Jumat, 13 Januari 2012

Etika Berhubungan Suami-Istri

Surat Terbuka Untuk Para Suami, Abu Ihsan al-Atsari & Ummu Ihsan (dengan modifikasi).

Mungkin sudah sekian banyak buku-buku, blog atau website yang membahas permasalahan ini, tapi ada baiknya kita mengulangnya kembali supaya menjadi ilmu yang diamalkan dan bermanfaat bagi kita semua. Artikel ini semoga berguna bagi para pasangan suami-istri (pasutri) baik yang sudah lama menikah, maupun pengantin baru, ataupun calon pengantin tanpa membatasi yang masih single untuk mendapatkan ilmu dan manfaat darinya.

Shobat sekalian, demi meraih keberkahan dan kebahagiaan bersama diantara pasutri, marilah kita sama-sama perhatikan adab atau etika berhubungan suami istri (jima’) yang telah diatur dalam syari’at agama kita. Berikut merupakan adab-adab jima’ yang perlu kita perhatikan tersebut:
1. Persiapkan diri
2. Tidak ada yang melihat
3. Lakukan pemanasan dahulu
4. Berdo’a
5. Jima’ pada tempat yang diperbolehkan
6. Puaskanlah diri dan pasangan
7. Akhiri dengan penutupan
8. Jangan menyakiti fisik & melukai perasaan
9. Carilah waktu yang tepat
10. Selalu mesra di luar jima’
1. Persiapan Diri

Sebelum melakukan jima’, sangat di anjurkan bagi pasutri untuk memperelok penampilan, dalam keadaan bersih, rapi dan memakai wangi-wangian. Jangan sampai kita mengajak pasangan untuk melakukan hubungan intim sementara keadaaan kita kotor, awut-awutan dengan bau badan yang tidak sedap. Karena hal ini bisa merusak suasanan, menurunkan bahkan menghilangkan hasrat yang timbul.

Mari kita tanyakan kepada diri kita masing-masing. Bukankah kita suka kalau pasangan kita mempersiapkan diri sungguh-sungguh untuk menyambut kita ?!. Bukankah kita akan hilang selera dan enggan berhubungan bila mendapati pasangan kita dalam keadaan kotor dan bau ?!.

Jika kita menjawab, “Ya”. Maka ketahuilah, bahwa pasangan kita juga punya perasaan dan keinginan yang sama.

2. Tidak Ada Yang Melihat

Sebelum kita bermesraan dengan pasangan kita, yakinkan tidak ada seorangpun yang melihatnya, baik anak-anak kita sendiri apalagi selain mereka. Hal ini telah diantisipasi oleh syari’at Islam yang mengajarkan kita dan anak-anak kita untuk meminta ijin terlebih dahulu sebelum masuk ke kamar orang tua atau kamar kita sebagai orang tua, terlebih di waktu-waktu setelah sholat isyak dan setelah dhuhur.

3. Lakukan Pemanasan Dahulu

Kita hendaknya mengetahui adanya perbedaan yang jauh antara karakter lelaki dan perempuan dalam masalah ini, karenanya penting bagi pasutri untuk mengetahui perbedaan karakter masing-masing pasangannya. Karakter lelaki bisa diibaratkan seperti api, mudah tersulut dan mudah pula mati atau dingin kembali. Sedangkan karakter wanita adalah seperti air, dibutuhkan waktu untuk memanaskan dan mendinginkannya kembali. Karena itu sebelum melakukan hubungan, sebaiknya suami memulai dengan membisikkan kata-kata lembut di telinga pasangannya, disertai dengan sentuhan dan cumbu rayu.

Rangsangan ini tidak pelak akan dapat menyenangkan hati istri, membangkitkan gairahnya, dan menjadikannya siap untuk meraih kenikmatan yang lebih sempurna. Jangan kita sebagai suami melakukan hubungan, sementara istri kita dalam keadaan belum siap dan perasaannya masih dingin. Berilah rangsangan (warming-up) terlebih dahulu seperti senda gurau, rabaan, ciuman, dan dekapan, sehingga gairahnya bangkit dan jiwanya siap melakukan hubungan.

Hikmah dari perlakuan ini sangat jelas, sebab apabila istri belum siap dan hubungan telah dimulai, seringkali akan berakhir dengan kondisi dimana suami merasa puas sedangkan istri belum mendapatkan apa-apa. Hal ini biasanya akan bisa menjadi pemicu ketidakharmonisan hubungan rumah tangga.

4. Berdoa

Ketika hendak melakukan hubungan intim, hendaknya suami memulai dengan basmallah dan meminta perindungan Allah Ta’ala dari syaithan seraya mengucapkan doa yang diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Bismillah, Allahumma jannibnasy syaithon, wa jannibisy syaithon maa rozaqtanaa“
“Dengan nama Allah, Ya Allah jauhkanlah kami dari syaithan dan jauhkanlah syaithan dari (anak) yang Engkau rejekikan kepada kami”.
Apabila dari hubungan tersebut ditaqdirkan lahirnya anak, niscaya syaithan tidak akan mencelakainya selamanya”. [1]

5. Jima’ Pada Tempat Yang Diperbolehkan

Hendaklah bersetubuh dilakukan pada kemaluan, haram menyetubuhi istri pada duburnya, sebagimana Allah Ta’ala telah berfirman:
“Maka campurilah mereka itu ditempat yang diperintahkan Allah kepadamu.” (Al-Baqarah: 222)
“Menyetubuhi kaum wanita pada dubur mereka adalah haram.” (Hadits An-Nasaa’i, dalam Isyratun Nisaa’ – Silsilah ash-Shahihah hal.873)
Diperbolehkan menyetubuhi istri dengan cara dan posisi apapun selama masih dalam kemaluan (farji) nya. Boleh melakukannya dengan posisi atas, bawah, miring, dari depan atau belakang, dalam keadaan berdiri maupun duduk. Ambillah cara-cara yang disepakati bersama dan tidak menimbulkan kebosanan. Sebagaimana Allah Ta’ala telah berfirman;
“Istri-istrimu adalah (seperti) lahan tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah lahan tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki.” (Al-Baqarah: 223)
Demikian pula dilarang menyetubuhi istri ketika ia sedang haidh. Perilaku ini berbahaya, dan dapat mendatangkan kerusakan moral maupun medis bagi pasutri, sebagaimana Allah Ta’ala telah berfirman;
“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: ‘Haidh itu adalah kotoran’. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh, dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci.” (Al-Baqarah: 222)
Namun diperbolehkan untuk bercumbu rayu dan melakukan apa saja dengan istri yang sedang haidh selain berhubungan intim. Para istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam menuturkan;
“Apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam menghendaki tubuh istrinya ketika haidh, beliau menutup farjinya dengan kain penutup, lalu melakukan apa saja yang dikehendaki.” (HR. Abu Dawud -272 dan dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud).
6. Puaskanlah Diri dan Pasangan

Perlu untuk diingat bahwa jima’ bukan merupakan aktivitas satu pihak, akan tetapi melibatkan kedua pasangan, suami-istri, yang mana keduanya memiliki kebutuhan dan kepentingan yang sama. Para suami hendaklah menyadari akan hal ini, tidak boleh egois dengan menyudahi jima’ sebelum sang istri terpenuhi kebutuhannya. Pastikan bahwa istri kita benar-benar telah meraih kepuasan, sehingga apabila hajat sang suami telah terpenuhi dengan keluarnya mani, hendaklah sang suami menahan dahulu dari menyudahi berhubungan hingga sang istri terpenuhi juga kebutuhannya. Karena menyudahi hubungan ketika sedang pada kondisi tersebut merupakan siksan bagi sang istri.

7. Akhiri Dengan Penutupan

Setelah selesai melakukan hubungan intim, hendaklah sang suami mengakhirinya dengan perbincangan ringan dan sentuhan-setuhan halus sebagai penutupan. Hal ini perlu untuk dilakukan demi kesempurnaan kebahagiaan sang istri, dan untuk mengantisipasi munculnya ganjalan perasaan usai berhubungan intim. Karakter seperti air yang dimiliki wanita, tentu tidak seperti laki-laki yang bisa padam seketika setelah terpancarnya mani. Sehingga usahakanlah untuk tidak langsung berpaling dengan membiarkan sang istri merana.

8. Jangan menyakiti fisik & melukai perasaan

Hendaklah sang suami selalu menjaga perasaan sang istri, tidak melukainya ataupun melakukan hal-hal yang tidak istri kehendaki demi kepuasaan suami semata. Demikian juga jangan sampai suami memperlakukannya secara tidak hormat, hingga sang istri merasa dirinya hanyalah sebagai pemuas nafsu belaka. Sebaiknya segala aktifitas jima’ itu dilakukan atas dasar suka sama suka.

Hendaklah dihindari melakukan hal-hal yang juga bisa menyakitinya seperti menyumbat nafasnya, atau menindihnya dengan serampangan, terlebih jika suami memiliki tubuh yang berat sementara istri berbadan kecil dan lemah. Jadikanlah hubungan jima’ sebagai suatu sarana membahagiakan istri, bukan malah sebaliknya.

9. Carilah waktu yang tepat

Pasutri hendaknya pandai memilih waktu yang tepat untuk berjima’, sehingga semakin sempurna kenikmatan dan kebahagiaan mereka. Di antara waktu yang bagus-tepat tersebut adalah:

a. Saat pulang berpergian
Hendaklah suami melakukan jima’ setelah pulang dari berpergian jauh-lama, sebagai ganti perasaan sepi sang istri dan derita penantian yang menjemukan. Perasaan rindu dapat menjadi penghangat suasana hingga menjadikannya saat yang paling membahagiakan melebihi suasana malam pertama. Hal ini sebagaimana yang diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam;
“Apabila engkau datang dari berpergian pada malam hari, janganlah langsung menemui istrimu, supaya ia dapat mencukur rambut kemaluannya dan merapikan dandanannya”. Rasulullah berkata, “Jangan lupa lakukanlah jima’, lakukanlah jima‘…” [muttafaqun 'alaihi/ Hadits Bukhari-Muslim].
b. Malam-malam bahagia
Manfaatkanlah malam-malam bahagia, seperti malam walimah kerabat dan handai taulan. Karena malam-malam seperti ini biasanya membangkitkan kenangan indah dan rasa suka-cita sehingga siap untuk melakukan jima’ dalam rangka mendapatkan kebahagiaan.

c. Damai setelah bertikai
Kadang, perselisihan terjadi diantara pasutri, sehingga mengeruhkan suasana dan merenggangkan jalinan cinta. Dengan anugerah Allah Ta’ala, beberapa saat kemudian perselisihanpun reda dan suasana menjadi kembali segar dan pikiran kembali jernih. Maka alangkah baiknya kalau menghiasi malamnya dengan senda-gurau, canda-tawa dan lakukanlah jima’ untuk menyempurnakan keindahannnya. Kikis habislah sisa-sisa luka yang masih ada, bukalah lembaran baru dengan hari-hari yang penuh indah dan lupakanlah kenangan pahit saat-saat bertikai.

d. Saat meraih kesuksesan
Ketika salah satu pasutri berhasil meraih kesuksesan, dalam pekerjaan atau studi misalnya, sempurnakanlah kegembiraan tersebut dengan melakukan jima’. Sebab ketika kebahagiaan sedang meliputi, jiwapun terasa lapang, dan siap untuk meneguk madu kenikmatan dan kebahagiaan.

10. Selalu mesra di luar jima’
Sebagian suami kurang memahami bahwa setiap wanita membutuhkan hal ini. Sebagian mereka hanya mau berlaku mesra dengan istrinya ketika menghendaki hubungan intim saja. Padahal boleh jadi seorang wanita lebih merasakan kebahagiaan dengan sentuhan-sentuhan hangat seperti ini daripada hubungan intim itu sendiri. Sebagai contohnya adalah seperti; berbisik manja, membelai rambut, menggenggam tangan, mencium kening, merebahkan kepala di dada istri dan lain sebagainya. Hal ini perlu dijadikan ‘kamus’ agar hubungan pasutri semakin intim dan mesra, makin berwarna dan berasa. Amiiin….
——————————–
Surat Terbuka Untuk Para Suami, Abu Ihsan al-Atsari & Ummu Ihsan (dengan modifikasi).

dari postingan teman di fb

0 komentar: