Syed Muhammad Naquib al-Attas termasuk ilmuan Islam kontemporer yang mempunyai pemikiran mendalam, detail dan cukup rumit. Bagi orang orang yang akrab dengan pemikirannya mungkin dengan mudah menelusuri alur diskusi yang dikembangkannya. Namun bagi yang belum terbiasa akan menemukan batu sandungan dalam memahaminya. Termasuk dalam hal ini adalah tentang intuisi. Tulisan ini ingin mengungkap secara singkat apa sebenarnya yang dimaksud intuisi dalam pemikiran al-Attas? Di mana posisi intuisi dalam keilmuan? Dan apa pentingnya intuisi ini?
Intuisi bagi al-Attas adalah pemerolehan ilmu di peringkat yang tinggi, iaitu di peringkat istimewa yang hanya dialami oleh orang-orang tertentu (khawas atau khawas al-khawas), di mana sampainya ilmu merupakan proses yang cepat dan langsung tanpa batas-batas sujek-objek, partikular-partikular, dan keberagaman pada aspek eksternal manusia. Inilah intuisi yang merupakan kondisi ihsan bagi kalangan Sufi.
Berkaitan dengan hakekat intuisi ini, al-Attas kemudian mengatakan bahwa ilmu itu “The arrival in the soul of the meaning of a thing or an object of knowledge; and the arrival of the soul at the meaning of a thing or an object of knowledge.” (lihat al-Attas dalam The Concept of Education, h. 17)
Melalui informasi dari wahyu, al-Attas menyatakan, intuisi ini sangat mungkin terjadi kepada manusia. Ini bisa dilihat dari tiga konsep yang berkaitan erat dengan pembahasan intuisi ini, yakni tentang kosmologi (cosmology); tentang eksistensi manusia (human existence); dan tentang adanya peran dominan di luar akal diri manusia (beyond human mind). Dari sisi kosmologi, manusia dan makluk yang lain adalah entitas terendah dari tingkatan-tingkatan kewujudan dalam kosmos Allah. Oleh karena itu, apabila menyadari tentang hal ini, maka ada kemungkinan besar, berdasarkan sudut pandang eksistensi diri manusia yang boleh melintasi pengalaman fisik, maka kemungkinan sampainya manusia kepada makna-makna intuitif itu sangat besar. Belum lagi, ketika dominasi peranan di luar diri manusia memang tidak boleh dibantah lagi, apakah itu yang disebut Ruh al-Quds, ’Alam al-Mithal dan al-Mala’ al-A’la, apabila manusia betul-betul menyadari ini dan mencoba melaksnakan peraturan agama dengan baik, menghindari diri dari larangan Allah, maka ilmu intuitif itu akan semakin nyata baginya. Oleh karena itu, untuk memperoleh pengalaman intuitif ini, perlu persiapan, latihan, dan pendisiplinan diri seseorang.
Terkait dengan dengan hal ini, al-Attas menyatakan: “Intuition comes to a man when he is prepared for it; when his reason and experience are trained and disciplined to receive and interpret it. But whereas the levels of intuition to which rational and empirical methods might lead refer only to spesific aspects of the nature of reality, and not to the whole of it, the levels of intuition at the higher levels of human consciousness to which prophets and saints attain give direct insight into the nature of reality as a whole. (lihat al-Attas dalam Islam and The Philosophy of Science, h. 12)
Bahkan para nabi, para wali dan orang-orang saleh juga perlu melalui latihan-latihan untuk menerima dan menafsirkan ilmu intuitif ini. Latihan dan pendisiplinan ini tidak sekedar luaran diri manusianya, tapi aspek dalamannya, di mana aspek dalaman ini inti kepada dirinya, dan itulah yang mempunyai kapasitas mengenal hakekat kebenaran.
Dari sisi ini, nampaknya pendisiplinan jiwa ini mempengaruhi konsep pendidikannya yang disebut dengan adab. Sebab, konsep pendidikan al-Attas adalah pendisiplinan pikiran dan jiwa. Orang yang pikiran dan jiwanya sudah terlatih dan disiplin, maka sudah memasuki kategori orang saleh (good man) yang siap menerima ilmu intuitif. Orang yang paling sempurna jiwanya adalah nabi Muhammad Saw. Oleh karena itu, beliaulah profil manusia sempurna (insan kamil) yang mempunyai kapasitas sempurna menerima semua level ilmu, termasuk ilmu intuitif.
Intuisi dalam pemikiran al-Attas boleh dibagi kepada dua: level biasa dan level di atas biasa. Level biasa adalah yang dialami oleh manusia pada umumnya, yaitu pemerolehan ilmu yang datang secara tiba-tiba, secara inspiratif, melalui perenungan dan pencarian bukti-bukti rasional yang kemudian melahirkan inspirasi tertentu. Ini yang disebut hads. Level ini adalah merujuk kepada bagian pertama dari definisi ilmu al-Attas, yakni “sampainya jiwa kepada makna”. Dengan kata lain, inspirasi intuitif itu adalah upaya sendiri orang tersbeut. Berbeda dengan level biasa adalah level di atasnya, yaitu level widjan. Level ini merujuk kepada bagian kedua dari definisi ilmunya, iaitu ”sampainya makna kepada jiwa”. Dengan kata lain, ilmu itu memang dicurahkan kepadanya, bukan dicari olehnya. Dari kedua level ini, instrumen yang digunakan untuk memeroleh ilmu ini berbeda. Level yang pertama menggunakan panca indera dan penalaran pada umumnya. Sedangkan level yang kedua menggunakan instrumen spiritual, yaitu kasyf dan dhauq, hudur, shuhud, dan ahwal. Ini bukan berarti akal dan panca indera tidak digunakan pada level ini, tapi sudah mengalami konvertasi dari yang biasa kepada yang luar biasa, yaitu rasional dikonvert kepada intelektual dan empirical kepada pengalaman spiritual yang otentik (outhentic spiritual experience). Jadi instrumen di tingkat biasa masih valid dan sah digunapakai.
Sementara itu, berbicara jenis ilmu yang diperoleh intuisi ini, sepertinya apa yang boleh dipahami dari konsepsi yang al-Attas uraikan adalah boleh dikatakan ilmu-ilmu itu mempunyai peringkat-peringkat, paling tidaknya boleh dibagi kepada tiga: pertama, laisa bi ilm; kedua, shibhu ilm; dan ketiga, ilm. Ini seperti yang pernah dijelaskan oleh Dr Syamsuddin Arif, salah satu murid al-Attas, dalam satu kajian rutin Insists Malaysia beberapa waktu silam.
Pertama, ketidaktahuan terhadap sesuatu disebut suatu kebodohan (jahl). Ini suatu keadaan nihil dari pengetahuan. Tidak ada pengetahuan yang diperoleh oleh seseorang. Oleh karena itu, makna tidak ada pada jiwa seseorang. Kekosongan dari ilmu boleh jadi karena disengaja atau tidak disengaja. Dikatakan disengaja karena manusia ada yang ingkar terhadap pemerolehan ilmu, merasa ilmu mustahil bagi manusia. Ini yang dialamai oleh orang-orang sofis yang mengatakan ilmu itu tidak mungkin. Karena keegoisan mereka dan keingkaran mereka dengan ilmu, maka hati mereka tertutup dari mendapatkan ilmu. Tidak hanya itu, orang yang dengan sengaja menutup diri dari informasi kebenaran, utamanya yang datang dari wahyu, mereka selalu dalam kejahilan, seperti orang-orang kafir yang senantiasa tidak mau menerima risalah para nabi, bahkan menentangnya. Sedangkan mereka yang secara tidak sengaja menjadi tidak tahu adalah seperti orang-orang yang akalnya tidak sempurna sehingga ia tidak termasuk kalangan mukallaf. Orang seperti ini disebut juga tidak tahu, atau jahil.
Kedua, adalah seakan-akan pengetahuan tapi sebenarnya bukan pengetahuan, atau hanya menyerupai saja. Ini terdiri dari tiga macam pengetahuan; (a) wahmiyyat. Yaitu pemahaman tentang sesuatu dengan dugaan atau sangkaan (prejudice). Pengetahuan ini adalah pengetahuan yang lebih banyak kemungkinan salahnya. Biasanya pengetahuan seperti ini dialami oleh orang yang hatinya tidak stabil dan cenderung ke jiwa hayawaniyyah-nya, sehingga kebanyakan cara pandangnya menggunakan barometer hewani. Biasanya orang seperti ini subyektif, karena ia banyak menduganya; (b) syakkiyyat. Yaitu pengetahuan seseorang yang kemungkinan salah dan benarnya sama-sama besar potensinya; dan (c) zhanniyyat. Yaitu pengetahuan yang kemungkinan besarnya benar dan ada peluang untuk salah. Kualitas pengetahuannya yang berkutat pada zhanniyyat ini kevalidannya tidaklah seratus peratus, sebab setiap waktu boleh berubah, mengikut objek yang diamati boleh berubah setiap waktu, dan perubahan ini mengikuti konsep dasar dari materi itu yang selalu mengalami penciptaan dengan materinya yang baru.
Jadi, makna yang diperolehi dalam tingkatan ini pun terbatas kepada kemateriannya. Oleh karena itu, pengetahuan di tingkatan ini bukanlah ilmu sejati, sebab walaupun ia memberi pengetahuan kepada manusia, namun manusia tidak mencapai keyakinan sepenuhnya yang diakibatkan perubahan-perubahan yang akan terjadi pada setiap saat. Selain itu, alam materi ini sebenarnya aksidental dari realitas sebenarnya yang bukan lagi fisik. Dengan demikian, pengertian di tingkatan ini adalah bergantung kepada realitas essensinya, yaitu Realitas yang sebenarnya (The Ultimate Reality) dalam pemikiran al-Attas.
Ketiga, adalah ilmu sejati, yaitu ilmu yang betul-betul meyakinkan atas kebenaran makna yang telah sampai kepada jiwa seseorang. Tidak ada zhan, syakk, apalagi wahm. Apabila sudah memperoleh makna yang demikian, maka orang seperti ini disebut dengan arif, atau yang mengetahui dengan pengetahuan yang mendalam dan keyakinan yang betul-betul kuat dalam jiwa. Keyakinan pada ilmu ini mengalami tiga gradasi, dilihat dari sudut pandang tasawwuf; ilm al-yaqin, ’ain al-yaqin dan haqq al-yaqin. Peringkat ketiga ini hanya dialami oleh orang-orang khawas dan khawas al-khawas, seperti yang disebut di atas. Yakni mereka yang betul-betul telah sampai kepada makna dan menerima makna itu dengan seluruh keyakinannya. Semua makna itu seakan tiada batas lagi, semua terbuka kepadanya. Semua hakekat di dunia empiris tersingkap kepadanya. Oleh karena itu tidak ada lagi partikular-partikular yang menyesatkan baginya; tidak ada lagi dikotomi-dikotomi kepadanya; yang ada keuniversalan yang tunggal dan makna-makna yang teratur dalam satu sistem yang rapi. Sampai di sini boleh kita pahami bahwa ilmu intuisi menurut al-Attas adalah yang peringkat ketiga di atas, yakni yang sudah boleh dikategorikan ilmu, bukan syibh ilm, apalagi jahl.
Dengan demikian, setelah makna-makna sudah sampai kepada jiwa secara intuitif dengan pengertian wijdan, maka semua jenis ilmu ter-cover di sini. Tidak ada lagi perpisahan antara dirinya dengan objek ilmu. Apabila sudah sampai di level tinggi ini, ilmu yang didapati otomatis merangkumi tidak saja di level tinggi itu sendiri tapi juga di level biasa.
Dalam konteks tasawwuf, tasawwuf bagi al-Attas adalah ”pelaksanaan syariat di peringkat ihsan”. Artinya, ketika seseorang sampai pada level intuisi, semua level ilmu yang ada di peringkat bawahnya tidak terabaikan, baik di level panca indera atau rasio semua masih berlaku dan valid, seperti dijelaskan sebelumnya. Ini untuk menolak kalangan yang mengaku sufi yang kerap kali mengatakan telah mendapatkan inspirasi ilahi walaupun perbuatannya banyak melanggar syariat. Maka bagi al-Attas mereka bukan Sufi sejati, tapi psedo-Sufi, yakni orang yang mengaku-ngaku sufi, padahal sebenarnya bukan. Sebab, tidak mungkin orang yang betul-betul dekat kepada Allah itu melanggar syariat-Nya.
posted on www.inpasonline.com 10-12-2010
0 komentar:
Posting Komentar