Kamis, 19 Januari 2012

Hati-Hatilah dengan Perusak-perusak Niat (1)

Perusak-perusak Niat dan Obatnya (01)

Perusak-perusak Niat dan Obatnya

1. Kebodohan.
            Kebodohan adalah musibah yang besar menimpa kehidupan manusia, dan menjadikannya terjerumus kedalam berbagai macam penyimpangan dan kesesatan, seorang penya’ir berkata[1],
 Kebodohan sebelum maut adalah kematian untuk pemiliknya.
Dan badan mereka menjadi kuburan sebelum dikuburkan.
Roh mereka tidak tenang di dalam jasad mereka.
Tidak ada tempat kembali walaupun hari nusyur.
            Berilmu tentang hukum suatu ibadah adalah syarat sah niat sehingga ketika seorang hamba beribadah ia dapat menentukan (ta’yin) niatnya dengan benar, maka bila ia tidak mengetahui hukum sebuah ibadah; wajibkah atau sunahkah, tentu ia tidak dapat menta’yinnya dengan benar terlebih jika ibadah tersebut disyaratkan padanya menta’yin niat sebagaimana telah kita jelaskan di bab yang pertama.
             Oleh karena itu kewajiban setiap hamba adalah mempelajari hukum-hukum ibadah yang hendak ia laksanakan, agar ia dapat beribadah kepada Allah dengan benar dan sesuai dengan apa yang disyari’atkan oleh Allah melalui lisan Rosul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam. Ilmu adalah obat penawar penyakit bodoh, maka menuntut ilmu adalah kewajiban bagi orang yang terkena penyakit seperti itu.

2. Waswas setan.
            Setan berusaha mengggoda anak Adam dan menjerumuskannya kepada jurang Hawiyah, dengan berbagai macam cara ia menggoda manusia diantaranya adalah dengan waswas. Ibnu Qayim rahimahullah berkata: “Tempat niat adalah hati dan tidak hubungan dengan lisan sama sekali, oleh karena itu tidak pernah dinukil dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pula dari para shahabat melafadzkan niat tidak pula kita mendengar mereka menyebutkanya. Bacaan-bacaan yang diada-adakan sebelum bersuci dan shalat ini menjadi makanan empuk setan untuk menggoda ahli waswas, setan menahan mereka dan menyiksanya sehingga engkau lihat salah seorang dari mereka mengulang-ulang niat dan menyusahkan dirinya untuk melafadzkannya, padahal ia bukan bagian dari shalat sama sekali”.[2]
            Syaikhul islam rahimahullah berkata: “Diantara mereka ada yang melakukan sepuluh bid’ah yang tidak pernah dilakukan oleh Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak juga seorangpun dari shahabat, yaitu mengucapkan: “Audzubillahi minasyaithanirrajim nawaitu ushalli shalatadzuhri faridlotalwaqti adaan lillahi Ta’ala imaman au ma’muman arba’a raka’at mustaqbilal qiblah”. Yang artinya: “Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk, aku berniat melakukan shalat dzuhur kewajiban waktu itu karena Allah Ta’ala sebagai imam atau makmum 4 raka’at dengan menghadap kiblat”. Lalu ia menguatkan anggota tubuhnya, mengkerutkan dahinya, dan menegangkan urat lehernya, kemudian berteriak bertakbir seakan-akan meneriaki musuh. Padahal bila ia memeriksa sepanjang umur Nabi Nuh ‘Alaihissalam apakah perbuatan tersebut pernah dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam atau seorang saja dari shahabat tentu ia tidak akan mendapatkannya kecuali jika ia mau berani berdusta. Kalaulah hal itu baik tentu mereka telah mendahului dan menunjukkan kita kepadanya”.[3]
            Untuk menyingkap talbis iblis ini kita katakan kepada orang yang terkena waswas tersebut: “Jika engkau ingin menghadirkan niat maka niat itu sebenarnya telah hadir karena engkau telah berdiri untuk melaksanakan kewajiban dan itu adalah niat sedangkan niat tempatnya di hati bukan lafadz[4], maka orang yang duduk untuk berwudlu berarti ia telah berniat wudlu, orang yang berdiri untuk shalat berarti ia telah berniat shalat, dan orang yang berakal akan berfikir bahwa semua perbuatan ibadah tidak mungkin dilakukan dengan tanpa niat, karena niat itu selalu menyertai perbuatan manusia yang bersifat ikhtiyari (dibawah kehendak manusia) tidak perlu bersusah payah untuk menghasilkannya, bahkan bila ia ingin mengosongkan perbuatannya yang bersifat ikhtiyari tentu ia tidak akan mampu, kalaulah Allah memberi beban untuk berwudlu tanpa niat tentu ia adalah beban yang tak akan ada orang yang mampu melakukannya, maka jika keadaannya demikian lalu mengapa harus bersusah payah untuk menghasilkan niat ?! dan jika ia merasa ragu apakah terhasilkan niatnya atau tidak maka ini adalah macam penyakit gila, karena pengetahuan manusia tentang dirinya adalah perkara yang bersifat yakin.[5]
            Dihikayatkan dari ibnu ‘Aqil bahwa ada seseorang bertemu dengannya dan bertanya: “Aku mencuci anggota tubuhku namun aku merasa belum mencucinya, dan aku bertakbir namun aku merasa belum bertakbir ? ibnu ‘Aqil rahimahullah menjawab: “Kalau begitu tinggalkan shalat karena tidak wajib bagimu”. Ada orang berkata: “Mengapa engkau mengatakan demikian ? beliau menjawab: “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Diangkat pena dari orang gila sampai ia waras”. Dan orang yang bertakbir namun ia merasa belum bertakbir bukanlah orang yang berakal, sedangkan orang gila tidak wajib sholat”.[6]
-bersambung insya Allah-
Penulis: Ustadz Abu Yahya Badrusalam, Lc.
Artikel www.cintasunnah.com

[1] Lihat ighatsatulahafan hal. 26. Tahqiq Majdi Fathi Sayid.
[2] Ighatsatulahafan hal 145.
[3] Ighatsatulahafan hal 146.
[4] Talbis iblis ibnul Jauzi hal 155.
[5] Ighatsatulahafan hal 145.
[6] Talbis iblis hal 155.

0 komentar: