suatu keadaan atau dengan segala yang dimilikinya, termasuk dalam kepemilikan anak. Banyak orangtua yang tidak puas jika anak yang dimilikinya belum lengkap jenis kelaminnya (laki-laki dan perempuan).
Munajat Nabi Zakaria (Q.S. Maryam: 5) kepada Allah, yang sangat menginginkan anak laki-laki sebagai penerus kenabiannya, menggambarkan keresahan batin yang dimiliki seseorang karena tidak memiliki anak yang berjenis kelamin sebagaimana yang diharapkannya.
Di tinjau dari segi maqasid as-syari’ah keinginan Nabi Zakaria tersebut termasuk pada kategori hifzu ad-dinn. Karena keinginan Nabi Zakaria tersebut mempunyai tujuan untuk menjaga agama Allah. Selain itu, jika manusia memiliki keturunan seperti apa yang ia inginkan maka ia akan merasa lebih bahagia karena memiliki anak dengan jenis kelamin yang seimbang yang akan lebih menyempurnakan kebahagiaan keluarganya.
b. Kebutuhan sosial
Adat sebagai kebudayaan dan masyarakat Indonesia tidak bisa dipisahkan. Adat memegang peranan yang cukup signifikan dalam menentukan kehidupan manusia di dunia terutama pada masyarakat yang sangat kental dengan warisan nenek moyang.
Hukum adat, pada suatu masyarakat tertentu, memberikan implikasi yang cukup kuat dalam kehidupan masyarakat, sehingga pemenuhan terhadap ketentuan-ketentuan adat dapat dianggap sebagai hal yang primer. Pada masyarakat Batak contohnya, mereka sangat kental memegang teguh jiwa patrilineal. Implikasi ketentuan ini dalam kehidupan masyarakat adalah: setiap keluarga diharapkan memiliki minimal seorang anak laki-laki karena dengan tidak adanya anak laki-laki maka kehormatan keluarga akan terancam. Mereka tidak akan mendapatkan kedudukan yang sama dalam masyarakat. Begitupun pada masyarakat matrilineal, seorang wanita merupakan penerus garis keturunan adat, jika pada sebuah keluarga tidak memiliki seorang anak perempuan maka garis keturunan adatnya akan terputus, karena pada masyarakat matrilineal ini, keturunan sebuah keluarga di dasarkan pada garis keturunan dari pihak ibu. Berbeda dengan kondisi di Sulawesi Selatan, masyarakat di
c. Kebutuhan dari segi Medis
Pemilihan jenis kelamin ini sangat membantu pada keluarga yang mempunyai penyakit keturunan, yaitu penyakit Hemofilia. Hemofilia (haemo = darah; philia = menyukai) pengertian Hemofilia secara bebas diartikan adanya pendarahan yang terjadi karena sesuatu sebab dan akan berlangsung lebih lama dari yang normal. (Widjanto, 2004: 18) Hemofilia adalah suatu penyakit keturunan yang mengakibatkan darah seseorang sukar membeku waktu terjadi luka. (Suryo, 1997: 211) Biasanya pada orang normal, darah akan membeku dalam waktu 5-7 menit jika terjadi luka. Akan tetapi pada orang hemofillia, darah akan membeku antara 50 menit sampai 2 jam, sehingga mudah menyebabkan orang meninggal dunia karena kehilangan banyak darah.
Penyakit hemofilia mulai ditemukan pada jaman Leopod, anak laki-laki Ratu
Hemofilia menyebabkan tidak terbentuknya tromboplastin, suatu substansi yang diperlukan untuk pembekuan darah. Disini dapat disimpulkan bahwa, jika penderita hemofilia adalah laki-laki dan ia menikah dengan perempuan normal maka anak yang akan lahir adalah normal baik laki-laki maupun perempuan. Namun anak perempuan tersebut walaupun normal, tetapi ia “carier” (membawa sifat keturunan). Jika ia menikah dengan laki-laki yang hemofilia, maka separoh dari jumlah anak laki-lakinya adalah hemofilia. Dari keterangan di atas maka, teknologi pemilihan jenis kelamin ini merupakan jawaban yang cukup untuk mengatasi penyakit keturunan tersebut. Dapat dikatakan disini jika seseorang mempunyai penyait hemofilia maka ia harus memiliki anak perempuan. Dan untuk lebih menjaga keturunan lagi, anak perempuan tersebut harus menikah dengan laki-laki normal. Karena akan memiliki anak-anak yang normal, dan diusahakan agar anak yang lahir adalah laki-laki agar tidak membawa carier resesif ibunya karena yang bisa membawa karir resesip tersebut adalah anak perempuan. Dalam maqasid asy-syariah hal tersebut masuk dalam kategori hifz an-nafs dan hifzn nasl di mana teknologi menjadi begitu diperlukan guna menjaga jiwa dan keturunan agar tetap terus berkembang tanpa harus terputus dengan adanya penyakit tersebut.
d. Kebutuhan karena keadaan
Kebutuhan ini lebih diarahkan kepada kepentingan menjaga kehormatan baik kehormatan keluarga atau negara. Pada masa perang misalnya, sangat dibutuhkan kekuatan yang lebih untuk menghadapi musuh. Secara lahiriah, anak laki-laki diciptakan lebih kuat dari anak perempuan, maka pada saat-saat tersebut tekhnologi pemilihan jenis kelamin akan menjadi hal yang sangat dibutuhkan. Berbeda dengan keadaan di Negara Cina, keberadaan anak laki-laki begitu dibanggakan sehingga setiap orang menginginkan anak laki-laki. Namun, jika anak laki-laki terlalu banyak akan terjadi ketidakseimbangan pertumbuhan manusia, dalam hal ini teknologi pemilihan jenis kelamin menjadi sesuatu yang dapat memberikan manfaat untuk menjaga keseimbangan pertumbuhan penduduk.
Sebenarnya masih banyak faktor yang bisa memotivasi perkembangan teknologi reproduksi ini. Namun hanya beberapa fakor saja yang bisa digambarkan terhadap pemenuhan kebutuhan manusia ini.
C. Metode Dalam Menentukan Jenis Kelamin
- Metode alamiah
Metode alamiah merupakan metode perencanaan jenis kelamin anak yang paling awal. Dalam metode alamiah dipersyaratkan beberapa syarat:
a. Posisi pada saat berhubungan
Posisi pada saat berhubungan mempunyai peranan yang penting dalam penentuan jenis kelamin anak yang diharapkan. Jika menginginkan anak laki-laki maka vagina harus berada pada posisi yang betul-betul vertical. Posisi yang baik adalah seperti orang yang sedang sujud, suaminya berada di belakang. Sebaliknya, posisi wajar atau berhadapan muka seperti yang biasanya dilakukan pasangan suami istri, kebanyakan adalah perempuan. (Majalah Surya, Minggu, 22 Juni 2003) Dipersyaratkannya posisi coitus pada metode ini untuk mengusahakan agar sperma dapat bertahan lama
b. Waktu berhubungan
Dalam metode alamiah, waktu senggama sangat mempengaruhi penentuan jenis kelamin anak. Waktu senggama ini terkait dengan masa subur wanita. Masa subur adalah masa pelepasan sel telur (ovulasi). Umumnya terjadi pada hari ke 14 sebelum haid. Untuk mengetahui masa subur maka dapat dilakukan pencatatan atau dapat juga dengan mengukur suhu basa tubuh. Jika menginginkan anak laki-laki maka senggama dilakukan pada masa ovulasi, karena rata-rata sel sperma dapat bertahan 24 jam dan sperma y sebagai penentu jenis kelamin laki-laki mempunyai kecepatan yang lebih dibandingkan dengan sperma x sehingga mampu mencapai tuba fallopi lebih dahulu. Jika menginginkan anak perempuan maka senggama dilakukan jauh-jauh hari sebelum masa subur
Metode ini merupakan metode yang pertama kali dikemukakan oleh Hazel Phillips, pengalamannya sebagai putri seorang dokter dari Amerika ketika itu memberikan pengetahuan terhadap perkembangan teknologi pemilihan jenis kelamin. Ketika itu ia mengiginkan anak laki-laki setelah ia memiliki seorang anak perempuan. Ia mempelajari kapan waktu-waktu ia berhubungan dengan suaminya dan menghubungkannya dengan anak yang dilahirkannya, ternyata setelah beberapa kali melahirkan ia dapat menyimpulkan bahwa siklus haid sangat mempengaruhi jenis kelamin anak yang akan lahir. Seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa jika ingin anak laki-laki maka hendaknya berhubungan pada masa ovulasi atau kira-kira dua minggu setelah haid dan jika ingin anak perempuan maka berhubungan pada masa satu minggu sebelum haid dan satu minggu setelah haid. Oleh karena itu metode dengan menggunakan waktu senggama disebut juga metode Hazel ( Hazel Phillips, 1997: 3-8).
c. Makanan yang dikonsumsi
Disamping dua hal diatas, dalam metode alamiah dipersyaratkan juga untuk mengkonsumsi makanan jenis tertentu. Faktor makanan ini dipersyaratkan untuk memberikan kualitas tertentu pada sperma atau ovum.
1. Apabila pasangan suami istri menginginkan anak laki-laki, maka makanan yang dianjurkan untuk dikonsumsi adalah makanan yang banyak mengandung unsur garam, kopi, teh, sari buah, minuman bersoda, mentega bergaram, pudding bebas susu, saus, daging segar atau setengah matang, semua macam ikan, satu buah telur perminggu, semua sayuran dan semua buah-buahan. (Ibid., hlm. 50-51)
2. Apabila pasangan suami istri menginginkan anak perempuan, maka yang harus di konsumsi adalah makanan tidak bergaram, susu, minyak sayur, saus buatan sendiri dan air mineral.
Dengan melihat makanan yang harus dikonsumsi oleh suami istri, sudah jelas bahwa yang harus dikonsumsi adalah makanan yang baik dan halal. Baik menurut kesehatan dan halal menurut ketentuan agama Islam (bukan termasuk makanan yang diharamkan)
Dengan melihat makanan yang harus dikonsumsi oleh suami istri, sudah jelas bahwa yang harus dikonsumsi adalah makanan yang baik dan halal. Baik menurut kesehatan dan halal menurut ketentuan agama Islam (bukan termasuk makanan yang diharamkan)
- Metode non alamiah ( Modern )
Metode non alamiah adalah metode pemilihan jenis kelamin anak yang menggunakan peralatan modern. Perbedaannya dengan metode alamiah terletak pada penggunaan alat-alat modern dan proses pemisahan kromosom.
Metode non alamiah ini meliputi metode-metode yang dibangun oleh para pakar teknologi yang terinspirasi sejak di temukannya kromosom jenis kelamin oleh Johan Hamm pada tahun 1677, yang kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Lazzaro Spallazani dengan ditemukannya teknologi penyaringan mani pada tahun 1784 yang memberikan kemungkinan untuk melakukan pemisahan spermatozoa. Penemuan ini pada mulanya dilakukan kepada anjing untuk membuat anjing betina hamil. Percobaan inilah yang menjadi dasar dalam bidang inseminasi buatan pada periode berikutnya. (Suryo, 1997: 65-66) Ditemukanya teknologi inseminasi buatan memiliki pengaruh yang sangat besar dalam teknologi perencanaan jenis kelamin anak.
D. Inseminasi Buatan
Inseminasi buatan menurut Dr Sofwan Dahlan adalah suatu cara memasukkan sperma ke dalam alat kelamin seorang wanita tanpa melalui senggama. Mula-mula sperma dikeluarkan terlebih dahulu dengan cara masturbasi atau dengan senggama terputus. Kemudian dengan bantuan suatu alat, sperma tersebut kemudian dimasukkan ke dalam vagina atau uterus. Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa inseminasi buatan adalah proses memasukkan sperma ke dalam alat kelamin perempuan tanpa persetubuhan dengan menggunakan peralatan kedokteran.
Untuk pelaksanaan inseminasi ini, terdapat persyaratan–persyaratan yang harus dipenuhi oleh pasangan suami istri, yaitu (Taufik Jamaan, 2002: 25) :
1. Merupakan pasangan suami isti dari perkawinan yang sah;
2. Usia sang istri < 45 tahun
3. Sudah mendapatkan penjelasan dari tim konseling mengenai prosedur, biaya, dan kemungkinan komplikasi kehamilan.
4. Pasangan suami istri telah menandatangani formulir informasi konsent sebelum memulai program.
Persyaratan-persyaratan tersebut merupakan inti pokok sebelum melaksanakan proses inseminasi. Karena tanpa memenuhi persyaratan tersebut maka proses inseminasi buatan tidak dapat dilaksanakan. Adapun teknik-teknik yang digunakan dalam inseminasi buatan adalah :
1. Intra vagina, yaitu sperma langsung dimasukkan ke dalam vagina sang istri. Dalam teknik ini, sang istri diminta berbaring terlentang selama 30-60 menit setelah inseminasi.
2. Para-servikal, yaitu sperma diarahkan langsung ke mulut rahim dengan alat servikal cup. Selesai inseminasi istri tidak perlu berbaring. Cukup beristirahat agar alat tidak lepas. Setelah 2-4 jam alat dapat dilepas.
3. Intra –Servikal , yaitu sperma dapat langsung dimasukkan ke dalam mulut rahim dengan bantuan alat khusus.
4. Intra- Uterin, yaitu sperma langsung dimasukkan ke dalam rongga rahim.
5. Intra –Tubal teknik inseminasi ini banyak diterapkan pada ART (assisted reproduction technique) atau teknik reproduksi bantu. Misalnya sel sperma dan sel telur dikeluarkan kemudian ditaruh di dalam tabung kaca sampai terjadi pembuahan dan menghasilkan embrio. Embrio ini kemudian dimasukkan ke dalam rahim. Teknik semacam ini sering di sebut dengan teknik in vitro (bayi tabung).
E. Pemilihan Jenis Kelamin
1. Proses pemilihan jenis kelamin anak
Proses pemilihan jenis kelamin ini terdiri dari dua tahap :
i. Tahap pemisahan sperma
ii.Tahap Inseminasi
a.Tahap pemisahan Sperma
Pada tahap pemisahan sperma, sperma yang telah dikeluarkan oleh suami akan dipisahkan antara sperma x dan sperma y tergantung pada orang tua yang menginginkan anak dengan jenis kelamin yang mana, laki-laki atau perempuan. Pengeluaran sperma bisa dilakukan dengan berbagai cara :
1. Dengan cara istimna’ (onani ).
2. Dengan cara ‘azal (coitus interuptus, senggama terputus )
3. Dengan cara diisap langsung dari testis dengan alat.
4. Dengan cara jima’ dengan memakai kondom.
Dari beberapa cara tersebut yang terbaik adalah dengan cara onani. (Saheb Tohar: 9)
Sperma yang sudah keluar ditampung di dalam sebuah cangkir steril dan kering dan secepat mungkin dipisahkan antara sperma x dan sperma y. Setelah terpisah, sperma terpilih kemudian dimasukkan ke dalam vagina.
Dalam hukum Islam, upaya untuk memisahkan unsur kromosom yang terdapat dalam sperma tidak diatur dalam al-Qur’an dan hadis. Sekalipun demikian, al-Quran dan Sunnah telah memberikan landasan yang kuat bagi ditemukannya hukum pemisahan sperma ini.
Dari paparan sebelumnya dapat dilihat bahwa ditemukannya ilmu pengetahuan dan teknologi yang terkait dengan pemilihan jenis kelamin ini diarahkan bagi tercapainya kemaslahatan manusia (li maslahat al basyari dunyahum wa ukhrahum).
Berdasarkan adanya kebutuhan manusia terhadap pemanfaatan teknologi pemilihan jenis kelamin ini maka pemanfaatan teknologi pemilihan jenis kelamin adalah merupakan suatu kemaslahatan. Pemanfaatan teknologi pemilihan jenis kelamin diarahkan untuk mencapai tujuan syari’ah (maqasid syari’ah), baik dalam rangka menyempurnakan kebutuhan yang dharuriyah, hajjiyah maupun tahsiniyah. Terhadap kebutuhan yang dharuriyah, teknologi pemilihan jenis kelamin ini dapat membantu manusia dalam menghindari penyakit keturunan (hemofillia) seperti yang telah di jelaskan atas. Terhadap kebutuhan hajjiyah teknologi ini bisa dimanfaatkan untuk memenuhi tuntutan masyarakat untuk mendapatkan keturunan dengan jenis kelamin tertentu. Terutama pada masyarakat patrilineal dan matrilineal. Terhadap kebutuhan tahsiniyah tekhologi pemilihan jenis kelamin ini bisa lebih membahagiakan keluarga dan lebih menjaga keseimbangan jumlah laki-laki dan perempuan.
Dengan dasar kemaslahatan tersebut di atas, maka pada hakikatnya pemanfaatan teknologi pemilihan jenis kelamin yang diarahkan dan didayagunakan untuk mencapai kemaslahatan manusia, baik dhoruri, tahsini maupun hajiiyi tidak bertentangan dengan dasar-dasar yang telah ditentukan nas.
Dalam pandangan penulis, pendayagunaan teknologi ini merupakan hasil terapan dan implikasi lebih lanjut dari firman Allah
...يخلق ما يشاء,يهب لمن يشاء اناثا ويهب لمن يشاء الذكوراويزوجهم ذكرانا واناثا ويجعل من يشاء عقيما
Dia menciptakan apa yang dia kehendaki. dia memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang dia kehendaki dan memberikan anak-anak lelaki kepada siapa yang dia kehendaki. Atau dia menganugerahkan kedua jenis laki-laki dan perempuan (kepada siapa) yang dikehendaki-Nya, dan dia menjadikan mandul siapa yang dia kehendaki. (Q.S. Assyuraa (54 ) : 49-50)
Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwasanya Allah telah memberikan petunjuk tersembunyi yang akan diketahui manusia. Inti dari ayat ini adalah memungkinkan manusia untuk mengatur dalam usaha memperoleh anak laki laki maupun anak perempuan.
“ Dia (Allah Swt) memberi orang yang ingin bayi perempuan, dan memberi siapa yang ingin bayi laki-laki atau memberikan sepasang (lelaki dan perempuan) dan menjadikan siapa yang ingin mandul…”
Dengan kesimpulan tersebut dengan alasan:
1. Bahwa Majlis dalam menterjemah ayat 49-50 pada surat Asy-Syura menggunakan sandaran kalimat “ yasya’ ” (berkehendak) tidak dikaitkan dengan Allah Swt akan tetapi dikaitkan dengan yang berkeinginan sendiri.
2. Di dalam ilmu Nahwu, ada yang disebut “damirr mustatir” (tersembunyi) dan hal ini, sama dengan kalimat sebelumnya secara langsung, yakni ;
يخلق ما يشاء…
(yakhluqu ma yasya'u) artinya “ Dia (Allah) meciptakan apa yang dikehendakiNya. Di sini juga damirr dari ism mausul nya tidak tampak (tersembunyi). Jika kata-kata ‘inats” dan “zukur” dimaksudkan sebagai maf’ul dari kata kerja “naj’alu” dan “aqiman” sebagai maf’ul keduanya, maka dimanakah maf’ul dari kata kerja “yasya’u “.
3. Jika damir mustatir pada kata kerja yasyaau dikembalikan kepada Allah maka tidak ada damir yang dikembalikan pada “man” dan ini menyalalahi kaidah. Padahal “damir” tetap ada, yaitu obyek dari ”yasya'u” yang ditakdirkan (dikira-kirakan). Hal ini dimungkinkan, karena ”yasyaau” itu adalah kata kerja transitif berobyek satu. Dan obyek ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kalimat yang menjadi shilah “maa”. Dengan demikian, maka “inatsan” dan ”zukuran” adalah obyek dari “yahabu’ bukan yasyaau. Demikian pula “aqiman” merupakan obyek dari “yaj’alu” bukan yasyau.
Pemahaman ayat di atas cukup memberikan gambaran bahwa manusia mempunyai ikhtiar dalam menentukan jenis kelamin anak yang dikehendakinya.
Namun, diantara segala kemaslahatan yang dimiliki oleh teknologi ini tentunya ada kemafsadatan yang itu menjadi batasan diperbolehkannya penerapan teknologi pemilihan jenis kelamin tersebut.
Pemilahan kemaslahatan dan kemafsadatan lebih terukur pada niat pemanfaatan teknologi tersebut. Dengan niat ini semua ketentuan yang terdapat dalam dunia ini bisa berubah sesuai dengan kaidah: al umuru bimaqasidiha.
Segala sesuatu tergantung dari niat dan tujuannya. Penggunaan teknologi pemilihan jenis kelamin ini akan menjadi sesuatu yang madharat manakala niat orang tua yang menginginkan anak dengan jenis kelamin tertentu tersebut didasari oleh kebanciannya terhadap jenis kelamin yang lain. Contohnya jika orang tua mengingingkan anak laki-laki untuk dijadikan penerus tahta keluarga, tetapi niat orang tua tersebut karena ia sangat membenci anak perempuan dan tidak menginginkan anak perempuan sehingga tahta keluarga dijadikan tameng untuk melaksanakan niatnya. Maka hal ini menjadi haram penggunaannya terhadap teknologi pemilihan jenis kelamin ini.
Disamping niat, pembatasan kebolehan pemanfaatan teknologi pemilihan jenis kelamin ini juga diperbolehkan sepajang pemanfaatan tersebut tidak membahayakan diri sendiri maupun orang lain sesuai dengan qaidah ushuliyah :
لا ضرر ولا ضرار
“Tidak membahayakan diri sendiri dan membahayakan orang la”in (Ibn Majah II : 784., Hadis no 2340)
Untuk mengantisipasi kemadharatan ini maka diupayakan dalam prakteknya, proses pemilihan jenis kelamin ini dilaksanakan oleh tim dokter yang memiliki kualifikasi untuk melakukannya.
2. Proses Inseminasi
Proses pemilihan jenis kelamin anak dilakukan dengan menggunakan bantuan tekhnologi inseminasi yakni upaya memasukkan sperma laki-laki ke dalam kandungan secara buatan tanpa melalui hubungan kelamin secara alami. (Ali Akbar, 1986: 60)
Terkait dengan pemanfaatan tekhnologi inseminasi terdapat beberapa pandangan ulama, antara lain (Ali Ghufron dan Adi Heru, 1993: 20-21):
a. Syekh Mahmoud Syalthout (Mantan Rektor Universitas Al-Azhar )
Menurut hukum syara’ apabila proses bayi tabung itu dilakukan dengan menggunakan air mani suaminya sendiri, maka hal itu sudah sesuai dengan hukum dan dibenarkan oleh syara’ dan dipandang sebagai cara yang sah untuk mendapatkan anak yang sah. Tetapi, apabila bayi tabung berasal dari sperma laki-laki lain yang tidak ada hubungan perkawinan, beliau menyatakan bahwa inseminasi seperti ini dalam syari’at Islam adalah perbuatan mungkar dan dosa besar. Perbuatan tersebut dapat dikategorikan sebagai perbuatan zina.
b. Zakaria Ahmad Al-Bari
Inseminasi buatan itu boleh menurut hukum syara’ jika dilakukan dengan sperma suami. Tindakan tersebut dibenarkan dan dibolehkan oleh syara’ dan tidak menimbulkan dosa atau noda.
c. Syekh Yusuf Al-Qardhawi
Apabila inseminasi buatan yang dilakukan itu bukan dari air mani suami sendiri, maka tidak diragukan lagi bahwa hal tersebut adalah kejahatan yang sangat buruk.
d. Majelis Pertimbangan Kesehatan dan Syara’ (MPKS) Depkes.
Permanian buatan dengan dengan mani suami sendiri tidak dilarang. Jadi, kebanyakan ulama dapat menerima inseminasi buatan dengan sperma dari suami sendiri dan menolak (mengharamkan) inseminasi buatan dengan menggunakan sperma donor.
3. Status Anak Hasil Inseminasi Buatan
a. Inseminasi buatan dengan sperma suami sendiri
Inseminasi Buatan dengan sperma suami sendiri tidak menimbulkan masalah, nasab anak tersebut dinisbatkan kepada yang empunya sperma. Jadi, kedudukan anak tersebut sah menurut syari’at Islam, termasuk ia juga berhak mendapat hak waris tanpa dibedakan dengan anak yang lahir secara alamiah. Sebagaimana yang dipaparkan oleh Syekh Hasanain Muhammad Mahluf “… Maka cara seperti itu (inseminasi buatan dengan sperma suami sendiri) diperbolehkan, dan anak yang lahir itu mempunyai keturunan (nasab) dari ayahnya dan mendapat hak waris seperti anak yang lahir dengan proses biasa. Sperma yang sampai ke rahim ibu tanpa melalui jima’ sama seperti yang dilakukan melalui jima’ walaupun itu mengambil sperma suaminya dengan menggunakan sepotong kapas lalu dimasukkan ke dalam rahimnya maka anak tersebut mendapatkan keturunan dari ayahnya.” (Ibid., hlm 21)
b. Inseminasi buatan dengan sperma donor
Inseminasi jenis ini banyak menimbulkan kontroversi. Kontroversi tersebut muncul karena kalahiran seorang anak tidak hanya memberi implikasi pada sisi kewajiban orang tua tetapi juga menyangkut hak-hak yang melekat pada anak tersebut, seperti hak waris, hak atas nasab, hak atas wali dan hak-hak lainnya yang terkait kepada status hukum anak.
Pada kasus inseminasi buatan dengan menggunakan sperma donor, status anak tersebut mengalami ketidakjelasan. Secara de facto anak tersebut memang dilahirkan dalam sebuah keluarga tetapi dilihat dari siapa yang membuahi maka secara de jure anak tersebut bukan anak dari bapak yang menikahi ibunya tetapi anak dari orang lain yang kebetulan atau sengaja memberikan sperma kepada ibunya di luar perkawinan. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah kepada siapakah anak tersebut akan dinasabkan kepada ayah de facto atau de jure?
Dengan melihat keterangan di atas, penggunaan inseminasi buatan adalah boleh dengan persyaratan mutlak yaitu harus dengan menggunakan sperma dari suami sendiri.
Pertanyaan yang lain adalah, terkait dengan terbukanya aurat pasien. Terkait dengan hal ini adalah sejauhmanakah hukum Islam memberikan peluang pada terbukanya aurat ini dalam hal terjadinya inseminasi buatan.
Ibn Qudamah, ulama dari mazhab hambali menjawab bahwa diperbolehkan bagi dokter laki-laki memeriksa bagian manapun dari tubuh perempuan yang dituntut oleh pemeriksaan medis karena dianggap suatu kebutuhan. (Hassan Salthout, 1994: 144)
F. kesimpulan
Jika dihubungkan antara tahapan tahapan di atas, maka teknologi pemilihan jenis kelamin dengan bantuan inseminasi buatan adalah boleh dengan syarat :
1. Pemilihan jenis kelamin itu harus didasari dengan alasan-alasan yang jelas, mengandung kemaslahatan, tidak menimbulkan kemadharatan, tidak bertentangan dengan nass dan dapat digunakan untuk umum, dan yang pasti penggunaan teknologi ini dapat menciptakan kebahagiaan manusia dan dapat memenuhi kebutuhannya.
2. Sperma yang digunakan dalam pelaksanaan teknologi ini adalah sperma dari suami sendiri dan bukan sperma dari donor maupun orang lain. Sekalipun sperma tersebut mendapatkan persetujuan dari pasangan suami istri namun hal tersebut tetap termasuk dalam kategori zina. Dalam hal ini penggunaan teknologi pemilihan jenis kelamin ini adalah haram.
3. Perbedaan yang paling mendasar antara pemilihan jenis kelamin dan Inseminasi buatan hanya pada tahap pemisahan sperma. Dalam inseminasi buatan biasanya diperuntukkan pada pasangan yang tidak subur dengan penambahan-penambahan hormon perangsang kesuburan, akan tetapi teknologi pemilihan jenis kelamin ini bisa berlaku untuk pasangan yang subur maupun tidak. Dalam pemilihan jenis kelamin ini bisa dilakukan dengan cara alamiah seperti yang telah dijelaskan, pada inseminsi buatan tidak karena hal tersebut memerlukan bantuan medis.
DAFTAR PUSTAKA
Ibn Majah, Sunan Ibn Maajah edisi., MF. Abd. Baqi, Mesir: Isa Al Baqi Wa Syirkah, 1956.
Akbar, Ali, Seksualitas Ditinjau dari Hukum Islam, cet. ke-3, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1986.
Salthout, Hassan, Revolusi Seksual Perempuan, Obstetri dan Ginekology dalam Tinjauan Islam, cet. ke-1, Bandung: Mizan, 1994
Shaheb Tahar, Inseminasi Buatan, cet. ke-1 Surabaya: Bina Ilmu, 1987.
Majalah Surya, Mengatur jenis Kelamin, dalam Rubrik Tahukah Anda?, Minggu, 22 Juni 2003.
Cambell, Neil A dkk, Biologi, cet. ke-5, alih bahasa Rahayu Lestari dkk, Jakarta: Erlangga, 1999.
Hazel, Phillips dan Tessa Hilton, Ingin Anak Laki-Laki atau Perempuan, cet. ke-5, Jakarta : Arcan, 1997.
Mukti, Ali Ghufron dan Adi Heru Sutomo Abortus, Bayi Tabung, Euthasania, Transplantasi Ginjal, dan Operasi Kelamin dalam Tinajauan Medis, Hukum, dan Agama Islam, cet. ke-1, Jakarta: Aditya Media, 1993.
Suryo, Genetika Manusia, cet. ke-5, Yogyakarta: Gajah Mada Press, 1997.
Widjayanto, Pudjo Agung, Penderita Hemofilia Terancam Seumur Hidup, dalam harian, Kedaulatan Rakyat, 18 April 2004.
Jamaan, Taufik, Dr.H. Sp.OG., Klinik Fertilitas Morulla RS. Bunda, editor Dr.Indra NC.Anwar Sp.OG., cet. ke-1, Jakarta : Puspaswara IKAPI, 2002.
MAKALAH DIAJUKAN SEBAGAI TUGAS MATA KULIAH FIQIH KONTEMPORER DI PUTM
0 komentar:
Posting Komentar