Thaharah menurut bahasa adalah suci dan bersih dari kotoran. Adapun thaharah menurut istilah para ulama ahli hukum Islam (fuqaha) adalah menghilangkan hadats dan najis atau sesuatu yang senada dengan makna dan gambaran pengertian keduanya. Yang dimaksud dengan ungkapan “yang senada dengan makna dan gambaran pengertian keduanya” , yaitu seperti: tayamum, mandi besar yang disunnahkan, cucian yang kedua, bekumur dan sejenisnya.
Menghilangkan hadats dan najis itu adalah dengan air mutlak, yakni dengan air yang belum mendapatkan imbuhan unsur lain sehingga namanya juga masih tetap sebagai air murni. Air mutlak ini adalah air laut, air yang turun dari langit, dan air yang keluar dari bumi. Air laut dikategorikan sebagai air mutlak adalah berdasarkan sabda Rasulullah saw. :
(1) “Laut itu airnya suci”
Sedang air yang turun dari langit seperti air hujan dan salju (es) adalah berdasarkan firman Allah SWT:
(2) Dan Allah menurunkan kepada kalian hujan dari langit untuk mensucikan kalian dengannya” (QS. Al Anfal,8: 11).
Adapun air yang keluar dari perut bumi, yakni mata air dan air sumur adalah berdasarkan sebuah riwayat yang mengemukakan :
(3) “Sesungguhnya Nabi saw. pernah berwudlu dengan air dari sumur Bi/udha’ah”
Yang dikategorikan selain air mutlak, yaitu benda-benda cair seperti : cuka, air bungan, minuman keras, dan sari buah-buahan atau tumbuhan. Kesemua itu tidak boleh dipergunakan, baik untuk menghilangkan hadats maupun untuk menghilangkan najis. Firman Allah SWT:
(4)”…kemudian kalian tidak mendapatkan air, maka bertayamumlah kalian” (QS. An Nisa,4: 43).
Dalam ayat ini Allah SWT memerintahkan kepada orang-orang yang tidak mendapatkan air agar bertayamum. Dan Dia memberikan petunjuk bahwa wudlu tidak dibenarkan selain dengan air. Hal ini dengan alasan, karena sesungguhnya menghilangkan najis berarti mengembalikan keadaan agar menjadi suci (bersih) kembali dan suci itu sendiri hanya bisa terjadi dengan air. Allah SWT berfirman:
“Dan Allah menurunkan kepada kalian hujan dari langit untuk mensucikan kalian dengannya” (QS. Al Anfal, 8 : 11).
1. Benda Suci Bercampur dengan Air
Bilamana suatu benda suci bercampur dengan air namun karena kadarnya hanya sedikit sehingga air itupun tidak berubah karenanya, maka bersuci dengan air tersebut diperbolehkan. Sebab pada dasarnya air ini masih tetap utuh sebagai air mutlak. Jika air tersebut tidak berubah karenanya dengan alasan , sebaba air itu tidak berubah, baik rasa, warna, maupun baunya-seperti air bunga jatuh ke dalamnya-maka hendaknya diperhatikan: Andai air bunga itu kadarnya banya sehingga mendominasi air mutlak, maka bersuci dengannya tidak diperbolehkan, dan seandainya tidak mendominasi, maka bersuci dengannya diperbolehkan. Bilamana suatu benda suci bercampur dengan air dan karenanya salah satu sifat air tersebut berubah, yakni rasa, atau warna, atau baunya, hendaklah diperhatikan: Sekiranya air itu tidak mungkin teratasi untuk tidak terkena benda suci tersebut seperti ditumbuhi oleh lumut (rumput air) dan sejenisnya, yang memang benda itu hidup dan tumbuh di air, maka air tersebut boleh dipergunakan untuk bersuci. Kasus seperti ini dimaafkan sebab hal tersebut tak mungkin diatasi. Sedang jika air ini memungkinkan terpelihara dari benda suci maka perhatikanlah : Seandainya merupakan suatu benda yang tidak menghilangkan nama air seperti tanah dan obat, maka air itu diperbolehkan untuk bersuci karena benda tersebut tidak menghilangkan status air sebagai air mutlak. Sedang bila benda itu selain daripadanya, seperti minyak za’faran, buah kurma, tepung, dan sebagainya - merupakan benda yang dapat dihindarkan agar tidak jatuh ke dalam air - maka berwudlu dengan air ini tidak dibenarkannya, sebab dengan masuknya benda seperti itu dapat menghilangkan status air sebagai air mutlak.
2. Najis yang Mengotori Air :
Apabila benda najis jatuh ke dalam air lalu rasa, warna atau bau air itu berubah, maka air tersebut menjadi najis, baik air ini banyak maupun sedikit, baik air itu mengalir maupun menggenang. Para ulama telah sepakat bahwa jika rasa, atau warna atau bau air berubah oleh karena ada benda najis yang jatuh ke dalamnya, maka air ini menjadi najis. Sedang bila ketiga sifat air itu tidak berubah maka hendaklah diperhatikan : Andai ternyata air itu kurang dari dua kulah maka iar tersebut menjadi najis. Akan tetapi andai terbukti air ini sebanyak dua kulah atau lebih maka air tersebut tetap bersih ( suci ).
Sabda Rasulullah saw:
“Bilamana terbukti air mencapai dua kulah, maka air tersebut tidak membawa najis”.
Air dua kulah ukurannya sebanyak dua tempayan air, sama dengan dua belas jirgen air. Inipun dengan catatan, bila ternyata air tersebut tidak tampak terlhat oleh mata telanjang, seperti najis yang melekat pada serangga yang hinggap pada najis, lalu serangga itu jatuh ke air. Dengan demikian, maka air itu tidak menjadi najis karenanya sebab hal ini dimaafkan. Kasus ini sama halnya seperti baju yang terkena najis yang tidak tampak, maka najis inipun dimaafkan.
3. Air Musta’mal
Air musta’mal (air bekas pakai) terbagi dua, yakni air musta’mal untuk menghilangkan hadts dan air musta’mal untuk menghilangkan najis. Air musta’mal untuk menghilangkan hadats -seperti wudlu atau mandi besar-tetap suci, tidak menjadi najis, sebagaimana diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah:
“Bahwasanya Rasulullah saw. datang menjenguk aku ketika aku sakit. Kemudian beliau wudlu dan menuangkan air bekas wudlanya kepadaku”.
Maka berdasarkan hadits ini, air musta’mal tetap suci, namun demikian tidak mensucikan. sehingga tidak boleh dipergunakan untuk menghilangkan hadats. Dalam sebuah riwayat dari Abu Hurairah, sesungguhnya Nabi saw. bersabda:
“ Sungguh, hendaknya salah seorang di antara kalian tidak sampai mandi (bersuci) dalam air menggenang sedang ia junub. Kemudian mereka (para sahabat) bertanya: Wahai Abu Hurairah, bagaimana beliau saw berbuat? Dia menjawab: Beliau mengaisnya”.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dikemukakan:
“Sesungguhnya Nabi saw. menyapu kepalanya dengan air bukan air sisa mencuci kedua tangannya”.
Selanjutnya At-Tirmidzi meriwayatkan:
“Sesungguhnya Nabi saw. mengambil air baru untuk menyapu kepalanya”.
Begitu pula At-Tarmidzi dan Ath-Thabrani mengemukakan hadits yang diriwayatkan dari Bin Jariah dengan ungkapan:
“Ambillah untuk (menyapu) kepala, air baru”.
Larangan Rasulullah saw. bersuci dalam air menggenang adalah merupakan dalil, sesungguhnya air musta’mal telah keluar dari statusnya sebagai sarana untuk bersuci, sebab larangan di sini semata-mata mandi, begitu juga hukum wudlu sama dengan hukum mandi. Kemudian daripada itu, sesungguhnya perintah beliau agar mengambil air baru untuk menyapu kepala merupakan dalil bahwa air pertama adalah air musta’mal yang tidak lag bisa dipergunakan untuk bersuci. Namun ini semua dengan catatan, bila ternyata kadar air tersebut kurang dari dua kulah. Sedangkan ketika kadar air tersebut mencapai dua kulah atau lebih, maka hilanglah statusnya sebagai air musta’mal karena kadar air yang mencapai dua kulah atau lebih tidak tercemar , sehingga untuk tidak dikategorikan musta’mal bagi air tersebut lebih utama. Tentang air musta’mal yang telah dipergunakan untuk menghilangkan najis, maka hendaknya diperhatikan: Bila air itu terpisah dari dari tempatnya dan berubah, maka air ini menjadi najis. Sedangkan bilamana air terpisah dari tempatnya dan tidak berubah. Maka hendaknya diperhatikan: Jika air tersebut terpisah dari tempatnya najis, najis pulalah air itu dan jika air tersebut terpisah namun tempatnya suci, maka air ini tetap suci.
4. Sisa Makanan dan Minuman Binatang
Sisa makanan dan minuman binatang adalah suci. Ketetapan ini bersifat umum pada semua binatang, baik sisa makanan dan minuman kucing maupun binatang yang lain. Semua binatang: kuda, keledai, binatang buas, tikus, ular, dan seluruh binatang yang memakan dagingnya atau tidak, sisa makanannya dan minumannya adalah suci. Begitu pula peluh dan air liurnya dengan tidak makruh. Dalam hadits yang diriwayatkan dari Jabir dikemukankan:
“Sesungguhnya Nabi saw. pernah ditanya: Apakah kami boleh wudlu dengan air sisa keledai? Beliau menjawab: Ya, begitu juga dengan (air) sisa binatang buas”.
Namun dikecualikan dari semua bintang tersebut, anjing dan babi, bahwa keduanya najis.
Sabda Rasulullah saw. :
“Bilamana anjing menjilat perkakas salah seorang di antara kalian, maka cucilah perkakas itu tujuh laki”.
Dalam sebuah riwayat dikemukakan pula:
“Maka tumpahkanlah, kemudian cucilah tujuh kali”.
Perintah agar ditumpahkan dan dicuci adalah sebagai dalil, bahwa anjing adalah binatang najis.
Pada dasarnya air itu adalah suci dan begitu juga sisa makanan dan minuman binatang. Dengan demikian, tidak bisa diterima bahwa suatu air dinyatakan najis karena oleh seseorang dianggap najis. Akan tetapi tidak boleh tidak yang bersangkutan harus benar-benar terlebih dahulu mengetahui; najis apa yang telah jatuh ke dalam air tersebut? Bilamana dinyatakan, bahea air ini terkena najis maka berita itu jangan begitu saja diterima, sehingga tamapak jelas; najis apakah yang telah jatuh ke dalamnya. Langkah ini harus ditempuh, karena bisa jadi orang yang memberitakan air itu najis disebabkan ia melihat binatang buas menjilatnya. Barulah berita diterima, jika tampak jelas bahwa benda najis benar-benar yakin terhadap kesucian suatu air atau meragukannya, maka ia diperbolehkan wudlu dengannya karena pada dasarnya air itu dianggap suci. Bilamana ia benar-benar yakin tentang najisnya air itu atau meragukan kesuciannya, maka dia tidak diperbolehkan wudlu dengannya karena pada dasarnya air itu dianggap najis. Kemudian jika aia tidak yakin atas ketidaksucian dan ketidaknajisan suatu air, maka berwudlulah dengannya karena pada dasarnya air itu dianggap suci.
5. Bersuci
Suci terdiri dari dua macam: suci dari hadats dan suci dari najis. Bersuci untuk menghilangkan najis tidak menghendaki niat. Sedangkan bersuci untuk menghilangkan hadats, seperti wudlu, mandi besar, dan tayammum harus menyertakan niat, yakni tidak sah tanpa niat.
Sabda Rasulullah saw.:
“Sesungguhnya amalan-amalan itu dengan niat. Dan sesungguhnya bagi setiap orang tergantung niatnya”.
Yang dimaksud amalan-amalan di sini adalah segala bentuk ibadah dan bukan muamalah, sebab muamalah merupakan aktifitas yang berupa percakapan bukan perbuatan. Sementara bersuci untuk menghilangkan hadats menghendaki aktifitas yang berupa tindakan fisik, sehingga tidak akan sah tanpa menyertakan niat. Maka dengan demikian, niat bersuci untuk menghilangkan hadats hukumnya wajib sama halnya dengan niat untuk mendirikan shalat. Kepada yang bersangkutan haruslah menyertakan niat di dalam hatinya, karena niat merupakan tujuan. Ungkapan niat ini hendaknya ditentukan untuk menghilangkan hadats ayau untuk bersuci fari hadats. Kepadanya diperbolehkan menyatakan niat tersebut dengan salah satunya, sebab dengan itu berarti ia telah niat untuk yang dimaksud, yakni menghilangkan hadats. Akan tetapi yang lebih afdhal, hendaklah ia menyatakan niat sejak mula pertama mengambil air wudlu sampai berakhir sehingga selama berwudlu ia menyertakan niat. Sedangkan fardhunya adalah ketika mula pertama mencuci muka, dengan alasan sebab muka adalah sebagai anggota wudlu yang pertama dari seluruh rangkaian fardhu wudlu. Maka dengan demikian, niat nersuci untuk menghilangkan hadats hukumnya wajib, sama hanlnya dengan niat untuk mendirikan shalat. Kepada yang bersangkutan haruslah menyertakan niat dalam hatinya, karena niat merupakan tujuan. Ungkapan niat ini hendaknya ditentukan untuk menghilangkan hadats atau bersuci dari hadats. Kepadanya diperbolehkan menyatakan niat tersebut dengan salah satunya, sebab dengan itu berarti ia telah niat untuk yang dimaksud, yakni menghilangkan hadats. Akan tetapi yang lebih afdhal, hendaklah ia menyatakan niat sejak mula pertama mengambil air wudlu sampai berakhir sehingga selama berwudlu ia menyertakan niat. Sedangkan fardhunya adalah ketika mula pertama mencuci muka, dengan alasan sebab muka adalah sebagai anggota wudlu yang pertama dari seluruh rangkaian fardhu wudlu.
6. Cara Wudhu
Wudhu adalah merupakan fardlu berdasarkan sabda Nabi saw.:
“Allah tidak menerima shalat salah seorang di antara kalian jika ia hadats sampai berwudhu”.
Bagi yang wudhul diperbolehkan meminta bantuan orang lain, sebagaimana diriwayatkan, sesungguhnya Al-Mughirah pernah menuangkan air kepada Nabi saw. ketika beliau mengambil wudhu pada suatu malam di tabuk. Dan sesungguhnya Usamah pernah menuangkan air kepada Nabi saw. ketika beliau mengambil wudlu di pagi hari pada waktu haji wada’ sesudah beliau beranjak dari Arafah, (tepatnya) di antara Arafah dan Muzdalifah. Kemudian diriwayatkan pula dari Hudzaifah bin Abu Hudzifah dari Shafwan bin ‘Assal r.a., ia berkata:
“Aku pernah menuangkan air kepada Nabi saw. saat beliau sedang berada di tempat atau saat beliau sedang dalam perjalanan, ketika beliau hendak mengambil wudlu, lalu beliau memulainya dengan niat seraya berkata: Aku niat menghilangkan hadats wudlu”.
Niat adalah fardlu. Kemudian daripada itu disunnahkan menyebut nama Allah Ta’ala (membaca basmalah) karena wudlu, sebagaimana dikemukan dalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a., bahwasanya Nabi saw. bersabda:
“Barang siapa wudlu dan ia menyebut nama Allah Ta’ala, maka hal itu menyebabkan suci bagi seluruh badannya. Oleh karena itu, bila ia lupa menyebutnya pada mula pertama wudlu dan baru ingat saat tengah wudlu, hendaklah ia menyebutnya sehingga wudlu tersebut tidak kosong dari (menyebut) nama Allah ‘Azza wa Jalla”.
Sesudah niat dan menyebut nama Allah Ta’ala, mencuci kedua telapak tangan tiga kali. Sebab Utsman dan Ali r.a., keduanya telah menggambarkan wudlu Rasulullah saw.:
“Kemudian keduanya mencuci tangan tiga kali”.
Selanjutnya yang bersangkutan menggerak-gerakkan cincinnya jika keadaannya sempit agar air benar-benar sampai menembus kulit yang ada di balik cincin. Sesudah itu dia berkumur tiga kali dan menghirup air (istinsyaq) tiga kali dengan mendahulukan berkumur dari instinsyaq. Hal ini sebagaimana telah diriwayatkan oleh ‘Amr bin ‘Abasah r.a. bahwasanya Nabi saw. bersabda:
“Tidak seorang pun di antara kalian yang mendekatkan wudlunya, kemudian berkumur, kemudian beristinsyaq dan (sesudah itu) mengeluarkannya (agar kotoran yang ada dalam hidung terbawa keluar), melainkan mengalirlah dosa-dosa yang ada dalam hidung dan ujungnya bersama air”.
Disunatkan dalam beristinsyaq ini, pertama-tama yang bersangkutan mengambil air dan menghirupnya dengan bagian kanan dan mengeluarkannya dengan bagian kiri, berdasarkan hadits Ali r.a. bahwasanya dia berdoa dengan doa wudlu, lalu berkumur, beristinsyaq, dan mengelurkannya dengan tangan kiri. Kemudian dia berkata: Demikianlah Nabi saw. bersuci (wudlu). Disunatkan melakukan berkumur dan istinsyaq dengan sangat, sebagaiman yang disampaikan oleh nabi saw. kepada Al-Laqith bin Shabrah:
“Sempurnakanlah wudlu, jarangkanlah jari-jemari, dan sangatkanlah dalam beristinsyaq, kecuali engkau sedang berpuasa”.
Bagi yang berwudlu boleh mengambil jarak antara berkumur dengan beristinsyaq dan boleh pula menyambungnya. Alasan bagi yang menyatakan boleh bersambung antara berkumur dengan beristinsyaq, antara lain berdasarkan hadits Ibnu Abbas, bahwasanya dia mengambil air lalu berkumur dengannya dan beristinsyaq. Hadits lainnya adalah seperti hadits Abdullah bin Zaid:
“Atau dia berkumur dan beristinsyaq dari tangan sebelah. Dia melakukan hal itu tiga kali”.
Sedang alasan yang menyatakan boleh mengambil jarak antara keduanya, antara lain berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Thalhah bin Mashraf dari ayahnya dari kakeknya, ia berkata:
“Aku melihat Rasulullah saw., beliau mengambil jarak antara berkumur dengan istinsyaq”.
Begitu juga disunahkan bagi yang berwudlu bersifak (menggosok gigi) dengan ranting kayu arak atau yang lainnya, sebagaimana dikemukakan dalam hadits Abu Hurairah r.a. sesungguhnya Nabi saw. telah bersabda:
“Seandainya tidak akan memberatkan atas umatku, niscaya aku perintahkan mereka bersiwak setiap kali hendak shalat”.
Dalam riwayat lain dikemukakan:
“Setiap kali hendak wudlu”.
Jika bersiwak membuat seseorang kesakitan atau tidak sekalipun, baginya tetap disunatkan menggosok gigi dengan jarinya, berdasarkan hadits Aisyah r.a. Dia pernah bertanya:
“Ya Rasullallah, bila seseorang tidak bermulut, apakah ia bersiwak? Beliau menjawab: Ya! Lalu aku pun bertanya lagi: Bagaimana ia berbuat? Belaiu pun menjawab: Masukkanlah jarinya ke dalam mulutnya”.
Kemudian sesudah itu ia mencuci mukanya sebagai fardlu, berdasarkan firman Allah Ta’ala:
“…, maka cucilah muka kalian” (QS. 5:6)
Batasan muka adalah: Dari atas sampai bawah, yaitu mulai dari tempat tumbuh rambut kepala sampai dagu dan ujung jenggot. Sedang lebarnya, mulai telinga sebelah kanan sampai telinga sebelah kiri. Pengertian tempat tumbuh rambut kepal, yaitu tempat tumbuh rambut kepala yang berambut normal. Bila seseorang berjenggot, hendaklah diperhatikan: jika jenggot itu tipis, tidak sampai menutupi kulit, maka yang bersangkutan wajib mencuci kulit dan jenggotnya. Sedangkan jika jenggot itu tebal, sehingga menutupi kulit di baliknya, kepadanya hanya diwajibkan mencuci jenggotnya saja, tidak wajib mencuci kulit yang ada di baliknya. Hal ini sebagaimana dikemukakan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas r.a.:
“Sesungguhnya Nabi saw. wudlu, lalu beliau mengambil air hanya dengan kedua telapak tangannya saja dan hanya sekali saja serta mencuci mukanya dengan air tersebut”.
Hanya dengan kedua telapak tangannya dan hanya sekali mengambil saja, sudah barang tentu bagi orang yang berjenggot tebal tidak akan membuat air sampai pada kulit yang ada di balik jenggot. Namun demikian, disunatkan bagi yang berjenggot tebal menyibak-nyibakkannya, yakni menjarangkannya, berdasarkan hadits Utsman r.a.:
“Sesungguhnya Nabi menyibak-nyibak jenggotnya”.
Setelah itu, ia mencuci kedua tangannya sampai dengan sikut. Ini adalah merupakan fardlu.
Firman Allah Ta’ala:
“…dan tangan kalian sampai sikut” (QS. 5 : 6)
Dalam mencuci kedua tangan ini disunatkan memulai dengan bagian kanan kemudian yang kiri, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oelh Abu Hurairah r.a. bahwasanya Nabi saw. bersabsa:
“Apabila kalian wudlu, maka mulailah dengan bagian kanan kalian.”
Namun demikian bila sampai terjadi dengan mendahulukan bagian kiri, hukumnya boleh karena dalam Al-Qur’an, Allah SWT. juga hanya berfirman: ( , dan tangan kalian). Dalam mencuci kedua tangan wajib meliputi sikut, bukan hanya sampai pangkal, sebagaimana diriwayatkan dalam hadits dari Abu Hurairah r.a. bahwasanya dia wudlu lalu mencuci kedua tangannya sampai kedua sendi (sikut) dan dia pun mencuci kedua kakinya sampai kedua betisnya. Kemudian dia berkata:
“Demikianlah aku melihat Rasulullah saw. wudlu”.
Begitu juga halnya konsensus para ulama berketetapan, sesungguhnya sikut itu sendiri adalah bagian yang harus dicuci. Sesudah itu, kemudian ia menyapu kepala. Hukum menyapu kepala ini adalah fardlu, berdasarkan firman Allah SWT:
“…dan sapulah kepala kalian” (QS. 5 : 6)
Batasan kepala yaitu seluruh bagian yang ditumbuhi rambut bagi yang berambut normal dan dua bagian yang melingkari ubun-ubun. Keharusan menyapu kepala ini cukup dengan mengusap saja, sekalipun hanya sedikit, karena Allah Ta’alajuga hanya menyuruh mengusap saja yang berarti mengandung makna sedikit dan banyak. Minimal -dalam menyapu kepala ini-- dengan air yang terbawa oleh telunjuk dan menyapu pada bagian mana saja dari kepala walau hanya sedikit yang diyakini, bahwa bagian kepala telah disapu atau diusap. Akan tetapi sunnatnya adalah seluruh bagian kepala disapu, mulai dengan mengambil air dengan kedua telapak tangan lalu menyapukannya dan menyambungkan ujung kedua jari manis, kemudian meletakkannya pada bagian depan kepala dan meletakkan kedua ibu jari pada bagian pelipis yang selanjutnya ditarik ke bagian belakang kepala dan setelah itu menarik kembali pada bagian depan kepala. Hal ini sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Miqdad bin Ma’diyakrib:
“Sesungguhnya Nabi saw. menyapu kepala dan bagian luar dalam kedua telinganya serta beliau memasukkan kedua telunjuk ke dalam lubang kedua telinganya”.
Sebaiknya menyapu kedua telinga dilakukan dengan air baru, bukan air yang dipergunakan untuk menyapu kepala, sebagaimana dikemukakan dalam hadits Abdullah bin Zaid, bahwasanya dia melihat Rasulullah saw. berwudlu, maka beliau mengambil air untuk menyapu kedua telinganya bukan dengan air yang telah dipergunakan untuk menyapu kepalanya.
Kemudian sesudah itu ia mencuci kedua kaki. Mencuci kedua kaki adalah fardlu, berdasarkan firman Allah SWT.:
“…dan (basuhlah) kaki kalian sampai dengan kedua mata kaki” (QS. 5 : 6).
Dalam shahih Bukhari Muslim dinyatakan juga, sesungguhnya Rasulullah saw. pernah melihat sekelompk kaum muslimin berwudlu, sedang tumit mereka tampak tidak tersapu oleh air, maka beliau bersabda:
“Celakalah tumit-tumit itu karena jilatan api neraka”.
Pernyataan ini merupakan penjelasan, bahwa mencuci seluruh bagian kaki adalah fardlu. Begitu pula dalam hadits yang diriwayatkan dari Umar bin Khaththab r.a. dikisahkan, bahwasanya seseorang berwudlu namun bagian kuku pada kedua kakinya tidak dicuci. Oleh karenanya, maka ia menyampaikan kasus ini kepada Nabi saw., maka bersabdalah Beliau:
“Ulangilah wudlu kamu dengan baik”.
Dalam hadits yang diriwayatkan dari ‘Amr bin Syu’aib dari atayhnya dari kakeknyadikemukakan pula bahwasanya seorang laki-laki datang kepada Nabi saw lalu bertanya : Ya Rasulullah bagaimana bersuci itu ? Kemudian beliau meminta air selanjutnya beliau mencuci kedua telapak tangannya tiga kali ( dalam hadits ini dituturkan langkah-langkah berikutnya sampai ia berkata ) : Kemudian beliau mencuci kedua kakinya tiga kali dan setelah itu beliau bersabda :
“ Demikianlah cara bewudlu maka barang siapa memberi tambahan dari ini atau menguranginya sungguh ia telah berbuat tidak baik dan berlaku zhalim “
Pada saat mencuci kedua kaki, wajib menyertakan kedua mata kakinya, sebagaimana firman Allah SWT:
“Dan (basuhlah) kaki kalian sampai dengan kedua mata kaki” (QS. 5: 6)
Dalam hadits yang diriwayatkan dari Utsman ketika mensifati wudlu Rasulullah saw. dikemukakan:
“Kemudian beliau mencuci kakinya yang kanan sampai kedua mata kakinya, kemudian yang kiri juga”.
Tidak didapatkan riwayat yang menerangkan, bahwa Rasulullah saw. melakukan wudlu dengan menyalahi riwayat yang dikemukakan di atas, atau mengakui, atau menyatakan bahwa menyalahinya diperbolehkan. Sesungguhnya pernyataan dalam firman Allah yang berbunyi ilal ka’baini (yakni, sampai dengan kedua mata kaki) adalah merupakan dalil, bahwa mencuci kedua kaki meliputi mata kakinya adalah fardlu, karena ghayah (tujuan akhir) termasuk ke dalam tempat tujuan akhir itu sendiri.
“Sesuatu yang bersifat wajib bila tidak terpenuhi kecuali dengannya, maka hal itu hukumnya wajib”.
Disunnahkan mencuci kaki dengan mendahulukan bagian kanan dari bagian kiri dan menjarangkan jemarinya, seperti dikemukakan dalam sabda Nabi saw. yang disampaikan kepada Al-Laqith bin Shanrah:
“Jarangkanlah olehmu jari jemari.”
Kemudian daripada itu, disunnahkan pula pada saat mencuci kedua tangan melampaui kedua sikut pada waktu mencuci kedua kaki melampaui kedua mata kakinya.
Sabda Rasulullah saw.:
“Akan datang umatku pada hari kiamat bertanda putih dikening dan kakinya, sebagai tanda bekas wudlu. Maka barang siapa mampu agar tanda itu berkepanjangan padanya, hendaklah melakukannya”.
Dan disunnahkan juga dalam wudlu melakukannya tiga kali-tiga kali, berdasarkan hadits Ali r.a.:
“Sesungguhnya Nabi saw. berwudlu tiga kali-tiga kali”.
Bilamana lebih dari tiga kali, hukumnya makruh, sebagaimana diriwayatkan oleh ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya:
“Sesungguhnya Nabi saw. berwudlu tiga kali-tiga kali. Kemudian beliau bersabda: Demikianlah cara berwudlu. Barang siapa memberi tambahan dari ini atau menguranginya, sungguh ia telah berbuat tidak baik dan berlaku dzalim”.
Namun demikian, diperbolehkan walau hanya satu kali-satu kali atau dua kali-dua kali saja, karena hal itu juga pernah dicontohkan oleh Nabi saw., yakni bahwasanya beliau berwudlu satu kali-satu kali, dua kali-dua kali, dan tiga kali-tiga kali.
Seperti inilah cara berwudlu. Hendaknya cara tersebut dilakukan dengan berurutan (tertib), yakni memulai dengan mencuci muka, kedua tangan, menyabu kepala, kemudian mencuci kedua kaki, dengan alasan: Sesungguhnya Allah SWT. telah menyertakan “menyapu” di antara mencuci, yakni antara kedua tangan dengan kedua kaki, sehingga hukum kasus yang sama terputus dari kasus yang sama pula. Maksud dari kasus ini tidak lain berimplikasi, bahwa tertib itu hukumnya fardlu. Dan hadits hadits shahih yang diterima dari para sahabat juga, yaitu hadits-hadits yang menerangkan tentang cara berwudlu Nabi saw. seluruhnya menerangkan wudlu beliau dilakukan secara berurutan. Padahal para sahabat yang meriwayatkan hadits-hadits tentang cara wudlu beliau banyak sekali dan wudlu beliau juga disaksikan oleh mereka dilakukannya di berbagai tempat serta tidak ada yang mengukuhkan tentang cara wudlu beliau dengan cara yang tidak tertib. Dengan demikian, maka apa yang dilakukan oleh Nabi saw. ketika wudlu adalah merupakan penjelasan cara wudlu seperti yang diperintahkan dan ketika beliau hanya menepati satu cara dalam wudlu ini merupakan petunjuk yang kua sebagai suatu ketetapan, sehingga jadilah tertib sebagai fardlu. Selanjutnya wajib pula berkesinambungan dalam membersihkan setiap anggota wudlu. Akan tetapi bila hanya terputusnya sebentar tidaklah mengapa. Sedangkan bila terputusnya lama, maka wudlu tersebut tidak sah. Sebab dalam hal ini, yakni berkesinambungan saat berwudlu hukumnya fardlu, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Al-Baihaqi dari Khalid bin Ma’dan dari para sahabat:
“SesungguhnyaNabi saw. melihat seorang laki-laki sedang shalat dan dibelakang kakinya tampak kulit mengering sebesar uang logam satu dirham karena tidak kena air. Maka beliau pun menyuruhnya agar mengulangi wudlunya bersama shalat tersebut”.
Diriwayatkan dari Umar ra. -sebagai hadits mauquf yang disandarkan kepadanya-bahwasanya dia berkata:
“Sungguh orang yang mengerjakan hal itu, haruslah kamu itu mengulangi kembali wudlu kamu”.
Seandainya berkenambungan bukan fardlu, niscaya kepada yang bersangkutan cukup hanya mengulang mencuci kedua kakinya saja. Dengan demikian, maka perintah mengulang kembali wudlu secara menyeluruh bersama sahalatnya tersebut, ini adalah merupakan dalil bahwa berkesinambungan hukumnya wajib.
Dan pada akhirnya seusai wudlu disunnahkan berdoa:
“Aku bersaksi tidak ada Tuhan selain Allah, Maha Esa Dia, tiada sekutu bagi-Nya, dan sesungguhnya Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya”.
Dalam hadits yang diriwayatkan pleh Umar ra. Bahwasanya Nabi saw. bersabda:
“Barang siapa wudlu, lalu ia wudlu dengan baik kemudian berdoa: (Aku bersaksi tidak ada Tuhan selain Allah, Maha Esa Dia, tiada sekutu bagi-Nya, dan sesungguhnya Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya) sedang ia membacanya dengan tulus dari lubuk hatinya, maka Allah membukakan baginya kedelapan pintu syurga dan ia diperbolehkan masuk sana dari pintu mana saja yang ia kehendaki”.
7. Menyapu Sepatu
Menyapu sepatu saat wudlu hukumnya boleh, berdasarkan sebuah riwayat yang mengemukakan, sesungguhnya Nabi saw. pernah melakukannya. Akan tetapi hal itu tidak boleh dilakukan untuk menghilangkan hadats besar (junub). Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Shafwan bin ‘Assal Al Muradi r.a. dikemukakan:
“Telah menyuruh kepada kami, yakni nabi saw. agar menyapu kedua sepatu jika kami mengenakannya dalam keadaan bersih selama tiga hari saat kami sedang dalam perjalanan, dan sehari semalam saat kami sedang ada di tempat. Dan kami tidak melepasnya karena buang hajat besar, hajat kecil, dan tidak (pula) karena tidur serta kami tidak melepasnya kecuali karena junub”.
Bagi yang sedang berada di tempat diperbolehkan menyapu sepatu selama sehari semalam dan bagi yang sedang bepergian selama tiga hari tiga malam, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ali r.a. :
“Sesungguhnya Nabi saw. menetapkan bagi musafir selama tiga hari bersama malam-malamnya dan bagi yang mukim sehari semalam”
Ketetapan ini terhitung sejak yang bersangkutan hadats sesudah ia mengenakan sepatu dengan alasan, karena ungkapan hadits di atas berbunyi (---------------, yakni: Telah menyuruh kepada kami agar menyapu). Tentu saja menyapu baru dimulai sejak waktunya diperbolehkan, sedang diperbolehkan menyapu itu bermula sejak hadats terjadi. Diperbolehkan menyapu ini hanya untuk setiap sepatu yang masih baik, bersih, dan menutupi kaki yang harus dicuci ketika wudlu, yaitu sampai dengan mata kaki. Begitu juga halnya sama dengan sepatu, pakaian yang biasa dikenakan pada kaki, baik itu terbuat dari kulit, atau karet, atau kain, maupun yang lainnya. Hanya saja disyaratkan bagi semua itu menutupi bagian kaki yang harus dicuci saat wudhu, karena menutupi ini -berdasarkan konsensus para ulama-adalah merupakan syarat. Makna dari ungkapan, “pakaian yang biasa dikenakan pada kaki…” yaitu pakaian yang biasa dikenakan baik saat berada ditempat maupun saat bepergian, dan berdasarkan kebutuhan yang selalu terjadi, baik saat berada di rumah dan sedang berada di tempat maupun di luar itu, sebagaimana layaknya orang yang memakai sepatu. Dalam kasusu seperti ini tidak disyaratkan adanya jarak tempuh. Begitu juga halnya sama dengan sepatu dalam semua ketentuannya bagi kaus kaki, yakni diperbolehkan menyapunya tanpa harus mempertimbangkan, apakah kaus kaki itu tebal atau tipis, baik bersandal maupun tidak, berdasarkan hadits yang dikemukakan dari al Mughirah bin Syu’bah r.a. :
“Sesungguhnya Nabi saw. berwudhu dan menyapu kaus kaki dan sandalnya”.
Diriwayatkan juga dari Umar dan Ali r.a. bahwa menyapu kaus kaki sekalipun kaus tersebut tipis adalah diperbolehkan. Menyapu sepatu atau kaus kaki ini diperbolehkan dengan syarat bila dikenakan dalam keadaan suci secara sempurna, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Bakar r.a. :
“Bahwasanya Rasulullah saw. telah memberi keringanan bagi musyafir selama tiga hari bersama malam-malamnya dan bagi yang mukim sehari semalam, jika ia bersuci terlebih dahulu lalu mengenakan sepatunya untuk disapu”.
Disunatkan dalam menyapu sepatu ini menyapu bagian atasnya, berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari al Mughirah bin Syu’bah r.a. bahwasanya dia berkata:
“Aku melihat Rasulullah saw. menyapu bagian atas kdua sepatunya”.
Bagi yang bersangkutan disunatkan pula menyapu bagian atas dan bagian bawah sepatu dengan cara ia menaruh tangannya ke dalam air, kemudian meletakkan telapak tangan kiri di bawah bagian belakang sepatu dan meletakkan telapak tangan kanannya di atas bagian depan sepatu, lalu ditarik sampai pada bagian belakangnya. Sedang telapak tangan kiri ditarik sampai pada bagian depannya. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh al Mughirah bin Syu’bah r.a. bahwasanya dia berkata:
“Aku telah membantu Rasulullah saw. berwudhu, pada waktu Perang Tabuk, lalu beliau menyapu bagian atas dan bagian bawah sepatunya”.
Namun demikian dalam menyapu sepatu itu tidak disyaratkan harus menyapu seluruh bagian sepatu.
8. Tayammum
Tayammum dari hadats kecil diperbolehkan, berdasarkan firman Allah swt.:
“…dan jika kalian sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (wc) atau menyentuh perempuan, lalu kaliantidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih):.
Begitu juga tayammum dari hadats besar, yakni junub, haid, dan nifas, diperbolehkan, berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari ‘ammar bin Yasir r.a. di mana ia berkata:
“Aku junub, lalu aku pun menggaruk-garukkan badan pada tanah. Kemudian aku sampaikan kepada Nabi saw. cara seperti itu, maka bersabdalah Nabi saw. : ‘Sesungguhnya cukup bagimu seperti ini: Beliau meletakkan kedua tangannya pada tanah dan meniup tanah yang menempel pada kedua tangannya. Kemudian dengan kedua tangannya itu beliau menyapu muka dan dua telapak tangannya’”.
Cara bertayammum adalah menyapu muka dan kedua tangan sampai dengan kedua sikutnya, seperti yang difirmankan oleh Allah SWT. :
“…lalu kalian tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah muka kalian dan tangan kalian dengan tanah itu.” (QS. Al Maidah 6)
Dalam hadits yang diriwayatkan dari ‘Ammar bin Yasir dikemukakan, sesungguhnya Nabi saw. telah bersabda :
“Dalam bertayammum itu (hanya) sekali menepuk (tanah) untuk muka dan kedua tangan”.
Namum demikian diperbolehkan dengan dua kali menepuk tanah, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Abu Umamah dan Ibnu Umar ra. Bahwasanya Nabi saw. bersabda:
“Tayammum itu dua kali menepuk (tanah); sekali tepukan untuk muka dan sekali tepukan (lagi) untuk kedua tangan sanpai dengan kedua sikutnya”.
Dan berdasarkan hadits Jabir yang mengemukakan :
“Tayammum itu sekali tepukan untuk muka dan sekali tepukan (lagi) untuk kedua tangan sampai dengan kedua sikutnya. Dan ini merupakan (cara) tayammum yang paling sempurna”.
Diperbolehkan dalam tayammum hanya dengan satu atau dua tepukan untuk menyapu muka dan kedua telapak tangan, sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh ‘Ammar di atas dan berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Daud juga dari ‘Ammar di mana ia telah berkata :
“Aku pernah bertanya kepada Nabi saw. tentang tayammum. Maka Beliau menyuruhku dengan hanya satu tepukan untuk muka dan kedua telapak tangan”.
Tayamum tidak diperbolehkan kecuali hanya dengan tanah yang bersih, karena yang dimaksud dengan ( ) dalam firman Allah SWT. ini adalah tanah yang bersih. Dalam kamus Al-Qamus dikemukakan ( ) adalah tanah. Al-Azhari berkata : Mayoritas para ulama berpendapat, sesungguhnya yang dimaksud dengan ( ) dalam firman Allah SWT ( ) adalah tanah. Dalam Fiqh al-Lughah karangan Ats-Tsa’labi dikemukakan : ( ) adalah tanah pada permukaan bumi. Begitu juga Ibnu Abbas dalam menafsirkan firman Allah SWT. ( ), yakni tanah yang bersih. Selanjutnya dalam hadits yang diriwayatkan oleh Hudzaifah bin Al-Yaman r.a. dikisahkan, sesungguhnya nabi saw. talah bersabda:
“Kita telah diberi keutamaan atas umat-umat yang lain dengan tifa: Bumi telah dijadikan bagi kita sebagai masjid, tanahnya telah dijadikan bagi kita suci, dan barisan-barisan kita telah dijadikan seperti barisan-barisan malaikat”.
Dalam hadits Muslim dari Hadits Hudzaifah -sebagai hadits marfu’-dikemukakan:
“Dan tanah telah dijadikan suci bagi kita”.
Dalam hadits Ali Karramallahu Wajhahu disebutkan:
“Dan tanah telah dijadikan suci bagiku”.
Kedua hadits di atas bersifat khusus, yakni bahwa yang dimaksud dengan ( dan ) adalah tanah yang dipermukaan bumi ( ). Oleh karena itu, hendaklah makna ( ) diberi makna yang khusus, seperti yang termaktub dalam hadits Abu Umamah:
“Dan bumi (maksudnya tanah) seluruhnya telah dijaikan masjid dan suci bagiku dan bagi umatku”.
Makna ini telah diperkuat lagi dengan hadits yang diriwayatkan oleh Hudzaifah :
“Dan bumi seluruhnya telah dijadikan masijid bagi kita dan tanahnya telah dijadikan suci bagi kita jika kita tidak memperoleh air”.
Kemudian dari pada itu, lafadz ( , yakni usaplah oleh kalian) juga menghendaki adanya sesuatu yang disapu dengannya. Hal ini juga tidak mungkin terjadi kecuali bila ada tanah yang menempel pada kedua telapak tangan pada waktu ditepukkan pada permukaan bumi (tanah). Dengan demikian, maka tanah itu harus berdebu sehingga benar-benar ada yang menempel pada anggota yang disapu. Sedangakan kerikil ( ) yang tidak berdebu, maka tidak boleh bertayamum dengannya. Kemudian tayamum ini tidak sah tanpa niat.
Bilamana hendak tayamum, sama halnya dengan wudlu, yang bersangkutan disunnatkan membaca basmalah, yakni menyebut nama Allah Azza wa Jalla. Kemudian ia wajib niat, selanjutnya menepukkan kedua telapak tangannya pada tanah dan menenggelamkan jari-jemari jika tanah itu lembut. Seandainya ia tidak menepukkan dan hanya meletakkan kedua telapak tangannya pada tanah tersebut sudah dianggap memadai (boleh). Sesudah itu, ia menyapu muka dengan rata ke seluruh bagian muka sampai pada batas tempat tumbuh rambut kepala bagi yang berambut normal. Langkah berikutnya, ia menepukkan, ia menepukkan kedua telapak tangannya untuk kedua kalinya dan meletakkan bagian dalam jari jemari bagian luar sebelah kanan, dan menariknya melintasi bagian luar telapak tangan sampai sikut, kemudian memutarnya pada bagian dalam sikut dan menariknya dengan mengangkat ibu jari sampai pergelangan tangan. Ketika telapak tangan kiri sampai pada pergelangan, maka ibu jari tangan kiri ditarik ke atas ibu jari tangan kanan, kemudian tangan kiri disapu dengan telapak tangan seperti yang dilakukan sebelumnya dan pada akhirnya ia menyapu kedua telapak tangannya dengan menjarangkan jari jemari secara bergiliran . Fardlu tayamum dari tata cara di atas, yaitu: Niat, menyapu muka, menyapu kedua tangan, dan mendahulukan muka daripada tangan. Sedangkan sunnat-sunnatnya: membaca basmalah dan mendahulukan tangan kanan dari tangan kiri. Tayamum tidak boleh dilakukan kecuali karena tidak mendapatkan air atau karena yang bersangkutan berhalangan menggunakan air. Adapun yang menjadi alasan, mengapa orang yang mendapatkan air tidak diperbolehkan tayamum adalah firman Allah SWT.:
“…, lalu kalian tidak memperoleh air, maka bertayamumlah”. (QS. 5: 6)
Dalam sebuah riwayat Rasulullah saw. bersabda:
“Tanah yang baik (bersih) adalah wudlunya seorang muslim ketika ia tidak mendapatkan air”.
Orang yang berhajat air karena kehausan dianggap seperti orang yang tidak mendapatkan air, sehingga oleh karenanya ia tidak boleh wudlu dengannya. Dalam kasus seperti ini ia harus lebih mengutamakan menyimpan air untuk persediaan minum. Taymmum tidak boleh dilakukan kecuali sudah benar-benar diusahakan untuk mendapatkan air namun tidak diperoleh, sesuai dengan makna yang dikehendaki oleh firman Allah SWT.: “…, lalu kalian tidak memperoleh air”. Kemudian berusaha agar memperoleh air tidk sah kecuali sesudah masuk waktu shalat, karena berusaha agar memperoleh air motifnya untuk mengukuhkan syarat boleh tayammum, yaitu karena tidak ada air. Pada waktu mencari air yang bersangkutan harus menengok ke kanan dan ke kiri, di samping menengol ke depan dan ke belakang. Jika terpampang di depannya gunung atau apa saja yang menghalangi, maka ia pun harus memperhatikan lingkungan di sekitarnya. Seandainya ia berteman, maka ia harus bertanya dan berkonsultasi tentang air bersamanya. Ketika dia memberinya, maka ia harus menerimanya. Pada waktu dia menjualnya dengan harga yang wajar dan ia memiliki uang untuk membelinya, maka air tersebut harus dibelinya. Kemudian saat ada seseorang yang menunjukkan tempat ditemukan air dan ia tidak khawatir akan kehabisan waktu shalat, tidak takut tertinggal teman, tidak cemas akan bahaya yang mengancam diri dan hartanya, maka ia harus mengejarnya. Dalam tayammum juga disyaratkan, hendaknya dilakukan sesudah waktu shalat tiba, dan tayammum hanya berlaku bagi satu kali mengerjakan shalat fardlu. Dalam hadits yang diriwayatkan dari ‘Amr bin Syu’ib dari ayahnya dari kakeknya, dia berkata, Rasulullah telah bersabda:
“Telah dijadikan tanah sebagai masjid dan suci bagiku, sehingga kapan saja waktu shalat menemuiku maka aku pun menyapu dan shalat”.
Apabila seorang mukallaf tidak mendapatkan, baik air maupun tanah, karena dia dikurung di dalam ruangan yang najis atau dalam ruangan tertembok, atau dalam tanah keras yang tidak berdebu, maka tetap ia harus shalat sesuai dengan kondisi tanpa harus mengulang saat air ditemukan. Kasus seperti ini didasarkan pada hadits Aisyah r.a. bahwasanya ia pernah meminjam kalung dari Asma’ dan kalung tersebut hilang. Kemudian Rasulullah saw. menyuruh para sahabat untuk mencarinya dan saat mereka melakukan pencarian waktu shalat pun tiba, lalu mereka pun shalat tanpa wudlu. Ketika mereka kembali kepada Nabi saw. mereka pun mengadukan hak itu kepadanya, maka turunlah ayat tayammum. Mereka telah shalat tanpa wudlu dan Rasulullah saw. juga tidak menyuruh mereka untuk mengulangi kembali shalat mereka. Dalam hal ini kita mengacu pada hadits Nabi saw.:
“Apa yang telah aku larang untuk kalian, maka jauhilah. Dan apa yang aku perintahkan untuk kalian, maka kerjakanlah sedapat mungkin”.
Sebagai orang muslim kita diperintah untuk mendirikan shalat menepati syarat dan rukunnya. Bilamana sebagian ketentuannya tidak bisa dipenuhi, maka ketentuan yang lainnya tetap harus ditepati. Hal ini seperti bila seseorang tidak kuasa menutup aurat, maka hendaklah ia shalat tanpa menutup aurat. Atau sekiranya seseorang tidak bisa menentukan arah kiblat, maka hendaklah ia shalat ke arah mana saja yang ia yakini bahwa di sana arah kiblat. Atau saat seseorang tidak mampu memenuhi salah satu rukunnya, seperti berdiri, maka hendaklah shalat sambil duduk. Atau kalau seseorang tidak dapat memperoleh air, bahkan tanah sekalipun, maka hendaklah ia shalat tanpa wudlu atau tayammum. Dengan cara seperti itu, berarti
halaman 29 hasil terjemahan, nggak ada
membalut kepalanya dengan pembalut (kain) lalu menyapunya, dan mencuci seluruh tubuhnya”.
9. Yang membatalkan wudlu
Segala yang keluar qubul dan dubur Bani Adam membatalkan wudlu, baik itu kotoran, air kencing, kentut, belatung, nanah, darah, kerikil, maupun lainnya. Tidak ada bedanya dalam hal ini, baik itu yang langka maupun yang biasa. Begitu juga tidur, hilang akal bukan karena tidur, menyentuh kulit wanita, memegang kemaluan, semua ini membatalkan wudlu. Sedang selain dari itu tidak membatalkan wudlu.
Dasar hukum mengaoa segala yang keluar dari qubul dan dubur Bani Adam membatalkan wudlu adalah:
Firman Allah SWT.:
“…atau salah seorang di antara kalian kembali dari tempat buang air (WC)” (QS. 5:6).
Sabda Rasulullah saw.:
“Tidak ada wudlu kecuali karena kentut yang bersuara atau (keluar) angin”.
Sabda Rasulullah dalam hadits lain:
“Bilamana salah seorang di antara kalian mendapatkan sesuatu dalam perutnya, maka yakinlah hal apakah sesuatu (benar-benar) telah keluar daripadanya atau tidak. Maka hendaklah ia tidak sampai keluar dari masjid sampai (benar-benar) ia mendengar bunyi (kentut) atau mendapatkan angin (mencium baunya)”.
Sabda Rasulullah saw. tentang madzi:
“Dzakarnya dicuci dan berwudlu”.
Sabda Rasulullah saw. tentang wadi:
“Dalam wadi (mengharuskan) wudlu”.
Tidur yang membatalkan wudlu, yaitu tidur sambil merebahkan badan, atau bersandar, atau telungkup. Sedangkan tidur yang dilakukan sambil duduk sementara pantat yang bersangkutan merapat pada tempat duduknya, maka hal itu tidak membatalkan wudlu sekalipun tidurnya itu sampai mendengkur. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ali Karramallahu Wajhahu dikemukakan, bahwa Nabi saw. telah bersabda:
“Kedua mata itu kekangnya ekor, maka barang siapa tidur hendaklah berwudlu”.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Anas ra. Dikemukakan, bahwasanya dia telah berkata:
“Para sahabat Rasulullah saw. pernah menunggu shalat Isya’ sehingga mereka tertidur sambil duduk, kemudian mereka shalat dan mereka tidak wudlu (terlebih dulu)”.
Sedang dalam riwayat Al-Baihaqi dikemukakan:
“Sungguh aku telah melihaat para sahabat Rasulullah saw. bangun tidur untuk shalat sampai aku pun mendengar salah seorang diantara mereka mendengkur (ngorok), namun kemudian mereka bangun lalu shalat dan tidak wudlu”.
Adapun hilang akal selain kerena tidur, yaitu gila atau sawan celeng, atau mabuk, atau sakit yang menimbulkan hilang kesadaran, mengapa semua itu membatalkan wudlu adalah berdasarkan konsensus para ulama, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Al-Mundzir.
Sedang alasan, bahwa menyentuh kulit wanita membatalkan wudlu adalah sebagaimana dikemukakan dalam firman Allah SWT dalam surah An-Nisa’ ayat 43 dan dalam surah Al-Maidah ayat 6, yaitu:
“…atau kalian menyentuh perempuan, lalu kalian tidak memperoleh air, maka bertayammumlah kalin”.
Dalam ayat di atas kata ( , yakni menyentuh) di’athafkan pada kata ( , yakni yang kembali dari tempat buang hajat) dan sebagai akibat dari kedua perbuatan tersebut timbulnya perintah tayammum ketika tidak diperoleh air. ‘Athaf seperti ini menunjukkan, bahwa menyentuh perempuan menimbulkan hadats seperti seorang yang kembali dari tempat buang hajat (selepas buang hajat besar atau kecil).
Makna dari ( dan ) adalah laki-laki menyentuh kulit perempuan dan sebaliknya tanpa ada penghalang diantara keduanya, sehingga batallah wudlu yang menyentuh. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT. ( , yakni atau kalian menyentuh perempuan). Dalam salah satu qiraat sab’ah ayat ini dibaca: ( ). Jadi menyentuh perempuan membatalkan wudlu. Kata ( ) menurut bahasa adalah semata-mata menyentuh dengan tangan dan tidak diartikan dengan makna bersetubuh melainkan sebagai kiasan (majaz) yang disertai dengan petunjuk (qarinah). Begitu juga kata ( ) di sini tidak dapat diartikan sebagai kata majaz kecuali ketika arti yang sebenarnya tidak mendukung. Al-Hakim telah berdalih, bahwa yang dimaksud dengan ( ) dalam ayat di atas adalah bukan bersetubuh, berdasarkan hadits Aisyah:
“Tidak pernah barang sehari atau kurang dari sehari melainkan Rasulullah saw. itu mendatangi kami, lalu beliau mencium dan menyentuh”.
Al-Baihaqi juga telah berdalil dengan hadits Abu Hurairah r.a.:
“Tangan itu zinanya menyentuh”.
Dalam kisah Ma’iz diceritakan:
“Bisa jadi kamu mencium atau menyentuh”.
Dalam hadits Umar dikemukakan:
“Ciuman itu merupakan sentuhan, maka wudlulah kalian karenanya”.
Semua dalil di atas menegaskan, bahwa ayat tersebut menunjukkan makna menyentuh secara hakiki, bukan majazi, yaitu menyentuh atau meraba dengan tangan. Hali ini diperkuat lagi dengan pemehaman para sahabat terhadap ayat ini, yakni bahwa ( ) yang berarti menyentuh (meraba) dengan tangan adalah membatalkan wudlu. Ibnu Umar telah menegaskan, sesungguhnya orang yang mencium isterinya atau menyentuh dengan tangannya, maka ia harus wudlu. Dalam hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud dikemukakan dengan ungkapan:
“Ciuman itu merupakan sentuhan dan karenanya mengharuskan wudlu”.
Sedangkan perihal hadits yang diriwayatkan dari Aisyah: “Sesungguhnya Nabi saw. mencium sebagian isterinya kemudian beliau shalat dan tidak wudlu (lagi)”. Ternyata semua periwayatannya dha’if. Bahkan lebih dari itu, sesungguhnya hadits tersebut berlawanan dengan teks ayat di atas. Adapun hadits lain yang diriwayatkan oleh Aisyah juga:
“…sehingga bila beliau bermaksud hendak witir beliau menyentuhku dengan kakinya”.
Kemudian dia dalam riwayat lain berkata:
“Jika beliau sujud, maka beliau juga mencandai aku lalu aku pun memegang kakiku, dan bila berdiri aku pun melepaskannya”.
Hadits ini juga berlawanan dengan ayat tersebut. Dengan demikian, kedua hadits di atas merupakan kekhususan bagi Nabi saw. Hal ini berdasarkan adanya nash qauli yang berlawanan. Bilamana ada pernyataan dalam Al_qur’an atau hadits, kemudian perbuatan Rasulullah saw. menyalahinya maka perbuatan tersebut merupakan kekhususan bagi beliau, dan hendaknya perbuatan tersebut tidak dijadikan ikutan. Sebab dalam kasus seperti ini, bahwasanya perbuatan Rasulullah saw. tidak pernah berlawanan dengan pernyataan umum yang dikemukakan dalam Al-Qur’an atau hadits. Begitu juga dalam kasus seperti ini tidak boleh dinyatakan, bahwa hadits tersebut berlawanan dengan ayat itu lalu makna yang terkandung dalam hadits yang dijadikan pegangan sekalipun dengan alasan, karena hadits tersebut sebagai tafsir bagi ayat itu. Hal tersebut jangan sampai terjadi, karena lafadz yang dikemukakan dalam ayat di atas, yaitu ( ) atau ( ), tidak bersifat umum kemudian hadits membuatnya bersifat khusus. Begitu pula hal tersebut jangan sampai dikatakan, bahwa ayat di atas bersifat mutlak kemudian hadits membatasinya serta jangan pula dinyatakan, bahwa lafadz dalam ayat di atas merupakan lafadz yang mempunyai banyak arti (musytarak) kemudian hadits menentukan makna yang dikehendaki. Selanjutnya jangan pula dianggap, bahwa lafadz yang bersifat mujmal kemudian hadits memerincinya, atau dianggap sebagai lafadz yang mubham (tidak jelas) kemudian hadits dikatakan sebagai penafsir dan penjelasnya. Semua itu jangan sampai terjadi, sebab lafadz dalam ayat di atas dalalahnya jelas dan hanya memiliki satu makna yang bersifat hakiki, sehingga adanya hadits yang berlawanan dengannya tidak bisa diterima dan sudah barang tentu hadits tersebut harus ditolak dan diarahkan pada makna lain selaras dengan maksud disabdakannya, yaitu bahwa makna yang dikandungnya itu bersifat khusus bagi Nabi saw. Atas dasar ini, maka ayat di atas dengan jelas menunjukkan bahwa menyentuh perempuan membatalkan wudlu. Hanya saja yang batal wudlunya itu adalah hanya yang menyentuh saja. Sedangkan yang disentuh tidak batal wudlunya. Hal ini dengan alasan, karena ayat di atas menunjukkan bahwa yang batal wudlunya itu hanya yang menyentuh dan tidak bagi yang disentuh, baik ditinjau dari segi mantuq, mafhum, maupun dari segi dalalah.
Alasan ini didukung dan diperkuat lagi oleh hadits yang meriwayatkan, sesungguhnya Aisyah r.a. berkata:
“Aku pernah kehilangan Rasulullah saw. dari tempat tidur (kasur). Kemudian aku bangun mencarinya, maka (ketika itu) tanganku menyentuh telapan kedua kakinya. Pada waktu beliau telah usai dari shalatnya, bersabdalah: Syaitanmu (tindakan tidak baik) telah mendatangimu”.
Dalam riwayat lain dikemukakan dengan ungkapan:
“…, maka (ketika itu) tanganku menyentuh bagian bawah kakinya dan beliau (saat itu) berada di masjid sedang kedua kakinya menjulur dan beliau sedang berdao: (Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada ridha-Mu dari murka-Mu)”.
Hadits ini menunjukkan , bahwa yang disentuh tidak membuat wudlunya batal. Sebab sekiranya yang disentuh wudlunya batal, niscaya Rasulullah saw. memutuskan shalatnya ketika Aisyah menyentuhnya. Dalam kasus ini tidak ada perbedaan antara yang menyentuh itu apakah perempuan atau laki-laki, yakni bahwa yang batal wudlunya adalah yang menyentuh, sedangkan yang disentuh tidak. Akan tetapi bila kulit laki-laki dan perempuan saling bersentuhan, maka keduanya batallah wudlunya. Sebab dalam hal ini keduanya dianggap menyentuh . Adapun bilamana salah seorang diantara keduanya menyentuh rambut lawan jenisnya, atau giginya, atau kukunya, atau ia menyentuh lawan jenisnya dengan gigi, atau rambut, atau dengan kukunya, maka hal itu tidak membatalkan wudlunya kerena kasus ini tidak dianggap menyentuh. Begitu juga tidak membatalkan wudlu, jika seseorang menyentuh perempuan yang masih ada tali kekerabatan yang tidak boleh dikawanini atau belum dewasa, sebagaimana diriwayatkan dalam sebuah hadits:
“Sesungguhnya Nabi saw. pernah shalat sambil memangku Umamah binti Zainab r.a. Maka bila beliau sujud, beliau meletakkannya dan bila berdiri, beliau pun mengangkatnya”.
Umamah saat itu adalah seorang anak perempuan kecil dan muhrim atas Nabi saw.; termasuk muhrim pula -selain cucu perempuan-- perempuan yang ada tali kekerabatan, seperti: ibu, anak perempuan, saudara perempuan, anak perempuan saudara laki-laki, anak perempuan saudara perempuan, bibi dari ayah, bibi dari ibu, sebagaimana termasuk muhrim juga, perempuan yang haram dinikahi karena satu susuan, atau karena jadi mertua, anak perempuan isteri. Adapun haram dinikahi untuk sementara, seperti: saudara perempuan isteri, bibi dari pihak ayah dan ibunya, mereka itu dapat membatalkan wudlu ketika disentuhnya.
Sementara soal menyentuh kemaluan, sesungguhnya hal ini baru dapat membatalkan wudlu jika disentuh dengan bagian dalam telapak tangan, sebagaimana dikemukakan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Yusrah bin Shafwan r.a. yaitu sesungguhnya Nabi saw. telah bersabda:
“Apabila seseorang di antara kalian menyentuh (meraba) kemaluannya (dzakar), maka wudlulah”.
Sedangkan jika seseorang menyentuh kemaluan hanya dengan bagian atas telapak tangannya, maka hal itu tidak membatalkan wudlunya, seperti dinyatakan oleh Abu Hurairah r.a. bahwasanya Nabi saw. bersabda:
“Bilamana seseorang di antara kalian memnjulurkan tangan pada dzakarnya sedang di antara keduanya tidak ada penghalang, maka perbaharuilah wudlunya untuk shalat”.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Yusrah binti Shafwan juga dikemukakan, sesungguhnya Nabi saw. telah bersabda:
“Barangsiapa menyentuh dzakarnya, maka baginya tidak boleh shalat sampai ia berwudlu”.
Kemudian dalam hadits yang dorowayatkan oleh Imam Ahmad dan An-Nasai dari Yusrah diceritakan, bahwasanya dia (Yusrah) mendengar Rasulullah saw. bersabda:
“Dan berwudlulah orang yang menyentuh dzakarnya”.
Pengertian menyentuh dzakar dalam hadits tersebut meliputi dzakar yang bersangkutan dan dzakar orang lain.
Selanjutnya dalam hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. dikemukakan lagi:
“Barangsaiapa menjulurkan tangan pada dzakarnya tanpa penghalang, maka kepadanya wajib wudlu”.
Pengertian dari menjulurkan tangan tidak lain yaitu memanjangkan tangan untuk menyentuh (meraba) sesuatu dan sudah barang tentu menyentuh atau lebih tegasnya lagi meraba adalah dengan bagian bawah (dalam) telapak tangan, bukan dengan bagian atas (luar) tangan karena bagian atas telapak tangan bukan alat untuk meraba. Begitu pula halnya menyentuh dzakar orang lain sama dengan menyentuh kemaluan diri sendiri, dan menyentuh qubul dan dubur (Bani Adam) sama seperti menyentuh dzakar, adalah merupakan tindakan yang membatalkan wudlu. Atas dasar ini, maka bilamana seseorang, baik laki-laki maupun perempuan, meraba qubul dirinya tau qubul orang lain, baik anak kecil, atau orang dewasa, apakah ia hidup atau mati, laki-laki maupun perempuan, maka batallah wudlunya, sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya dari Nabi saw.:
“Siapapun laki-laki yang meraba farjinya (qubul maupun dubur), maka berwudlulah. Dan siapapun perempuan yang meraba farjinya, maka berwudkulah”.
Dalam hadits Ummu Habibah juga dikemukakan:
“Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: Barangsiapa meraba farjinya, maka berwudlulah”.
Begitu juga halnya orang yang meraba farjinya orang lain sama dengan meraba farjinya sendiri, karena masih sama-sam farji bani Adam. Lain halnya bila seseorang meraba farji binatang, maka hal itu tidak membatalkan wudlu karena farji binatang tidak termasuk dalam konteks lafadz farji seperti yang dikemukakan dalam hadits nabi saw. yang bersifat khusus untuk farji Bani Adam. Yang batal wudlunya di sini adalah hanya yang meraba saja, sedang yang diraba tidak batal karena hadits di atas juga hanya menyatakan kepada yang meraba dan yang mengulurkan tangannya saja, yakni tidak menyatakan kepada yang diraba, baik secara tekstual maupun secara kontekstual, sehingga oleh karenanya maka hadits di atas menujukkan bahwa yang diraba kemaluannya tidak batal wudlunya.
Inilah beberapa hal yang membatalkan wudlu. Bilamana seseorang melakukan salah satu dari kelima hal tersebut, maka batallah wudlunya dan jadilah ia berhadats kecil. Kemudian daripada itu, barang siapa mempunyai wudlu dan ia benar-benar yakin bahwa dirinya suci dari hadats kecil, namun kemudian ragu; apakah ia telah hadats atau belum, maka keraguan tersebut jangan dianggap, sebagaimana dikemukakan dalam hadits yang diriwayatkan dari Ubbad bin Tamim dari pamannya:
“Bahwasanya ia telah mengadu kepada Rasulullah saw. tentang seorang laki-laki yang mengira bahwa dirinya mendapatkan sesuatu saat sedang shalat, maka bersabdalah beliau: Janganlah ia beranjak atau berpaling sampai mendengar suara atau mendapatkan angin (bau kentut)”.
Barang saipa batal wudlunya (berhadats kecil), maka haram baginya shalat berdasarkan sabda Nabi saw.:
“Allah tidak menerima shalat tanpa wudlu”.
Dalam hadits lain beliau bersabda:
“Allah tidak akan menerima shalat seseorang di antara kalian bila (ternyata) ia dalam keadaan hadats dampai dia berwudlu”.
Hukum sujud tilawah dan sujud syukur juga sama seperti shalat, yakni harus suci dari hadats kecil (harus mempunyai wudlu). Begitu pula halnya thawaf, sebagaimana dikemukakan dalam sabda Nabi saw.:
“Thawaf di Baitullah adalah (sama seperti) shalat, hanya saja dalam thawaf sesungguhnya Allah telah membolehkan bercakap-cakap (berbicara)”.
Kemudian bagi orang yang batal wudlunya diharamkan menyentuh mushhaf (Al Qur’an).
Firman Allah Ta’ala :
“…. tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan” (QS. 56 : 79)
Kata ganti (dhamir) dalam ayat ini merupakan pengganti dari lafadz (alqur’an) yang terdapat pada ayat sebelumnya, yaitu :
“Sesungguhnya Al Qur’an ini adalah bacaan yang sangat mulia, pada kitab yang terpelihara (Lauhul Mahfuzh)” (QS. 56: 77-78)
Adapun yang dimaksud dengan (almuthahharun) yakni, orang-orang yang disucikan), yaitu orang-orang yang disifati sebagai orang-orang suci dari hadats kecil dan hadats besar. Pendapat ini diperkuat oleh hadits yang menceritakan, sesungguhnya Nabi saw. telah berkirim surat kepada penduduk Yaman yang berisi:
“Tidak boleh menyentuh Al Qur’an kecuali orang yang suci”.
Menyentuh mushhaf pengertiannya meliputi menyentuh tulisan, sampul, catatan pinggir, dan seluruh yang dikatagorikan bahwa hal itu sebagai mushhaf. Sedang tempat menyimpan dan yang tidak dikatagorikan sebagai mushhaf tidak diharamkan menyentuhnya.
10. Mandi Besar
Yang mengharuskan mandi besar adalah : Melakukan hubungan sebadan (memasukkan kemaluan -hasyafah- ke dalam farji), keluar mani (ejakulasi), haid, dan nifas.
Dalil yang mengharuskan mandi besar karena melakukan hubungan sebadan adalah hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah ra., bahwasanya Nabi saw. telah bersabda :
“Bilaman dua yang dikhitan bertemu, maka mandi besar (hukumnya) wajib”
Bertemunya dua yang dikhitan terjadi dengan memasukkan hasyafah ke dalam farji. Hasyafah adalah bagian kelamin yang dikhitan. Hasyafah laki-laki adalah bagian yang dikhitan, yakni yang dibuang kulit penutupnya. Sedang bagian yang dikhitan pada perempuan adalah kulit berbentuk seperti jewer ayam jantan yang terletak di bagian atas vagina. Bilamana hasyafah tersebut masuk ke dalam farji, yakni antara bagian yang dikhitan pada laki-laki dan perempuan saling bertemu dan bersentuhan, maka yang bersangkutan wajib mandi besar sekalipun ia memasukkan hasyafahnya ke dalam farji binatang, baik hidup maupun mati si empunya farji itu, baik yang bersangkutan sampai keluar mani atau tidak. Hal ini sebagaimana dikemukakan dalamn sebuah hadits, bahwasanya Nabi saw. telah bersabda :
“Bilamana seorang duduk diantara empat pangkalnya (paha) dan dua yang dikhitan menempel, maka wajiblah mandi besar sekalipun ia tidak sampai keluar mani”.
Dalil yang mengharuskan mandi besar karena keluar mani adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id al Khudri ra. Sesungguhnya Nabi saw. telah bersabda :
“Sesungguhnya air (mani) itu dari air”
Mandi besar karena keluar air mani ini diharuskan baik keluarnya dalam keadaan yang bersangkutan sedang dalam keadaan (jaga) maupun sedang dalam keadaan tidur. Ummu Salamah ra. Telah meriwayatkan sebuah hadits:
“Telah datang Ummu Sulain -istri Abu Thalhah-kepada Rasulullah saw. lalu bertanya: Ya Rasulullah, sesungguhnya Allah tidak malu dari yang baik; apakah perempuan harus madi besar jika ia mimpi bersetubuh? Beliau menjawab: Ya, jika ia melihat air (mani)”.
Apabila sesorang mimpi bersetubuh namun ia tidak sampai keluar air mani atau ia ragu; apakah ia sampai keluar air mani karenanya, maka kepadanya tidak wajib mandi besar. Sedangkan bila ia mendapatkan air mani sekalipun ia tidak ingat bahwa dirinya telah mimpi bersetubuh, maka kepadanya wajib mandi besar. Hal ini sebagimana diriwayatkan oleh Aisyah ra.:
“Sesungguhnya Nabi saw. pernah ditanya tentang seorang laki-laki mendapatkan (dirinya) kebasahan, naum ia tidak ingat; apakah dirinya mimpiu bersetubuh. Bersabdalah beliau: Ia wajib mandi besar. Dan tentang seorang laki-laki yang mendapatkan bahwa dirinya mimpi bersetubuh namun ia tidak mendapatkan dirinya kebasahan, beliau bersabda: Tidak wajib madi besar kepadanya”
Keharusan mandi besar ini semata-mata hanya karena keluar air mani saja, sehingga oleh karenanya tidak wajib mandi besar karena keluar madzi atau wadi. Madzi adalah air (cairan) yang keluar karena rangsangan seksual. Sedangkan wadi yaitu cairan yang keluar saat kencing (buang air kecil). Ketetapan ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ali karramallahu wajhahu, bahwasanya ia berkata:
“Aku adalah seorang yang mudah keluar air madzi, sehingga di musim dingin pun aku tetap mandi besar sampai punggungku sakit karenanya. Kemudian aku mengadukan hal itu kepada Nabi saw. lalu beliau berkata: Jangan kau lakukan! Bilamana engkau mendapatkan air madzi, maka cucilah dzakarmu dan berwudhulah untuk shalat”
Dalil yang mengharuskan mandi besar karena datang bulan (haid) adalah :
Firman Allah Ta’ala :
“Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: haid itu adalah suatu kotoran. Oleh sebab itu, hendaklah kalian menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kalian dekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu” (QS. 2 : 222)
Sabda Rasulullah saw. yang disampaikan kepada Fatimah binti Abu Hubaisy:
“Apabila datang haid, maka tinggalkanlah shalat, dan apabila telah berlalu, maka mandi besar dan shalatlah”
Sedangkan dalil yang mengharuskan mandi besar karena nifas adalah disebabkan darah nifas merupakan darah haid yang tertunda keluarnya. Begitu juga halnya wiladah sama dengan nifas dalam keharusan mandi besar, sekalipun tidak sampai mengeluarkan darah, sebab saat bersalin tentu keluar cairan walau hanya sedikit. Oleh karena itu, bersalin sama seperti darah nifas.
Orang junub diharamkan shalat, thawaf, dan menyentuh mushhaf (Al Qur’an). Sebab jangankan karena junub, dikarenakan hadats kecil saja hal itu diharamkan. Maka diharamkannya hal tersebut bagi orang junub (berhadats besar) sikap yang lebih diutamakan. Begitu juga kepadanya diharamkan membaca Al Qur’an, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Umar ra., sesungguhnya Nabi saw. telah bersabda:
“Orang junub dan yang sedang haid tidak boleh sedikitpun membaca Al-Qur’an”.
Begitu juga kepada orang junub ini diharamkan berdiri di masjid, namun tidak mengapa kalau hanya sekedar berlalu.
Firman Allah SWT.:
“…, (jangan pula hampiri masjid) sedang kalian dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja” (QS. 4: 43).
Bilamana seseorang bermaksud hendak mandi besar dari junub, maka pertama-tama dia menyebut nama Allah (membaca basmalah) dan selanjutnya berturut-turut dia; niat bersuci dari hadats besar; mencuci kedua telapak tangannya tiga kali sebelum dimasukkan ke dalam tempat air; mencuci bagian yang terkena cairan; berwudlu seperti wudlu untuk shalat; memasukkan seluruh jari jemari ke dalam air; mengambil air dengannya dan menyiramkannya pada kepala sambil menjarangkan (menggaruk) pangkal rambut dan jenggot; mengambil air dengan kedua telapak tangan dan menyiramkam air ke seluruh tubuh; menggosok seluruh bagian badan yang bisa dijangkau oleh tangan dan berpindah tempat ; mencuci kedua kaki. Tata cara mandi besar ini berdasarkan gambaran yang dikemukakan oleh Aisyah dan Maimunah r.a. ketika keduanya mensifati mandi besar yang dilakukan oleh Rasulullah saw.
Dalam hadits yang diriwayatkan dari Aisyah r.a. dikemukakan:
“Sesungguhnya Nabi saw. bilamana beliau bersuci dari hadats besar (janabah), pertama mencuci kedua tangannya, kemudian berwudlu seperti wudlu untuk shalat, kemudian memasukkan jari-jemarinya ke dalam air lalu menjarangkan pangkal rambut kepala dengannya, kemudian menuangkan air pada kepalanya tiga kali yang diambil dengan merapatkan kedua telapak tangannya, kemudian menuangkan air pada seluruh kulitnya”.
Dalam hadits yang diriwayatkan dari Maimunah r.a., dia berkata:
“Rasulullah saw. berwudlu seperti wudlu untuk shalat tanpa mencuci kedua kakinya dan beliau mencuci farjinya serta mencuci bagian yang terkena cairan, kemudian beliau menyiramkan air pada badannya, kemudian menuju pada kedua kakinya lalu mencucinya. Ini adalah bersuci janabah”.
Yang termasuk sebagai fardlu dalam bersuci dari hadats besar adalah: Niat dan menyiram seluruh badan dengan air bersih. Sedang di luar kedua poin ini adalah sunat. Cara bersuci dari hadats besar bagi laki-laki dan perempuan adalah sama seperti gambaran di atas. Dan bersuci dari hadats besar boleh dilakukan dari air dalam bak, di bawah air terjun, dari air ledeng, boleh dilakukan di laut, di sungai, di sumur, dan sebagainya. Semua itu boleh dipilih selama memenuhi fardlu mandi besar, namun yang paling afdhal adalah yang bisa mencakup sunat-sunat mandi besar.
11. Najis
Yang dikategorikan sebagai benda najis, yaitu: Air kencing, tahi, muntah, madzi, wadi, selain mani Bani Adam, darah, nanah, cairan luka, darah janin (al ‘alaqah), bangkai, arak, minuman keras selain arak, anjing, babi, daging keledai kampung, dan setiap benda yang terkena oleh salah satu benda najis tersebut.
Dalil yang menunjukkan bahwa air kencing najis yaitu hadits yang diriwayatkan dari Anas r.a. :
“Sesungguhnya seorang Arab dari dusun telah kencing di salah satu sudut masjid (Nabawi). Maka Nabi saw. menyuruh agar mengambil seember air lalu disiramkannya”
Dalil yang menunjukkan bahwa tahi manusia najis yaitu konsensus para shahabat Nabi saw.. Sedang dalil yang menunjukkan bahwa tahi binatang dan tahi burung najis adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud r.a. di mana ia berkata :
“Aku datang kepada Nabi saw. dengan membawa dua buah batu dan sebuah kotoran (keledai). Beliau mengambil kedua batu tersebut dan melemparkan kotoran (keledai), lalu bersabda: Sesungguhnya itu adalah najis”
Dalil yang menunjukkan bahwa muntah najis, baik muntah manusia maupun binatang adalah konsensus para ulama.
Dalil yang menunjukkan bahwa madzi najis adalah hadits yang diriwayatkan dari Ali karamallahu wajhah yang mengatakan :
“Aku adalah seorang yang mudah keluar madzi. Maka aku menyampaikan hal itu kepada Rasulullah saw., lalu bersabdalah beliau: Bilaman engkau melihat madzi, maka cucilah dzakarmu”.
Adapun dalil yang menunjukkan bahwa wadi najis adalah dikarenakan wadi keluar dari air kencing, sehingga hukumnya sama dengan hukum air kencing. Sedangkan dalil yang menjadi alasan, mengapa wadi selain bani Adam juga najis, karena wadi tersebut keluar dari tempat keluar air kencing, sehingga hukumnya sama dengan hukum air kencing. Dikecualikan dari air kencing air mani Bani Adam, yakni bahwa air mani Bani Adam adalah suci. Dalam hadits yang diriwayatkan dari Aisyah r.a. dikemukakan:
“Bahwasanya ia (Aisyah r.a. menggosak-gosok air mani agar terkelupas dari baju Rasulullah saw. sedang beliau dalam keadaan shalat”.
Seandainya air mani (bani Adam) najis, sudah barang tentu shalat tidak akan dikerjakan oleh beliau sementara baju yang dikenakannya ada air mani yang menempel.
Dalil yang menunjukkan bahwa darah najis adalah hadits yang diriwayatkan dari Asma’ r.a. bahwasanya ia berkata :
“Seorang perempuan telah datang kepada Rasulullah saw, kemudian ia berkata: Salah seorang diantara kami bajunya terkena darah haid; bagaimanakah kami harus berbuat dengannya? Beliau bersabda: Gosoklah, kemudian bilasnlah bersama air, kemudian cucilah dengannya (air), kemudian shalatlah dengannya”.
Begitu juga nanah hukumnya najis seperti darah, karena nanh ini tidak lain adalah darah membusuk, Sedangkan cairan luka, hendaklah terlebih dahulu diperhatikan: jika mengeluarkan bau busuk, maka cairan luka tersebut najis seperti nanah. Sedangkan bila tidak mengeluarkan bau busuk, maka cairan luka itu bersih, seperti peluh. Selanjutnya mengenai hukum ‘alaqah (janin yang masih berupa segumpal darah) sama dengan hukum darah, karena ‘alaqah ini adalah merupakan darah yang keluar dari rahim sehingga sama dengan darah haid.
Dalil yang menjadi alasan bahwa bangkai najis adalah konsensus para ulama. Kan tetapi dikecualikan dari semua jenis bangkai, bangkai ikan dan belalang serta manusia, ketiganya adalah suci berdasarkan hadits mauquf yang diriwayatkan dari Ibnu Umar r.a., bahwasanya ia berkata :
“Dihalalkan bagi kita dua (jenis) bangkai dan dua (jenis) darah. Adapun dua (jenis) bangkai, yaitu ikan dan belalang. Sedang dua (jenis) darah, yaitu hati dan paru-paru”
Tentang bangkai manusia, Rasulullah saw. bersabda :
“Sesungguhnya orang beriman tidak najis”
Dalil yang menunjukkan bahwa arak najis adalah konsensus para ulama.
Dalil yang menunjukkan bahwa anjing najis adalah hadits yang meriwayatkan:
“Sesungguhnya Nabi saw. pernah diundang untuk hadir di sebuah rumah, maka beliau pun berkenan memenuhinya. Dan pernah (juga) diundang untuk hadir di sebuah rumah (yang lain), namun beliau tidak mau memenuhinya. Lalu beliau ditanya karenanya dan beliau menjawab: Sesungguhnya di rumah si fulan ada anjing. Kemudian dikemukakan kepada beliau: Bahwa di rumah si Fulan ada kucing. Bersabdalah beliau: Kucing itu tidak najis”
Dalam hadits yang diriwayatkan dari abu Hurairah r.a. sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda:
“Apabila anjing menjilat perkakas seseorang di antara kalian, maka tumpahkanlah, kemudian cucilah perkakas itu tujuh kali”.
Berdasarkan hadits di atas, maka anjing itu najis.
Adapun dalil yang menjadi alasan bahwa babi adalah konsensus (ijma’) para sahabat Nabi saw.
Dalil yang menunjukkan bahwa daging keledai kampung adalah najis adalah hadits yang diriwayatkan dari Anas r.a., bahwasanya dia berkata:
“Kami pada waktu menaklukkan Khaibar memasak daging keledai. Kemudian seseorang yang disuruh Rasulullah memanggil: Sesungguhanya Allah dan Rasul-Nya melarang kalian memakan daging keledai karena itu adalah kotor dan najis”.
Alasan dinyatakan najis benda yang terkena benda najis, karena najis tersebut jadi menempel padanya disebabkan basah umpanya. Sedangkan bila ternyata najis itu tidak menempel, seperti tangan yang menyentuh anjing namun dalam keadaan kering sehingga tidak ada bekas yang ditinggalkan, maka hal itu tidak membuat tangan menjadi najis. Sedangkan bila salah satunya dalam keadaan basah, maka benda suci yang tersentuh oleh anjing tersebut menjadi najis.
12. Menghilangkan Najis
Bilamana anjing menjilat perkakas atau salah satu anggota tubuhnya menyentuh perkakas tersebut dan salah satu anggota tubuh anjing itu dalam keadaan basah atau yang basah itu adalah perkakas, maka perkakas tersebut menjadi tidak bersih (najis) sampai perkakas itu dicuci tujuh kali dan salah satunya harus dengan tanah. Ketentuan ibi berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., bahwasanya Nabi saw. telah bersabda:
“Cara membersihkan perkakas seseorang di antara kalian jika dijilat anjing adalah dengan mencucinya tujuh kali dan salah satunya sengan tanah”.
Babi adalah binatang yang disamakan dengan anjing karena keadaan babi lebih buruk dari anjing, sehingga pada saat hukum babi disamakan dengannya ini adalah merupakan langkah yang dianggap lebih pantas.
Cara untuk membersihkan benda yang terkena air kencing bayi laki-laki yang belum diberi makan selain ASI adalah cukup hanya dengan memercikkan air padanya dan tidak perlu sampai bercucuran. Sedangkan untuk bayi perempuan tidak demikian halnya, takni harus dicuci seperti sesuatu yang terkena air kencing orang dewasa. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ali Karramallahu Wajhahu, bahwasanya Nabi saw. telah bersabda tentang air kencing bayi:
“Hendaknya dicuci air kencing bayi wanita, dan (cukup) diperciki dari air kencing bayi laki-laki”.
Adapun cara membersihkan benda yang terkena selain najis air kencing bayi ini, maka hendaklah diperhatikan: Najis seperti tahi dan bangkai (bersifat padat) itu sendiri tidak dapat dibersihkan walau dicuci sekalipun. Oleh karena itu bila najis tersebut jatuh pada benda suci, maka untuk membersihkannya dzatiyah najis tersebut harus dihilangkan kemudian bekasnya dicuci. Sedangkan bila najis tersebut bersifat cair, seperti: air kencing, darah, arak dan sejenisnya, maka untuk membersihkan benda terkena olehnya dengan cara dicuci sekali cucian, sebagaimana dikemukakan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim:
“Nabi saw. telah menyuruh mereka (para sahabat) agar menyiramkan air pada bekas air kencing seorang Arab dari dusun dengan seember air”.
Bilamana bagian bawah sepatu mengenai najis, maka hendaklah diperhatikan: jika najis tersebut basah, maka sepatu tersebut harus dicuci. Sedangkan jika najis itu kering, maka cukup hanya dengan digosokkan pada tanah. Hal ini sebagaimana dikemukakan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id Al-Khudri r.a., bahwasanya Nabi saw. telah bersabda:
“Apabila salah seorang di antara kalian datang ke masjid, maka perhatikanlah kedua sandalnya. Bilamana pada bagian bawahnya terdapat kotoran, maka sapukanlah pada tanah kemudian shalatlah dengan mengenakannya”.
Cara untuk menghilangkan semua najis, baik najis yang bersifat cair; seperti darah, maupun yang bersifat padat; seperti tahi, adalah hanya dengan air, tidak bisa dengan yang lainnya, sekalipun itu bersifat cait, kecuali jika ada nash yang membolehkannya. Namun demikian, nash tersebut pun hanya khusus untuk yang dimaksud saja. Cara menghilangkan najis dengan dengan air ditetapkan oleh sekian banyak hadits shahih, antara lain:
Dari Asma’inti Abu Bakar r.a., ia berkata:
“Seorang perempuan telah datang kepada Nabi saw., lalu ia bertanya: Salah seorang di antara kami bajunya terkena darah haid, bagaimanakah kami harus berbuat? Maka beliau menjawab: Hendaklah ia membilasnya untuk menghilangkan dzatiyahnya, kemudian menggaruknya dengan jari jemarinya bersama air, kemudian mencucinya, kemudian shalat dengannya”.
Dari Abdullah bin Umar, bahwasanya Abu Tsa’labah telah berkata:
“Ya Rasulullah, berilah kami fatwa tentang perkakas orang-orang majusi mana kala kami terpaksa membutuhkannya! Beliau bersabda: Mana kala kalian terpaksa membutuhkannya, maka cucilah dengan air dan masaklah kalian dengannya!”.
Dari Abdullah bin Sa’ad, ia telah berkata:
“Aku pernah bertanya kepada Rasulullah saw. tentang air yang keluar sesudah air. Maka beliau menjawab: Itu adalah madzi, dan setiap laki-laki mempunyai madzi, cucilah farji dan kantung kedua buah dzakarmu karenanya, dan berwudlulah seperti wudlumu untuk shalat”.
Semua hadits di atas adalah sebagai dalil yang menunjukkan, sesungguhnya najis hanya dapat dihilangkan dengan air dan tidak bisa dengan yang lain. Adapun bila diperoleh nash yang menyalahinya, maka hal itu sifatnya khusus untuk yang dimaksud oleh nash tersebut, seperti halnya kulit; bahwasanya kulit itu bisa suci dengan cara disamak, berdasarkan adanya nash untuknya sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a., dimana ia telah berkata:
“Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: Kulit apa saja bila disamak, maka kulit itu menjadi suci”.
Sumber: Ahkamus Sholat: Syaikh Ali Raghib, Seorang Guru Besar (Profesor) di Universitas Al Azhar As Syarief, Mesir
0 komentar:
Posting Komentar