Selasa, 05 Juni 2012

AL-QURAN BERBICARA TENTANG MANUSIA


Pandangan Al-Quran Tentang Manusia
Manusia adalah persoalan yang tidak habis-habisnya untuk didiskusikan. Persoalan filsafat yang paling mendasar saat ini adalah persoalan tentang manusia itu sendiri. Siapa manusia? Kapan dan  mengapa dia ada? Bagaimana seharusnya manusia yang sempurna? Semua pertanyaan itu terus menjadi persoalan manusia yang dikaji dalam berbagai perspektif psikologis, sosiologis, biologis, dan kajian-kajian lainnya.

Dalam berbagai aliran psikologi, seperti psikoanalisa (klasik) Sigmund  Freud, memandang perilaku manusia  banyak dipengaruhi masa lalu, alam tak sadar, dorongan-dorongan biologis yang selalu menuntut kenikmatan untuk segera dipenuhi. Dengan demikian tak heran bila psikonalisa  menganggap hakikat manusia adalah buruk, liar, kejam, kelam, non etis, egois, sarat nafsu, dan berkiblat pada kenikmatan jasmani.[1] Sementara aliran behavioral atau perilaku menganggap manusia pada hakikatnya adalah netral, baik-buruknya perilaku terpengaruh dari pengaruh situasi dan perlakuan yang dialami.[2] Lain halnya dengan  aliran humanistik yang memiliki asumsi bahwa manusia  pada dasarnya memiliki potensi-potensi yang baik, minimal lebih banyak baiknya dari pada buruknya dan karena itu aliran ini memandang menusia sebagai makhluk yang memiliki otoritas atas kehidupannya sendiri.[3]

Banyak hal yang membedakan antara  konsepsi Islam dengan semua teori-teori psikologi. Islam dalam memandang manusia tidak bersifat deterministik, sebagaimana aliran psikoanalisa, juga tidak semata-mata membentuk kepribadian melalui lingkungan (behavioral), juga tidak memberikan kebebasan sepenuhnya kepada manusia untuk mengikuti seluruh keinginan pribadinya (humanistic). Akan tetapi Islam memberikan kemuliaan kepada manusia sebagai makhluk yang paling mulia, yaitu pengganti kedudukan Tuhan di muka bumi. Manusia juga memiliki bentuk yang terbaik dari seluruh makhluknya dan mempunyai kekuatan untuk merubah sendiri kondisi dirinya. Berikut ini adalah  beberapa ayat yang menjelaskan tentang ini.

            1. Manusia Sebagai Khalifah.
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً
"Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". (al-Baqarah: 30)

Manusia sebagai khalifah Allah fil ardhi menjadi wakil Tuhan di muka bumi, yang memegang mandat Tuhan untuk mewujudkan kemakmuran di muka bumi. Kekuasaan yang diberikan kepada manusia bersifat kreatif, yang memungkinkan manusia mengelola serta mendayagunakan apa yang ada di bumi, untuk kepentingan hidupnya.[4] Dengan demikian hal ini berarti ia diberi kepercayaan untuk mengelola bumi dan karenanya mesti mengetahui seluk-beluk bumi, atau paling tidak punya potensi untuk mengetahuinya.[5]

Kedudukan manusia sebagai khalifah atau pengganti Allah di muka bumi dikritisi oleh malaikat karena mereka – manusia – mempunyai potensi untuk membuat kerusakan di muka bumi. Akan tetapi Allah menegaskan bahwa malaikat belum mengetahui  tentang manusia, lalu manusia menunujukkan kemampuannya untuk menyebutkan nama-nama. Dengan kemampuan ini, yang berarti juga kemampuan untuk berinisiatif, dengan demikian manusia tidak hanya berpotensi merusak akan tetapi juga memiliki potensi untuk berbuat kebaikan[6].

Kisah penciptaan manusia dalam bentuk serah terima "kekhalifahan di atas bumi", kepada manusia, menurut Fazlur Rahman diwarnai dengan protes para malaikat dan berkata: "Apakah engkau hendak menempatkan seseorang yang akan berbuat aniaya di atas bumi dan yang akan menumpahkan darah, sedang kami selalu memuji Kebesaran dan Kesucian-Mu? Allah tidak menyangkal tuduhan mereka terhadap manusia itu tetapi Dia menjawab:' Aku mengetahui hal-hal yang tidak kalian ketahui".[7] Kemudian Allah membuat kompetisi di antara para malaikat dengan Adam: siapakah di antara mereka yang lebih luas pengetahuannya. Dan kompetisi ini dimenangkan oleh manusia yang mampu menyebutkan nama-nama sementara malaikat tidak sanggup untuk melakukan hal tersebut. Keterangan ini menunjukkan bahwa manusia (Adam) dapat memiliki pengetahuan yang kreatif.[8] Setelah itu, kemudian Allah menyuruh malaikat tersebut untuk bersujud kepada manusia (Adam).

Kedudukan manusia sebagai khalifah Allah merupakan tanggungjawab moral manusia kepada Allah yang harus menjadi tantangan bagi manusia untuk mewujudkan perannya untuk menjadi penguasa di muka bumi dengan membawa misi Ilahi. Allah memberikan keistimewaan kepada manusia yang tidak diberikan kepada makhluk lainnya yaitu akal pikiran, dan kebebasan untuk berkehendak. Semua penjelasan di atas, menjadi model kepercayaan diri bahwa ia merupakan makhluk yang paling istimewa dari seluruh makhluk lainnya dan akan mewujudkan tata sosial yang bermoral di atas dunia sesuai dengan tujuannya di dunia yaitu ibadah.
            2.Manusia Sebagai Makhluk Terbaik.
     لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ
"Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. (at-Tin: 4)

            Ibnu Katsir menjelaskan bahwa Allah menciptakan manusia dalam bentuk  makhluk yang paling sempurna dari segi bentuk dan rupanya.[9]  setiap manusia yang dilahirkan di bumi adalah makhluk terbaik di antara ratusan juta pesaing lainnya yang akan lahir ke muka bumi.


            Setiap orang yang lahir ke muka bumi akan berjuang berlomba-lomba  menghadapi ratusan juta pesaing lainnya untuk sampai ke tempat tujuan (ke tuba faloppi atau oviduk) untuk dapat mencapai induk telur. Dengan tak kenal lelah mereka berenang beberapa milimeter untuk melewati perjalanan yang penuh dengan mortalitas yang tinggi. Dalam perjalanan  sperma menuju indung telur ini hanya beberapa ribu yang dapat menyelesaikan perjalanan dan dari ribuan ini hanya satu sperma yang akan berhasil memasuki telur dan membuahinya.[10] jika manusia menyadari kejadian ini dengan memperhatikan dan mengambil ibroh dibalik kejadian tersebut, sudah seharusnya setiap individu  merasa bangga akan dirinya dan memiliki kepercayaan diri karena merupakan makhluk terbaik dan terpilih di antara ratusan juta lainnya untuk menjalankan amanah sebagai khalifah Allah.

            Ayat berikut yang memerintahkan manusia untuk memperhatikan proses penciptaan  dengan  menunjukkan tentang proses penciptaan manusia:

فَلْيَنْظُرِ الْإِنْسَانُ مِمَّ خُلِقَ(5)خُلِقَ مِنْ مَاءٍ دَافِقٍ(6)يَخْرُجُ مِنْ بَيْنِ الصُّلْبِ وَالتَّرَائِبِ
Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apakah dia diciptakan? Dia diciptakan dari air yang terpancar, yang keluar dari antara tulang sulbi dan tulang dada.(at-Thariq: 5-7)

               Dalam menafsirkan ayat ini, Muhammad Abduh menafsirkan bahwa ia merupakan bukti kebenaran dalam ayat sebelumnya yang menyatakan bahwa manusia senantiasa dijaga dan diperhatikan oleh Allah. Hal ini mengingat bahwa "air yang memancar" adalah salah satu benda cair yang tidak ada terlukis atau terbentuk di dalamnya pelbagai peralatan yang mengandung fungsi kehidupan, seeperti yang aa dalam berbagai anggota tubuh. Namun, "cairan ini" ternyata dapat tumbuh menjadi suatu makhluk yang sempurna, yaitu manusia yang penuh dengan kehidupan, akal dan persepsi, serta memiliki potensi untuk melaksanakan kekhalifahan di muka bumi. Pembentukan dan penentuan kadar masing-masing komponen yang ada padanya, serta penciptaaan pelbagai anggota tubuh yang di dalamnya ditanamkan potensi tertentu, sehingga dengan itu ia mampu melaksanakan fungsinya, kemudian ditambah lagi dengan akal serta daya persepsi: semua itu tidak mungkin dibiarkan tanpa ada "penjaga" yang mengawasi serta mengaturnya yaitu Allah.[11]

            Atau ayat ini dapat bermakna sebagai penegas ayat sebelumnya: "apabila telah engkau ketahui bahwa setiap jiwa pasti ada pengawasnya maka wajib atas setiap manusia untuk tidak menelantarkan dirinya sendiri." Wajiblah ia berpikir tentang kejadian dirinya serta bagaimana awal mula kejadiannya. Agar ia dapat menyimpulkan bahwa Allah yang kuasa menciptakannya sejak pertama kali, pasti kuasa pula untuk membangkitkannya lagi kelak. Kesadaran seperti itu akan mendorong dirinya untuk melakukan amal-amal saleh dan berperilaku sebaik-baiknya, serta menjauhkan diri dari pelbagai jalan kejahatan. Sebab mata Sang Pengawas tak lengah sedikitpun.[12]Kesadaran seperti inilah yang harus dimiliki oleh setiap individu untuk mengetahui hakikat dirinya agar mampu melakukan tindakan sesuai apa yang diperintahkan oleh sang penciptanya.

3. Manusia Sebagai Makhluk Perubah
إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
"Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. (ar-Ra'du:11)

               Dalam Tafsir Jalalain dijelaskan bahwa Allah tidak akan merampas nikmatnya dari manusia meskipun ia melakukan maksiat.[13] Ini dapat terjadi pada realitas empirik orang-orang yang tidak beriman kepada Allah sukses dalam keduniawian. Sementara al-Qurtubi menjelaskan bahwa dalam ayat ini Allah tidak akan merubah suatu kaum kecuali terdapat perubahan dalam diri mereka, atau orang lain yang mengamati mereka, atau sebagian dari kaum mereka. Ayat ini tidak bermakna bahwa orang yang tidak melakukan dosa tidak akan  mendapatkan musibah atau azab karena tidak pernah melakukan dosa. Sebagaimana Rasulullah bersabda: ketika ditanya apakah orang-orang yang saleh itu akan dimusnahkan? Jawabnya: benar, apabila banyak terjadi kerusakan dalam masyarakatnya[14] semua ini menunjukkan bahwa manusia memiliki potensi untuk berubah menuju kebaikan atau keburukan. Dominasi manusia yang memiliki nilai negatif terhadap orang-orang saleh yang tidak mampu berbuat apa-apa akan berakibat semuanya terkena musibah atau bencana yang melanda kaum tersebut.

            Berikut ini akan penulis paparkan dan jelaskan dari Khutbah Idul Fitri Amin Rais, yang berjudul: Membangun Rasa Percaya Diri. Menurut Amin saat ini bangsa Indonesia mengalami keterpurukan di berbagai bidang kehidupan. Untuk keluar dari keterpurukan itu, umat Islam  sebagai bagian dari bangsa masih harus mengasah dan mempertajam ketakwaan kita kepada Allah. Pada gilirannya bila ketakwaan semakin mantap maka insya Allah semakin besar pula kepercayaan diri, self confidence, atau at-tsiqah 'ala an-nafs bangsa Indonesia.

            Sebagai bangsa yang besar sekarang bangsa Indonesia  berada dalam suasana tidak percaya diri, malahan kadang-kadang seperti mengalami kebingungan. Berikut ini merupakan bukti-bukti ketidak percayaan diri yang di jelaskannya:
Lihatlah bagaimana kita merasa sudah tidak mampu lagi memperbaiki ekonomi kita dengan akal, energi, daya dan kreativitas kita sendiri. Sebagai gantinya, kita serahkan sepenuhnya nasib ekonomi kita kepada sebuah badan dana moneter internasional. Padahal badan internasional tersebut ternyata tidak becus memperbaiki ekonomi Indonesia.

 Lihatlah bagaimana mula-mula didirikan sebuah badan utuk menyehatkan perbankan dan berbagai BUMN kita. Namun dalam perkembangannya badan itu kini menjadi juru lelang aset-aset nasional. Mengapa? Karena kita tidak yakin dapat memperbaiki berbagai BUMN itu dengan kemampuan dan akal sehat kita. Sikap yang diambil kemudian adalah jual saja berbagai BUMN itu, habis perkara. Memang perkaranya habis karena kita kemudian menjadi bangsa pelayan yang melayani kepentingan luar negeri.

 Lihatlah bagaimana kita bahkan tidak berani mengangkat kepala kita melihat pencurian tanah dan pasir Indonesia yang sudah berlangsung hampir dua dasawarsa. Beberapa pulau di sekitar Kepulauan Riau sudah lenyap karena sudah berpindah dan ditempelkan ke suatu negara tetangga lewat proses reklamasi. Nampaknya kita tidak berani hanya sekedar menegur, bahkan menyindir negara tetangga tersebut agar menghentikan penjarahan tanah, pasir dan air kita. Masya Allah.

Lihatlah juga bagaimana kita memperlakukan kekayaan alam kita yang dianugerahkan Allah kepada kita bangsa Indonesia. Betapa banyak kontrak karya dibidang perminyakan, gas alam, emas, perak, tembaga dan berbagai kekayaan miniral kita, yang amat sangat menguntungkan pihak luar negeri dan cukup merugikan, bahkan menyengsarakan bangsa sendiri. Mengapa? Karena kita beralasan tidak punya modal, tidak punya kemampuan manajerial, tidak punya apa-apa untuk mengelola karunia dan anugerah kekayaan alam itu dengan tangan kita sendiri.[15] 

            Oleh sebab itu setiap individu, para pemimpin dan rakyat seluruhnya, harus berusaha memulihkan kembali rasa percaya diri yang kini sudah hilang. Perlunya upaya untuk  menemukan kembali dan memperkokoh rasa percaya diri bangsa Indonesia. Bangsa manapun, tidak mungkin mengandalkan pemulihan kehidupan ekonomi, sosial, politik, hukum, pendidikan dan lain-lain semata-mata pada kekuatan luar negeri. Mustahil ada satu bangsa yang mau bersusah payah dan berkorban untuk bangsa lain.

            Karena itulah perlu ditekankan kembali  firman Allah dalam surat ar-Ra'du ayat 11: "... Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum, kecuali kaum itu sendiri yang merubah nasibnya". Juga firman Allah dalam surat al-Anfal ayat 53: " ... Demikianlah Allah sekali-kali tidak akan merubah kenikmatan yang telah dikaruniakan pada suatu bangsa, kecuali bangsa itu sendiri yang merubahnya..."

            Proses perubahan sebagaimana yang dijelaskan di atas tidak akan terwujud jika manusia itu sendiri tidak mau merubahnya. Memang tantangan yang sedang dihadapi sangatlah berat  ibarat berjalan di bukit yang mendaki dan sangat terjal. Pepatah asing mengatakan, when the going gets tough, the toughs gets going. Artinya bila perjalanan makin sulit yang sulit itu pun akan terus bergerak.

            Kutipan dari khutbah Amin Rais pada Idul Fitri di atas, penting kiranya dan perlu dicermati agar semua pihak dapat menyadari bahwa memiliki keyakinan diri untuk dapat merubah kondisi bangsa ini sendiri adalah suatu kewajiban bagi seluruh bangsa Indonesia. Perubahan dari tidak percaya diri menuju percaya diri harus dimulai dengan mengetahui bagaimana konsepsi diri manusia tersebut yang sesungguhnya.

            Rif'at Syauqi Nawawi menjelaskan tentang gambaran al-Qur'an yang positif tentang manusia:[16]
            Manusia adalah khalifah Tuhan di muka bumi.[17] Dibandingkan dengan makhluk yang lain, manusia mempunyai kapasitas intelegensia yang paling tinggi.[18] Manusia mempunyai kecenderungan dekat dengan Tuhan.[19]Manusia, dalam fitrahnya, memiliki sekumpulan unsur surgawi nan luhur, yang berbeda dengan unsur-unsur badani yang ada pada hewan, tumbuh-tumbuhan dan benda-benda yang tak  bernyawa. Unsur-unsur itu merupakan suatu senyawa antara alam nyata dan metafisis, antara rasa dan non rasa (materi), antara jiwa dan raga.[20] Penciptaan manusia benar-benar telah diperhitungkan secara teliti, bukan secara kebetulan. Karenanya, manusia merupakan makhluk pilihan.[21] Manusia bersifat bebas dan merdeka. Mereka diberi kepercayaan oleh Tuhan, diberkahi dengan risalah yang diturunkan melalui nabi, dan dikaruniai rasa tanggung jawab. Mereka diperintahkan untuk mencari nafkah di muka bumi dengan inisiatif dan jerih payah mereka sendiri, mereka pun bebas memilih kesejahteraan atau kesengsaraan bagi dirinya.[22] Manusia dikaruniai pembawaan yang mulia dan martabat. Tuhan, pada kenyataannya telah menganugerahi manusia dengan keunggulan atas makhluk-makhluk lain. Manusia akan menghargai dirinya sendiri hanya jika mereka mampu merasakan kemuliaan dan martabat itu, serta mau melepaskan diri mereka dari kepicikan segala kerendahan budi, penghambaan dan hawa nafsu.[23] Manusia memiliki kesadaran moral. Mereka dapat membedakan yang baik dari yang jahat melalui inspirasi fitri yang ada pada mereka.[24] Jiwa manusia tidak akan pernah damai, kecuali dengan mengingat Allah. Keinginan mereka tidak terbatas, mereka tidak pernah puas dengan apa yang telah mereka peroleh. Di lain pihak, mereka lebih berhasrat untuk ditinggikan ke arah perhubungan dengan Tuhan Yang Maha Abadi.[25] Segala bentuk karunia duniawi diciptakan untuk kepentingan manusia. Jadi, manusia berhak memanfaatkan itu semua dengan cara yang sah.[26] Manusia diciptakan Tuhan agar menyembah-Nya, tunduk patuh kepada-Nya, dan merupakan tanggung jawab yang utama bagi mereka. [27]Manusia tidak semata-mata tersentuh oleh motivasi-motivasi duniawi saja. Dengan kata lain, kebutuhan inderawi bukanlah satu-satunya stimulus baginya. Lebih dari itu, mereka selalu berupaya  untuk meraih cita-cita dan aspirasi-aspirasi yang lebih adiluhung dalam kehidupan mereka. Dalam banyak hal, manusia tidak mengejar satu tujuan pun kecuali mengharap keridhaan Allah swt.[28]

            Adanya berbagai penjelasan tentang segi-segi positif manusia yang terungkap  dalam al-Qur'an bukan berarti tidak terdapat ayat-ayat yang  berbicara tentang sisi negatif manusia, akan tetapi  ayat-ayat yang berbicara tentang sisi negatif manusia tersebut harus dipahami bahwa semua itu menunjukkan beberapa kelemahan manusia yang harus di hindarinya.[29] Ayat-ayat tersebut tidak akan dijelaskan dalam penelitian ini. Karena penelitian ini akan memfokuskan pada sisi positif manusia agar dapat berpikir positif tentang dirinya dan menjadi pribadi yang percaya diri.



                [1] Hannaa Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi dengan  1slam Menuju Psikologi Islami, (Yokyakarta: Pustaka Pelajar, 2001)cet II.hal.50.

                [2] Ibid, hal.51

                [3]Ibid, hal.52
                [4] Musa Asy'arie, Manusia Pembentuk Kebudayaan Dalam Al-Qur'an, (Yogyakarta: LESFI,1991)hal.43.

                [5] Machasin, Menyelami Kebebasan Manusia, Telaah Kritis Terhadap Konsepsi Al-Qur'an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1996) hal.8.

                [6] Ibid.,hal. 9.

                [7] Lihat. QS.al-Baqarah, 2: 30-34.
                [8] Fazlur Rahman, Tema Pokok Al-Qur'an, (Jakarta: Pustaka, 1996) hal.27.

                [9] Tafsir Ibnu Katsir, Sakhr Software.

                [10] John W Kimball, Biologi (Jakarta: Erlangga,) hal.375.
                [11] Muhamad Abduh, Tafsir Juz Amma, (Bandung: Mizan,1999) hal.123.
                [12] Ibid.
                [13] Tafsir Jalalain, Sakhr Software
                [14] Tafsir al-Qurthubi, Sakhr Software.
                [15] http://www.m-amienrais.com/News/category_news.asp?IDCategory=43&page=10
.
                [16] Rif'at Syauqi Nawawi, Konsep Manusia Menurut Al-Qur'an, dalam Metodologi Psikologi Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar) hal.8-10

                [17]Lihat.Q.S.al-Baqarah :30, QS. al-An'am: 165)

                [18]Lihat.Q.S.al-Baqarah :31-33

                [19]Lihat.QS.al-A'raf :172.ar-Ruum, :43.

                [20]Lihat.QS.as-Sajdah :7-9.

                [21]Lihat. QS. Thaha :122.

                [22]Lihat. QS.al-Ahzab: 72;QS.al-Insan,76:2-3.

                [23]Lihat. QS.al-Isra':70

                [24]Lihat. QS.asy-Syam: 7-8.

                [25]Lihat. QS.ar-Ra'd: 28; QS.al-Insyiqaaq,84: 6.

                [26]Lihat. QS.al-Baqarah,2:29; QS.al-Jaatsiyah,45: 13.

                [27]Lihat. QS.adz-Dzariyat, 51-56.51-56.

                [28]Lihat. QS.al-Fajr, 89: 27-28.

                [29]Rif'at Syauqi Nawawi, "Konsep Manusia Menurut Al-Qur'an". Dalam Metodologi Psikologi Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000) hal. 8.

makasih sudah berkunjung, salam kenal 

0 komentar: